Malam yang panjang dan hening berlalu tanpa tanda-tanda pria tua itu kembali. Takeshi, yang telah berjaga sepanjang malam, merasakan kelelahan di tulang-tulangnya, tetapi juga rasa lega bahwa tidak ada insiden lebih lanjut yang terjadi.Saat fajar menyingsing dan cahaya pertama pagi menerobos kegelapan, rumah sakit mulai terisi dengan kehidupan dan kesibukan. Takeshi, yang masih berada di luar, memperhatikan para tabib dan pembantunya yang bergegas masuk untuk memulai pekerjaan mereka.Tak lama kemudian, seorang pembantu tabib keluar dari rumah sakit dengan wajah yang cerah. "Dia sudah sadar," katanya kepada Takeshi, yang langsung merasa jantungnya berdebar kencang. "Anak laki-laki itu, dia sudah sadar dan tampaknya dalam kondisi stabil."Takeshi mengikuti perawat itu kembali ke dalam, hatinya dipenuhi dengan harapan. Ketika dia memasuki ruangan anak itu, dia melihat mata yang waspada dan bingung anak itu menatap sekeliling, mencoba memahami situasi dan tempatnya."Kamu baik-baik saja
Malam telah berubah menjadi fajar, dan pertarungan yang menentukan antara Takeshi dan pria tua itu telah mencapai puncaknya. Dengan pedang Takeshi yang terarah pada leher pria tua itu, sebuah keheningan menegangkan menggantung di udara. Takeshi, dengan napas yang teratur, memandang lawannya, matanya mencari jawaban atas misteri yang telah menyelimuti klan Fujikawa."Kenapa kau melakukan ini?" tanya Takeshi, suaranya tenang namun penuh dengan emosi. "Apa yang kau inginkan dari anak ini?"Pria tua itu, dengan mata yang masih memancarkan tekad yang tak tergoyahkan, menjawab dengan suara yang serak, "Keadilan... Aku mencari keadilan untuk kesalahan masa lalu, untuk penghinaan yang telah diberikan kepada keluargaku."Takeshi mengernyit, mencoba memahami motif di balik tindakan pria tua itu. "Keadilan tidak ditemukan dalam balas dendam," ucapnya dengan tegas. "Kau telah menyebabkan lebih banyak rasa sakit. Apakah itu benar-benar yang kau inginkan?"Pria tua itu terdiam, seolah pertanyaan Ta
Takeshi dan pria tua itu berdiri berhadapan, aura dendam yang kuat memenuhi udara di antara mereka. Pria tua itu, dengan mata yang menyala penuh amarah, menghunus katana panjangnya, bilahnya berkilauan di bawah sinar bulan."Kau tidak bisa menghentikanku," ucap pria tua itu dengan suara yang penuh kebencian. "Dendam ini lebih besar dai yang kau bayangkan."Takeshi, dengan tekad yang tak tergoyahkan, juga mengeluarkan pedangnya. "Aku tidak akan membiarkanmu melanjutkan siklus kekerasan ini," jawabnya. "Aku akan melindungi anak itu, tidak peduli apa yang terjadi."Tanpa peringatan lebih lanjut, pria tua itu melancarkan serangan pertamanya, cepat dan ganas. Takeshi mengelak dengan lincah, pedangnya siap untuk membalas. Mereka berdua bergerak dengan kecepatan yang menakjubkan, serangan demi serangan, blok demi blok, dalam tarian yang mematikan.Dengan setiap benturan pedang, percikan api terbang ke udara, menerangi wajah mereka yang tegang. Pria tua itu bertarung dengan keganasan yang ber
Pria tua itu terdiam, merenungkan kata-kata Takeshi dengan ekspresi yang penuh pertimbangan. Terdengar suara gemuruh angin malam yang berdesir melalui pepohonan, menciptakan suasana yang tegang di antara mereka.Setelah beberapa saat yang terasa seperti keabadian, pria tua itu mengangkat kepala dengan tatapan yang penuh penderitaan. "Aku... aku tidak pernah berpikir sejauh itu," ucapnya dengan suara yang gemetar. "Aku selalu merasa bahwa membalaskan dendam adalah satu-satunya cara untuk menghormati kenangan mereka yang telah tiada."Takeshi mendengarkan dengan penuh empati, memahami betapa sulitnya bagi pria tua itu untuk melepaskan rasa dendam yang telah merajalela dalam dirinya selama bertahun-tahun."Namun," lanjut pria tua itu setelah beberapa saat, "Aku tidak bisa memungkiri bahwa kata-katamu memiliki kebenaran. Apakah memang ini yang keluargaku inginkan? Apakah aku telah menghina kenangan mereka dengan terus-menerus memperpanjang siklus kekerasan ini?"Takeshi mengangguk, member
