Alexandre menatap dingin kepada Majandra, yang berdiri di samping Damien. Pengusaha property tersebut sebenarnya tak ingin memedulikan mereka. Namun, Alexandre harus menjaga, agar jangan sampai ada pelayan di kediamannya yang melihat Majandra bersama pria lain. Pria itu tahu bahwa sang ibu menempatkan seorang informan, di antara beberapa asisten rumah tangga. Karena itulah, dia dan Majandra selalu menjaga sandiwara mereka.
Sebenarnya, Alexandre dan Majandra sangat kompak dalam bekerja sama. Namun, sayangnya cinta tak jua hadir dalam biduk rumah tangga mereka. Lebih tepatnya, di hati Alexandre. Pria itu tak jadi masuk ke rumah. Dia kembali ke dekat undakan anak tangga, yang menghubungkan teras dengan halaman di mana Damien memarkirkan kendaraan.
“Sudah terlalu malam. Sebaiknya kau segera pulang, Tuan Curtis. Pintu gerbang rumahku akan dikunci o
“Kau juga datang bersama kekasihmu. Kenapa aku tidak boleh?” ucap Majandra enteng.“Bukannya tidak boleh. Aku hanya berharap semoga kau tidak berciuman dengan pria itu di hadapan orang tuaku. Lagi pula, Lea akan mengisi acara di sana. Kami bertemu setelah semua selesai,” ujar Alexandre tak acuh.“Ah, kau memang licik.” Majandra tersenyum sinis. Dia tak ingin menanggapi lagi ocehan Alexandre. Majandra meletakkan kembali ponselnya. Wanita itu memejamkan mata, bersiap untuk tidur. Namun, baru saja dirinya terpejam, suara berat Alexandre kembali membuat si pemilik rambut cokelat itu terjaga.“Aku tak ingin kau mengacaukan semuanya. Ingat, orang tuaku akan hadir di sana. Jadi, jangan mempermalukanku,” tegas Alexandre. Tak biasanya, pria itu menjadi banyak bicara. Alex
“Alex!” jerit Lea seraya menghambur ke arah Alexandre. Dia tak menyangka bahwa lemparannya akan mengenai kening pria itu. “Astaga. Apa yang sudah kulakukan?” Lea menangis. Dia bermaksud mengusap darah yang menetes dari luka robek pria itu.Namun, dengan segera Alexandre menepiskan tangan Lea. Tanpa mengatakan apapun, dia berlalu dari hadapan sang model seksi tersebut.“Tidak, Alex!” Lea berusaha mencegah agar sang kekasih tidak pergi dari sana. “Tunggu, Sayang! Biarkan aku mengobati lukamu terlebih dulu.” Lea terus membujuk. Dia bahkan mengikuti Alexandre hingga ke lift.Akan tetapi, Alexandre tetap tak menggubris wanita itu. Dia langsung masuk ke lift, membiarkan Lea dengan rasa bersalah yang teramat besar di hatinya.
