Victoria yakin kalau Darren tadi menyebut nama Ralin, ia jadi berpikir kalau tuannya itu mengenal desainer baru perusahaan ini, namun sikap Ralin tidak menunjukkan hal itu, entah dia tidak mendengarnya tadi.
"Victoria, bisa tinggalkan kami?" Suara Darren menyentak lamunan gadis dewasa itu."Baik, Tuan," jawabnya, ia berbalik dan sempat melirik Ralin dengan mengangkat tangan memberikan semangat, Ralin mengangguk kecil."Kamu, kemari!" Darren memanggilnya. Ralin segera mendekat.Darren membuka pcnya mencari nama Ralin di sana, sementara ia membiarkan wanita itu berdiri dihadapannya.Ralin BenedictLulusan Rh*le Isla*d Scool Of Design Amerika Serikat.Satu sudut bibirnya terangkat, tidak salah lagi, wanita yang selama tujuh tahun ia cari sekarang berdiri tepat dihadapannya, menjadi karyawan di perusahaannya sendiri.Darren mengangkat kepalanya menatap Ralin yang seperti patung di hadapannya. Kesan yang ia tangkap dari wanita ini adalah, pemalu. Padahal Darren sangat mengenalnya saat di kampus dulu, tapi sepertinya Ralin tidak mengenalinya."Nona Ralin," sapanya."Ya, Tuan," jawab Ralin cepat."Saya menyukai semua desain Anda," ucapnya yang membuat Ralin sedikit tersenyum. Padahal ia baru melihat dua saja.Darren kembali terpana, senyum Ralin masih sama seperti waktu dulu, "untuk menghemat waktu, kita akan pergi ke bagian manufakturin.""Sa-saya ikut?" Ralin menunjuk dirinya sendiri. Tidak terpikir olehnya akan pergi dengan Ceo."Ya, Kamu yang akan menjelaskan detailnya pada pekerja. Bersiaplah!" perintah Darren. Dia sendiri kembali membuka semua desain yang di buat oleh karyawan barunya itu.Ralin mengangguk tanpa bertanya lagi, ia kembali ke ruangannya untuk mengambil tas dan ponselnya karena setahu Ralin, pabrik perusahaan ini cukup jauh tempatnya.Dia menunggu Darren di lobby. Tidak lama kemudian pria itu datang bersamaan dengan mobil yang berhenti tepat di hadapan mereka.Sang sopir segera turun dan membukakan pintu mobil, Darren mempersilahkan Ralin masuk kemudian di susul oleh dirinya.Ralin merasa canggung, baru bertemu Tuan Darren langsung pergi bersama, di mobil yang sama pula.Jari Darren mengikuti irama musik yang di putar oleh sang sopir, ia mengetuk-ngetukkannya di atas paha. Sedangkan Ralin sudah seperti patung yang takut bergerak apa lagi bicara.Sesungguhnya dalam hati Darren ingin Ralin bertanya padanya, namun tidak seperti harapannya hingga mereka tiba di pabrik Ralin tetap tidak bersuara.Keduanya turun dan langsung masuk ke dalam, semua karyawan membungkuk hormat begitu melihat siapa yang datang."Tuan Hansel!" Darren menyapa penanggung jawab tempat itu."Oh, Tuan Darren, astaga, saya tidak menyadari kedatangan Anda." Pria itu langsung berdiri membungkukkan kepala."Saya sudah membawa desain untuk bulan depan, saya ingin pengerjaannya tepat waktu." Darren tidak ingin berbasa-basi.Ralin segera maju dan membuka kertas itu di atas meja. Tuan Hansel memperhatikan rancangan itu."Belum pernah ada yang seperti ini," komentarnya."It's right!" Darren mengangkat jempolnya, "Nona Ralin, silahlan bila ada yang ingin Anda jelaskan!" Darren mempersilahkannya bicara.Ralin mengangguk dan mulai menerangkannya pada pria yang sedikit lebih dewasa tersebut.Darren hanya memperhatikan dari sofa dengan mata berbinar. Hansel sempat melihat itu."Saya rasa sudah cukup, Tuan." Ralin