Masaru tetap duduk di samping adiknya, merenung dalam kesedihan dan kehilangan yang mendalam. Dia tahu bahwa pertempuran ini akan menjadi legenda, sebuah cerita yang akan diceritakan berulang-ulang sebagai peringatan tentang harga kekuasaan dan pentingnya pilihan.Setelah beberapa saat, Masaru berdiri, mengangkat katana Madara yang telah jatuh ke tanah. Dia menatap bilah pedang itu, sekarang menjadi simbol dari keberanian dan pengorbanan adiknya. Dengan hormat, dia menancapkan katana itu ke tanah di samping Madara, sebagai tanda penghormatan dan janji bahwa klan Nishimoto akan berubah.Masaru kemudian berbalik menghadap para pejuang yang masih berdiri, mata mereka penuh dengan rasa hormat dan kesedihan. "Hari ini, kita telah kehilangan seorang pemimpin, seorang pendekar, dan seorang saudara," ucap Masaru dengan suara yang bergetar. "Tapi kita juga telah mendapatkan pelajaran yang berharga. Kita harus memilih jalan kita dengan bijak, karena setiap pilihan membawa konsekuensi."Dia mela
Di tengah suasana yang masih duka atas kehilangan para prajurit, Masaru mendekati Takeshi dengan rasa terima kasih yang mendalam. "Takeshi, tanpa bantuanmu, pertempuran melawan klan Nishimoto mungkin akan berakhir dengan sangat berbeda. Aku berhutang banyak padamu," ucap Masaru, menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat.Takeshi, dengan wajah yang masih menunjukkan bekas luka pertempuran, hanya mengangguk sambil tersenyum. "Tuan Masaru, kita semua berjuang untuk masa depan yang sama. Kemenangan ini adalah bukti bahwa bersama, kita lebih kuat."Masaru sedikit tersenyum, "Tapi aku tidak menyangka kalau ada pendekar pedang muda selain Tatsuya yang memiliki kemampuan hebat seperti itu." Ucapnya.Takeshi teringat masa masa dia di Dojo bersama guru gurunya, "Ya, aku diberkati oleh guru yang hebat." Balasnya.Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Haruto, seorang panglima dari klan Nishimoto yang baru saja bergabung dengan klan Yamaguchi, mendekati mereka dengan langkah yang berat. Waja
Kota Yumeji, yang terletak tidak jauh dari posisi Takeshi saat ini, menyambutnya dengan suasana yang berbeda dari ketenangan sungai tempat ia bermalam. Sesampainya di kota, Takeshi langsung merasakan aura kesedihan dan ketegangan yang menyelimuti udara.Dia mulai berkeliling, mendekati orang-orang di pasar, di jalan-jalan, dan di depan kedai-kedai, menanyakan tentang anak laki-laki yang selamat dari tragedi yang menimpa klan Fujikawa. “Maaf, saya mencari informasi tentang anak yang selamat dari insiden pembunuhan klan Fujikawa. Bisakah Anda memberitahu saya di mana saya bisa menemukannya?” tanya Takeshi dengan sopan kepada seorang pedagang buah.Pedagang itu menghentikan aktivitasnya sejenak, matanya menunjukkan rasa simpati. “Oh, anak malang itu. Dia dirawat di Yakubyou kota, di sayap utara. Tapi, dia belum sadar sejak dibawa ke sana,” jawab pedagang itu dengan nada rendah. Yakubyou adalah semacam rumah sakit pada zaman dulu di jepang.Takeshi mengucapkan terima kasih dan melanjutkan
Malam yang panjang dan hening berlalu tanpa tanda-tanda pria tua itu kembali. Takeshi, yang telah berjaga sepanjang malam, merasakan kelelahan di tulang-tulangnya, tetapi juga rasa lega bahwa tidak ada insiden lebih lanjut yang terjadi.Saat fajar menyingsing dan cahaya pertama pagi menerobos kegelapan, rumah sakit mulai terisi dengan kehidupan dan kesibukan. Takeshi, yang masih berada di luar, memperhatikan para tabib dan pembantunya yang bergegas masuk untuk memulai pekerjaan mereka.Tak lama kemudian, seorang pembantu tabib keluar dari rumah sakit dengan wajah yang cerah. "Dia sudah sadar," katanya kepada Takeshi, yang langsung merasa jantungnya berdebar kencang. "Anak laki-laki itu, dia sudah sadar dan tampaknya dalam kondisi stabil."Takeshi mengikuti perawat itu kembali ke dalam, hatinya dipenuhi dengan harapan. Ketika dia memasuki ruangan anak itu, dia melihat mata yang waspada dan bingung anak itu menatap sekeliling, mencoba memahami situasi dan tempatnya."Kamu baik-baik saja
