Alisa selamat untuk kali ini. Serangan bola sihir raksasa eksplosif itu berhasil ditepis oleh seniornya sekaligus salah satu pelaku utama perundungannya di masa lalu. Hal ini pun tentunya membuat Penny sangat terkejut.“Tunggu, kenapa? Kenapa kau bisa ada disini?” Penny bertanya-tanya.Sophie mengacungkan pedangnya yang bercahaya kuning itu pada gadis berambut hitam tersebut.“Penny Schaeffer. Aku sudah tahu semua yang kau lakukan pada kawanku Joy,” tegas Sophie.“Eh, Kak Sophie?”“Sebaiknya kau menyerah sekarang dan mempertanggungjawabkan perbuatanmu itu. Sihir kegelapanmu tidak akan berguna melawan sihir cahayaku,” lanjutnya.Mendengar ucapan itu membuat Penny kembali tertawa terbahak-bahak. Dirinya masih tak mau menyerah walaupun lawannya adalah gadis penyihir cahaya dengan kemampuan bertarung yang tinggi.“Hihi... HAHAHAA....”Sophie menelan ludah melihat ekspresi gadis itu.“MENYERAH KATAMU? KAU PIKIR AKU AKAN MELAKUKAN HAL ITU SETELAH APA YANG KALIAN LAKUKAN PADAKU PULUHAN TAHUN
Cahaya yang sangat terang masih menutupi seluruh pandangan. Tak ada hal lain yang bisa dilihat selain daripada itu.“Uh, terang sekali,”Gadis berambut hitam itu menutupi kepalanya karena tak tahan dengan cahaya silau yang ada di depannya. Namun perlahan cahaya itu menghilang. Ia pun terkejut dengan apa yang ia lihat di depannya.“Eh? Apa yang terjadi? Dimana aku?”Dirinya kini berada di sebuah kota kecil yang subur dengan perkebunan. Terlihat rumah-rumah warga yang berjajar dengan rapi dan bersih. Terlihat pula jalanan kecil yang cukup sepi dengan saluran air yang jernih di sampingnya.“Ini, Telhi?”Gadis itu baru menyadari bahwa ia sekarang tengah berdiri di kota kelahirannya yang kini sudah musnah akibat pertambangan mineral itu. Mengingat hal itu, ia pun berusaha untuk menyadarkan dirinya sendiri bahwa ia sedang terkena pengaruh sihir.“Tidak, tidak. Ini sihir ‘Illusia’ milik Sophie sialan itu. Aku tidak boleh terjebak di dalamnya. Aku harus segera sadar,”Gadis bernama Penny Schae
Angin dingin berhembus diantara celah-celah pepohonan yang rindang itu. Terlihat 4 orang gadis yang tengah berdiri di sebuah tempat dekat perkebunan warga. Mereka berdiri di depan sebuah gundukan tanah dengan sebuah batu di ujungnya. Terlihat pada batu itu bertuliskan nama ‘Jouiria Valderlia’ dalam alfabet Archipelrunska.Sophie Alkatiri dan Rinka Sukhova, mereka kini hanya tinggal berdua saja setelah sahabat mereka, Joy sudah pergi meninggalkan mereka selamanya dengan cara yang tragis. Sekarang mereka hanya bisa melihat gundukan tanah bertuliskan nama sahabatnya itu saja. Itulah yang sekarang hanya tersisa darinya.Sementara itu Alisa berdiri di belakang Sophie sambil menggenggam tangan Floria. Ia nampak sangat kehilangan, walaupun Joy sendiri pernah merundungnya bersama Sophie dan kawan-kawannya di masa lalu.“Hei, Flo,”“Iya, Alisa?”“Kau masih ingat tak soal nasihat yang pernah diucapkan Sister Weiss?” tanya Alisa.“Tentang apa?” tanya Flo balik.“Dia pernah berkata ‘kalau ada yang
Pemandangan yang asing terlihat di depan mata gadis itu. Kartovik, sebuah kota pendidikan tempat dirinya menimba ilmu di SMA Khusus Wanita kini terlihat jauh berbeda dibandingkan saat dirinya baru meninggalkan kota itu untuk Program Akselerasinya.Kota itu nampak lebih luas dan megah sekarang. Jalan raya yang awalnya berupa paving block kini berlapis aspal hitam. Trotoarnya juga kini jauh lebih lebar dengan hiasan lampu-lampu jalan yang lebih beragam. Bangunan-bangunan berlantai 5 hingga 6 kini sudah mendominasi dibandingkan bangunan berlantai 2 dan 3.“Ini Kartovik 'kan?”Alisa masih bertanya-tanya apakah dirinya benar-benar sudah pulang ke tempat dirinya menimba ilmu, ataukah ini hanya ilusi sihir belaka. Tapi dirinya baru sadar setelah teringat sesuatu.“Eh, iya. Kalau tidak salah saat aku mau berangkat ke Vitania, kota ini memang sedang mengalami ekspansi dan perbaikan infrastruktur besar-besaran. Aku baru ingat itu,” ucap Alisa.Bus pun berhenti sejenak di sebuah perempatan untuk
