"Kau memang berniat untuk tinggalkan aku 'kan? Dari awal kau enggak mau pacaran denganku karena kau akan pergi 'kan? Kau memang jahat, Ren," ujar Eva kesal sambil memukul-mukul dada Rendra. "Eva. Aku mohon kau tenang dulu. Aku tidak mau kau berpikir terlalu jauh," kata Rendra memegang kedua tangannya. "Tidak berpikir terlalu jauh? Apa aku saja yang menginginkan hubungan ini bertahan untuk selamanya. Apa cuma aku?" tanya Eva kesal. Rendra tertawa melihat tingkah kesal Eva. "Kau tertawa?" "Maaf-maaf," ucap Rendra. Ia memegang lembut kedua tangan Eva. "Aku sama sekali tidak pernah berpikir untuk berpisah denganmu," jawab Rendra. "Tapi, kenapa kau bilang tidak ingin kuliah di sini?" tanya Eva balik. "Aku hanya bercanda," jawab Rendra sambil ketawa. Eva mengerutkan keningnya, "Bercanda? Enggak ada lucu-lucunya tahu." Rendra tertawa melihat tingkah kesal Eva, "Aku enggak akan pergi kok." Rendra memeluk Eva erat, "Jangan kesal lagi, oke? Aku akan selalu ada denganmu," "Janji," kata
Erik menarik tangan Citra dengan kasar dan membawanya ke gedung belakang sekolah tanpa diketahui oleh murid yang lain. Ia menghentakkan tangan Citra dengan kasar, "Sebaiknya kamu menjauh dari hidup saya. Dengar ya, Citra. Saya tidak akan tinggal diam jika kamu berani buka mulut pada Eva ataupun orang yang saya kenal." Erik mengancam Citra untuk tidak menganggu hidupnya. Erik terlihat sangat kasar pada Citra. Sedangkan, Citra terlihat santai saat menghadapi Erik. "Pak Erik, dengar, ya. Seharusnya Pak Erik tidak boleh mengancam saya begitu saja. Bapak tahu 'kan, saya memiliki foto pernikahan yang Bapak sembunyikan itu. Jika Eva tahu, dia nggak akan pernah bisa maafkan Bapak," balas Citra tanpa takut. Ia hendak pergi meninggalkan Erik, "Satu lagi, Pak Erikku sayang. Jangan lupa, saya sudah jadi bagian dalam hidup Bapak." Citra mengakhiri percakapannya dan pergi meninggalkan Erik sendirian di belakang sekolah. "Dasar murid kurang ajar!" upat Erik menunjukkan sifat aslinya. Dua hari k
Rendra keluar dari sebuah ruangan arsip rumah sakit untuk mencari data tentang Kakaknya bersama Erik. Namun, sepertinya ia tidak mendapatkan bukti apapun. Rendra terlihat sedih dan bingung. 'Apa mungkin Mas Pati salah mendapatkan informasi' "Mungkin suruhan kamu salah mendapatkan informasi," kata Erik mengunci pintu arsip itu kembali. "Mungkin, Pak." Rendra berjalan berdampingan dengan Erik menuju lobi rumah sakit. "Kamu sabar, ya. Saya akan bantu kamu cari Kakak kamu di rumah sakit lain." "Terima kasih, Pak," ucap Rendra. Ia melihat Pati menunggunya di samping mobil, "Kalau begitu saya kembali ke Jakarta duluan." "Baiklah. Kamu hati-hati." Erik menepuk pundak Rendra lembut untuk memberikannya semangat sambil tersenyum. "Iya, Pak," jawab Rendra membalas dengan senyuman pula. Namun, Pati memasang wajahnya yang tegang tanpa tersenyum. Ia langsung membuka pintu mobil untuk Rendra. "Kita harus kembali sekarang, Tuan Muda, sebelum macet," kata Pati. Rendra mengangguknya dan memasu
