"Ken?" panggil Nora. Kenzo menoleh sekilas dan kembali memfokuskan perhatiannya pada jalan di raya di depannya. "Hm?" jawabnya. Nora tersenyum tipis. "Andaikan kau tahu apa yang telah aku alami." ucap Nora menggantung. Alis Kenzo terangkat. "Apa itu?" "Kau akan tahu nanti." Dengan senyuman masih menghiasi wajah cantiknya, Nora menatap ke arah jalanan. Namun pandangannya tertuju pada salah satu mobil yang tengah melaju di hadapannya. Ia sangat mengenali siapa pemilik mobil itu. Nora menyikut lengan Kenzo dengan pandangan masih tertuju ke arah depan. "Ken! Lihat! Itu mobil si berengsek!" seru gadis itu sambil menujuk mobil tersebut. Kenzo melihat mobil yang ditunjuk oleh istrinya. Ia mengangguk paham karena dirinya juga mengetahui berapa nomor plat mobil milik mantan kekasih istrinya ini. "Mau kemana mereka ya?" tanya Nora. Setelah ia mengamati, tidak hanya Gian seorang yang berada dalam mobil itu. Melainkan ada adiknya juga di sana. Kenzo tak menjawab. Pandangannya
Orang-orang semakin menatapnya khawatir. Nora menghentikan tawanya lalu menatap mereka satu persatu. "Aku tak seperti yang kalian pikirkan. Tenang saja, jauh sebelum kalian melihat apa yang mereka berdua lakukan, aku sudah melihatnya dengan kedua mataku sendiri." Nora menyeringai. Fatiya dan Zafran mengernyitkan keningnya. "Melihatnya? Kapan? Dimana?" tanya Fatiya bertubi-tubi. Nora menatap sang Bunda dengan lembut. "Di suatu tempat yang hina," jawabnya. Memang semenjak dirinya di masa lalu memergoki mereka berdua tengah memadu kasih, ia langsung menyebut rumah yang ia tinggali itu adalah sebuah tempat hina. Dimana hal-hal kotor terjadi di sana. Fatiya tak bertanya lebih lanjut. Sisi lain hatinya sudah lega di saat melihat putri pertamanya terlihat baik-baik saja akan pengkhianatan yang di lakukan adik kandungnya bersama sang kekasih. "Bunda tenang saja, aku sudah punya Ken, hehe." Nora tersenyum memperlihatkan giginya. Ia tersenyum gemas pada Kenzo dan mengacak-acak rambut t
Kenzo menatap Nora dengan wajah menelisik. "Aku bersungguh-sungguh Ken." Pemimpin mafia terkejam yang paling ditakuti itu terdiam sesaat menimbang-nimbang keputusannya. "Tetapi ini terlalu bahaya," ungkapnya. Nora tak putus semangat. "Apapun bahayanya. Aku yakin aku bisa melewatinya." "Baiklah," final Kenzo. Mata Nora berbinar. "Benarkah?" tanyanya memastikan. Kenzo mengangguk sebagai jawaban. "Terima kasih suamiku," ucap Nora dengan senyuman yang kelewat manis. Ia berjinjit dan meraih wajah Kenzo. Cup! Bibir Nora mengecup pipi sebelah kanan Kenzo. Setelahnya, ia menggandeng tangan Kenzo menuju keluar. "Ayo, dimana kamar kita?" tanya Nora sambil berjalan. "Mau melanjutkan hal tadi?" Kenzo balik bertanya. Nora melihat suaminya itu menyeringai sambil menatapnya. Nora menegang. .... "Aku lelah sekali kak, tolong berhenti," pinta Reyna yang sudah tergeletak tak berdaya di atas ranjang dengan Gian yang masih senantiasa bergerak di atasnya. "Sebentar lagi," j
