Flavia melihat Ghea, Freya, Shera, dan Dearra di sana. Mereka menyambut Flavia yang baru saja masuk. Melihat kakak-kakak iparnya, tentu saja membuat Flavia bingung. “Kakak di sini?” tanya Flavia bingung. “Iya, kami di sini. Untuk meriasmu.” Freya menjawab dengan senyum di wajahnya. Flavia masih dalam kebingungannya. “Merias untuk apa?” Dia yang bingung pun segera bertanya. “Sudah, ayo kita tidak punya banyak waktu.” Ghea segera menarik adik iparnya itu untuk duduk. Flavia hanya bisa terpaku saja ketika melihat akan hal itu. Dia benar-benar tidak mengerti kejutan apa yang disiapkan Bian untuknya, sampai kakak-kakaknya turun tangan semuanya. Freya merias wajah Flavia bersama Shera, sedangkan Ghea dan Dearra merapikan rambut Flavia. Satu tubuh dikeroyok empat orang. Tak butuh waktu lama, akhirnya Flavia selesai juga berias. Wajah Flavia tak kalah cantik ketika dirias oleh penata rias. “Sekarang pakai gaunnya.” Ghea segera menyerahkan gaun pada Flavia. Flavia melihat gaun dari pant
Menunggu lift untuk sampai di lantai di mana kamar mereka berada membuat Flavia tersipu malu. Perasaannya tidak karuan. Senang, berdebar, sedikit takut, dan sedikit cemas. Tentu saja itu membuat keheningan di antara dirinya dan sang suami. “Kenapa pucat?” Bian memiringkan kepalanya untuk melihat wajah Flavia. Mendapati tatapan Bian, Flavia dibuat salah tingkah. “Siapa yang pucat?” elaknya. Bian meraih tangan Flavia. Telapak tangan sang istri berkeringat. Jelas itu menandakan jika sang istri sedang cemas. “Bukannya kemarin kamu yang begitu menginginkannya.” Bian berbisik di telinga sang istri. Menggoda sang istri ternyata sangat mengasyikkan. Apalagi ketika sang istri sedang cemas. “Iya.” Flavia mengangguk. “Kamu berani?” Bian memastikan kembali.“Tentu aku berani.” Jelas dusta yang dikatakan Flavia. Dia tidak benar-benar berani seperti yang dikatakannya.“Baiklah, kita lihat saja.” Bian tersenyum. Gemas sekali sebenarnya melihat wajah sang istri. Lift terbuka, Bian dan Flavia m
Dua hari Flavia dan Bian menginap di hotel. Mereka menghabiskan waktu berdua. Walaupun sudah bisa ditebak apa yang mereka lakukan selama itu. Bian dan Flavia tidak langsung pulang. Mereka memilih ke rumah mommy dan daddy lebih dulu karena ternyata Ethan berada di sana. Mommy Shea kemarin meminta Ethan untuk tinggal di rumah. Merasa kasihan Ethan sendiri di apartemen. Saat sampai di rumah, Bian mendapati Ethan yang sedang sibuk memasak dengan para ibu. Mereka sangat sibuk sekali. “Kalian sudah pulang.” Mommy Shea menatap anak-anaknya. Merasa begitu senang sekali karena ternyata anaknya datang ke rumah. “Iya.” Bian dan Flavia menjawab bersamaan. Namun, pandangan mereka teralih pada Ethan yang sedang sibuk di dapur. Tampak para wanita menyuapi Ethan untuk mencicip masakan mereka. Flavia merasa bingung adiknya dikepung ibu-ibu di dapur. “Adikmu sedang mengajari kami masakan Italia.” Mommy Shea memberitahu menantunya. “Dia jadi bintang di sini.” Mommy Shea kembali menambahkan. Fla
