Bagaimanapun juga, kepala desa juga tidak tahu harus bagaimana memulai percakapan saat bertemu dengan putrinya nanti. Saat itu, putrinya terpaksa pergi jauh karena dirinya, sehingga hubungannya dengan putrinya ini selalu tegang. Sekarang kesempatan akhirnya datang ke depan matanya, tetapi dia malah takut untuk mengambilnya.Di perjalanan, Wira menoleh dan melirik kepala desa yang terlihat sangat gugup. Dia tersenyum dan berkata, "Sekarang kamu pergi bertemu dengan putrimu, bukan melakukan sesuatu yang melanggar hukum. Kenapa begitu tegang? Santai saja. Semua anak dan orang tua di dunia ini sama, anak mana yang nggak memikirkan orang tuanya? Lagi pula, apa pun yang terjadi, aku ada di sini bersamamu."Kepala desa menganggukkan kepala dan menatap Wira dengan terharu, tetapi dia tetap merasa tidak tenang."Tuan muda, tempatnya di sini ...." Setelah tiba di ujung gang, Lucy berbicara sambil menunjuk ke sebuah halaman yang rusak.Wira menganggukkan kepala dan langsung melihat ke dalam halam
Wira akhirnya mengerti, ternyata ada banyak cerita di balik hubungan ayah dan putri ini. Pantas saja sebelumnya dia merasa ada yang aneh. Meskipun putrinya sudah menikah ke tempat lain, putrinya harusnya tetap berkomunikasi dengan keluarganya. Bagaimana mungkin putrinya bisa membiarkan keluarganya tidak menemukan jejaknya?Namun, belakangan ini Wira sedang sibuk dengan banyak hal. Ditambah lagi, kepala desa juga terlihat sangat polos dan banyak membantu mereka, dia tidak terlalu memikirkannya.Setelah mendengar penjelasan kepala desa, Wira segera berkata, "Kamu nggak perlu merasa terbebani. Dilihat dari tempat tinggal putrimu saat ini, jelas terlihat dia sudah salah memilih pasangan dan pria yang dinikahinya dulu juga nggak memenuhi tanggung jawabnya sebagai suami.""Kalau nggak, mana mungkin mereka nggak bisa menemukan tempat tinggal yang layak di Provinsi Yonggu ini. Mereka malah terpaksa tinggal di rumah yang begitu hancur."Memang banyak orang miskin di Provinsi Yonggu, bahkan di D
Wira bertanya-tanya apa yang terjadi sebenarnya."Tuan muda, kamu nggak perlu menebak lagi, kamu pasti nggak akan bisa menebak identitas wanita itu. Wanita itu adalah ibu dari suaminya. Tapi, suaminya sudah mati bertahun-tahun yang lalu, jadi sekarang hanya tinggal dia sendirian. Selain itu, ibu mertuanya sudah lama sakit dan terbaring di tempat tidur, makanya kehidupan mereka jadi seperti ini," jelas Lucy.Wira menganggukkan kepala karena dia akhirnya mengerti seluk-beluk masalahnya. Jika begitu, Yuni ini termasuk orang yang cukup baik karena dia setidaknya tetap setia merawat ibu mertuanya, bukannya meninggalkannya begitu saja. Jika dia bisa begitu setia, dia pasti akan lebih berbakti lagi pada orang tuanya sendiri. Sepertinya, kekhawatiran kepala desa sebelumnya memang terlalu berlebihan.Namun, tepat pada saat itu, Wira tidak mendengar teriakan Yuni dengan marah."Labib, kamu masih berani datang ke sini? Kalau bukan karena kamu, suamiku nggak akan mati. Pergi! Aku nggak ingin melih
Setelah ragu sejenak, Wira akhirnya memilih untuk tidak pergi. Dia dan Lucy berdiri di samping sambil terus menatap Labib. Labib terlihat sangat menyedihkan dengan tubuh yang sangat kurus dan tidak tahu sedang bergumam apa sambil duduk di depan pintu rumah. Penampilan Labin terlihat seperti orang yang mengalami histeria."Ceritakan padaku, apa yang sebenarnya telah dialami Yuni?" tanya Wira.Penyakit hati hanya bisa diobati dengan hati. Hanya dengan memahami apa yang telah terjadi pada Yuni, Wira berpikir dia mungkin bisa membantu meredakan rasa sakit di hati Yuni. Dengan begitu, dia bisa membantu Yuni perlahan-lahan membuka hati dan memperbaiki hubungan ayah dan putri itu. Ini satu-satunya hal yang bisa dilakukannya untuk Labib.Setelah ragu sejenak, Lucy berkata, "Setelah Yuni dan Labib berpisah, dia mengikuti suaminya ke Provinsi Yonggu yang saat itu masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Beluana. Karena perang yang berkepanjangan, kehidupan rakyat sangat menderita. Kehidupan Yuni