"Bodoh! Banyak bicara! Aib keluarga! Memalukan!" seru mereka. Bagaikan di sambar petir di siang hari, Reyna amat terkejut mendapatkan sebuah tamparan keras yang mendarat di kedua pipinya. Telapak tangannya dengan refleks memegangi kedua pipinya yang langsung memerah dan terasa panas lagi perih yang amat terasa. Kedua Neneknya, baik Nenek dari pihak Ayah maupun pihak Bunda, mereka berdua lah yang telah menamparnya barusan. Kedua wanita yang sudah menginjak usia senja itu bersedekap dada dengan mata melotot tajam pada Reyna dan Gian. Gian, pria itu juga sama terkejutnya dengan apa yang baru saja dirinya dapatkan. Sebuah tamparan keras yang baru kali ini ia terima. Pria itu mengusap-usap kedua pipinya yang terasa perih. Dirinya telah sering mendapatkan luka pukulan, tetapi kali ini rasanya sangat berbeda karena di tampar oleh dua orang Nenek-nenek. "Dua manusia hina yang Kita tunggu-tunggu telah tiba!" seru salah satu dari mereka yang bernama Twilla dengan mengangkat kedua ta
"Dan, bukankah kau kekasih Nora?" lanjut pria tua itu bertanya. Deg! Jantung Reyna dan Gian berdetak kencang dan mendongak dengan cepat menatap Liavin. Pria tua itu tersenyum miring. "Untung saja Nora segera menikah dengan pria lain yang lebih segalanya di banding dirimu." Lagi-lagi Gian hanya bisa mengepalkan tangannya menahan emosi. Ego-nya tergores ketika dia di banding-bandingkan dengan seseorang yang amat ia benci dan memang belum bisa ia tandingi. Pikiran Gian langsung teringat aksinya menyekap Nora beberapa hari lalu yang berujung ia kehilangan banyak sekali anak buahnya. Dan yang tersisa, ia bawa untuk membuat markas baru karena markas di dalam hutan itu telah hangus menjadi debu karena di bakar beserta semua isinya oleh anak buah Kenzo. Tetapi itu tak menjadikannya hilang rasa ingin memiliki Nora. Meskipun ia sudah mengalami hal yang tak dia inginkan, ia masih saja terobsesi dengan Nora. Padahal saat ini Reyna tengah mengandung anaknya, darah dagingnya sendiri. "Ben
Byur! Nora menyemburkan air dalam mulutnya ketika mendengar ucapan dari sang Nenek. "Uhuk! Uhuk!" Nora terbatuk-batuk dengan keras ketika air yang masuk ke dalam tenggorokannya seperti akan keluar kembali. "Pelan-pelan," ujar Kenzo. Tangan pria itu meraih sebuah tissue dan memberikannya pada Nora. Nora langsung menerimanya dan dengan cepat mengelap air yang telah membasahi area mulut hingga dagunya. "Kenapa terkejut begitu? Memang seharusnya kami para Nenek dan Kakek mu menerima Cicit. Semakin hari umur kami semakin bertambah. Apa kau tak ingin kami melihat Cicit kami?" tanya Twilla. Wanita tua itu saling lirik dengan suami dan kedua besannya. "Sepertinya itu benar sayang, kami juga menanti Cucu dari mu, kami tak ingin memiliki Cucu dari hasil hubungan gelap," sambung Fatiya di angguki Zafran. Nora menatap semua orang yang tersenyum kepadanya. Memberikan Cucu? Cicit? Apakah ia bisa? Apakah ia siap? Sepertinya belum, pikir Nora. Ia memaksakan senyumnya. "Semua itu akan t
"Mau main-main hm?" Kenzo kembali ke atas ranjang dan melakukan sesuatu pada istrinya yang jahil ini. Setelah selesai, ia meletakkan lipstik itu kembali di atas ranjang dan berjalan keluar dari dalam kamar. Setengah jam kemudian, Nora bangun dari tidurnya yang lumayan lama. Ia mengucek-ucek matanya seraya melirik sekitar. "Dimana Ken?" gumamnya saat tak mendapati keberadaan Kenzo di sampingnya. Ia pun beringsut duduk. Pandangannya tertuju pada lipstik miliknya yang semalam ia gunakan untuk melakukan sesuatu pada Kenzo. Senyumnya langsung terbit saat teringat wajah dingin Kenzo yang telah ia poles sedemikian rupa. Dengan tak sabar, ia turun dari ranjang, lalu keluar dari dalam kamar guna mencari keberadaan suaminya ini. "Itu dia," ucapnya saat melihat punggung suaminya. Ia telah duduk di meja makan yang dapat di lihat dari tangga tempat Nora berdiri saat ini. "Semuanya telah berkumpul, pasti seru," ia tersenyum geli dan melanjutkan langkahnya menuju meja makan. Tetapi