Eva dan Rendra berjalan di atas trotoar pinggiran jalan kota sambil bergandengan tangan. "Enak 'kan?" tanya Eva menyuapi Rendra eskrim rasa Strawberry. "Hmmm, enak. Walaupun aku nggak suka strawberry, tapi tetap enak," jawab Rendra sambil tersenyum. Eva tersenyum ke arah Rendra, "Kamu harus suka." "Iya, sayang." Rendra mengelus kepala Eva dengan lembut seraya memasuki sebuah toko pakaian. Beberapa menit kemudian, Eva dan Rendra berdiri di depan sebuah gedung tinggi yang sedang menyiarkan acara berita tentang kasus pemerkosaan yang di lakukan oleh seorang pria berumur 35 tahun kepada seorang siswi SMP. Rendra menatap pemberitaan itu tanpa senyum begitu juga dengan Eva. Mereka terlihat geram dengan perbuatan bejat lelaki itu. Pembawa acara berita itu merupakan Papa Eva sendiri 'Sukma Negara' "Ren?" panggil Eva. "Eum." Rendra menoleh ke arah Eva. "Aku ingin menjadi seorang pembawa acara yang hebat seperti, Papaku." Eva dan Rendra saling menatap tanpa senyum. *** "Ris, aku tak m
"Memangnya ada sesuatu dengan lukisan itu, sampai Paman berteriak?" tanya Eva. "Hmmm. Lu-lukisan itu milik direktur rumah sakit. Maaf ya, Ren. Bikin kamu kaget," jawab Erik sedikit gagap. "Tidak apa-apa, Pak. Lain kali saya akan berhati-hati. Tapi, kenapa lukisan itu ada di ruangan Pak Erik? Seharsunya 'kan berada di ruang direktur?" tanya Rendra berusaha mengulik kebenaran. "Dulunya ini ruangan mantan direktur yang kini sudah meninggal. Karena saya direkturnya sekarang, jadi saya yang menempati ruangan ini," jawab Erik membeberkan kebenarannya. Eva terlihat terkejut, "Paman direktur rumah sakit ini? Kok Eva tidak tahu? Sudah berapa lama." "Baru satu tahun. Begitulah kira-kira, oke? Oh ya, bagaimana kalau kita dinner bersama?" Erik mengalihkan pertanyaan lain. "Dinner?" Eva menoleh ke arah Rendra. "Iya." "Oke. Kamu mau pergi 'kan Ren?" tanya Eva. "Iya." Rendra tersenyum tapi terlihat kurang nyaman dan merasakan hal yang aneh dengan Erik. *** Keesokan harinya, Rendra mendapat
"Kenapa dia tidak menjawab panggilanku?" Eva terlihat gelisah saat ia menelpon Erik, tapi sama sekali tidak ada jawaban. Ia dan Rendra berada dalam perjalanan menuju rumah sakit. "Kamu sabar dulu. Mungkin Pamanmu sedang berusaha menyelamatkan pasien," sahut Rendra sambil menyetir. Eva melihat ke arah Rendra, "Mungkin saja. Semoga dia dan seluruh pasien selamat." *** Api yang begitu besar menghabiskan sebagian gedung samping kiri rumah sakit. Para dokter dan perawat berusaha menyelamat pasien dan keluar dari gedung. "Bagaimana dengan pasien yang lainnya? Apa yang harus kita lakukan?" tanya salah satu perawat kepada temannya yang berhasil keluar dan berkumpul di halaman rumah sakit. Para petugas pemadam kebakaran sudah siap siaga menolong para korban kebakaran. Masih banyak pasien, dokter, perawat yang terjebak di gedung rumah sakit. *** "Kita harus keluar lewat pintu bawah tanah yang tembus ke basement." Erik mendorong Sisi dengan kursi menuju keluar gedung lewat pintu rahasia.
