Malam itu berbeda dengan malam akhir pekan biasanya. Begitu ramai penduduk berkumpul di seantero Kota Kartovik yang gemerlap cahaya lampu hias. Namun pusat kerumunan masyarakat ada di SMA Khusus Wanita Kartovik, atau lebih tepatnya di aula utama.Berbeda dengan area lainnya di kompleks sekolah itu, aula utama yang terletak di sebelah selatan tidak termasuk area khusus wanita. Terlebih lagi aula tersebut memang selalu disewakan setiap ada acara-acara besar. Dan kini gedung yang menggabungkan arsitektur kuno dan modern tersebut dipakai oleh otoritas Kartovik untuk perayaan pesta selesainya ekspansi dan pembangunan besar-besaran kota itu.“Wah, ramai sekali.”Alisa yang kini mengenakan sebuah gaun off-shoulder panjang berwarna pink tampak begitu terkesima melihat banyaknya masyarakat yang berkunjung di tempat tersebut.“Tentu saja. Ini 'kan pesta perayaan terbesar tahun ini. Apalagi nanti ada gubernur yang datang kemari,” ujar Frenska yang juga mengenakan gaun off-shoulder panjang, tetapi
“Jadi seperti itukah kondisi Brigade Penyihir sekarang? Ini sulit dipercaya.”“Memang begitulah kenyataannya, Nyonya Diana. Perpecahan di dalam tubuh organisasi kami sudah sampai pada tahap yang cukup kritis.”Floria dan Diana tengah berbincang di ruang kepala sekolah pada malam itu. Mereka hanya berdua saja di ruangan dengan kondisi yang sepi tersebut.“Perpecahan di tubuh Brigade Penyihir. Gerakan pemberontakan mereka kini mulai goyah, terlebih setelah banyaknya para petinggi yang keluar ataupun tewas dalam pertarungan. Ini bisa dimanfaatkan oleh kerajaan pusat kalau mereka menyadarinya,” ucap Diana sambil mengusap keningnya.“Setidaknya hal itulah yang sedang terjadi. Tapi, walaupun begitu Karelia juga harus waspada. Para petinggi yang berpikiran ekstrim juga masih berkuasa. Saya tidak tahu apakah keberadaan saya di sini sekarang adalah resiko yang besar atau tidak,” ungkap Flo.Sang kepala sekolah menghela napas.“Huh, tapi setidaknya dengan keberadaanmu di sini kita jadi makin pah
TRINGG TRINGGBANGG BANGG BANGGWUSHHDUARRSuara adu senjata, tembakan senapan, serangan sihir, hingga ledakan terdengar di seantero wilayah Kartovik Timur yang baru saja diekspansi itu. Kota pendidikan yang indah nan estetik tersebut seketika berubah menjadi medan pertempuran berdarah.Alisa, Floria, dan Frenska masih belum bisa keluar dari kompleks SMA itu karena mereka harus menghadapi puluhan gadis penyihir misterius berjubah gelap yang seakan tidak ada habisnya. Ketiganya pun harus berjibaku dengan senjatanya untuk melawan mereka semua.“Sial, mereka tidak ada habisnya,” keluh Frenska sambil menangkis sejumlah serangan dengan tongkat hijaunya.“Apa yang harus kita lakukan? Kita tidak bisa begini terus,” kata Alisa sambil mengayunkan belati anginnya.SWINGGFlo menebas dua gadis penyihir berjubah dengan pedang besarnya. Dan untungnya hal itu memberinya akses jalan keluar.“Itu, kita pergi ke lorong itu,” tunjuk Floria.“Kerja bagus, Flo,” puji Alisa.“Oke, aku ikuti saranmu. BIO V