“Angin apa yang membuatmu tiba-tiba tertarik ikut ke acara seperti ini?” tanya Julien dengan tatapan penuh selidik. Dia memperhatikan Damien yang tengah mengenakan jas serta merapikan diri. Malam itu, mereka akan menghadiri acara penggalangan dana. “Bukankah Ayah menyuruhku pulang dari Inggris untuk acara-acara seperti ini?” Damien menoleh kepada Julien, lalu tersenyum kalem. “Ingat, Nak. Aku ingin kau kembali ke Perancis demi perkembangan kariermu. Kuharap, kau tidak berulah macam-macam,” ucap Julien seraya menepuk lengan putra bungsunya. Dia seakan tengah mengingatkan sang putra, agar tidak membuat masalah. “Tenang saja, Yah. Aku tahu apa yang kulakukan.” Damien kembali menyunggingkan senyuman kalem. “Apa kita akan berangkat sekarang? Semoga aku tidak terbang karena dasi kupu-kupu ini,” celetuknya diiringi keluhan pendek. “Kau bersemangat sekali,” sindir Julien halus. Dia merengkuh pundak Damien, lalu mengajak pria tiga puluh empat tahun
Seketika, Majandra menghentikan geraknya. Terlebih, karena ada beberapa wanita lain yang juga masuk ke sana. Majandra bergerak mundur sambil memegangi sebelah sepatunya, ketika dua orang wanita menghampiri Lea dan membantu wanita itu. “Astaga. Bagaimana mungkin wanita secantik dirimu bisa melakukan perbuatan keji seperti ini?” Majandra tidak menjawab. Dia hanya berdiri terpaku, dengan sebelah kaki yang berjinjit. Wanita berdarah Meksiko tersebut menatap tajam Lea. Model cantik tersebut diperlakukan bak korban, oleh para wanita yang ada di toilet. Satu hal yang membuat Majandra tersadar, ketika ada wanita lain datang ke sana bersama seorang pria. Sepertinya, pria itu merupakan petugas keamanan. “Wanita itu!” tunjuknya pada Majandra. Aku melihatnya sedang mengangkat sepatu yang bersiap untuk dipukulkan kepada korban,” ujarnya yakin. "Ya. Hanya karena salah paham, dia menyerangku tanpa alasan yang jelas," ujar Lea seraya bangkit. Dia meringis kes
"Apa maksudmu, Ayah?" Alexandre mencoba berkilah. Dia berpura-pura tak mengerti dengan ucapan Phillipe. "Sudahlah, Alex. Aku telah mengetahui hal ini sejak lama. Kau pikir bisa membodohi ayahmu dengan begitu mudah?" Phillipe menaikkan sebelah alisnya. Pria paruh baya tersebut mengembuskan napas berat. Dia lalu berdiri di hadapan Alexandre, yang masih duduk sambil memandang ke arahnya. "Aku tidak mengerti ...." Belum sempat Alexandre melanjutkan kata-katanya, satu tamparan keras mendarat di pipi pria tampan tersebut. "Jangan bertindak macam-macam, Alex!" ucap Phillipe penuh penekanan. "Kau tahu apa akibatnya, jika dirimu sampai membuat masalah dengan Majandra. Aku tak akan pernah membiarkan hal itu terjadi." Tegas dan terkesan penuh ancaman, ucapan Phillipe terhadap putranya. Selagi Alexandre memberikan penjelasan kepada Phillipe, Majandra tak langsung pulang. Dia menghentikan taksi yang ditumpanginya di tengah perjalanan. Wanita itu berjalan,
"Kenapa kau ingin membantuku, Damien?" Majandra menatap lekat pria yang pernah bercinta dengannya, saat mereka sama-sama berlibur ke Maldives.Damien tersenyum kalem. Dia masih menggenggam erat jemari Majandra. "Aku akan melakukan apapun untukmu," jawabnya ringan, tapi meyakinkan."Apapun?" Majandra mengernyitkan kening."Ya. Apapun," sahut Damien menegaskan. "Jika kau berpikir bahwa aku menginginkan sesuatu darimu, anggap saja begitu. Aku ingin timbal balik. Ya, segala hal yang dilakukan harus memberikan keuntungan bagiku, termasuk dengan membantumu. Aku tak akan menjadi seseorang yang munafik.""Kau terlalu jujur," ucap Majandra. Tangisnya sudah mulai reda. Wanita itu dapat kembali tersenyum, meski tampak sangat dipaksakan. "Apa lagi yang kau inginkan darik