"Apakah dia Kakakmu?" tanya Eva sambil menangis. Rendra terus menatap Eva tanpa senyuman sambil menghela napas dan memindahkan pandangannya. "Tuan Muda. Kita harus bergegas mencari bukti di ruangan ini sebelum orang lain datang." Pati meminta Rendra untuk segera bertindak. "Iya, Mas. Kita memang tidak memiliki banyak waktu. Kita harus segera periksa seluruh ruangan ini." Rendra bergegas membuka semua laci lemari di ruangan itu. Eva sangat terpukul menerima kenyataan bahwa Pamannya ternyata sudah menikah tanpa diketahui olehnya. Ia juga harus menerima kenyataan bahwa ia menyembunyikan istrinya yang mengalami gangguan jiwa dan merupakan Kakak dari lelaki yang dia cintai. 'Kenapa Paman harus menyembunyikan hal ini? Ada apa sebenarnya?' *** Erik membawa Sisi ke sebuah villa milik pribadinya di Malang. Ia menidurkan Sisi di atas ranjang karena sudah tertidur. Ia mengelus rambut Sisi, "Aku sudah bersusah payah untuk memperjuangkanmu dulu, Si. Kini, seenaknya Papamu menyuruh adikmu un
Erik menghalangi Rendra agar tidak membawa Sisi. Ia melakukan berbagai cara untuk menggagalkan rencana Rendra. Tapi, Rendra sudah lebih dulu melaporkan Erik pada pihak kepolisian. "Selamat malam. Apakah benar Anda Erik Harris?" tanya Polisi yang datang bersama tiga polisi lainnya. "Iya, memangnya ada apa?" tanya Erik mulai ketakutan. "Anda terjerat kasus penculikan dan dalang kejahatan dengan memanipulasi data pasien di rumah sakit dan membangun ruang rahasia dengan dana penggelepan," jelas Pak polisi itu. "Pak. Sa-saya tidak mungkin, melakukan itu semua. Kamu jangan sembarangan tuduh ya, Ren. Dia, penjahatnya Pak!" tunjuk Erik ke arah Rendra. "Tangkap dia sekarang!" perintah polisi itu kepada bawahannya. "Itu istri saya, Pak. Saya tidak menculiknya sama sekali." Erik melawan para polisinya saat diborgol. Erik dibawa paksa ikuti menaiki mobil patroli menuju kantor polisi untuk diinterigasikan. Eva melihat Erik dai kejauhan sambil menahan air mata. Ia membenci Pamannya yang terl
Eva berjalan menuju ke rumah Rendra dengan membawa beberapa buku untuk belajar bersama. Tak henti-henti ia tersenyum saat membayangkan bahwa dirinya sudah menjadi pacar dari Rendra. 'Apa aku mimpi? Aku pacaran dengan musuhku sendiri' Sesampai di pintu rumah Rendra, ia melihat pintu rumah Rendra yang tidak tertutup. "Kok pintunya ke buka." Eva memegang besi pembuka pintu. "Tuan Muda, fokus selesaikan sekolah dulu. Saya akan membantu Anda untuk mencari keberadaannya. Kakak Tuan Muda itu orang yang kuat. Saya yakin dia baik-baik saja. Minggu depan saya akan kembali ke malang lagi," ujar Pati. Saat Eva mendengar pembicaraan Rendra dan Pati, ia langsung masuk dan menghampiri Rendra. "Kakak? Kau punya seorang Kakak, Ren?" tanya Eva. Sontak Rendra terkejut melihat Eva yang muncul tiba-tiba di depanya. Rendra berdiri dari tempat duduknya. "Eva. Bagaimana kau bisa masuk?" tanya Rendra. "Pintunya enggak ditutup. Aku pikir rumahmu ke malingan. Tapi, aku malah dengar suaramu dengan Mas P
Eva berjalan menuju ke rumah Rendra dengan membawa beberapa buku untuk belajar bersama. Tak henti-henti ia tersenyum saat membayangkan bahwa dirinya sudah menjadi pacar dari Rendra. 'Apa aku mimpi? Aku pacaran dengan musuhku sendiri' Sesampai di pintu rumah Rendra, ia melihat pintu rumah Rendra yang tidak tertutup. "Kok pintunya ke buka." Eva memegang besi pembuka pintu. "Tuan Muda, fokus selesaikan sekolah dulu. Saya akan membantu Anda untuk mencari keberadaannya. Kakak Tuan Muda itu orang yang kuat. Saya yakin dia baik-baik saja. Minggu depan saya akan kembali ke malang lagi," ujar Pati. Saat Eva mendengar pembicaraan Rendra dan Pati, ia langsung masuk dan menghampiri Rendra. "Kakak? Kau punya seorang Kakak, Ren?" tanya Eva. Sontak Rendra terkejut melihat Eva yang muncul tiba-tiba di depanya. Rendra berdiri dari tempat duduknya. "Eva. Bagaimana kau bisa masuk?" tanya Rendra. "Pintunya enggak ditutup. Aku pikir rumahmu ke malingan. Tapi, aku malah dengar suaramu dengan Mas P