menghampiri Darren.Pria itu menatap arlojinya lalu beranjak pergi dan di ikuti oleh Ralin.Sebelum mencapai perusahaan Darren menyuruh sopirnya berbelok ke restoran.Ralin hanya ikut saja, namun saat Darren memesan makanan ia tidak memesan apapun."Kenapa tidak makan? Aku tidak suka karyawanku tidak makan, itu akan mempengaruhi kinerja mereka," tanya Darren."Maaf Tuan! Saya membawa bekal dari rumah." Dengan sedikit takut Ralin mengeluarkan bekal itu dari tasnya.Mata Darren menatap kotak berwarna biru langit itu.Dia sedikit mendengkus lalu tertawa, sejak kapan seorang Ralin membawa bekal. Dulu dia adalah gadis yang terkenal sombong angkuh karena berasal dari keluarga kaya.Sementara Ralin sedikit meringis tidak enak karena Darren menertawakannya. Sampai pelayan mengantar makanan pesanan Darren."Apa Kau membawa bekal setiap hari?" tanya Darren di sela-sela makan mereka."Ya, Tuan," jawabnya pelan."Di kantin tersedia makanan gratis," kata Darren, mungkin saja Ralin tidak tahu karena masih baru."Saya tahu."Mendengar jawaban itu Darren mengeryit. Mungkin gadis dihadapannya ini sedang perbaikan gizi sehingga tidak makan makanan di luar."Sesekali Kau bisa mengajukan menu pilihan pada pengelola kantin itu."Ralin menggeleng, "Saya akan tetap membawa bekal," jawab Ralin yakin.Ini bukan Ralin yang ia tahu, ada apa dengan wanita ini. Dia berubah dari style dan berbicara juga sangat irit. Sampai-sampai tidak makan dari kantin perusahaan."Kau ingin jatah makanmu berubah jadi uang?"Opss, seketika Darren menyesali pertanyaannya yang terkesan tidak sopan."Bukan - bukan begitu Tuan. Putriku setiap hari membawa bekal ke sekolah, jadi dia ingin aku juga membawa bekal ini setiap hari." Ralin berpikir mungkin Darren tersinggung dengan ia membawa bekal.Darren tertegun mendengar jawaban Ralin, ia menghentikan kunyahannya, ternyata banyak yang tidak ia ketahui mengenai Ralin selama tujuh tahun ini.Dia tidak bertanya lagi sampai ke perusahaan. Selepas Ralin turun, Darren memilih untuk pulang ke rumah.Ibunya baru saja mengirim pesan bila sepupunya baru saja datang dari Amerika. Tentu Darren akan menunda apapun untuk bertemu sepupu sekaligus sahabatnya itu.Pagar menjulang tinggi terlihat menutupi mansion mewah keluarga Darren, tempat tinggal keluarganya di Prancis ini. Butuh waktu lima menit lagi untuk sampai ke pintu utama Mansion itu.Darren langsung keluar dan berlari kecil saat melihat Kenzi yang tersenyum berdiri menyambutnya."Apa Amerika sudah membosankan untuk di tinggali atau wanita cantik sudah punah semua?" tanya Darren."Lebih tepatnya sudah ku kencani semua." Kenzi terkekeh setelah mengatakannya. Seolah hal itu adalah lumrah baginya."Siapa yang tidak percaya, seorang Kenzi!" Darren menaikkan kedua alisnya.Padahal Kenzi tidak begitu, rumor yang terus dihembuskan oleh pesaing hingga orang-orang berpikir ia pemain wanita, ia hanya kekasih Violin hingga saat ini sudah dua belas tahun mereka bersama.Barulah mereka berpelukan untuk melepas rindu lalu duduk sambil bercerita. Kenzi mengatakan akan menikahi Violin dalam waktu dekat, tentu saja hal itu membuat Darren terkejut."Kau yakin mau menikahi wanita itu?" Dari pertanyaan itu jelas terbaca kalau Darren kurang menyukai tunangan sahabat sekaligus sepupunya itu."Dia selalu menuntutku," jawab Kenzi. Senyumnya yang semula merekah tadi