Kartovik Timur benar-benar terbakar pada malam itu. Serangan sihir yang dilancarkan para pemberontak Vitania berhasil meluluhlantakkan kota pendidikan yang eksotis tersebut. Kini hanya terlihat puing-puing bangunan yang hancur dan terbakar dalam kobaran api yang besar. Bisa dibilang itu adalah serangan Brigade Penyihir terparah setelah apa yang terjadi di Telhi pada delapan tahun silam.Namun bukan hanya itu saja. Para gadis penyihir berjubah gelap itu juga menyerang siapa pun yang menghalangi jalan mereka tanpa pandang bulu. Gadis penyihir Karelia, Askar, Patrol, bahkan warga sipil termasuk anak-anak pun tak luput dari serangan brutal mereka.“Habisi mereka semua!! Jangan sisakan satu pun yang selamat!! Mereka akan menusuk kita dari belakang!!” perintah salah satu anggota Brigade Penyihir.Pemandangan mengerikan itu terlihat jelas dari atas bangunan tertinggi SMA Khusus Wanita Kartovik yang menjulang setinggi puluhan meter.“Kotanya benar-benar terbakar.”Terlihat seorang anak laki-la
“Huh ... Huh ... Tidak akan ... aku biarkan ...”Tepat di tengah-tengah reruntuhan bangunan yang terbakar itu, dua orang gadis penyihir terlihat saling berhadapan satu sama lainnya. Selain itu, terlihat pula dua mayat siswi yang bersimbah darah di depan mereka berdua yang sepertinya adalah gadis penyihir yang telah gugur dalam pertarungan itu.“Ahh, membosankan. Jadi hanya seperti ini kemampuanmu? Kau tidak ada bedanya dengan bestie-mu itu.”Seorang gadis penyihir berjubah gelap dan bersenjatakan tombak merah tampak berujar padanya dengan angkuh. Ia adalah anggota Brigade Penyihir, terlihat jelas dari lambang yang terikat di lengan kanannya.“Tidak ... aku ...”Sementara itu, gadis penyihir lawannya yang mengenakan pakaian crop top lengan pendek dan celana pendek berwarna biru muda berusaha untuk kembali menyerangnya dengan pistol perak yang tergeletak di tanah. Berbeda dengan si anggota Brigade Penyihir itu, dirinya sudah kehabisan tenaga untuk melawannya.“Hadeh, kalau kau seperti it
Tubuh Frenska berguling-guling di hamparan tanah setelah dibawa paksa oleh sesosok manusia yang tiba-tiba menyerangnya. Beruntung hal tersebut tak terlalu berarti bagi gadis penyihir tumbuhan itu. Tetapi sekarang, dirinya tampak kebingungan dengan apa yang terjadi padanya.“Uhh, Apa yang terjadi? Di mana ini?”Ia melihat sekitar. Yang terlihat hanyalah pemandangan berupa hamparan tanah yang luas dan langit berwarna putih sejauh mata memandang. Tak lama kemudian ia pun baru menyadari sesuatu.“Apa? Tempat ini? Jangan-jangan-”Belum selesai ia berucap, terdengar suara gadis lainnya yang tertawa jahat.“Hahaha. Selamat datang di Ruang Schrödinger ciptaanku, gadis penyihir tumbuhan dari Karelia.”Frenska yang mendengarnya langsung menoleh ke berbagai arah untuk menemukan sumber suara tersebut, tetapi ia masih belum menemukannya.“Siapa kau?” tanya Frenska dengan lantang.“Hahaha. Akulah yang membawamu datang kemari, dan akulah yang akan memberikanmu banyak penderitaan. Jadi nikmatilah.”WU
Sudah lebih dari 60% wilayah Kartovik Timur luluh lantak akibat serangan itu. Korban pun makin banyak yang berjatuhan. Tetapi sayangnya bantuan dari luar tidak ada satu pun yang bisa masuk karena terhalang perisai ‘Thermalla Skyoldir’ yang siap membakar siapa saja yang berani menyentuhnya.Di SMA Khusus Wanita Kartovik yang sudah hampir seluruhnya terbakar terlihat otak dari penyerangan mematikan ini, Alberta yang masih berdiri tegak dengan busur panah di tangannya. Sementara itu dua gadis penyihir yang menjadi targetnya, Alisa Garbareva dan Floria Fresilca sudah sangat kelelahan akibat pertarungan melawannya.“Sudah cukupkah bermain-mainnya? Mari kita akhiri semua ini,” kata Alberta.“Be-lum,” ucap Flo terbata-bata sambil berusaha berdiri dengan bantuan pedang besarnya.“Huh, kalian ini memang keras kepala.”Sang peringkat dua itu menghela napas lalu kembali mengarahkan busur panahnya pada mereka berdua.“Kalianlah yang memaksaku untuk melakukan semua ini. Bagi kami, kalian hanyalah k