Ketika Wira dan Lucy masih mengobrol, pintu rumah terbuka lagi dan Yuni berjalan masuk. Yuni berkata dengan kesal, "Ibuku harus tidur. Kamu bisa pergi dari sini nggak? Cepat pergi. Kalau nggak, aku lapor kepada pihak berwajib!"Labib segera maju, lalu berujar, "Putriku, aku nggak bermaksud jahat. Aku tahu kamu butuh uang. Kebetulan aku punya sedikit uang di sini. Pakai saja dulu."Labib meletakkan uang yang telah disiapkannya di depan pintu. Tingkahnya ini membuatnya terlihat sangat rendah diri. Wira sampai tidak tega melihatnya.Yuni melirik uang perak di lantai. Tanpa berpikir sedetik pun, dia langsung mengambil dan berbalik untuk kembali ke kamar."Sebentar!" Wira yang tidak berbicara sejak tadi, tiba-tiba maju."Tuan, bukannya kamu sudah pergi tadi?" tanya Labib dengan heran.Yuni berhenti berjalan dan menatap Wira. Wira tidak meladeni Labib. Amarah dalam hatinya masih berkecamuk. Sang ayah sudah mengalah sedemikian rupa. Sebagai anak, bagaimana bisa Yuni begitu kejam? Apalagi, Lab
"Gimana kalau aku menolak?" Yuni memelototi Wira. Dia sama sekali tidak takut melihat Wira mematahkan tongkatnya.Sejak suaminya meninggal, Yuni mengalami banyak hal selama 3 tahun ini. Kalau dia ketakutan hanya karena masalah sepele, bagaimana dia bisa bertahan sampai sekarang? Sungguh konyol!Labib segera bangkit dan berdiri di antara keduanya. Dia menarik Yuni dan menasihati, "Yuni, cepat minta maaf. Kamu boleh nggak memaafkanku, tapi jangan melibatkan Tuan Wira.""Tuan Wira selalu mengutamakan kesejahteraan rakyat. Tanpa Tuan Wira, aku dan seluruh penduduk desa mungkin sudah mati. Tuan Wira adalah penyelamat kami."Labib khawatir Yuni berkonflik dengan Wira. Bagaimanapun, Wira berstatus tinggi, sedangkan mereka hanya rakyat biasa. Bakti sekalipun takut pada Wira. Bagaimana kalau sampai mereka berselisih dengan Wira?Labib baru bertemu putrinya. Dia yakin asalkan diberi waktu, dia bisa membujuk putrinya. Namun, jika putrinya dibunuh Wira, semuanya akan menjadi sia-sia. Ketika saat i
"Yuni, kamu kenapa? Kenapa tampar wajahmu sendiri? Apa ada masalah? Kalau ada masalah, beri tahu saja aku. Jangan dirahasiakan," ujar mertua Yuni.Yuni menggigit bibirnya sambil mengangguk. Air mata tak kuasa berlinang. Yuni adalah orang yang menghargai hubungan. Jika tidak, mana mungkin dia merawat mertuanya?Jika mertuanya tidak menjadi penghambatnya, kehidupan Yuni pasti bisa lebih baik. Dia tidak akan hidup dalam kemiskinan."Nggak ada kok. Istirahatlah. Kamu cuma perlu menjaga kesehatanmu sekarang. Sisanya nggak usah dipikirkan," sahut Yuni.Yuni menyeka air matanya, lalu mengambil uang-uang di atas meja dan berjalan keluar. Mertuanya butuh nutrisi yang cukup. Karena dia sudah punya uang, dia akan membeli bahan obat yang bagus.Setelah nutrisi mertuanya tercukupi, mertuanya pasti akan sembuh!....Saat ini, Wira dan lainnya telah kembali ke kediaman jenderal.Labib yang berdiri di depan pintu segera berkata, "Tuan, aku nggak akan ikut kalian masuk lagi. Aku bukan siapa-siapa. Aku
"Aku ...." Danu menggaruk kepalanya. Dia tidak bodoh, jadi tentu tahu maksud perkataan Wira."Tuan, hal ini agak sulit bagiku. Aku benaran nggak tahu harus membiarkan mereka tinggal di mana. Selain itu, aku takut akan ada makin banyak orang yang datang ke Provinsi Yonggu. Masa kita bakal terima semua orang yang mau pindah kemari?""Takutnya, dalam waktu dekat, Provinsi Yonggu akan menjadi penuh. Gimana ini? Kalau kita nggak sanggup menghidupi mereka, bukankah kita akan kehilangan kepercayaan rakyat?"Danu meneguk anggurnya, lalu mengungkapkan semua pemikirannya. Dia bukan ingin membantah perintah Wira, tetapi mempertimbangkan keuntungan untuk Wira.Jika makin banyak orang yang datang kemari, entah berapa banyak orang yang akan ikut. Situasi ini benar-benar rumit. Tidak mungkin tempat ini dijadikan pengungsian, 'kan?Wira larut dalam pikirannya. Dia menggoyang gelas anggur dan terdiam untuk sesaat."Tuan, sebenarnya ada satu hal yang mungkin kamu nggak kepikiran. Orang-orang itu bisa sa