"Ini dia," ucapnya. Wanita hamil itu menatap sebuah botol kecil berisi sebuah bubuk berwarna putih dengan senyuman lebar. "Aku akan membuatkan makanan kesukaan Kakakku tercinta, tak lupa, ini sebagai bumbu tambahan nya." Reyna tertawa senang. Dengan cepat ia memasukkan botol kecil tersebut ke dalam saku bajunya. Tanganya bergerak menutup pintu lemari dan segera keluar dari ruang kerja milik Gian. Sebelum keluar, ia melongokkan kepalanya dan menoleh ke kanan dan ke kiri. Setelah memastikan keadaan aman, ia langsung keluar dan menutup kembali pintunya. Lalu berjalan seolah tak terjadi apa-apa. Dengan senandung senangnya, ia pergi ke dapur. di dalam rumah yang sangat luas ini, hanya Gian seorang yang menempati serta beberapa bodyguard. Pria itu akan memanggil seseorang untuk membersihkan rumah di hari tertentu. "Senangnya hidup berdua hanya dengan suami, terima kasih telah hadir sayang ku," ucap Reyna sambil mengelus perutnya. Wanita itu membuka kulkas dan memperhatikan isi d
"Hahaha!" Nora tertawa terbahak-bahak dengan menatap Reyna tajam. Ekspresi bengis terpampang jelas di wajah cantiknya. "Aku bahkan tak tahu apakah aku bisa benar-benar memaafkanmu, Reyna,"Di depan Reyna, Nora berdiri tegak. Gadis itu mengambil sebuah botol berisi racun di dalam saku jaketnya. Sorot mata Nora tampak dingin, seperti cahaya remang yang memantul di permukaan cairan berbahaya itu. Dia terlihat tak berperasaan, wajahnya menyiratkan kekecewaan yang mendalam. "Minum ini, Reyna," perintahnya dengan suara datar, seolah mengabaikan rasa takut yang terpancar dari Reyna. "Jika kau memang menyesal, buktikan padaku."Reyna menatap botol itu, mulutnya terasa kering. "Kak, tolong… jangan lakukan ini!" ucapnya, suara penuh kepanikan. "Kita bisa menyelesaikannya dengan cara lain. Ingat Kak! Kita pernah menjadi saudara!"Nora mengangkat bahu, senyum sinis menghiasi wajahnya. "Saudara? Aakah kau benar-benar percaya bahwa kita masih bisa menjadi saudara lagi setelah semua yang kau lak
Nora menatap ke arah hutan yang gelap, napasnya teratur namun penuh semangat. "Waktunya telah tiba. Kita tidak akan mundur. Kita harus menghadapi ini, Kenzo." "Ayo kita lakukan. Jika Reyna ada di sini, kita akan menemukannya."Nora merasakan getaran di sakunya. Ia mengeluarkan ponselnya dan melihat nama Ayah di layar. Dengan sedikit keraguan, ia mengangkat telepon."Nora, kami semua mendukungmu," suara Ayahnya terdengar tenang namun tegas, "Reyna telah melampaui batas. Dia tidak hanya mengkhianati kita, tapi juga merusak kehormatan keluarga. Kau tahu apa yang harus dilakukan."Suara Bundanya kemudian terdengar, lembut namun penuh kepastian, "Kami percaya padamu, Nak. Ini bukan lagi soal pribadi, tapi soal keluarga. Jika kau ragu, ingatlah betapa Reyna telah membuat kita terluka."Nora menggenggam ponselnya lebih erat, menghirup napas dalam-dalam, dan menatap Kenzo. "Ayah dan Bunda telah berbicara. Semua mendukung kita," katanya, matanya berbinar dengan tekad yang baru.Kenzo mengangg