Alisa, Floria, dan Diana berjalan bersama di sebuah lorong yang terletak di lantai 3 yang menuju ruangan kepala sekolah. Nampak wanita tua itu berbincang mengenai beberapa hal pada mereka.“Alisa, Ibu benar-benar sangat bersyukur kau bisa kembali dengan selamat. Ini seperti keajaiban,” kata sang kepala sekolah.“Iya, Ibu. Saya juga tidak menyangka bisa kembali lagi ke sekolah ini setelah semua hal yang terjadi tepat di depan mata saya sendiri,” ucap Alisa.Sang kepala sekolah sedikit menghela napas seraya membetulkan posisi kacamatanya.“Ini sungguh keajaiban. Ibu-lah yang telah memerintahkan Skuad Mayer Ehrlich untuk menjemputmu di Pantai Kirkau. Tapi ternyata gadis penyihir sekuat dia gugur juga. Brigade Penyihir Garis Depan Vitania memang mengerikan,”Alisa tak merespon sepatah kata pun ucapannya, terlebih dirinya yang melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana gadis penyihir cahaya itu terbunuh dengan tragis di tangan Isabel.“Oh iya, Floria Fresilca,” sahut kepala sekolah.“I
Pagi yang cerah itu merupakan hari penentuan bagi Alisa Garbareva di SMA Khusus Wanita Kartovik ini. Pada hari ini, dirinya akan memaparkan seluruh hasil penelitiannya yang bertajuk ‘Kondisi Sosial Kemasyarakatan di Daerah Otonom Vitania’ kepada para guru penguji.Ada sekitar 5 orang guru yang terdiri atas kepala sekolah Diana Bjolgnir, guru senior sekaligus perapal utama gadis penyihir Mariya Erlensdottir, Rumia Firlidina, serta dua guru senior lainnya. Mereka melihat sejumlah berkas dari hasil penelitian Alisa seraya mendengarkan gadis itu bicara.Pemaparan hasil penelitian itu berlangsung sekitar satu setengah jam sebelum akhirnya selesai pada pukul 3 sore.“Terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya untuk memaparkan seluruh hasil penelitian ini. Saya benar-benar senang atas apresiasi yang Anda semua berikan kepada saya,” ucap Alisa yang duduk di sebuah kursi kayu tepat di depan para guru yang duduk berjejer layaknya hakim.“Sama-sama, Alisa. Penelitianmu ini sang
Malam itu berbeda dengan malam akhir pekan biasanya. Begitu ramai penduduk berkumpul di seantero Kota Kartovik yang gemerlap cahaya lampu hias. Namun pusat kerumunan masyarakat ada di SMA Khusus Wanita Kartovik, atau lebih tepatnya di aula utama.Berbeda dengan area lainnya di kompleks sekolah itu, aula utama yang terletak di sebelah selatan tidak termasuk area khusus wanita. Terlebih lagi aula tersebut memang selalu disewakan apabila ada acara-acara besar. Dan kali ini gedung yang menggabungkan arsitektur kuno dan modern tersebut dipakai oleh otoritas Kartovik untuk perayaan pesta selesainya ekspansi dan pembangunan besar-besaran kota itu.“Wah, ramai sekali,”Alisa yang kini mengenakan sebuah gaun off-shoulder panjang berwarna pink nampak begitu terkesima melihat banyaknya masyarakat yang berkunjung di tempat tersebut.“Tentu saja. Ini 'kan pesta perayaan terbesar tahun ini. Apalagi nanti ada gubernur yang datang kemari,” ujar Frenska yang juga mengenakan gaun off-shoulder panjang, n
“Jadi seperti itukah kondisi Brigade Penyihir sekarang? Ini sulit dipercaya,”“Memang begitulah keadaannya, Nyonya Diana,”Floria dan Diana tengah berbincang di ruang kepala sekolah pada malam itu. Mereka hanya berdua saja di ruangan dengan kondisi yang sepi tersebut.“Perpecahan di tubuh Brigade Penyihir. Pergerakan pemberontakan mereka kini mulai goyah, terlebih setelah banyaknya para petinggi yang keluar ataupun tewas dalam pertarungan. Ini bisa dimanfaatkan oleh kerajaan pusat kalau mereka menyadarinya,” ucap Diana sambil mengusap keningnya.“Setidaknya hal itulah yang sedang terjadi. Tapi, walaupun begitu Karelia juga harus waspada. Para petinggi yang berpikiran ekstrim juga masih berkuasa. Saya tidak tahu apakah keberadaan saya disini sekarang adalah resiko besar atau tidak,” ungkap Flo.Sang kepala sekolah menghela napas.“Huh, tapi setidaknya dengan keberadaanmu disini kita jadi makin paham dengan apa yang terjadi disana. Bahkan Ibu pun terkejut dengan perkataan Alisa kalau sej