“Apa benar kamu tidak pernah merawat anak-anak dengan benar?” Papa Harry langsung melemparkan pertanyaan itu pada istrinya. Mama Agnes begitu terkejut sekali. Dia tidak menyangka jika suaminya akhirnya tahu setelah puluhan tahun. Mama Agnes justru takut ketika suaminya bertanya padanya seperti itu. Melihat istrinya yang diam tentu saja membuat Papa Harry yakin jika istrinya memang tidak memperlakukan dengan baik anak-anaknya. “Sejak awal menikah, aku sudah bilang jika aku punya anak. Aku sudah bertanya apakah kamu siap memberikan kasih sayang. Jika aku tahu jika kamu tidak menyayangi anakku dengan baik, aku tidak akan menikahimu.” Papa Harry benar-benar kecewa sekali. “Jadi kamu menyesal menikah denganku?” Mama Agnes tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh suaminya tersebut. Kehadirannya seolah tidak dihargai sama sekali. “Iya, aku menyesal. Karena kamu merusak masa kecil anak-anakku.” Papa Harry menyesal ketika meninggalkan luka pada hati anak-anaknya. Padahal mereka pastiny
“Sepertinya Kak Bian benar-benar mencintai Kak Fla.” Ethan menghampiri kakaknya dan menemani kakaknya yang sedang memasak. “Iya, dia benar-benar mencintai aku.” Flavia juga merasa jika Bian memang begitu mencintainya. Walaupun awal perjalanan cinta mereka terasa sulit sekali. “Aku senang akhirnya Kak Fla menemukan orang yang tepat. Aku jauh lebih tenang sekarang.” Selama ini ada perasaan takut jika kakaknya tidak akan bahagia. Namun, semua sirna ketika melihat kakaknya begitu bahagia. Apalagi ada keluarga yang begitu baiknya. “Belajarlah yang benar. Jangan khawatirkan aku.” Flavia tersenyum. Dia ingin adiknya lulus dengan nilai terbaik. Agar kelak bisa mendapatkan kehidupan yang layak. “Tentu aku akan belajar dengan benar.” Ethan sadar jika pastinya kakaknya khawatir dengannya. Untuk sementara ini, dia tidak mengatakan jika nanti dia akan bekerja paruh waktu. Karena menurutnya, itu akan membebani pikiran kakaknya. Yang terpenting, kuliahnya bisa terlaksana dengan baik, dan lulus t
Bian memerhatikan Flavia yang sedang memoles wajahnya di depan cermin. Hari ini Flavia akan ada acara reuni. Walaupun reuninya akan diadakan siang, tetapi dia harus berangkat pagi untuk melakukan persiapan dan memastikan jika semuanya akan aman selama acara berlangsung. “Apa Nevan juga datang pagi?” tanya Bian menatap sang istri yang sedang berdandan. Sejujurnya, dia merasa begitu kecewa sekali karena tidak bisa ikut dengan Flavia. Juga tidak bisa mengawasi sang istri di sana. “Dia bukan panitia. Jadi tentu dia tidak datang pagi-pagi. Dia akan datang siang seperti yang lain.” Sambil memoles wajahnya, Flavia mencoba menjelaskan. Bian mengangguk-anggukkan kepalanya. Walaupun mengerti apa yang dikatakan sang istri, tetap saja dia merasa takut. Wajah cemasnya itu tidak bisa dibohongi dari wajah Bian. Flavia melihat wajah Bian dari pantulan cermin. Dilihatnya sang suami menekuk bibirnya. Seolah tampak kesal sekali. “Apa kamu tidak percaya denganku?” Flavia menatap sang suami dari pant
Sayangnya, saat obat diminum, tidak ada reaksi apa-apa. Sesak yang dirasakan Bian semakin bertambah. Wajah Bian sudah merah-merah. Bibirnya pun sudah bengkak karena makan bubur kepiting itu. “Bi.” Daddy Bryan mulai panik. Reaksi tubuh Bian jauh lebih parah dibanding dirinya. “Dad, a-aku ti-dak bi-sa na-pas.” Bian mencoba menjelaskan pada daddy-nya. “Bry, sepertinya reaksinya lebih parah dibanding kamu.” Papa Felix melihat Bian yang benar-benar sudah sangat kesakitan, meskipun sudah minum obat. “Lalu kita harus apa?” Daddy Bryan menatap Papa Felix.