"Tentunya, kami akan mengenakan komisi sebesar 10% dari harga lelang," lanjut si pengurus.Setelah Wira berpikir sejenak, dia pun mengangguk setuju seraya berkata, "Baiklah, itu nggak masalah. Tapi, kalau aku melelang lebih banyak, apa kalian bisa memberiku sedikit diskon?"Saat mendengar pertanyaan ini, raut wajah si pengurus sontak berseri-seri. Dengan ekspresi yang bersemangat, dia segera bertanya dengan tidak sabar, "Kalau boleh tahu, berapa banyak lagi yang ingin Tuan lelangkan?""Mungkin sekitar enam gelas," jawab Wira seraya tersenyum.Begitu mendengar hal tersebut, ekspresi pengurus tampak sangat gembira. Dia buru-buru mengangguk, lalu lagi-lagi bertanya dengan antusias, "Kalau begitu, apa gelas kristal lain yang Tuan punya juga memiliki warna dan kualitas yang sama?""Tentu saja, semuanya sama," jawab Wira dengan jujur.Pengurus itu segera berkata, "Hehe. Kalau begitu, aku hanya akan menagih komisi untuk 5 gelas kristal. Bagaimana menurutmu?"Wira terkekeh-kekeh seraya menjawa
Pengurus berkata dengan sopan, "Tuan, maaf. Kami nggak bisa berbisnis denganmu."Wulan, Dewina, dan Dian saling bertatapan setelah mendengar ucapan pengurus. Ekspresi mereka tampak kaget. Ternyata sesuai dugaan Wira!Wira tersenyum, lalu bertanya balik seraya memandang pengurus, "Apa ada orang yang menyuruh kalian untuk menolak berbisnis denganku?"Pengurus tertegun. Setelah itu, dia menggeleng dengan ekspresi tidak berdaya dan tersenyum getir. Pengurus menjelaskan, "Tuan, terima kasih karena kamu bisa memahami kami. Aku hanya pengurus pelelangan sehingga nggak bisa membuat keputusan, ada orang penting yang menekan kami."Pengurus melanjutkan, "Jadi, kami hanya bisa mengikuti perintah mereka dan nggak bisa menjalankan kesepakatan yang kita bicarakan sebelumnya. Aku minta maaf. Kalau kamu masih punya barang bagus, kami pasti akan menyambut kedatanganmu kapan saja di pelelangan kami lain kali. Tapi, untuk beberapa waktu ini takutnya ...."Sikap pengurus ini sudah cukup sungkan. Wira tahu
Dewina yang kesal pun ikut berkomentar, "Kalau terus berulang seperti ini, berarti bukan kebetulan lagi. Semua ini pasti berhubungan dengan Keluarga Juwanto."Rumi yang berdiri di samping juga berkata kepada Wira, "Tuan Wahyudi, kalau kamu membutuhkan uang, aku bisa meminta Tuan kami untuk membeli semua gelas kristal ini. Jadi, kamu nggak perlu bersusah payah mencari mereka untuk menjual gelas kristal."Wira yang merasa tidak berdaya tersenyum setelah mendengar ucapan Rumi, lalu melambaikan tangannya sembari menimpali, "Aku berbuat seperti ini bukan demi uang, tapi untuk membantu bisnisku kelak." Lagi pula, tuannya Rumi sudah memborong gelas kristal yang begitu banyak.Tak lama kemudian, pengurus kembali. Ekspresinya tampak canggung saat berbicara, "Maaf, Tuan. Kami nggak bisa berbisnis denganmu, sebaiknya kamu cari rumah lelang lain."Pengurus tersenyum getir, dia merasa tidak rela karena hampir menghasilkan banyak uang. Wira bisa memahami kesulitan pengurus. Dia juga tidak bicara pan
