Namun tidak bisa. Tetapi suara dering ponselnya yang terdengar walau agak samar dari salah satu ruangan di rumah itu ketika Endrick mencoba terus menghubungi Zsalsya dengan ponselnya, ia mendekat dan terus mendekat ke arah suara itu berasal."Suaranya memang benar dari sini," kata Endrick. Minah pun mengikuti Endrick. Ia pun mendengar hal yang serupa. Namun, ia sama sekali tidak menduga bahwa suara itu dari sana dan dari ponsel Zsalsya. Sebab, ia tidak tahu bagaimana dering ponsel Zsalsya, karena tidak pernah memperhatikannya dengan baik. Ia pun jarang mendengar ponsel Zsalsya berdering ketika tengah berada di dekatnya. "Mbok, bisa tolong buka kamarnya sebentar!" pintanya kepada Minah yang saat itu berjalan perlahan ke arah kamar itu.Tetapi, ketika Endrick meminta untuk membuka pintu kamar tersebut, ia pun bergegas menghampiri Endrick tanpa berjalan perlahan lagi."Baik, saya buka. Tapi sebenarnya kamar itu memang tidak dikunci, kok!" kata Minah menjelaskan.Namun, Endrick tidak b
Sembari keluar dari kamar Zsalsya, ia berjalan terus menuju pintu dengan ponsel di telinga karena mencoba menghubungi Nana yang ia pikir sedang berada di rumah sakit. Nana yang main ponsel dengan sosial media miliknya pun membuatnya langsung terkesiap kala ada panggilan masuk dari nomor yang tak dikenal. "Siapa ini? Kenapa bisa ada yang tahu nomor aku, sedangkan aku sendiri tidak tahu?" gumamnya, bingung. Kala itu, Nana sedang duduk sendirian menunggu Mariana selesai membesuk Firman. Mariana memang tengah asyik mencari perhatian Firman, agar dirinya lebih diingat dan dipedulikan dibandingkan Zsalsya. "Pa, kamu istirahat saja. Biar Mama temani di sini sebentar, ya," kata Mariana sembari tersenyum. Ia juga memijat perlahan lengan Firman dari arah samping sambil duduk di kursi. Mariana menatap wajah Firman dengan bibir tersenyum, tetapi Firman tidak tahu jika dibalik senyuman palsu itu terdapat hati yang busuk. "Istirahatlah selamanya dan jangan pernah bangun lagi," batin Maria
"Terima kasih, Mbok, sudah mau memberikan nomornya Nana!" ujar Endrick sebelum dirinya meninggalkan rumah itu."Dengan senang hati, Pak Endrick. Saya juga ikut senang karena bisa membantu!" balasnya dengan nada ramah sembari tersenyum. Terlihat jelas senyum penuh ketulusan dari dalam hati.Semenjak melihat Endrick, Minah merasa berbeda. Ia merasa bahwa Endrick yang tampak tulus kepada Zsalsya. Walaupun terkadang sikapnya cuek dan dingin, tetapi dibaik semua itu tersimpan kepedulian yang teramat dalam. Ketulusan bertaut dengan cinta yang tulus, itulah yang terlihat jelas di mata Minah sebagai asisten rumah tangga yang kadang memperhatikan sikap orang-orang. Entah yang datang ataupun yang menetap di rumah itu sebagai tuan rumah. Sekalipun Minah hanya seorang asisten rumah tangga, tetapi dirinya tidak diam saja. Terlebih lagi ketika ia sering melihat atau bahkan mendengar sesuatu dengan niat buruk dari pendatang baru.Setelah mengatakan hal itu, Endrick pun melanjutkan langkah kakinya m
"Saya terburu-buru, jadi lupa membawanya.""Itu tidak masalah, asalkan jangan pernah salah paham. Dan jangan mudah percaya pada orang yang berkata dengan kebohongan tanpa pernah berterus terang.Kecemburuan yang awalnya menyeruak hingga membuat wajahnya memerah pun kini telah mereda. "Jadi, kamu menghubungi Nana karena apa?""Tentu saja karena mau menjenguk calon Papa mertua. Sebentar lagi kita kan pasti menikah!" ucapnya sembari memeluk Zsalsya dari samping, hingga kedua lengan mereka saling bersentuhan satu sama lain. Sangat dekat dan tanpa ada sedikitpun jarak.Nana melongo saat mendengarnya. "Apa? Menikah? Kalian menikah?" tanya Nana, refleks.Lalu, Nana berkedip. Ia mencoba mengalihkannya dengan sesuatu hal yang lain. "Kamu mau menjenguk Papa, 'kan? Mari biar aku antar ke dalam!""Saya mau sama Zsalsya. Jadi, terima kasih."Walaupun dalam hati sangat mengakui bahwa Nana sedang gugup, tetapi mulutnya terus saja berbohong tanpa ada kata lelah. Hanya demi tercapai apa yang diingi