“Kita harus bawa dia ke rumah sakit. Bisa-bisa dia tidak bernapas jika dibiarkan.” Papa Felix jelas takut jika terjadi apa-apa dengan Bian. “Baiklah, ayo kita bawa ke rumah sakit.” Daddy Bryan setuju. “Bi, ayo kita ke rumah sakit.” Daddy Bryan mengangkat tubuh Bian. Memapah ke mobil. Papa Felix segera mengambil kunci mobil temanya yang berada di nakas. Dengan segera dia keluar untuk membuka pintu mobil. Daddy Bryan segera memasukkan Bi
“Dad, bagaimana keadaan Bian?” Ghea langsung melemparkan pertanyaan itu. “Sayang, Bian kenapa?” Mommy Shea menarik lengan Daddy Bryan. Daddy Bryan bingung harus menjawab apa. “Bian sesak napas karena alerginya kambuh.” Daddy Bryan memberitahu istrinya. “Bagaimana bisa alerginya kambuh? Apa dia makan udang, kepiting, atau kerang?” Mommy Shea melempar pertanyaan bertubi-tubi. Daddy Bryan panik. Dia memilah kata yang tepat untuk diberikan pada istrinya. Tak mau sampai sang istri marah. “She, sebaiknya kamu masuk dulu untuk melihat keadaan Bian.” Papa Felix mengalihkan perhatian Mommy Shea. Dia tahu jika temannya tidak bisa menjawab pertanyaan sang istri. “Felix benar, She. Cek dulu Bian.” Mama Chika membenarkan apa yang dikatakan oleh suaminya. Mommy Shea mengangguk. Dia segera berlalu masuk ke ruang perawatan. Disusul oleh Ghea, Freya, Mama Chika, Mommy Selly, Mama Lyra, Shera, dan Dearra. Mereka semua masuk ke ruang perawatan.Daddy Bryan lega karena akhirnya dia terselamatkan s
Bayi Flavia dan Bian masih di ruang NICU karena mereka masih perlu perawatan. Mengingat berat badan mereka masih begitu kecil. Flavia sendiri sudah belajar bangun paska operasi. Dia semangat melakukan itu semua karena ingin segera bertemu dengan anak-anaknya. Flavia pergi ke ruang NICU diantar oleh Bian. Dia duduk di kursi roda didorong oleh suaminya. Flavia ingin menyusui anak-anaknya. Tidak hanya sendiri, Flavia bersama dengan papanya, mertuanya, kakak, dan bibi dan paman mertuanya. Mereka semua melihat anak-anak Flavia dan Bian lebih dulu dari balik kaca. Tiga anak sedang pulas tertidur. Hal itu membuat mereka begitu gemas sekali. “Kalian sudah punya nama?” Mommy Shea menatap Flavia dan Bian. “Sudah Ma.” Flavia mengangguk. “Siapa?” Daddy Bryan begitu penasaran sekali dengan nama cucunya.“Si sulung, namanya Nathan Fabio Adion.” Karena anak laki-lakinya lahir pertama, jadi Bian menyebutnya sulung. “Itu yang bibirnya tebal namanya Fiorenza Claire Adion.” Bian menunjuk satu anak
Bian mengajak Flavia keliling komplek. Kebetulan sore hari. Cuaca tidak terlalu panas, jadi enak untuk berkeliling komplek. “Apa kamu suka?” Bian menoleh sejenak pada sang istri. “Tentu saja aku suka. Ternyata seru sekali.” Flavia begitu berbinar menikmati perjalanan. Angin yang bertiup sepoi-sepoi begitu nikmat sekali. “Kapan lagi kita berlima bisa naik motor ini. Nanti jika anak-anak lahir. Aku rasa hanya cukup mereka bertiga.” Bian tertawa. “Iya, satu di sana, dan dua di sini.” Flavia menunjuk tempat duduk di belakang Bian.“Iya, pasti seru membawa mereka bertiga keliling komplek bersama.” Bian sudah membayangkan akan seseru apa nanti kehidupan mereka dengan tiga anak. Bian dan Flavia menikmati perjalanannya keliling komplek. Bian melihat wajah sang istri yang benar-benar berbinar. Tidak sia-sia akhirnya Bian membelikan motor. Walaupun entah kapan akan dipakai lagi. Puas berkeliling-keliling. Akhirnya mereka kembali ke rumah. Bian membantu Flavia untuk turun dari motor. Tanga