Malam telah berubah menjadi fajar, dan pertarungan yang menentukan antara Takeshi dan pria tua itu telah mencapai puncaknya. Dengan pedang Takeshi yang terarah pada leher pria tua itu, sebuah keheningan menegangkan menggantung di udara. Takeshi, dengan napas yang teratur, memandang lawannya, matanya mencari jawaban atas misteri yang telah menyelimuti klan Fujikawa."Kenapa kau melakukan ini?" tanya Takeshi, suaranya tenang namun penuh dengan emosi. "Apa yang kau inginkan dari anak ini?"Pria tua itu, dengan mata yang masih memancarkan tekad yang tak tergoyahkan, menjawab dengan suara yang serak, "Keadilan... Aku mencari keadilan untuk kesalahan masa lalu, untuk penghinaan yang telah diberikan kepada keluargaku."Takeshi mengernyit, mencoba memahami motif di balik tindakan pria tua itu. "Keadilan tidak ditemukan dalam balas dendam," ucapnya dengan tegas. "Kau telah menyebabkan lebih banyak rasa sakit. Apakah itu benar-benar yang kau inginkan?"Pria tua itu terdiam, seolah pertanyaan Ta
Takeshi dan pria tua itu berdiri berhadapan, aura dendam yang kuat memenuhi udara di antara mereka. Pria tua itu, dengan mata yang menyala penuh amarah, menghunus katana panjangnya, bilahnya berkilauan di bawah sinar bulan."Kau tidak bisa menghentikanku," ucap pria tua itu dengan suara yang penuh kebencian. "Dendam ini lebih besar dai yang kau bayangkan."Takeshi, dengan tekad yang tak tergoyahkan, juga mengeluarkan pedangnya. "Aku tidak akan membiarkanmu melanjutkan siklus kekerasan ini," jawabnya. "Aku akan melindungi anak itu, tidak peduli apa yang terjadi."Tanpa peringatan lebih lanjut, pria tua itu melancarkan serangan pertamanya, cepat dan ganas. Takeshi mengelak dengan lincah, pedangnya siap untuk membalas. Mereka berdua bergerak dengan kecepatan yang menakjubkan, serangan demi serangan, blok demi blok, dalam tarian yang mematikan.Dengan setiap benturan pedang, percikan api terbang ke udara, menerangi wajah mereka yang tegang. Pria tua itu bertarung dengan keganasan yang ber
Pria tua itu terdiam, merenungkan kata-kata Takeshi dengan ekspresi yang penuh pertimbangan. Terdengar suara gemuruh angin malam yang berdesir melalui pepohonan, menciptakan suasana yang tegang di antara mereka.Setelah beberapa saat yang terasa seperti keabadian, pria tua itu mengangkat kepala dengan tatapan yang penuh penderitaan. "Aku... aku tidak pernah berpikir sejauh itu," ucapnya dengan suara yang gemetar. "Aku selalu merasa bahwa membalaskan dendam adalah satu-satunya cara untuk menghormati kenangan mereka yang telah tiada."Takeshi mendengarkan dengan penuh empati, memahami betapa sulitnya bagi pria tua itu untuk melepaskan rasa dendam yang telah merajalela dalam dirinya selama bertahun-tahun."Namun," lanjut pria tua itu setelah beberapa saat, "Aku tidak bisa memungkiri bahwa kata-katamu memiliki kebenaran. Apakah memang ini yang keluargaku inginkan? Apakah aku telah menghina kenangan mereka dengan terus-menerus memperpanjang siklus kekerasan ini?"Takeshi mengangguk, member
Dengan hati yang penuh dengan rasa ingin tahu dan semangat petualangan yang membara, Takeshi memulai perjalanannya menuju kota Tsukimi no Mizucho. Dia mendengar tentang kota yang indah ini dari para pengelana yang telah melintasi jalur perdagangan, mereka menggambarkan kota tersebut sebagai tempat yang penuh dengan keajaiban alam dan keindahan yang menakjubkan.Setelah beberapa hari perjalanan yang panjang dan melelahkan, Takeshi akhirnya tiba di pinggiran kota Tsukimi no Mizucho. Ketika dia melihat pemandangan yang menakjubkan di depan matanya, dia tidak bisa menahan terpesona.Di tengah kota yang ramai dan hidup, terletak sebuah danau yang indah dan tenang. Airnya berkilauan di bawah sinar matahari yang terbenam, menciptakan pantulan cahaya yang mempesona. Takeshi merasa seperti tersapu oleh keindahan alam yang memukau, dan dia tahu bahwa dia telah memilih tujuan yang tepat untuk melanjutkan petualangannya.Ketika malam tiba, kota Tsukimi no Mizucho berubah menjadi dunia yang berbed