Sore harinya, Rendra bergegas meninggalkan rumah bersama pengawalnya, Pati. Perjalanan yang mereka tempuh terlihat cukup jauh. Rendra membawa beberapa makanan ringan untuk santapan mereka. "Kali ini, saya tidak mau gagal Mas. Jadi, kita harus berhati-hati," ujar Rendra yang duduk di belakang Pati. "Baik, Tuan Muda. Saya pastikan dia tidakkan tau," jawab Pati sambil menyetir dengan fokus. Rendra dan Pati pergi menggunakan mobil Jeep. Sedangkan di sisi lain, Eva terlihat begitu penasaran dengan Rendra yang buru-buru pergi. Untuk memastikannya, Eva menghampiri Rendra ke rumahnya. Eva menekan bel rumah Rendra. "Ting, tong, ting, tong." Eva menekannya berkali-kali. "Ren!" panggil Eva. Ia menekan bel kembali berulang kali. "Ren, ini aku Eva! Kamu ada di rumah 'kan?!" teriak Eva memastikan keberadaan Rendra. Eva menempelkan telinganya di pintu untuk mendengar suara Rendra di dalam rumah. Tapi, suara Rendra sama sekali tidak terdengar. "Berarti, Rendra memang tidak ada di rumah. Dia
Dengan jarak yang jauh menuju rumah sakit di Jakarta, Erik mengemudi dengan kecepatan tinggi. "Siapa yang berani culik keponakanku!" ujar Erik sangat marah. Kekhawatiran terlihat jelas di raut wajah Erik hingga membuatnya semakin marah kepada penculik itu. Rendra berlari menuju ruang IGD untuk melihat kondisi Eva. Tanpa memanggil namanya, Rendra langsung menggendong Eva dan menidurkannya di atas ranjang. Tapi, Eva malah bangun lagi dan duduk di atas ranjang. Rendra membiarkan Eva agar ia lebih tenang. "Penyakit apa itu. Aneh sekali," ujar salah satu pasien merasa ketakutan. "Tidur berjalan," ucap pasien lainnya. Suasana di IGD menjadi ricuh saat melihat penyakit Eva yang begitu langka. "Dia kerasukan, Ma. Aku takut," ujar salah satu pasien anak kecil yang memegang kuat tangan Ibunya. "Sudah, sudah. Kakak itu hanya sakit biasa," jawab Ibunya menenangkan sang anak. "Semuanya tenang. Dia hanya kelelahan saja," sahut Dokter menenangkan para pasien. Dokter dan tiga perawat mendek
Sore harinya, Rendra bergegas meninggalkan rumah bersama pengawalnya, Pati. Perjalanan yang mereka tempuh terlihat cukup jauh. Rendra membawa beberapa makanan ringan untuk santapan mereka. "Kali ini, saya tidak mau gagal Mas. Jadi, kita harus berhati-hati," ujar Rendra yang duduk di belakang Pati. "Baik, Tuan Muda. Saya pastikan dia tidakkan tau," jawab Pati sambil menyetir dengan fokus. Rendra dan Pati pergi menggunakan mobil Jeep. Sedangkan di sisi lain, Eva terlihat begitu penasaran dengan Rendra yang buru-buru pergi. Untuk memastikannya, Eva menghampiri Rendra ke rumahnya. Eva menekan bel rumah Rendra. "Ting, tong, ting, tong." Eva menekannya berkali-kali. "Ren!" panggil Eva. Ia menekan bel kembali berulang kali. "Ren, ini aku Eva! Kamu ada di rumah 'kan?!" teriak Eva memastikan keberadaan Rendra. Eva menempelkan telinganya di pintu untuk mendengar suara Rendra di dalam rumah. Tapi, suara Rendra sama sekali tidak terdengar. "Berarti, Rendra memang tidak ada di rumah. Dia