"Huh! Sialan, gara-gara Pak Endrick yang datang cepat begitu, jadinya aku tidak bisa membuat Zsalsya salah paham sama dia!" umpatnya dalam hati.Bibirnya tampak mengerut kesal, sedangkan Mariana terus memperhatikan Anaknya itu. Lalu, tangannya memeluk Nana dari samping. "Tenang saja, Nak, Mama punya cara buat bikin mereka pisah supaya Pak Endrick bisa sama kamu," kata Mariana dengan nada berbisik. Kembali pada suasana di dalam ruang unit gawat darurat. Endrick tetap berada di sana ketika maksudnya belum tersampaikan. Tetapi, di samping itu ia juga bingung karena Firman dalam keadaan sakit. Ia tidak mau jika pembicaraan itu mengganggu Firman dan malah memperumit kondisi kesehatannya. Sebab, menjaga pikiran tetap positif adalah kunci utama agar cepat sembuh."Seperti ada yang mau dia katakan ... tapi apa?" batin Zsalsya sembari memperhatikan Endrick yang terus menatap wajah Firman dengan jakun yang bergerak -- tampak sedang menelan ludah."Ssebetulnya ada yang mau saya katakan pada An
Memang benar tidak ada yang salah dari itu. Tetapi, kehidupan buruk yang sempat terjadi terus membayangi dan ia takut hal itu terulang kembali.Ada trauma yang tak bisa hempas dari dalam dada, sebab sakit yang terasa terlalu parah dan membuatnya sulit percaya. Sulit kepercayaan terhadap pria membuatnya selalu ragu setiap kali ada pria yang mendekati. Meskipun itu adalah pria yang berbeda.Zsalsya tahu bahwa setiap pria itu berbeda. Ia pun sadar akan hal itu. Tetapi, karena sama-sama pria, ia pun sadar bahwa mereka bisa memberi luka yang sama tetapi dengan cara yang berbeda."Apa yang harus aku lakukan dengan hatiku? Cukupkah aku menganggapnya sebagai teman saja, supaya aku tidak terluka untuk ke sekian kali oleh pria lagi?" batinnya. Bibirnya mengatup rapat dengan mata sayu yang tak bisa disembunyikan.Zsalsya dalam kebimbangan, tetapi Endrick sama sekali tidak mengetahuinya. Sebab, Zsalsya yang dengan sengaja selalu memendam sendiri apa yang dirasakannya."Pa, katanya yang membesuk k
Di luar rumah sakit, mereka terdiam sejenak. Zsalaya melihat ke kanan dan ke kiri untuk mencari penjual bubur ayam di sekitar sana."Kita ke sana saja!" ajak Zsalsya."Mau naik mobil?!" ajak Endrick sembari memperlihatkan kunci mobil yang ia ambil dari dalam saku celananya. Zsalsya menghentikan langkah kakinya sejenak. "Kita jalan kaki saja, Mas! Di sana banyak penjual, mungkin di sana ada penjual buburnya!" kata Zsalsya.Nana merasa malas dengan jawaban Zsalsya itu. "Kak, kita naik mobil saja supaya tidak capek!""Kalau kalian memang mau naik mobil, tidak masalah. Biar saya jalan sendiri saja ke sana."Zsalsya pun melanjutkan langkah kakinya. Ia tidak menghiraukan perkataan mereka yang mengajaknya naik mobil."Perjalanannya cukup dekat begitu, kok," gerutu Zsalsya sambil berjalan."Sayang, tunggu!" seru Endrick berlari kecil mengejar Zsalsya yang sudah berjalan dengan langkah kaki cepat. Dari tempatnya berdiri, di ujung belokan sana, ia memang melihat sekumpulan penjual makanan ger
Kini, tidak ada yang bisa melakukan pembelaan lagi terhadap perkataan Arzov sebelumnya. Mereka tidak mampu membalasnya dengan perkataan lain. Sebab, apa yang dikatakan Zsalsya, sama sekali tidak ada celah untuk bisa mereka debat.Endrick yang mendengar keberanian serta ketegaran Zsalsya pun membuatnya semakin kagum. Ia suka dengan cara Zsalsya yang memang sudah seharusnya menjadi tegas, agar tidak tertindas."Kalau begitu, saya temani kamu mencarinya, ya? Bagaimana?" tanya Endrick kepada Zsalsya sembari memeluknya dari samping.Di depan Arzov itu, ia ingin menunjukkan bahwa Zsalsya adalah miliknya. Tidak boleh ada orang lain lagi yang mengganggu mereka. "Tapi kalau tidak ada bagaimana? Nanti kamu capek."Endrick memandang wajah Zsalsya dengan serius. "Kenapa masih memikirkan itu?"Zsalsya terdiam dengan tatapan teduh mengarah pada Endrick. "Yuk, kita berangkat sekarang!" ajaknya."Aku ikut!" ujar Nana menawarkan diri tanpa menerima sedikitpun ajakan."Makanan di sini juga banyak, tu