Wira tersenyum setelah mendengar ucapan Danu. Bisa-bisanya ada orang yang mencarinya malam-malam begini. Namun, Wira bisa menebak siapa yang datang, jadi dia tidak akan mengabaikan orang itu. Wira berujar, "Suruh dia masuk."Pada saat yang sama, di kediaman Keluarga Juwanto, Kumar duduk di ruang kerja. Di depannya ada 2 orang pria yang masih muda dan wajah mereka sangat mirip dengan Kumar.Salah satu dari pria itu angkat bicara, "Ayah, orang yang diutus untuk membunuh Wira gagal. Sesuai dugaanmu, Wira memang dibantu oleh Keluarga Barus."Kumar tersenyum mendengar ucapan pria itu dan menimpali, "Tentu saja. Keluarga Barus berencana untuk menyelesaikan masalah pada sumbernya. Hanya saja, sepertinya mereka nggak akan berhasil."Kumar tampak tidak peduli. Baginya, hal ini tidak mungkin terjadi. Kerajaan Monoma sudah bekerja sama dengan Kumar, mana mungkin mereka memutuskan hubungan dengannya? Benar-benar konyol!"Ayah, jadi bagaimana caranya kita bertindak di istana? Sekarang Raja Bakir ad
Kumar melanjutkan, "Bahkan, Raja Bakir juga takut dengan Keluarga Wutari. Begitu pula dengan penasihat kiri dan kanan. Raja Bakir itu pemimpin yang egois dan pemikirannya agak picik."Penilaian Kumar sangat objektif, sama persis seperti Wira. Hanya saja, Raja Bakir memang boleh mencurigai semua orang, tetapi seharusnya dia tetap memilih calon pewarisnya. Bagaimanapun, itu adalah posisi putra mahkota yang merupakan fondasi negara. Entah apa alasan Raja Bakir terus menunda hal ini sampai sekarang.Kedua putra Kumar tampak kebingungan. Jawaban Kumar tetap saja membuat mereka tidak mengerti. Kemudian, Kumar lanjut bertanya, "Apa posisi putra mahkota penting?"Kedua putra Kumar menjawab secara bersamaan, "Tentu saja penting.""Kalau begitu, menurut kalian, apa semua pangeran yang kompeten akan merebut posisi putra mahkota ini?" kata Kumar.Mendengar ucapan Kumar, kedua putranya sama-sama mengangguk. Kumar menjelaskan, "Benar, putra mahkota itu calon raja yang punya status mulia. Dia akan me
Kedua putra Kumar tercengang begitu mendengar penjelasan ayah mereka. Salah satu putra Kumar berseru, "Apa? Menunggu kita saling bertarung?" Mereka tidak memercayai ucapan Kumar.Kumar menimpali, "Tentu saja. Kalau nggak, menurut kalian, kenapa Raja Bakir masih belum memilih calon pewarisnya sampai sekarang? Apa kalian pikir dia memang belum memutuskannya?""Bukan .... Posisi putra mahkota sangat penting, sedangkan Raja Bakir berniat menguasai Kerajaan Nuala sepenuhnya. Keempat keluarga besar memang tampak patuh, tapi Raja Bakir sudah tahu bahwa kita diam-diam berniat jahat. Jadi, Raja Bakir ingin memancing kita untuk bertindak," lanjut Kumar.Setelah Kumar menyelesaikan perkataannya, kedua putranya makin terbengong-bengong. Salah satu putra Kumar bertanya, "Ini ... kenapa? Kita selalu bersikap patuh, kenapa Raja ingin menyingkirkan kita?" Mereka tidak paham.Kumar menjelaskan, "Hahaha, apa kalian pikir Raja Bakir bodoh? Salah, sebaliknya dia pintar sekali, tapi terlalu perhitungan. Du
Luthfi tersenyum, sedangkan Wira tidak terkejut mendengar ucapan Luthfi. Wira sudah menebak seharusnya anggota Keluarga Juwanto yang datang. Wira tersenyum dan mempersilakan, "Ternyata ajudan Keluarga Juwanto. Tuan, silakan duduk."Luthfi duduk di seberang Wira dan menatap Wira lekat-lekat. Banyak orang yang tahu tentang pencapaian Wira, tetapi hanya sedikit orang yang benar-benar memahami Wira. Bahkan, Luthfi tidak tahu apakah Wira bisa berhasil menyelesaikan masalah pada sumbernya dan menggagalkan rencana Keluarga Juwanto. Namun, Luthfi tetap harus datang.Saat melakukan sesuatu, kita tidak boleh berserah kepada takdir ataupun membuat rencana berdasarkan pencapaian musuh. Kita harus mampu mengendalikan segalanya.Wira langsung bertanya, "Ada apa Tuan Luthfi datang malam-malam begini?"Luthfi menyahut, "Tuan Wahyudi, hari ini aku datang untuk merekrutmu bergabung dengan Keluarga Juwanto.""Oh?" ucap Wira. Meskipun sudah tahu, dia tetap menunjukkan keterkejutannya.Luthfi tersenyum dan