telah berganti menjadi sendu, seperti ada yang ia pikirkan saat ini."Sejak kapan seorang Kenzi bisa di tuntut?" Darren menanggapinya dengan bergurau. Bertunangan sampai lima tahun saja dia tega membiarkan Violin menunggu."Aku serius, perusahaanku butuh dana, dia bersedia meminta bantuan ayahnya dengan syarat pernikahan.""Butuh dana? Kau tidak pernah mengatakannya." Darren tidak mengetahui hal ini, yang ia tahu Kenzi sangat handal dalam mengelola perusahaan keluarganya."Tepatnya satu bulan yang lalu, Luke membawa kabur uang perusahaan."Darren membelalak tak percaya, "Bagaimana bisa?""Entahlah, dia terlalu buta hingga bisa di manfaatkan oleh pacarnya. Bodoh." Ia benci setiap mengingat wajah Luke.Luke adalah adik Kenzi yang memiliki pacar seorang dokter, namun siapa sangka wanita itu sangat beracun dan bisa mengendalikan Luke."Hal yang tidak pernah kulakukan, meminjam uang. Perusahaan nyaris bangkrut karena ulahnya." Kenzi masih teringat dengan kejadian itu.Entah kenapa Darren tertawa mendengarnya hingga membuat Kenzi menyipitkan mata."Seharusnya Kau bersimpati bukan malah meledekku." Kenzi mendengkus kesal."Aku hanya menertawakan kebodohan Luke, bisa-bisanya dia menghancurkan perusahaan keluarganya sendiri."Kenzi menggedikkan bahunya, "Violin banyak membantuku, jadi aku merasa tidak enak bila menolak ajakannya.""Lagi pula bukankah itu wajar, Kau memacarinya sejak kuliah dan sekarang umurmu sudah tiga puluh tahun lebih. Menurutku dia terlalu sabar menunggumu.""Kami saling mencintai, menikah atau tidak bagiku tidak penting, tetapi kali ini ia memaksaku. Dua belas tahun bersama kami saling setia, selain waktu tiga bulan pernikahanku dengan putri Benedict, itupun aku tetap memprioritaskan Violin." Kenzi menghargai kesetiannya selama ini. Ia jadi teringat dengan Ralin. "Wanita itu? Sudah jatuh miskin tetap saja sombong!" ucapnya kemudian.Hal itu mengundang tanya dari Darren, "Aku jadi penasaran, wanita seperti apa yang kau nikahi waktu itu?""Wanita yang hanya mengharapkan hartaku untuk mengambil kembali perusahaan orang tuanya," jawab Kenzi."Aku meragukan ucapanmu, kalau dia seperti yang Kau katakan tentu ia akan memilih untuk bertahan." Darren tidak percaya sepenuhnya.Kenzi menggedikkan bahunya, "Violin mendengar langsung dari mulutnya, itu sebabnya aku membuat hidupnya seperti di neraka."Kenzi yang merasa bosan di rumah memilih keluar untuk berjalan-jalan. Karena sering datang ke sini ia jadi tahu tempat-tempat makan maupun keramaian yang hendak di tuju. Ia mengeluarkan mobil aston martin milik Darren, dengan atap terbuka ia ingin menghirup udara segar perancis.Celana jeans hitam di padu dengan kaos tanpa lengan bertopi membuat otot pria itu menyembul sempurna. Membuat wanita yang melihatnya seolah terhipnotis. Kenzi memang sedikit narsis dan paling tahu caranya di puja oleh wanita."Dasar wanita! Tidak bisa melihat yang berotot, mata mereka akan teralihkan." Dia mengoceh sendiri sampai tidak terlalu fokus pada jalan di depannya hingga."Kenra, jangan lari...!" BrakTubuh gadis berambut kepang dua itu terpental karena tertabrak oleh sisi depan mobil yang dikendarai oleh Kenzi.Saat ini jadwal pulang anak sekolah, mereka sedang menunggu bus menjemput sampai akhirnya Kenra yang tidak sadar ada mobil yang sudah dekat hingga ia berlari menghampiri Petra."Kenra, Kenra!