BRUKKWanita itu terhempas oleh serangan lawannya. Walaupun ia adalah gadis penyihir api terkuat se-Vitania, akan tetapi kemampuan lawannya yang merupakan gadis penyihir terkuat nomor 1 di daerah itu masih tak sebanding dengannya.“Payah sekali. Kau tidak serius melawanku, Alberta,” ujar sang lawan sambil mengarahkan tongkat sihirnya pada gadis penyihir api itu.Alberta dengan busur panahnya berusaha untuk bangkit kembali, tetapi energinya sudah terkuras habis. Meskipun begitu ia tetap berusaha untuk bangun.“Tidak, huh ... aku bersungguh-sungguh melawanmu kali ini, Nona Vilhelmina.”Namun ucapan itu malah ditanggapi secara sinis oleh gadis penyihir dengan topi dan jubah ungu itu.“Tidak. Kalau kau serius melawanku maka kau harusnya sudah menggunakan Spell Caunta Fir padaku. Meskipun aku lebih kuat darimu, tapi dengan teknik sihir itu kau bisa menghabisiku dengan mudah,” tepisnya.Rambut perak wanita itu berkibar tertiup angin.“Tidak mungkin. Aku tidak akan bisa melakukan hal itu pada
Pembaca yang terhormat, penulis ingin ucapkan banyak-banyak terima kasih karena telah mendukung penulis dengan membaca cerita "Perjalanan Si Gadis Penyihir Angin" ini. Novel ini adalah cerita pertama yang penulis buat, sekaligus cerita pertama yang penulis selesaikan.Banyak sekali hal-hal menarik yang penulis temukan dan pikirkan selama menulis cerita ini, hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan salah satu bagian dari semesta Kaminaverse yang sedang penulis kembangkan.Iya. Kisah Alisa Garbareva dan Floria Fresilca dalam cerita "Perjalanan Si Gadis Penyihir Angin" ini merupakan bagian kecil dari kisah para Hamu Kamina, umat manusia Planet Kamina yang dengan berbagai suka dukanya mengembangkan peradaban di planet ini.Kaminaverse merupakan sebuah dunia di mana para manusia menjalani kehidupannya yang penuh dengan dinamika, suka duka, pesta, hingga peperangan. Dan mereka akan terus berkembang sejalan dengan zaman dan issue yang juga berkembang di lingkungan masyarakatnya.Akhir kata
Awan gelap mulai menutupi sinar Formalha, pertanda hujan akan turun di ibukota Sentralberg. Angin pun berhembus walau tak kencang.Sementara itu di pusat kota, suara ledakan, tembakan, hingga adu sihir sudah tak terdengar lagi. Menyerahnya Rocky Calais menjadi penanda bahwa operasi pembebasan itu telah selesai. Mereka semua sudah menang.Putri Inori menghampiri Rocky Calais yang sudah tertunduk lesu tanpa kedua tangannya. Cucu terakhir Sazali Fatir itu mengambil mahkota yang sudah berlumuran darah di samping pria tersebut.“Dengan ini semuanya sudah berakhir, Rocky Calais,” tegas Inori.Pria itu tak menanggapinya dan hanya tertunduk lesu.Angin pun berhenti berhembus. Suasana menjadi hening. Akan tetapi, teriakan seorang gadis tomboy tiba-tiba memecah kesunyian.“HEI, KAK ALISA!! KAK ALISA!!”Inori menoleh ke arah sumber suara. Terlihat seorang gadis penyihir dengan pakaian biru crop top dan celana pendek serta topi sailor putih berusaha membangunkan seorang gadis lain di depannya. Mel