Usai mendengar ucapan Luthfi, Wira tersenyum dan berkata, "Bisa kamu jelaskan lebih lanjut?"Luthfi langsung melanjutkan, "Walaupun Ratu telah melahirkan seorang pangeran yang berstatus mulia, dia masih bayi. Masih butuh waktu lama sebelum dia bisa menjadi putra mahkota di masa depan! Lagi pula, hal ini belum bisa dipastikan. Siapa tahu, bayi ini akan mati mudal.""Daripada menunggu beberapa tahun atau bahkan belasan tahun, lebih baik kamu bekerja sama dengan Keluarga Juwanto untuk mencapai tujuanmu.""Selama kamu mau bekerja sama, Keluarga Juwanto akan memenuhi semua permintaanmu di masa depan. Kamu juga sudah bertemu dengan Pangeran Yahya, bukan? Dia anak yang berbakat dan sepertinya kalian juga berjodoh. Kalau dia menjadi putra mahkota, kamu mungkin bisa menjadi guru imperial.""Bukankah hal yang baik kalau kamu bisa menikmati kekayaan dan kemuliaan yang berkelanjutan?" tambah Luthfi.Harus diakui, perkataan Luthfi memang masuk akal. Jika dibandingkan dengan Keluarga Barus, Keluarga
Shafa juga buru-buru menyatakan sikapnya. Dia memang cerdas. Di zaman sekarang, jika ingin memiliki pijakan yang kokoh, seseorang tentu harus memiliki nilai pada diri sendiri. Mereka tidak mungkin terus mengandalkan Wira seumur hidup.Pada akhirnya, orang yang paling bisa diandalkan hanya diri sendiri. Jika terus mengandalkan Wira, mungkin suatu saat Wira akan merasa illfeel pada mereka. Hasilnya pun akan menjadi sangat buruk.Wira tidak melontarkan sepatah kata pun sejak tadi. Jika ingin membujuk Doddy, semua tergantung kemampuan Shafa.Doddy menggosok telapak tangannya sambil tertawa dengan canggung. Kemudian, dia menggeleng dan berkata, "Kamu mungkin nggak tahu aku nggak tertarik pada wanita. Orang-orang yang mengurusku juga para prajuritku. Aku nggak suka wanita masuk ke kamarku. Aku nggak suka aroma di tubuh mereka."Shafa tak kuasa termangu. Dia tahu Wira punya beberapa istri. Wajar juga jika pria punya banyak istri. Sementara itu, Doddy yang terkenal dan memegang kekuasaan milit
Di dalam kereta kuda. Melihat ekspresi Kaffa dan Shafa yang sangat waspada, Wira tersenyum dan bertanya, "Kenapa kalian berdua nggak berbicara?"Setelah ragu sejenak, Kaffa berkata dengan pelan, "Kak Wira, aku baru tahu identitasmu, aku tentu saja nggak berani berbicara sembarangan di depanmu. Kalau aku salah bicara, kemungkinan besar akan ...."Sebelum Kaffa selesai berbicara, Shafa segera mendorong lengannya. Mendapat isyarat itu, dia pun segera menghentikan kata-katanya.Wira menggelengkan kepala dan berkata sambil tersenyum, "Shafa, aku tahu kepribadian kakakmu, jadi aku nggak akan menyalahkan kalian. Meskipun dia salah bicara, apa masalahnya? Bukankah aku tetap menganggap kalian sebagai teman? Kalau nggak, aku nggak akan membiarkan kalian duduk di kereta kudaku."Danu berkata dengan nada ramah, "Benar. Kakakku sudah menganggap kalian berdua sebagai teman, jadi kalian perlu begitu formal di depan kakakku. Kalau nggak, berarti kalian meremehkan kakakku dan kakakku akan marah."Setel