Ralin duduk di depan ruang perawatan Kenra, kartu nama tersebut masih ada digenggamannya. Bagaimana mungkin dia menghubungi pria yang paling menyiksa hidupnya dulu yang ternyata adalah penyebab anaknya masuk rumah sakit.Ralin terlihat menyeka air matanya, sebuah sapu tangan tersodor dihadapannya, Ralin mendongak dan melihat ada bosnya berdiri di dekatnya."Tu-tuan!" Ralin segera berdiri menyapa dan sedikit menundukkan kepala."Saya datang mau menjenguk putrimu," kata Darren tanpa basa basi."Ta-tapi ...," Ralin merasa tidak enak hati, dia ini termasuk karyawan baru. Apa pantas bosnya datang menjenguk keluarganya."Di mana ruangannya?" Darren menyentak lamunan Ralin."I-ini, Tuan." Mau tak mau Ralin pun membuka pintu ruangan Kenra si gadis kecil yang sudah membuka matanya."Hai cantik!" sapa Darren dengan ramah dan Ralin tidak percaya dengan yang di lihatnya."Kenalkan, Paman Darren, teman mommymu!" Ia mengulurkan tangannya."Kenra," jawab anak itu singkat."Paman membawakan buah untu
"Mommy!"Kedatangan Ralin disambut antusias oleh Kenra, anak itu merentangkan tangannya.Awww"Jangan di angkat, tangan Kenra masih sakit." Ralin menegurnya lantas menghampiri putrinya, "tangannya di pasang gips saja ya!" bujuk Ralin."No Mommy, nanti tangan Kenra terlihat besar," tolaknya dengan wajah merengut."Tidak apa-apa sayang, itu supaya tangan Kenra tidak banyak bergerak," ucap Ralin memberi pengertian."Kenra akan terlihat jelek dan cacat."Ralin menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Kenra yang tampak ingin selalu tampil sempurna, dia benar-benar putri Kenzi.Ralin meraup kedua pipinya dengan lembut, "Kenra tetap cantik kok, gips itu hanya agar Kenra cepat sembuh lalu bisa menulis lagi dan belajar, hmmm, atau menyisir rambut mommy bagaimana?" Ralin menjelaskan dengan tersenyum, tidak mudah memang memberi pengertian pada anak yang kritis seperti Kenra. "Kalau Kenra pakai gips, apa kita akan pulang kerumah?" Ralin mengangguk tersenyum, "Dan Kenra bisa main lagi." Ia menamba
"Paman Kenzi!"Kenra yang melihat Kenzi di pintu menyapanya dengan ramah hingga membuat Ralin mati kutu, tak tahu harus mengatakan apa.Begitu juga dengan Kenzi yang ingin membalas sapaan Kenra, perlahan senyumnya berubah menjadi dingin kerana ada wanita masa lalunya di dalam.Kenzi berpikir cepat. Mungkinkah yang di maksud oleh Darren adalah Ralin dan Kenra ada hubungan apa mereka?"Kenzi, kenalkan ini Ralin dan Kenra putrinya!" Darren memecah suasana yang sempat diam.Ralin menetralkan hatinya yang bergemuruh hebat di dalam, dia yang sangat menghindari Kenzi justru Darren yang membawanya ke sini.Kenzi berjalan menghampiri Ralin, ia menyodorkan tangannya bersikap biasa saja seperti baru kenal hari ini."Kenzi!" ucapnya.Tangan Ralin sedikit gemetar dan dia pun ragu untuk membalas, teringat perlakuan Kenzi di masa lalu yang dengan kasar menepis tangannya."Ralin, Kenzi adalah sepupuku sekaligus sahabat. Dia datang dari Amerika." Darren menjelaskannya, dia takut mungkin Ralin anti den