Flavia mengukur perutnya yang sudah semakin membesar. Flavia selalu mencatat berapa ukuran perutnya. Tak hanya itu, dia mengambil foto setiap perkembangan besar perutnya. Itu akan dipakainya untuk dokumentasi.Bian yang masuk ke kamar melihat sang istri yang sedang asyik mengukur perutnya. Rasanya gemas sekali melihat istrinya. Bian menghampiri sang istri. Memeluk dari belakang. “Tanganku sepertinya tidak muat untuk memeluk.” Perut Flavia yang besar membuat Bian kesulitan.“Iya, ternyata besar sekali perutku.” Flavia sendiri merasa jika yang dikatakan sang suami benar. “Dengar, nanti kamu harus duduk diam saja. Aku yang akan memilih.” Rencananya hari ini Bian, Flavia, dan keluarga akan memilihkan baju untuk anak mereka. Mengingat usia kandungan cukup besar, sebenarnya Bian tidak tega untuk membiarkan sang istri memilih baju untuk anak mereka. “Baiklah, aku akan diam saja nanti di sana. Duduk manis, dan membiarkan kalian untuk memilih.” Flavia tersenyum. Dia juga tidak yakin jika ak
Kehamilan Flavia sudah mencapai enam bulan. Perut Flavia semakin besar. Ukurannya tidak seperti orang hamil pada umumnya. Itu karena di dalam kandungan Flavia ada tiga janin yang tumbuh. Hari ini Flavia akan mengecek kandungannya. Bulan ini rencananya mereka akan mengecek jenis kelamin, karena dua kali pemeriksaan tidak terlihat. Seperti biasa Bian dan Flavia tidak sendiri. Ada mommy, daddy, dan kakak-kakak mereka. Yang penasaran tidak hanya Flavia dan Bian saja. “Setelah ini kira-kira siapa lagi yang akan kita antar untuk ke rumah sakit memeriksakan kandungan?” Mommy Shea menatap anak-anaknya. Semua kakak Bian langsung menggeleng. Karena tidak ada dari mereka yang berniat memiliki anak lagi. Tentu saja Flavia dan Bian adalah yang terakhir diantar oleh keluarga saat memeriksakan kandungan. Tentu saja itu membuat mereka semua memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Mama Lyra sudah menunggu di ruang pemeriksaan. Segera Flavia melakukan pemeriksaan. Mama Lyra segera mengecek keadaan janin
Tidak ada makanan sama sekali di lemari pendingin. Hal itu membuat Bian bingung apa yang bisa dimakan sang istri malam-malam seperti ini.“Bagaimana jika kita ke restoran cepat saja? Mereka buka dua puluh empat jam. Jadi aku rasa kita bisa beli makanan di sana.” Bian pun memberikan ide.“Aku mau.” Sudah hampir sebulan ini Flavia di rumah. Berkutat di rumah terus. Walaupun ada keponakannya, tetap saja dia bosan. Jadi saat diajak keluar, tentu saja dia merasa senang.“Baiklah, kita ambil baju hangat dulu.” Bian mengajak sang istri untuk segera ke kamarnya.Bian dan Flavia menggunakan mobil untuk ke restoran cepat saja. Jalanan begitu lengang sekali. Mengingat sudah malam. Flavia benar-benar senang sekali. Akhirnya setelah sekian lama dia bisa keluar dari rumah, dan lebih menyenangkan adalah melihat suasana luar.“Kamu senang sekali.” Bian melihat jelas sang istri yang begitu senangnya.“Iya, kamu tahu bukan jika aku sudah sebulan jadi tahanan.” Flavia dengan wajah polosnya menatap Bian.