Erik terlihat khawatir pada Eva yang keluar tanpa memberitahukannya. Ia menelpon Eva berkali-kali, namun, nomornya tidak dapat di hubungi. "Kemana anak ini? Kenapa belum pulang juga," resahnya sambil mondar-mandir di depan teras. Eva, Cici, Raisa, dan Rena bergegas pergi dari karoke. Belum cukup untuk meredakan kekesalannya, ia mengajak ketiga sahabatnya itu untuk bermain game. "Kita lanjut main game," ajak Eva. "Main game?" tanya Raisa merasa heran dengan kelakuan aneh Eva. "Iya. Aku nggak mau pulang malam ini." Eva menolak untuk kembali ke rumah. Erik semakin gelisah dan khawatir terhadap Eva. "Oh ya, aku tanya sama Rendra saja, mungkin dia tahu Eva ada di mana," lanjut Erik menemui Rendra di rumahnya. Hanya berjalan beberapa langkah, Erik tiba di rumah Rendra. Rendra sedang menerima panggilan dari Pati. "Tuan Muda, saya sudah menemukan ID baru," ujar Pati di seberang ponsel. "Oke. Saya akan temui kamu besok," jawab Rendra mematikan panggilannya. Erik yang sudah tiba di
Erik terlihat khawatir pada Eva yang keluar tanpa memberitahukannya. Ia menelpon Eva berkali-kali, namun, nomornya tidak dapat di hubungi. "Kemana anak ini? Kenapa belum pulang juga," resahnya sambil mondar-mandir di depan teras. Eva, Cici, Raisa, dan Rena bergegas pergi dari karoke. Belum cukup untuk meredakan kekesalannya, ia mengajak ketiga sahabatnya itu untuk bermain game. "Kita lanjut main game," ajak Eva. "Main game?" tanya Raisa merasa heran dengan kelakuan aneh Eva. "Iya. Aku nggak mau pulang malam ini." Eva menolak untuk kembali ke rumah. Erik semakin gelisah dan khawatir terhadap Eva. "Oh ya, aku tanya sama Rendra saja, mungkin dia tahu Eva ada di mana," lanjut Erik menemui Rendra di rumahnya. Hanya berjalan beberapa langkah, Erik tiba di rumah Rendra. Rendra sedang menerima panggilan dari Pati. "Tuan Muda, saya sudah menemukan ID baru," ujar Pati di seberang ponsel. "Oke. Saya akan temui kamu besok," jawab Rendra mematikan panggilannya. Erik yang sudah tiba di
Eva berjalan penuh percaya diri menuju ruang syuting, Eva menatap tajam ke arah podium tersebut sambil membatin. 'Aku ini seorang presenter berita bukan juru bicara yang menerjemahkan setiap perkataan orang'. Eva menaiki podium acara dan bersiap-siap sambil merapikan jasnya, menyetuh sedikit rambut di sebelah kirinya dan berdiri tegak hingga ia terlihat semakin tinggi karena memakai hak 9 cm. Ia menarik napas pelan dan tetap santai sambil menunggu aba-aba dari sutradara pada saat acara akan dimulai. Ia memegang remote pengontrol infokus untuk nanti saat menunjukkan berita di layar dinding. Seorang kru berseragam hitam mengarahkan kamera ke arahnya dengan shot yang begitu bagus."Mulai!" ucap sutradara memulai acara. "Halo, selamat siang pemirsa. Bersama saya Eva Gricia Sukma Negara ...," Eva terus melanjutkan pemberitaannya setelah perkenalan diri. Ia bahkan tidak peduli dengan konsep berita yang sudah direncanakan oleh atasan. Ia tetap dengan pendiriannya untuk memberitahukan fa
Eva berjalan menuju ke rumah Rendra dengan membawa beberapa buku untuk belajar bersama. Tak henti-henti ia tersenyum saat membayangkan bahwa dirinya sudah menjadi pacar dari Rendra. 'Apa aku mimpi? Aku pacaran dengan musuhku sendiri' Sesampai di pintu rumah Rendra, ia melihat pintu rumah Rendra yang tidak tertutup. "Kok pintunya ke buka." Eva memegang besi pembuka pintu. "Tuan Muda, fokus selesaikan sekolah dulu. Saya akan membantu Anda untuk mencari keberadaannya. Kakak Tuan Muda itu orang yang kuat. Saya yakin dia baik-baik saja. Minggu depan saya akan kembali ke malang lagi," ujar Pati. Saat Eva mendengar pembicaraan Rendra dan Pati, ia langsung masuk dan menghampiri Rendra. "Kakak? Kau punya seorang Kakak, Ren?" tanya Eva. Sontak Rendra terkejut melihat Eva yang muncul tiba-tiba di depanya. Rendra berdiri dari tempat duduknya. "Eva. Bagaimana kau bisa masuk?" tanya Rendra. "Pintunya enggak ditutup. Aku pikir rumahmu ke malingan. Tapi, aku malah dengar suaramu dengan Mas P