Ralin memaksakan diri untuk tersenyum meski pun hatinya saat ini ketar-ketir setelah mendengar ucapan pria yang masih berstatus suaminya tersebut."Kau terlalu percaya diri Tuan Kenzi! Kenra putriku dan tidak ada hubungannya denganmu." Ralin tidak membenarkan ucapan Kenzi. Saat ini dia harus kuat dan melawan."Sayangnya aku tidak percaya," balas Kenzi dengan santai.Dalam hati Ralin menggeram, tidak ingin berlama-lama berhadapan dengan Kenzi ia pun berniat ingin mengusirnya."Aku rasa di antara kita tidak ada urusan, pergilah dari sini dan jangan pernah datang lagi!"Ingin rasanya Kenzi tertawa mendengar kalimat pengusiran itu."Kau lupa kalau Kau masih barstatus istriku?" matanya memelototi Ralin, "yah, meskipun aku tidak pernah menyukaimu."Lagi harga diri Ralin sukses tercabik oleh kata tidak menyukai dari mulut Kenzi. Tidak menyukai tetapi kenapa harus menyentuhnya dulu dan Kenzi tidak hanya sekali melakukannya."Tidak setelah aku memutuskan untuk pergi," sangkal Ralin. Ia membera
Fisik Kenra sudah bisa dibilang kuat, tinggal tangannya saja yang belum sembuh total, ia sebenarnya sudah meminta gipsnya dilepas, namun Ralin tidak mau karena takut Kenra tidak bisa menjagakannya.Setelah sarapan dan beberes rumah, Ralin menemani putrinya belajar, Ralin meminta materi pelajaran selama Kenra libur karena putrinya itu tidak mau ketinggalan pelajaran."Lima di tambah lima sama dengan?""Sepuluh, Mom," jawab Kenra.Ralin yang menuliskannya karena tangan tangan Kenra masih belum bisa di gerakkan.Begitu seterusnya hingga pelajaran menggambar, Ralin diminta untuk mewarnai sebuah rumah yang di halamannya terdiri dari tiga anggota keluarga.Ralin mewarnainya dengan senang hati sekaligus mengulang kenangan masa kecilnya yang suka menggambar, itulah sebabnya ia mengambil jurusan design perhiasan karena hobinya yang menggambar.Rumah berwarna coklat serta halaman dengan rumput beludru dan bunga-bunga bermekaran di dalam pot, membuat rumah itu seolah nyata, tidak jauh dari halam
Ralin akhirnya menyetujui dan menandatangani kontrak tersebut di hadapan Darren dan Victoria."Hanya kerja satu hari, Kau mendapatkan upah setara tiga bulan gaji," ucap Victoria seraya tersenyum."Satu lagi," ucap Darren menginterupsi, "kalau perhiasan yang Kau gunakan di acara pameran memenuhi target penjualan dalam waktu satu bulan, maka akan ada bonus tambahan.""Benarkah! Astaga! Aku senang sekali!" Ralin sangat antusias sampai tidak menyadari ada mata yang menyoroti dengan merendahkan."Paman Kenzi, lihat ini mommy yang menggambar." Suara Kenra mengalihkan tatapannya."Oh i-iya, dad... Pa-man ingin melihatnya." Hampir saja Kenzi menyebut dirinya daddy.Kenra tertawa dengan menutupi mulutnya dengan tangan kiri. Kenzi tidak jadi melihat gambar melainkan mengeryit karena Kenra seperti menertawakannya.Hi hi"Kau menertawakan paman?"Kenra yang mengangguk, "Kenra dengar, paman hampir saja mengatakan daddy. Apa paman mau menjadi gambar ini?"Kenzi menatap gambar yang di tunjuk oleh K