"Ken!" Nora menatap Kenzo yang juga tengah menatapnya saat ini. Gadis itu menyibak rambutnya yang berkeringat. Keheningan di dalam markas segera pecah menjadi sorakan kegembiraan. Para anggota mafia, yang sebelumnya tegang menyaksikan pertarungan, kini bersorak merayakan kemenangan Nora atas Gian. Suara tawa dan teriakan penuh semangat menggema di seluruh ruangan, menandakan bahwa mereka telah berhasil mengalahkan musuh yang selama ini menjadi ancaman bagi mereka."Untuk Nyonya Nora!" teriak salah satu anggota, mengangkat senjata dengan penuh semangat. Suara tepuk tangan dan sorakan lainnya menyusul, menyebar dengan cepat seperti api. "Dia telah menyelamatkan kita semua!"Kenzo berdiri di samping Nora, wajahnya menampakkan kepuasan dan kebanggaan. Ia mengamati sekeliling, menyaksikan bagaimana para anggotanya merayakan keberhasilan itu. "Kita tidak boleh berpuas diri!”" Kenzo mengangkat suaranya di atas keributan. "Kemenangan ini bukanlah akhir. Masih ada tugas penting yang menunggu
"Mulai sekarang, kita bergerak. Temukan Reyna, hidup atau mati."Para anggota mafia mulai bergerak cepat, mengambil posisi dan menjalankan perintah. Nora berdiri di samping Kenzo, matanya bersinar penuh ambisi dan kebencian. Dalam hatinya, ia tahu ini adalah akhir dari perseteruannya dengan Reyna. Tapi kali ini, ia tidak hanya akan menang—ia akan memastikan Reyna tak pernah kembali.Ketegangan di dalam markas Kenzo tiba-tiba memuncak ketika suara deru mesin mobil dan suara langkah kaki berat terdengar mendekat. Pintu masuk utama dibuka dengan paksa, dan rombongan mafia yang dipimpin oleh Gian melangkah masuk dengan agresif. Mereka mengenakan pakaian gelap, wajah tertutup oleh masker, menunjukkan bahwa mereka datang untuk bertarung. Gian, sosok tinggi besar dengan tatapan menakutkan, berdiri di depan kelompoknya. Senyumnya penuh tantangan saat ia melihat ke arah Kenzo dan anggota mafia yang berkumpul. "Kenzo," ia menyapa dengan nada mengejek. "Dengar, malam ini aku akan mengambil kemb
"Ck! Aku takkan membiarkan Nora hidup lebih lama! Besok. Yah, Besok. Aku akan mengakhiri semuanya. Aku akan melenyapkannya dan merebut Kak Kenzo!" .... Di sebuah ruang bawah tanah yang gelap dan lembap, markas mafia yang dipimpin oleh Kenzo dipenuhi dengan para anggotanya yang berkumpul di tengah malam. Lampu-lampu redup memancarkan cahaya kekuningan, menerangi wajah-wajah tegang dan bersiap. Meja kayu panjang di tengah ruangan dipenuhi peta, dokumen, dan foto-foto Reyna. Suara berisik dari para anggota mafia yang berbicara dan mengasah senjata memenuhi ruangan, menciptakan suasana tegang yang tak terelakkan. Kenzo berdiri di depan semua orang, tubuhnya tegak, mata tajamnya memandang serius pada anak buahnya yang berjumlah puluhan. Ia mengenakan setelan hitam yang rapi, wajahnya dingin, penuh ketegasan. Rambut hitamnya tersisir rapi, namun aura di sekelilingnya memancarkan bahaya yang tak bisa disangkal. Di tangannya, sebuah pistol berlapis perak tergenggam erat. "Reyna tidak bis
Nora berhenti sejenak di depan pintu, memandang Sam dengan senyum tipis di wajahnya. "Kamu baik-baik saja, Sam?"Sontak, Sam mengangukkan kepalanya sebagai jawaban. "Aku baik-baik saja, Nyonya," jawabnya. "Sebaiknya kita beristirahat sekarang. Besok pagi, kita akan melakukan pencarian untuk menemukan jalang itu. Kita akhiri saja semuanya. Aku yakin. Semua anggota keluarga kita akan merasa tenang jika benalu itu lenyap." Kenzo menajamkan matanya. .... Dalam kegelapan malam, Reyna berlari tanpa henti, menerobos ranting-ranting kasar dan daun-daun lebat di hutan yang seolah mencoba menahannya. Tubuhnya menggigil, bukan hanya karena dinginnya malam, tapi karena gemetar perasaan yang bergejolak di dalam dirinya. Tangan kirinya masih berlumuran darah Hercules, pria yang pernah begitu mencintainya. Nafasnya berat, namun ia terus berlari, seolah mencoba melarikan diri dari bayang-bayang perbuatan yang baru saja dilakukannya."Tidak ada jalan kembali," gumamnya dalam hati, matanya membara