Majandra menoleh seraya tersenyum sinis. Dia membalikkan badan, meski bahasa tubuhnya terlihat malas. “Kenapa? Kau takut jika tak lagi menyandang nama besar LaRue? Hanya sampai di situ nyalimu, Alex?” cibirnya diiringi senyum puas.Alexandre berjalan menghampiri Majandra. Dari langkahnya, terlihat jelas bahwa pria itu membawa amarah besar saat mendekati wanita yang telah dinikahi selama tiga tahun tersebut. “Ini bukan hanya tentang nama besar, Majandra! Kau pikirkan saja sendiri, apa yang akan terjadi andai publik tahu dengan kemelut yang terjadi dalam keluargaku!”Majandra kembali tersenyum mencibir. “Saat ini, aku sedang tak ingin memikirkan apa atau siapa pun selain diri sendiri. Kau tahu bukan? Semua orang seakan memojokanku. Aku cemburu buta karena mengira bahwa suamiku telah berselingkuh. Luar biasa, Alexandre.” M
“Apa?” Alexandre meletakkan tas berisi perlengkapan bermain golf di dekat kursi. Dia langsung meraih kertas tadi, lalu membacanya sambil berdiri. “Astaga, apa yang dia lakukan?” gumamnya seraya menautkan alis. Alexandre meletakkan kembali surat panggilan dari pihak kepolisian, yang ditujukan untuk Majandra. “Aku tidak menyangka bahwa Lea akan nekat melakukan ini,” ucapnya. Tiba-tiba, dia memutuskan duduk di sebelah Majandra.“Dia kekasihmu. Kau jauh lebih mengenalnya.” Majandra menggeser tubuh ke sebelah, sehingga memberi sedikit jarak dari Alexandre.“Aku akan bicara dengan Lea,” ucap Alexandre tanpa menoleh. Dia kembali mengenakan topi yang tadi sempat dilepas, saat dirinya duduk di sebelah Majandra.“Kurasa, biasanya juga kalian l
Langit cerah menaungi Kota Paris, ketika Damien dan Majandra keluar dari bandara. Mereka langsung memasuki mobil jemputan yang sengaja Alexandre siapkan. “Selamat siang, Nyonya,” sapa sopir yang tak lain adalah Felix. Majandra menanggapi sapaan tadi dengan anggukan pelan. Dia tak mengatakan apa pun, karena dirinya tak lagi mengenali Felix. Namun, Felix sudah mengetahui kondisi Majandra. Dia tetap bersikap ramah seperti biasa. “Kita akan langsung ke kantor pengacara. Tuan Alexandre sudah menunggu Anda di sana,” ucap pria yang sudah mengabdi sekian lama kepada Alexandre. “Iya,” sahut Majandra pelan. Dia menoleh kepada Damien, yang menatapnya penuh arti. Majandra tersenyum, sambil meremas pelan jemari pria yang sengaja menemani dirinya ke Perancis. Majandra mengalihkan pandangan ke luar jendela. Dulu, dia kerap menjelajahi setiap sudut jalanan Kota Paris. Namun, semua itu sudah terhapus dari ingatannya. Majandra juga tak menyangka, bahwa dirinya akan bercerai dari Alexandre, dal
“Damien …,” desah Majandra pelan, setelah pria tampan bermata abu-abu itu melumat mesra bibirnya. “Oh ….” Desahan manja meluncur begitu saja, ketika Damien menjalarkan ciuman lembut penuh godaan ke leher. Geli dan nikmat bercampur menjadi satu, membuat Majandra memejamkan mata sambil menggigit pelan bibirnya. “Berbaliklah,” bisik Damien setelah puas mencium mesra Majandra. Majandra tersenyum. Dia membalikkan badan. Wanita itu menebak apa yang akan Damien lakukan. Majandra mengangkat tangan lurus ke atas.Perlahan, Damien menaikkan T-Shirt longgar yang Majandra kenakan. Dia melepas, lalu melempar kaos polos berwarna putih tadi ke lantai. Begitu juga dengan tali bra berwarna hitam yang melintang di sana. Kini, Majandra hanya mengenakan pakaian dalam, masih dalam posisi membelakangi pria tampan tersebut. “Aku menyukai warna kulitmu,” ucap Damien pelan sambil mengecup pundak Majandra. Perlakuan sederhana, yang seketika menimbulkan desiran aneh dalam dada wanita berambut panjang itu. Ma