Wanita itu berdiri gelisah, lebih tepatnya marah karena baru saja menyaksikan wanita yang paling ingin dilenyapkannya pergi.Kenzi sudah menenangkannya dengan berbagai bujukan kata, tetapi Violin masih tidak tenang juga."Ada apa?" Darren yang sudah lama memperhatikan itu akhirnya mendekat dan bertanya pada Kenzi.Kenzi tidak menanggapi, tidak mungkin dia mengatakan kalau Ralin adalah istrinya dan Violin kesal karena itu. Tidak, Kenzi tidak ingin Darren tahu karena belum saatnya."Kalau ada masalah, apa tidak bisa dibicarakan di luar? Lihatlah orang-orangku terganggu dengan keributan tadi."Kenzi menatap sepupunya itu, tidak pernah Darren sekasar ini sebelumnya. Ia pun menatap kesekeliling, orang-orang yang mengatur acara malam itu langsung mengalihkan pandangan.Kenzi berdiri dan menarik tangan tunangannya, "Kita pergi dari sini!" ucapnya.Violin menyentak tangannya sehingga terlepas dari pegangan Kenzi. Matanya menyorot tajam, "Tidak, sebelum aku menemui ja*ang itu," tegasnya hingga
EndingLivi tersenyum menatap kepergian Ralin. Ia yang sudah meyakini bahwa Aice sudah berhasil tidur dengan Kenzi. Livi rasanya ingin kembali mengejar cinta Darren yang ingin menceraikannya.Hari, minggu dan bulan telah berlalu, namun Aice tetap berpura-pura lumpuh. Padahal Ralin dengan pantang menyerah membawanya terapi.Seperti hari ini, Ralin mendorong kursi roda Aice di sebuah mall, di sisinya ada Kenra berjalan. Mereka baru pulang dari rumah sakit dan Ralin mengajak Aice jalan-jalan, mulai dari makan hingga belanja kebutuhan.Sepulang dari pusat perbelanjaan itu, Ralin menepikan mobil di depan sebuah apotik. Dia ingin membeli vitamin untuk Kenra.Mobil melaju kembali ke rumah, bibi menunggu di depan pintu."Paket dari mana?" tanya Ralin begitu turun sari mobil."Ini untuk Aice, Nyonya," jawab Bibi.Ralin mengamati paket berukuran kecil itu sebentar kemudian masuk ke dalam rumah.Setelah nenerima paketnya, Aice masuk ke dalam kamar, karena sudah tidak sabar untuk mencoba, dia sam
Luke bangun dalam keadaan tak berbusana dan di kursi roda ia melihat Aice dengan diam seperti menahan sesuatu. Nafas Luke memburu, ingatannya terlempar pada kejadian tadi malam saat ia akan kembali ke rumah, ban mobilnya bocor dan sialnya tidak ada ban serap di mobil.Luke berdiri di luar mobil sambil berkacak pinggang. Dia tahu lokasi ini lebih dekat ke rumah kakaknya.Luke pun memutuskan meninggalkan mobilnya dan mulai berjalan kembali ke rumah Kenzi.Dia memencet bel dan Kenzi membukakan pintu."Ban mobilku bocor, pulang ke rumah terlalu jauh, jadi aku menginap di sini malam ini," katanya seraya berdiri.Kenzi bergeser agar adiknya itu bisa masuk, "Masuklah!" katanya lalu mengunci pintu, "tidak ada kamar kosong.""Aku tidur di sofa," kata Luke ringan."Kalau haus kau ambil sendiri di dapur, aku mau melihat Kenra dulu!" Kenzi belum sempat merapikan selimut saat bel pintu berbunyi.Luke pun berjalan ke dapur, dia melihat teh di atas meja dan sepertinya masih hangat. Pasti punya Kenzi
"Hai Kakak Aic!"Ralin menyapa gadis yang duduk di bangku belakang itu dengan ramah.Aice diam saja, bahkan mengalihkan tatapannya. Ralin yang menyadari itu menghela nafasnya, tangannya terulur mengusap rambut Kenra.Aice sangat sombong bahkan pada anak kecil sekalipun. Entah apa motif di balik kecelakaan itu. Ralin mengantar keduanya kembali ke rumah, sebelumnya ia memberikan pengertian pada Kenra untuk pergi sebentar.Ralin duduk di cafe dan salah seorang pria berpakaian hitam datang menghampiri mejanya."Namanya memang Aice, tinggal di panti asuhan, namun satu tahun terakhir dia keluar dan bekerja di sebuah club."Ralin menyimak dengan baik."Bagaimana dengan informasi dari polisi?" tanya pria itu."Belum ada informasi, mereka terkesan lambat dan aku tidak tahan untuk mengetahuinya.""Aku akan mencaritahu tentang kecelakaan itu, murni atau rencana, karena club itu belum berhasil ku tembus." Pria itu adalah kenalan Kenzi dan Ralin yang memintanya agar berurusan padanya."Aku ingin