"Astaga..." "Nora!?" seru suara yang tidak asing dari belakang membuat gadis itu menolehkan kepalanya dengan cepat untuk melihat sosok yang telah memanggilnya. "Kenzo?" Nora menatap suaminya yang tiba-tiba sudah berada di sini bersama Sam. Kedua pria itu mendekat dan melihat Hercules yang masih tergeletak di atas lantai. Kenzo langsung membawa tubuh Nora ke dalam pelukannya dengan erat untuk menumpahkan rasa khawatirnya. "Kau baik-baik saja?" tanya Kenzo penuh kekhawatiran. Nora menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. "Tapi, pria ini." Rossa menunjuk tubuh Hercules dengan tatapan dingin. "Sam, cek keadaannya!" Aroma darah yang samar menyeruak di udara, membuat perut Sam terasa mual. Hercules tergeletak tak bergerak di lantai, genangan darah tampak mulai mengering di sekitarnya.Sam mendekati tubuh itu dengan hati-hati. Wajah Hercules pucat, matanya terbuka kosong, tidak lagi bernafas. Sam berlutut, memeriksa denyut nadinya di leher, tapi seperti yang sudah ia duga, tidak ada
Sesaat kemudian, wajah Kenzo terkena lampu sorot dari sebuah mobil yang berjalan mendekat. Tak lama, mobil itu berhenti di dekatnya dan terlihatlah siapa yang mengemudikan mobil tersebut. "Tuan!" seru Sam dari dalam mobil yang mana hal itu membuat Kenzo langsung berdiri dan bergerak cepat masuk ke dalam mobil. Setelah Kenzo masuk, mobil pun kembali melaju dengan cepat membelah jalanan yang terlihat cukup senggang. ....Rossa, dengan gerak langkah hati-hati, menelusuri lorong sempit menuju apartemen Hercules yang telah dirinya ketahui. Cahaya bulan yang redup dari jendela di ujung lorong cukup memberikan penerangan baginya. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, rasa dendam dan sedikit kekalutan mengisi udara di sekitarnya. Dia tahu bahwa Reyna dan pria itu sedang ada di dalam. Langkahnya semakin pelan saat dia mendekati pintu apartemen.Dengan cekatan, Rossa menyelipkan kunci cadangan yang berhasil ia peroleh dari mencari ke sekitar area pintu dan ternyata kunci itu berada
Di sisi lain, Kenzo yang berada di dalam kamar mengerjapkan matanya ketika tangannya meraba-raba ke samping dan tidak menemukan keberadaan sang istri di sampingnya. "Nora!?" panggil Kenzo dengan suara keras. "Dimana dia?" Pria itu bangun dari tidurnya dan beranjak duduk. Kepalanya menoleh ke sana kemari untuk mencari keberadaan sang Istri. Pintu kamar tertutup rapat. Pintu kamar mandi pun sama. Kenzo turun dari atas ranjang dan kemudian berjalan menuju pintu keluar. Saat ini, Kenzo telah keluar dari dalam kamar. Suasana rumah yang sepi seketika menyambutnya. Tanpa memikirkan penghuni lain akan merasa terganggu atau tidak, pria itu akhirnya berteriak. "Nora!" panggilnya yang mana hal itu membuat suaranya menggema di seluruh penjuru rumah. Kenzo dapat merasakan jantungnya berdetak lebih cepat sekarang. Ia takut terjadi sesuatu yang tidak di inginkan pada istrinya saat ini, mengingat baru saja mereka telah mengalami insiden mengerikan di area villa tersebut. Pria itu tidak tahu sa