WUSHHPusaran angin yang sangat kencang itu tiba-tiba menghilang tanpa sebab. Lingkaran sihir yang sebelumnya berputar di udara juga lenyap tak bersisa. Kini yang terlihat hanyalah seorang Alisa Garbareva yang tengah mengangkat belatinya ke langit tanpa dikelilingi sihir apapun, serta Linne Helenawicz yang sedang memegangi kaki seniornya itu. Tak lama kemudian gadis Telhi itu menurunkan tangannya dan melepaskan belatinya. Mereka pun selamat.“Huh, syukurlah, aku berhasil,” ucap Linne sambil ngos-ngosan.Semua orang sontak terpaku, sebagiannya lagi menghela napas setelah peristiwa yang hampir meluluhlantakkan seluruh permukaan Planet Kamina itu nyaris terjadi.“Huff...”Putri Inori menghela napas dengan tangan di dada. Ia tak mampu berkata apapun melihat tindakan berani gadis tomboy itu.Suasana pun mendadak sunyi, akan tetapi kesunyian itu terhapus setelah dua orang mendobrak pintu bawah istana. Terlihat seorang pria berjas hitam dengan topi homburg yang ditemani seorang gadis penyihi
Angin berhembus semakin kencang. Suara adu senjata hingga ledakan sihir masih terdengar di seantero ibukota Sentralberg. Namun tidak ada hal lain yang bisa dilakukan oleh seorang Alisa Garbareva. Gadis Telhi itu hanya tersimpuh dengan tatapan kosong. Di depannya terbaring kaku tubuh sahabatnya, Floria Fresilca yang sudah tak memiliki cincin Angke di jemarinya.Sementara itu di depannya berdiri seorang pria dengan gagah jumawa lengkap dengan pakaian kebesarannya. Dirinya tersenyum lebar seakan dia telah memenangkan pertarungan itu.“Keren sekali,” ujarnya.Tak lama kemudian dari pintu di belakang Alisa keluarlah sejumlah orang dengan berbagai senjata lengkap, para gadis penyihir dengan Posacca mereka serta sejumlah pemuda bersenjatakan Politia. Muncul juga seorang wanita muda yang merupakan pemimpin dari gerakan itu.“Rocky Calais.”Di samping wanita muda itu terlihat pula seorang gadis penyihir bersenjatakan pistol perak yang langsung menyahut begitu melihat dua orang yang tak asing b
“Uhuk... uhuk...”Debu yang berterbangan dari reruntuhan itu membuat keduanya terbatuk-batuk. Kedua gadis itu terjatuh dari lantai atas akibat sebuah ledakan hingga terhempas ke lantai bawah. Namun untungnya mereka masih selamat.Perlahan debu pun menghilang dan mereka berdua bisa melihat apa yang sedang terjadi di sekitarnya.“Hah? Jadi ini...”Alisa dan Floria begitu tercengang melihat pertempuran besar yang sedang terjadi tepat di depan mata kepala mereka sendiri. Askar, Patrol, gadis penyihir, hingga masyarakat biasa, semuanya saling bersatu dalam pertarungan melawan para penjaga Sentralberg.Alisa menoleh ke berbagai arah. Terlihat beberapa orang saling bertarung dengan menggunakan senjata. Masyarakat biasa beserta Patrol dan Askar menggunakan Politia, sementara gadis penyihir dengan Posacca. Sementara itu di atas langit terlihat pula sihir perisai 'Skyoldir' yang mengurung mereka semua disana.Dirinya juga menoleh ke arah samping. Terlihat sejumlah orang yang tergeletak tak berda
Hawa dingin menembus kulit mereka berdua. Perlahan keduanya pun membuka mata.“Dimana ini?”Dua gadis itu mendapati diri mereka terbaring di atas lantai dalam sebuah ruangan yang dingin dan cukup gelap. Mereka menengok ke sekitar. Terlihat ada sejumlah peralatan aneh berwarna perak yang tersimpan di sebuah lemari berwarna putih.“Ini, laboratorium?”Alisa perlahan berusaha bangkit. Begitu pula dengan Floria yang juga terbaring di sampingnya. Mereka nampak masih kebingungan dengan apa yang terjadi, kenapa mereka bisa ada di tempat itu.“Ah, sial. Si Iskarius itu.”Flo sepertinya sudah menyadarinya.“Flo? Siapa?” Alisa bertanya-tanya apa maksud sang sahabat.“Iskarius, penasehat Gubernur Karelia itu. Dia ternyata mata-mata kerajaan pusat. Dan dia berhasil menculik kita ke tempat ini,” jelas Flo.“Oh begitu ya.”Alisa hanya bergeming mendengarnya.“Eh iya, ngomong-ngomong kita dimana?” tanya gadis Telhi itu lagi.Flo menggelengkan kepala.“Aku juga tidak tahu. Tapi sepertinya ini suatu t