Di rumah Aice tidak mau bicara, di beri makan pun dia enggan menyentuhnya. Entah apa yang ada di fikirannya. Kalau di lihat usianya masih sangat muda, tapi terlalu keras kepala."Kau butuh obat agar segera bisa pulih, apa kau tidak ingin bisa berjalan?" Bibi tentu saja kesal menghadapinya."Jangan pedulikan aku," bentaknya hingga membuat Bibi berjengkit, "aku hanya mau Kenzi yang menyuapiku."Bibi sengaja menunduk untuk menatap wajah Aice agar jelas terlihat, "Aku curiga, jangan-jangan kecelakaan ini adalah rencanamu."Aice gelagapan, "Ap-apa yang, Bibi katakan? Memangnya siapa yang mau seperti ini, tidak bisa berjalan dan bebas.""Nah, itu kau tahu, makanya makan makananmu dan jangan lupa minum obatmu. Untuk merebut Tuan Kenzi, kau harus lebih cantik dari Nyonya Ralin."Bibi pergi ke dapur setelah mengatakan kalimat itu, sebenarnya dia hanya ingin melihat rencana Aice."Aku memang harus cantik untuk memikat Kenzi, aku akan makan," kata Aice pelan. Kalimat bibi barusan menjadi motivas
"Nona apa yang anda lakukan?" Terdengar teriakan dari ruang tamu.Bibi terkejut melihat foto keluarga majikannya jatuh, pecah di lantai."Aku tidak sengaja, hanya lewat dan ...,""Sudah-sudah, menyingkirlah!" Bibi mendorong sedikit kursi roda Aice. Sebaliknya ia beranjak ke dapu mengambil sapu untuk membersihkannya.Sebenarnya dia sedikit aneh menatap gadis yang berada di kursi roda itu, bagaimana mungkin tersenggol, foto itu jelas lebih tinggi kalau di lewati tentu tidak akan mengenainya.Aice diam menyaksikan Bibi membersihkan serpihan kaca yang berserak, dari jatuhnya saja tidak mungkin sehancur ini. Pikirnya.Bibi curiga kalau itu disengaja, ia pun melempar tatap pada Aice."Bibi kenapa menatapku begitu? Bibi mencurigaiku?" Aice menantang mata itu."Entahlah, Aice. Kalau kau merasa di curigai, apa kau akan marah?""Tentu saja, aku kan sudah bilang tidak sengaja." Aice membela diri."Bibi, ada apa ini?" Ralin dan Kenzi datang dengan memakai kimono. Membuat tatapan Aice berubah. Tan
Akhirnya gadis itu bicara, dokter yang hendak pergi kembali memeriksanya, "Kau bisa bicara?"Gadis itu diam lagi."Katakan siapa namamu dan di mana keluargamu?" Kenzi ikut bertanya.Gadis itu menggeleng."Kalau kau tidak mengatakannya bagaimana kami akan mengabari keluargamu? Mereka pasti sangat cemas memikirkanmu." Ralin ikut menimpali, namun gadis itu tetap menutup mulutnya.Dokterpun pergi meninggalkan mereka bertiga di dalam.Ralin mengeluarkan ponselnya, mengabari pada Anne agar menghandle perusahaan."Terimakasih, Ann!" ungkap Ralin lalu menutup panggilan."Anda tidak perlu ada di sini!" Wanita itu bicara lagi, ia menatap Ralin benci.Ralin menyimpan ponselnya lalu mendekat pada gadis itu, "Aku istri dari pria yang menabrakmu, aku juga bertanggung jawab atas kesembuhanmu," sahut Ralin, sementara Kenzi kini tertidur di sofa, dia mengantuk karena tidak tidur semalaman."Aku tidak butuh, kamu."Ralin mengeryit, ia memperhatikan wanita itu, sakit atau hanya pura-pura."Tidak perlu m