Dengan hati yang penuh dengan rasa ingin tahu dan semangat petualangan yang membara, Takeshi memulai perjalanannya menuju kota Tsukimi no Mizucho. Dia mendengar tentang kota yang indah ini dari para pengelana yang telah melintasi jalur perdagangan, mereka menggambarkan kota tersebut sebagai tempat yang penuh dengan keajaiban alam dan keindahan yang menakjubkan.Setelah beberapa hari perjalanan yang panjang dan melelahkan, Takeshi akhirnya tiba di pinggiran kota Tsukimi no Mizucho. Ketika dia melihat pemandangan yang menakjubkan di depan matanya, dia tidak bisa menahan terpesona.Di tengah kota yang ramai dan hidup, terletak sebuah danau yang indah dan tenang. Airnya berkilauan di bawah sinar matahari yang terbenam, menciptakan pantulan cahaya yang mempesona. Takeshi merasa seperti tersapu oleh keindahan alam yang memukau, dan dia tahu bahwa dia telah memilih tujuan yang tepat untuk melanjutkan petualangannya.Ketika malam tiba, kota Tsukimi no Mizucho berubah menjadi dunia yang berbed
Ketika keluar kamar, Takeshi merasa terkejut dan gembira saat melihat Masashi Saito lagi di penginapan yang sama. Mereka saling memberi senyuman hangat saat bertemu di lorong penginapan."Masashi, kebetulan sekali kita bertemu lagi di sini?" tanya Takeshi dengan kagum.Masashi tersenyum ramah. "Mungkin ini adalah takdir, Takeshi. Ternyata kita memiliki selera yang sama dalam memilih penginapan."Takeshi mengangguk setuju. "Ya, sepertinya begitu. Bagaimana perjalananmu setelah kita berpisah pagi tadi?"Masashi mengangkat bahu sambil tersenyum. "Perjalananku lancar, Takeshi. Tsukimi no Mizucho benar-benar kota yang menakjubkan."Takeshi setuju. "Benar sekali. Ada begitu banyak keindahan alam dan kekayaan budaya di sini, dengan danau besar di tengah kota yang indah saat bulan purnama."Masashi mengangguk. "Ya, aku berencana untuk mengunjunginya lagi malam ini untuk melihat keajaibannya."Takeshi tersenyum. "Aku juga berpikir untuk melakukan hal yang sama. Mungkin kita bisa pergi bersama.
Keesokan harinya, Takeshi dan Masashi bangun dengan semangat yang baru. Mereka berdua merasa terhubung tidak hanya dengan satu sama lain tetapi juga dengan Tsukimi no Mizucho, kota yang telah memberi mereka kenangan tak terlupakan.Setelah sarapan yang mengenyangkan di penginapan, mereka memutuskan untuk mengunjungi kuil terkenal di kota itu, tempat yang dikatakan menyimpan energi spiritual yang kuat. Kuil itu terletak di atas bukit, menghadap ke danau, tempat sempurna untuk merenung dan bermeditasi.Saat mendaki bukit menuju kuil, mereka bertemu dengan seorang biksu tua yang sedang berjalan turun. Biksu itu memiliki aura yang tenang dan bijaksana, dan matanya bersinar dengan kedamaian batin. Dia menghentikan langkahnya saat melihat Takeshi dan Masashi, memberikan senyum yang lembut."Ah, Takeshi dan Masashi," ucap biksu itu, seolah-olah dia sudah mengenal mereka. "Saya telah menunggu kedatangan kalian berdua."Takeshi dan Masashi saling pandang dengan kebingungan. "Maaf, tapi kami ti
Takeshi dan Kenji bergerak dengan kecepatan yang mengagumkan, pedang mereka beradu dengan suara yang nyaring. Setiap serangan diikuti dengan pertahanan yang sempurna, dan setiap pertahanan diikuti dengan serangan balik yang cerdik. Mereka adalah dua pendekar yang sangat berbakat, dan bagi mereka yang menyaksikan, duel ini adalah tarian yang memukau sekaligus menegangkan.Duel berlangsung lama, dengan tidak satu pun dari mereka yang mendapatkan keunggulan yang jelas. Namun, saat matahari semakin tinggi di langit, Takeshi mulai melihat pola dalam gerakan Kenji. Dia menggunakan pengetahuan ini untuk membuat serangan yang mengejutkan, yang hampir menjangkau Kenji.Namun, Kenji cepat bereaksi, menghindar dengan gerakan yang hampir tidak terlihat. Dia membalas dengan serangan sendiri, yang Takeshi hampir tidak bisa menghindari.Akhirnya, setelah serangkaian pertukaran yang intens, Takeshi berhasil menemukan celah dalam pertahanan Kenji. Dengan gerakan yang cepat dan tepat, dia menempatkan u