Alisa dan Floria berjalan di lorong bawah tanah yang panjang itu, melewati dinding bebatuan dan kayu oak di sisi kiri dan kanan mereka. Terlihat ada satu dua orang yang berjalan di depan mereka menuju tujuan yang sama, ruangan besar tempat pertemuan kemarin,Kedua gadis itu diundang oleh Putri Inori dan Gubernur Alistair untuk ikut serta dalam pertemuan antar kepala daerah di ruangan besar itu. Terlebih karena mereka berdua juga berada pada posisi yang cukup strategis dalam rencana yang akan dilakukan cucu Sazali tersebut.Walaupun begitu, apa yang ada di benak Alisa tak bisa dibohongi. Kesedihan masih nampak terlihat dari raut wajahnya. Gadis Telhi itu berjalan sambil menundukkan kepalanya.“Hei, Flo.”“Iya, Alisa?”“Kira-kira, apa yang akan dilakukan oleh Putri Inori ya?” tanya Alisa dengan suara pelan.“Entahlah, aku juga tidak tahu,” jawab Flo.Tak terasa mereka pun sudah sampai di ruangan itu. Kini tempat tersebut terlihat seperti ruangan rapat dengan kursi yang berjajar dan meja
Semua orang sudah ada di tempat rahasia ini. Melalui sihir interface yang diciptakan oleh Lilia, sang kakak sekaligus Gubernur Karelia Alistair Stefansson bertatap muka dengan tiga kepala daerah lainnya. Terlihat ada Adipati Keydoria Adonis Jacob Kwizera, Datuk Clonovia Glenn Zulkarnain, serta Adipati Vitania Rosalia von Schneider.“Ah, Gubernur Alistair. Sudah lama kita tidak berjumpa sejak rapat terakhir beberapa bulan lalu,” ujar Adonis, sang Adipati Keydoria.“Kita berempat memang sudah lama tak bertemu secara bersamaan seperti ini. Mungkin lebih dari satu sampai dua tahun,” ucap Adipati Vitania, Rosalia.“Kau benar, Adipati Rosalia. Semenjak Raja mengubah beberapa kebijakan, pertemuan bersama diantara kita jadi lebih jarang,” tambah Datuk Glenn.Glenn menatap layar interface ke arah Alistair.“Oh iya. Ngomong-ngomong apa yang ingin kau sampaikan pada kami di hari yang cerah ini, Gubernur Alistair?” tanya kepala Daerah Otonom Clonovia tersebut.Mendengar ucapannya itu membuat Alis
Hawa panas begitu terasa di depan wajah mereka. Kedua belas perawat bergaun hitam dengan corak putih di lehernya itu berusaha mencari orang-orang yang masih bisa diselamatkan. Sayangnya hampir semua rumah disini sudah musnah dilalap api.“Apa masih ada orang disini?” teriak seorang Perawat.Nyaris tidak ada suara lain yang bisa didengar selain suara api yang perlahan melalap bangunan yang terbuat dari kayu. Walaupun termasuk ke dalam Distrik Wallenstein Kota Telhi, desa ini masih terlalu jauh jaraknya dari pusat kota. Bantuan pun juga tak kunjung datang karena harus melewati hutan belantara yang cukup lebat.“Ada seseorang disini?” Perawat lainnya kembali berteriak.Meskipun bertaruh nyawa, para perawat ini rela melakukannya hanya untuk menyelamatkan orang-orang yang tersisa dari peristiwa mengerikan itu. Bau material yang terbakar bercampur dengan bau darah dan mayat, semuanya ada di tempat ini.“Ini sungguh mengerikan,” gumam seorang Perawat berambut perak.Hanya berbekal peralatan s
Tamparan anak laki-laki yang diarahkan pada Flo itu berhasil dicegah oleh sang perawat. Weiss Karny yang baru saja mengobati luka Alisa menahan tangan anak laki-laki itu dan menatapnya dengan tajam.“Si-sister Weiss?”“Apa yang kau lakukan, Abraham? Menampar seorang gadis, apakah hal ini yang kami ajarkan padamu?”Kedua anak laki-laki di belakangnya nampak panik setelah melihat raut wajah sang perawat yang hendak memarahi mereka. Namun berbeda dengan anak bernama Abraham itu. Ia malah memberontak dan menjawabnya.“Tapi Sister Weiss, gadis ini orang Vitania. Orang-orang yang telah menghabisi keluarga kita disini. Aku tidak akan pernah bisa berdamai dengannya,”Abraham terlihat sangat marah pada Flo, benci pada latar belakangnya. Gadis itu hanya diam saja mendengar ucapan Abraham, tak mampu berkata apa-apa. Tapi Perawat Weiss langsung menasihatinya.“Dengarkan ini, Abraham. Meskipun dia orang Vitania dan kau orang Karelia, tapi kita masih sama-sama Hamu Kamina kan, sama-sama manusia Kami