Sesekali Kenzi menatap pintu IGD rumah sakit, di mana orang yang ia tabrak di tangani oleh petugas medis.Kenzi baru saja menabrak gadis muda yang hendak menyeberang jalan. Dari penglihatannya keadaan gadis itu cukup parah, karena rasa khawatirnya Kenzi bahkan tidak menghubungi Ralin."Korban tidak membawa kartu identitas, bagaimana kita akan minta persetujuan untuk mengambil langkah selanjutnya, sementara kakinya harus segera di operasi." Dokter berbicara dengan dokter lainnya."Melapor pada polisi untuk menyelidikinya akan memakan waktu lama, sampai ponsel korban diperbaiki kita akan tetap jalankan operasi." Dokter yang satunya memang lebih tegas dan berani dalam mengambil keputusan.Salah satu dari mereka menghampiri Kenzi, "Tuan, korban akan segera kami operasi, bagian kakinya. Sebagai orang yang bertanggung jawab. Tuan yang akan menandatangani berkas persetujuannya, untuk itu mari ikut saya!" Sore itu langsung di lakukan operasi setelah Kenzi menandatangani berkas persetujuannya
Kedatangan Livi ke perusahaan cukup mengusik konsentrasi Ralin, bisa-bisanya wanita itu menuduhnya menjadi penyebab retaknya hubungan rumah tangga mereka.Akhirnya ia memutuskan untuk pulang cepat, sekaligus menemani Kenra di rumah. Senyum Ralin tampak di bibir berwarna pink miliknya, ia membayangkan mereka akan dekat lagi seperti biasanya.Mobil Ralin sudah menepi di depan gerbang sekolah Kenra, tinggal menunggu beberapa menit lagi jadwal kepulangan anak-anak taman kanak-kanak itu.Ralin keluar dari dalam, wanita yang memakai kemeja biru muda berlengan panjang itu bersandar di mobilnya seraya menatap ke arah sekolah.Bel berbunyi pertanda jam pelajaran telah usai, lima menit dari itu anak-anak mulai berhamburan keluar dari ruangan masing-masing.Ralin melihat sosok Kenra berjalan dengan kedua tangan memegang tali tasnya, tampaknya Kenra belum menyadari kehadirannya."Kenra, siapa yang menjemputmu?"Langkah Kenra terhenti saat temannya bertanya.Kenra yang sedikit menunduk itu menggel
Saking antusiasnya memilih, Ralin sampai lupa pada putrinya sendiri. Mereka bahkan kembali ke perusahaan saat hari hampir menjelang malam."Semua belum lengkap, selebihnya akan ku kirim dari Prancis," kata Darren."Ah ya, terimakasih banyak!" ucap Ralin, "Kau sangat membantuku." Ralin menjabat tangan Darren. Sebenarnya dia masih sedikit canggung berada di dekat sepupu suaminya tersebut. Ralin tidak bodoh mengartikan gelagat Darren yang masih terlihat menyukainya. Pria itu terpaku sebentar menatap tangan mereka yang terpaut."Ehem ...." Deheman dari Anne membuat Darren tersentak dan segera melepas tangan Ralin."Nyonya, sudah waktunya pulang," kata Anne."Ah ya, ayo!" ajak Ralin yang sebenarnya terbantu karena Anne, "Tuan Darren, aku akan mengabarkan kedatanganmu pada Kenzi." Ralin menatap pria yang pernah menjadi bosnya tersebut.Darren hanya mengangguk.Ralin pulang bersama Anne, Darren masih memaku di tempatnya, ingin sekali dia mengajak Ralin makan malam, tapi keberadaan Anne memb