Orang lain mungkin tidak akan berani mendambakan hal ini seumur hidupnya."Oh ya. Sejak kapan kamu tahu identitas Kak Wira?" tanya Kaffa lagi karena dia sama sekali tidak mendapatkan petunjuk apa pun. Bahkan saat menerima liontin giok dan melihat ekspresi Danu, dia juga tidak berani membayangkan Kak Wira di depannya adalah Wira yang terkenal itu. Ini benar-benar seperti dongeng yang tidak mungkin terjadi, tetapi kenyataannya memang begitu.Shafa perlahan-lahan berkata, "Sebenarnya aku juga baru mengetahui semuanya beberapa waktu yang lalu. Dia meminta kita memanggilnya Kak Wira, ditambah lagi senjata rahasianya itu, dan sikapnya dalam bertindak, semua itu sudah cukup bagiku untuk menebak identitasnya.""Lagi pula, senjata rahasia yang bernama pistol itu hanya Kak Wira yang punya di seluruh dunia ini, orang lain nggak punya senjata rahasia seperti itu. Kalau dia bisa membawa pistol itu, mana mungkin dia orang lain lagi."Shafa termasuk orang yang berpengetahuan luas, dia tentu saja bisa
Setelah semuanya sudah diatur dengan baik dan hampir sampai di depan pintu penjara bawah tanah, Wira memberikan instruksi pada Danu, "Oh ya. Jangan memberi tahu terlalu banyak orang tentang kepulanganku kali ini, terutama Tuan Osmaro."Jika ingin kembali secara terang-terangan, Wira tentu saja tidak akan menggunakan cara seperti ini. Dia juga akan membiarkan anggota jaringan mata-mata melindunginya di sepanjang perjalanan, sehingga tidak akan terjadi begitu banyak kejadian seperti ini. Namun, dia memiliki pertimbangannya sendiri dan memilih lebih baik tidak mengungkapkan kepulangannya agar tidak memicu masalah."Semuanya sesuai dengan pengaturan Kakak," jawab Danu sambil menganggukkan kepala dengan tegas. Selama ini, dia selalu memegang prinsip yaitu selalu patuh pada Wira tanpa syarat. Meskipun Wira memerintahnya untuk mati, dia juga tidak akan ragu sedikit pun. Beginilah ikatan persaudaraan mereka."Aku nggak menyangka orang yang membantu kita adalah Wira yang terkenal itu. Pantas sa
Setelah melihat Wira yang duduk di dalam sel, Danu merasa hatinya sakit dan berteriak, "Cepat buka pintu sel ini! Kalian benar-benar berani sekali. Bahkan kakakku juga kalian berani tangkap?"Bukan hanya Adianto yang langsung tercengang begitu mendengar perkataan itu, semua orang yang berada di sana juga begitu. Danu adalah jenderal yang terkenal dan berkuasa. Di seluruh Provinsi Lowala, tidak ada yang bisa menandinginya dan bahkan tidak ada yang berani mengganggunya. Orang yang dipanggilnya kakak tentu saja adalah Wira.Adianto tidak berani percaya dengan apa yang didengarnya, tetapi kenyataannya sudah ada di depan matanya. Setelah menelan ludah, dia segera membuka pintu sel dan inisiatif masuk ke dalamnya. Dia hanya menundukkan kepala karena tidak berani menatap Wira dan berkata, "Tuan, sebelumnya aku nggak tahu apa-apa dan sudah menyinggungmu.""Aku mohon Tuan bisa memaafkanku, jangan menghukumku. Aku nggak akan mengulanginya lagi kelak."Pada saat ini, Adianto benar-benar ketakutan
"Menurutku, ini ide yang bagus. Kalau begitu, kita lakukan sesuai keinginanmu. Aku akan pergi memberi tahu rekan-rekanku di luar biar mereka membantuku memberi pelajaran pada anak ini. Sejujurnya, aku juga kesal dengan anak ini," kata Adianto sambil tersenyum sinis, lalu bersiap pergi bersama Ruben.Adianto memang tidak bisa langsung memutuskan semua hal yang ada di penjara bawah tanah, dia tetap harus melaporkannya pada atasannya. Namun, jabatannya lebih tinggi daripada orang-orang yang ada di sana. Jika kerabatnya ingin masuk ke kota, semua juga pasti akan melewatinya. Oleh karena itu, dia tentu saja memiliki pengaruh tertentu.Namun, saat baru saja berbalik, Adianto dan Ruben melihat ada sekelompok orang mendekat. Terutama saat melihat orang yang berdiri di paling depan, Adianto langsung tertegun dan tidak tahu harus berbuat apa."Saudaraku, ada apa?" tanya Ruben dengan ekspresi bingung."Aku nggak salah lihat, 'kan? Kenapa Jenderal Danu tiba-tiba datang ke penjara bawah tanah? Buka