Majandra sudah bersiap untuk meninggalkan rumah sakit. Penampilannya terlihat jauh lebih rapi dan segar, meski masih ada beberapa sisa luka di wajahnya. Namun, itu tak sedikit pun mengurangi kecantikan wanita asal Meksiko tersebut. Sementara, Alexandre juga sudah melunasi seluruh biaya administrasi. Dia bahkan telah kembali ke kamar rawat Majandra. Alexandre begitu terpesona, melihat kecantikan sang istri yang tak lama lagi akan dirinya ceraikan. Namun, sesaat kemudian pria itu tersadar. Sang pemilik La Bougenville tadi harus membuang jauh segala ketertarikan serta perasaan indah, yang baru dia persembahkan terhadap Majandra. “Kita pergi sekarang?” tanya Damien yang sudah datang menjemput, sambil mendorong kursi roda ke dekat sofa di mana Majandra berada.“Untuk apa kursi roda ini?” tanya Majandra dengan tatapan heran, kepada Damien yang berdiri di dekatnya. “Tentu saja untukmu,” jawab Damien enteng, diiringi senyuman kalem. Majandra menautkan alisnya. Dia menatap semua yang ada d
Majandra terdiam beberapa saat, setelah mendengar penuturan Alexandre. Dia menatap Miguel sekilas, lalu beralih kepada Amelia. “Tolong tinggalkan kami bertiga,” pinta wanita cantik itu. Meski dalam keadaan hilang ingatan, ternyata tak membuat Majandra kehilangan aura tegasnya.“Sayang ….” Amelia seakan hendak melakukan protes.Namun, Miguel memberi isyarat. Pria itu menggeleng samar. Dia langsung meraih tangan sang istri, lalu mengajaknya keluar kamar.Kini, di dalam sana hanya ada Majandra bersama dua pria tampan yang mencintainya. Wanita berambut cokelat itu awalnya memandang lekat Alexandre, lalu beralih kepada Damien. Lagi-lagi, dia seperti tak kuasa mengalihkan pandangan dari sosok berparas rupawan dengan warna mata sama seperti dirinya.
“Ya, Tuhan.” Amelia langsung menghambur ke dalam pelukan Miguel. Dia tak mampu membayangkan, andai Majandra mengalami amnesia secara permanen. “Apa dosaku, Sayang? Kenapa Tuhan menegurku dengan cara seperti ini?” Amelia tak kuasa menyembunyikan kepedihannya. “Tenangkan dirimu, Sayang,” ucap Miguel seraya menepuk-nepuk punggung sang istri. “Apa yang terjadi pada Majandra, bukanlah karena kesalahanmu atau siapa pun. Tak ada hukuman dari dosa seseorang, yang dialihkan pada orang lain,” ucap pria paruh baya itu lembut. Sementara, Alexandre hanya diam. Terlebih, karena dia tak mengerti apa yang mertuanya itu bicarakan. Alexandre baru bereaksi, saat dirinya menerima satu pesan masuk. Dia langsung membalas pesan tadi.[Kemarilah]Sesaat kemudian, Alexandre berdiri. Dia menyambut kehadiran seseorang yang sedang dirinya tunggu. “Kupikir kau tak akan datang,” ucap pria berambut cokelat tembaga itu, pada seseorang yang tak lain adalah Damien. “Itu sudah merupakan satu jawaban bagiku,” ucapnya