Mama Lyra segera melakukan tindakan untuk menolong Flavia. Beruntung pendarahan dapat diatasi. Setelah pendarahan dapat diatasi, Mama Lyra meminta perawat untuk membawa ke ruangan USG. Dia ingin memastikan keadaan kandungan Flavia. Bian senantiasa menemani Flavia.Mama Lyra memeriksa kandungan Flavia lewat layar USG. Tubuh Flavia yang lemas hanya pasrah saja ketika Mama Lyra melakukan pemeriksaan.Mama Lyra membulatkan matanya ketika melihat kandungan Flavia. Hal itu membuat Bian begitu panik.“Ma, ada apa?” tanya Bian. “Apa anakku kenapa-kenapa?” Bian benar-benar khawatir sekali.“Ada tiga janin di dalam kandungan Flavia.” Mama Lyra menatap Bian. Kemarin dia tidak melihat. Jadi kali ini dia cukup terkejut.Bian membulatkan matanya. Anaknya tidak lagi kembar dua saja, seperti kakaknya, tetapi tiga. Tentu saja itu membuatnya begitu terkejut.“Sayang, anak kita ada tiga.” Bian meraih tangan Flavia. Memberitahu sang istri. Kebetulan saat dibawa ke ruang USG Flavia tersadar.Flavia tidak
“Aku sudah mencari informasi dari internet, dan sepertinya tidak boleh.” Flavia tadi sempat mencari informasi apa saja yang tidak boleh dilakukan saat hamil muda. Dan dia menemukan hal itu. Apalagi jika bukan larangan untuk berhubungan suami istri. Bian mengembuskan napasnya. “Aku akan coba tanya Kak Dean saja. Agar lebih percaya.” Dia masih tidak percaya. Karena itu dia memilih untuk menghubungi kakak sepupunya itu. Bian segera bangun dari posisi tidurnya. Hal yang pertama dilakukannya adalah mengambil ponselnya. Kemudian, menghubungi Dean. “Halo, Bi.” Suara Dean dari seberang sana terdengar. “Kak, aku mau tanya?” “Tanya apa?” Dean di seberang sana bertanya. “Apa saat hamil muda tidak boleh melakukan hal intim?” Bian tanpa basa-basi bertanya. “Tentu saja tidak disarankan ketika hamil muda. Karena itu berisiko untuk kehamilan.” Dean berada di sana menjelaskan. Bian harus kecewa. Karena ternyata tidak boleh. “Baiklah. Terima kasih, Kak.” “Sama-sama, Bi.” Sambungan telepon ter
“Sebaiknya kamu istirahat saja.” Bian menarik selimut untuk menutupi tubuh Flavia.Bian dan Flavia memutuskan untuk segera pulang setelah makan siang bersama para ibu Mengingat Flavia kelelahan setelah perjalanan dari proyek, tentu saja Bian tidak akan membiarkan.Flavia mengangguk. Dia memang cukup kelelahan, padahal di dalam perjalanan pulang tadi pagi, dia juga sempat tertidur. Namun, tubuhnya seolah tetap saja kelelahan.“Aku akan rapikan barang-barang kita dulu.” Bian mendaratkan kecupan di dahi sang istri.Tidak ada asisten rumah tangga di apartemen Bian. Karena itu Bian mengerjakan sendiri. Dia akan me-laundry semua pakaiannya. Bian terbiasa tinggal sendiri sewaktu di luar negeri. Jadi tentu saja itu membuatnya tidak kesulitan dalam mengerjakan pekerjaan rumah.Suara bel yang terdengar di tengah-tengah Bian yang sedang asyik merapikan semua pekerjaanya, membuatnya segera beralih ke pintu apartemennya melihat siapa gerangan yang datang.“Mommy.” Bian melihat sang mommy datang ke
Bian duduk di kursi belakang bersama dengan Flavia. Menemani sang istri. Wajah Flavia begitu pucat sekali. Hal itu membuat Bian begitu panik sekali. Bian menyesali keputusannya yang setuju dengan sang istri mengunjungi proyek. Jika seperti ini, dia akan memilih untuk di rumah saja. Akhirnya, mobil sampai di rumah sakit. Mereka sampai di ruang unit gawat darurat. Perawat langsung menyambut Flavia dan Bian. Perawat meminta Bian untuk memindahkan ke brankar, tetapi Bian menolak. Dia memilih menggendong tubuh sang istri masuk ke ruang perawatan. Perawat segera mengecek keadaan Flavia. Mereka segera memasang infus, karena Flavia tidak sadarkan diri. Dokter jaga segera mengecek keadaan Flavia. “Apa yang dirasakan pasien?” Dokter bertanya pada Bian.“Tadi pagi istri saya mual, pusing, dan siang ini tiba-tiba pingsan.” Bian menjelaskan pada dokter. “Bu, apa dengar suara saya.” Dokter memanggil Flavia. Flavia membuka matanya ketika samar-samar mendengar suara. Dilihatnya langit-langit ber