"Aku mengerti. Melihat situasinya nggak beres, jadi kakakmu langsung pergi, 'kan? Orang bilang suami istri yang selalu bersama pun akan berpisah saat menghadapi bahaya, ternyata kakak adik pun seperti ini," sindir Sahim.Shafa malah tidak berbicara dan menjelaskan apa pun juga. Dia sebenarnya sudah menyadarinya saat tadi Wira berbicara dengan Kaffa. Wira bisa duduk di sini dengan begitu tenang pasti karena sudah memberikan tugas pada Kaffa. Kalau begitu, mengapa dia harus khawatir?Selain itu, Shafa tahu betul kebaikan kakaknya terhadapnya melebihi siapa pun. Oleh karena itu, dia merasa tidak perlu menjelaskan apa pun pada orang lain."Tutup mulutmu," kata Wira dengan kesal.Sahim langsung tidak berani berbicara lagi.Tepat pada saat itu, Ruben dan Adianto datang dan langsung berdiri di depan pintu sel."Sekarang kamu sudah tahu kekuatanku, 'kan? Tadi aku sebenarnya nggak ingin menyusahkan kalian dan menyuruh kalian cepat pergi, tapi kalian nggak mau dengar. Kalian malah mengusir para
Kaffa menyadari liontin giok ini memang berguna. Setelah mendengar perkataan Danu, dia tidak ragu-ragu dan langsung berkata, "Tuan Wira yang memberiku liontin giok ini sudah ditangkap kepala penjaga gerbang kota ke penjara bawah tanah. Jenderal Danu, cepat selamatkan dia."Kepala penjaga gerbang kota memang memiliki kekuasaan, tetapi kekuasaan itu masih kalah jauh jika dibandingkan dengan Danu. Kaffa merasa lebih yakin lagi, kali ini Wira dan adiknya pasti akan selamat.Swish.Mendengar perkataan Kaffa, ekspresi Danu langsung menjadi sangat muram dan napasnya pun menjadi terengah-engah. "Mereka berani menangkap kakakku? Benar-benar nggak tahu diri!"Setelah memaki sebentar, Danu langsung melambaikan tangan pada kedua penjaga di belakangnya. "Segera kumpulkan orang dan ikut aku ke penjara bawah tanah!"Tak lama kemudian, semua orang sudah siap dan berangkat menuju penjara bawah tanah.Kaffa juga segera mengikuti mereka. Dia ingin menyelamatkan adiknya dengan tangannya sendiri dan berter
Selama tetap mengikuti Wira, Kaffa yakin kehidupannya dan adiknya akan terjamin."Kenapa masih belum pergi? Kamu kira kami sedang bercanda denganmu?" kata penjaga yang tadi berbicara itu dengan kesal. Jika bukan karena Danu sudah memerintahkan untuk harus bersikap rendah hati dan sopan pada orang-orang, mereka sudah memukul Kaffa dengan tongkat. Jelas Kaffa ini hanya seorang pengemis pun berani datang menemui Danu, sungguh tidak tahu diri.Kaffa kembali berkata, "Kalau kalian nggak mengizinkan aku bertemu dengan Jenderal Danu, nggak masalah. Tapi, tolong serahkan benda ini pada Jenderal Danu. Kalau Jenderal Danu ingin bertemu denganku setelah melihat benda ini, kalian baru bawa aku masuk. Bagaimana? Tapi, kalau Jenderal Danu nggak ingin bertemu denganku, aku nggak akan tinggal di sini lagi. Bagaimana menurut kalian?"Meskipun para penjaga itu tidak mengizinkannya masuk, Kaffa merasa dia tetap harus menunjukkan benda ini pada Danu. Dia juga tidak tahu apakah benda ini berguna atau tidak