Damien menyambut kedatangan Alexandre. Dia bahkan mengarahkan tangannya ke kursi, agar suami Majandra tersebut duduk. “Aku sudah memesankan kopi untukmu. Kuharap, kau menyukainya,” ucap Damien tenang. “Kita satu selera,” balas Alexandre. Ucapannya menyiratkan banyak makna.“Ya. Kau benar.” Damien tersenyum samar. Pria itu terdiam sejenak, saat seorang pelayan menghampiri mereka. Dua cangkir kopi pesanan Damien tersaji di meja. Tanpa dipersilakan, Alexandre langsung mencicipi kopi yang Damien pesan tadi. Entah karena haus, atau sekadar untuk menanggulangi gugup yang tiba-tiba menyergap. Alexandre bahkan beberapa kali mengembuskan napas pendek, demi menetralkan perasaan.“Jadi, untuk apa kau mengajakku bertemu?” tanya Damien membuka percakapan. “Aku ingin membahas sesuatu tentang Majandra,” jawab Alexandre datar.Raut wajah Damien seketika berubah. Kali ini, gilirannya yang merasa gugup. Damien meraih gagang cangkir, lalu meneguk kopi yang sama. Sesaat kemudian, barulah pria tampan b
“Apa? Aku?” Damien melayangkan tatapan protes.“Ayolah, Kawan. Siapa tahu kau menemukan teman hidup di sana. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi beberapa detik kemudian,” ujar Robert setengah membujuk.“Omong kosong.” Damien beranjak dari sofa. Dia menuju dapur dengan sekat dinding setengah, sehingga Robert masih bisa melihat apa yang pria itu lakukan. “Aku belum terpikir untuk pergi jauh dari Eropa. Kau jangan menjadikan statusku sebagai senjata untuk ….” Pria tampan bermata abu-abu itu menggantungkan kalimatnya. Benak putra bungsu Julien Curtis tersebut, seketika tertuju kepada Majandra.“Boleh kupikir-pikir dulu? Aku ingin meminta pendapat ayahku sebelum mengambil keputusan,” ucap Damien sesaat kemudian. Dia meraih gagang cangk
“Bagaimana mungkin aku tak tahu nama sendiri?” Majandra menatap sayu, pada dokter yang duduk di hadapannya. “Apa yang terjadi padaku, Dokter?” Dia terdengar begitu resah.“Tenangkan diri dulu, Nyonya. Kita masih harus melakukan beberapa tes, untuk memastikan kondisi Anda yang sebenarnya. Kami tidak bisa memberikan diagnosa secara sembarangan,” ujar sang dokter seraya berdiri. Dia menatap satu per satu, semua yang ada di sana.“Kami akan menjadwalkan serangkaian tes. Semua itu harus dilakukan, demi mendapat hasil pemeriksaan yang lebih akurat,” ucap dokter itu lagi. Membuat semua yang ada di sana kembali diliputi rasa khawatir. “Untuk permulaan, kami akan melakukan tes darah serta tes kognitif terhadap Nyonya Majandra LaRue. Setelah itu, barulah dilanjutkan dengan serangkaian tes lainnya."
Refleks, Damien berlari ke dalam kamar rawat. Setelah berada di sana, dia tertegun. Pria itu melangkah perlahan ke dekat ranjang. Dia melihat Majandra sudah membuka mata. Bahagia dan haru bercampur menjadi satu. Damien tak tahu harus berkata apa. Dia hanya berdiri mematung, sampai seorang perawat masuk ke sana. “Tolong keluar dulu, Tuan,” pinta sang perawat sopan. Damien tidak menyahut. Pria itu tampak kebingungan. Dia menanggapi ucapan perawat tadi dengan anggukan samar, lalu melangkah keluar. Sebelum benar-benar berlalu, Damien sempat menoleh pada perawat yang tengah memeriksa kondisi Majandra. Setelah berada di luar kamar, Damien tersadar. Dia tertegun mendapati Miguel, Amelia, dan Alexandre yang serempak menatap ke arahnya. “Ah, maaf. Aku tadi hanya refleks.” Pria tampan bermata abu-abu tadi menjadi salah tingkah. Damien mengacak-acak rambutnya, sebagai penghalau rasa kikuk yang mendera. “Kau terlihat sangat bahagia mendengar Majandra telah siuman,” ucap Miguel dengan sorot pe