Topi homburg yang dikenakannya ia berikan pada seorang gadis berambut pendek dengan pakaian serupa di sampingnya. Pria itu lalu memberikan hormat pada sang raja beserta empat kepala daerah. Dirinya nampak tersenyum pada semua orang, tapi cukup jelas ekspresinya itu hanyalah senyuman licik. Setidaknya itu yang dipikirkan oleh Gubernur Alistair.“Sekali lagi maafkan saya atas keterlambatan ini,” ucap Bob.“Sudah-sudah. Tak perlu bicarakan itu lagi. Sekarang kita kembali ke pembahasan awal,” ujar Rocky.Bob dengan berkas di tangan kirinya lalu berdiri di samping sang raja.“Jadi, pembahasan rapat ini sudah sampai mana, Yang Mulia?” tanya Bob kembali.“Ah, aku senang kau bertanya.”Sang raja lalu menunjuk ke arah keempat kepala daerah dengan ekspresi marah.“Mereka ini payah. Mereka berempat malah menyalahkan aku atas segala permasalahan di daerah otonom akibat ketidakbecusan mereka. Dan saat aku akan menendang mereka, dengan liciknya mereka malah mempermainkan aku. Hutan Schwitz, pertamb
Sinar bintang biru Formalha menyinari Sentralberg di pagi itu. Suara hiruk pikuk Carreta dan Motosicca yang berlalu lalang di jalanan beraspal hitam mewarnai suasana ibukota Kerajaan Archipelahia tersebut. Berbeda dengan kondisi di daerah otonom yang sedang carut marut, disini hampir semua orang beraktivitas seperti biasa.Begitu pula di Istana Perak tempat Raja Archipelahia bersinggasana. Tidak ada sesuatu yang terlalu urgent. Hanya terlihat sedikit penambahan pasukan penjaga di sejumlah titik. Bendera biru Archipelahia masih berkibar dengan gagahnya di puncak tiang tertinggi.Kondisi di dalam istana tak terlalu berbeda. Terlihat sejumlah penjaga tengah berlalu lalang, sedangkan sebagiannya lagi berdiri tegap setiap ada petinggi wilayah yang berjalan di depan mereka.Seorang pemuda berjas hitam dengan lencana surya kuning di sakunya berjalan melewati para penjaga itu. Terlihat pula seorang gadis muda berambut coklat dengan pakaian kasual lengan panjang serta rok yang tak terlalu lebar
Lokasi rahasia, Ibukota Chekovia, Daerah Otonom Vitania.Sebuah ruangan besar menyerupai aula berdiri megah di dalam ruang bawah tanah raksasa. Ruangan itu diperkirakan cukup untuk menampung hampir 10 ribu orang. Kini, sekitar lebih dari 8 ribu gadis penyihir anggota Brigade Penyihir Garis Depan Vitania berkumpul di tempat itu. Kebanyakan dari mereka adalah para petinggi brigade serta gadis penyihir tingkat tinggi yang memegang peranan penting dalam organisasi paramiliter dengan anggota nyaris 100 ribu orang itu.“Rapat akbar? Apakah ada hal yang sangat penting sampai kita semua dipanggil ke tempat ini?”“Entahlah, ini perintah langsung dari Pemimpin Utama.”“Kalau yang kumpul sebanyak ini, berarti akan ada suatu operasi besar. Apa mungkin ini adalah puncak dari perjuangan kita?”“Keren sekali. Tinggal selangkah lagi kita akan memperoleh kemerdekaan.”Para gadis penyihir saling berbincang memecah suasana malam itu. Tak berselang lama, sang pemimpin utama Brigade Penyihir, Sylvie Schwa