BOOMBola-bola api yang pecah di angkasa itu menghantam berbagai objek yang ada di permukaan tanah. Jalan, kebun, hingga rumah warga, semuanya terkena serangan itu dan terbakar hebat. Sirine kota pun berbunyi. Kedamaian dan ketenteraman itu langsung berubah menjadi ketakutan dan kepanikan.“ADA SERANGAN!! ADA SERANGAN!!”“TOLONG!! RUMAHKU TERBAKAR!!”“Anakku, dimana anakku?”Orang-orang berteriak dan berhamburan di jalanan, berlari kesana kemari tak tentu arah. Termasuk para anak-anak yang ada di panti asuhan tersebut. Mereka menjerit dan menangis melihat suasana yang tiba-tiba berubah bak perang itu. Semuanya kacau, para perawat kewalahan menangani mereka.Alisa dan Floria terpaku di tempat itu, hanya bisa melihat dan mendengar kepanikan yang ada di balik jendela.“Apa, ini?”Abraham dan kedua temannya yang tengah membeli sesuatu di kedai makanan itu juga tak luput dari kepanikan. Sambil melemparkan makanan yang telah mereka beli, ketiganya langsung kembali ke panti asuhan sambil berl
“JANGAAANNNN!!”KRIINNNGGGGGAlarm berbunyi pertanda pagi telah tiba. Sinar dari bintang biru Formalha yang baru saja terbit dari ufuk timur menyilaukan mata dari jendela. Alisa terbangun dari mimpi yang mengerikan itu, dan baru sadar bahwa ia tengah berada di kamar asrama.“Oh, sudah pagi ya?” ucapnya sambil memandangi cermin dan mengusap matanya. Rambutnya terlihat acak-acakan.“Sudah waktunya sekolah,”Alisa bergegas untuk membersihkan diri lalu sarapan dengan menu yang telah disediakan pengelola asrama. Dengan mengenakan seragam berupa kemeja lengan pendek dan rok pendek berwarna putih bercorak abu-abu, ia pun bergegas ke sekolah.Delapan tahun setelah peristiwa mengerikan itu, Alisa bersama anak-anak korban selamat lainnya dipindahkan ke Kartovik. Disana mereka menjalani kehidupan yang baru, termasuk bersekolah. Alisa yang kini berusia 14 tahun bersekolah di SMA Khusus Wanita Kartovik, sebuah sekolah besar yang mampu menampung lebih dari seribu orang siswi.Kelas dimulai pukul 8 p
Alisa dan Frenska membaca pesan yang dikirimkan melalui cincin Angkenya. Ternyata benar tebakan mereka. Itu adalah pesan misi yang disampaikan pada keduanya.“Perintah kepada Alisa Garbareva dari Kelas 2-F dan Frenska Albertovia dari kelas 2-F agar segera berkumpul di aula sekolah. Tertanda Ny. Rumia Firlidina,”Salah seorang guru telah memanggil mereka berdua untuk berkumpul di aula sekolah. Oleh karena itu, mereka pun harus menaati perintahnya. Keduanya lalu mengganti pakaian tidur mereka dan bergegas pergi ke aula.Sesampainya di aula sekolah, terlihat ada 6 orang siswi yang sudah berkumpul di tempat itu, dan 3 diantaranya adalah senior mereka dari kelas 3-E yang terkenal arogan itu, yakni Sophie Alkatiri beserta dua temannya, Rinka Sukhova dan Jouiria Valderlia. Melihat kedatangan Alisa dan Frenska, ketiganya menatap mereka dengan sinis, apalagi setelah peristiwa tadi siang.“Cih, ngapain dua bocah itu kemari?” gumam Sophie dengan suara pelan.Tak lama berselang, sang pengirim pesa
Angin malam yang dingin meniup rambut panjangnya itu. Wajah yang anggun nan dingin itu terlihat jelas melalui sinar purnama. Gadis itu hanya diam saja melihat Alisa Garbareva yang kebingungan setelah melihat paras wajahnya. Dirinya benar-benar tak menyangka akan bertemu kembali dengan teman lamanya itu setelah delapan tahun terpisah karena sebuah tragedi.“Flo, kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?”Gadis Vitania itu berdiri menghadapnya sambil membiarkan pedangnya tergeletak di tanah.“Alisa, sudah lama kita tidak bertemu,”“Tapi, kenapa? Kenapa kau jadi seperti ini? Apa yang terjadi sebenarnya padamu?”Flo terdiam sejenak sebelum mengatakan tiga buah kata.“Keputusasaan, kesejahteraan, keadilan,”Hembusan angin yang cukup besar memotong pembicaraan mereka. Alisa yang mendengar ketiga kata tersebut bertanya-tanya, apa maksud dari perkataannya itu. Sebelum mempertanyakannya, Floria kembali berujar.“Awalnya kita tidak tahu apa yang ada di luar sana karena pada saat itu kita masih anak-a