Dari pagi sampai siang Bian tidak berhenti mondar-mandir mengurus pekerjaan. Tanpa Berlian, pria itu sangat kuwalahan. Semua pekerjaan dia handle sendiri. Meski sudah beberapa kali Berlian mangkir dari pekerjaan dan Bian mengatasi sendiri, tetap saja di beberapa waktu Bian merasa kuwalahan. Apalagi saat pekerjaan lagi banyak-banyaknya. Kendati demikian pasti Bian bisa menyelesaikannya. Tetapi tetap saja kalau banyak-banyak pekerjaan otaknya bisa ngebul.
Di sisi lain, Bintang tidak fokus mengerjakan tugasnya. Tubuh gadis itu tetap berada di depan komputer, tangannya pun berada di keyboard seolah tengah mengerjakan sesuatu, tetapi sejak tadi matanya terus melirik ke luar ruangan seolah mencari sesuatu. Kepalanya pun tidak berhenti menoleh ka kanan ke kiri. Seluruh dinding ruangan PU terbuat dari kaca, jadi tembus pandang sampai ke luar. Aktivitas di luar pun bisa terlihat jelas di dalam ruangan PU.
"Bintang, sejak tadi kamu gak fokus, lagi mikirin apa sih?" t
"Pak, apa yang Pak Bian lakuin?" pekik Bintang yang mencoba turun. Tetapi tubuhnya ditahan oleh Bian, membuat gadis itu tidak bisa berkutik. Bintang sedikit kikuk karena jarak wajahnya dan wajah Bian sangat dekat. Bahkan Bintang bisa melihat jelas kening Bian yang tidak ada pori-pori sedikit pun di sana. Wajah Bian sangat lah mulus dan bersih. Bahkan Bintang yang cewek saja merasa insecure dengan wajah Bian.Bian sangat tampan, apalagi pria itu juga memiliki alis yang tebal membuat kesan tegas di wajahnya. Tetapi selama ini Bintang tidak menyadarinya. Bintang kembali menatap Bian, kalau dalam mode diam begini damage Bian benar-benar tidak main-main. Tetapi kalau Bian mode pecicilan, Bian terlihat sangat menyebalkan."Kamu ke sini mau menemuiku?" tanya Bian."Tidak," sangkal Bintang yang tetap tidak mau jujur. Bian menaikkan sebelah alisnya, Bintang gelagapan di buatnya."Kalau tidak mau menemuiku, siapa yang akan kamu temui? Bu Ber
Bian memeluk tubuh Bintang dengan erat, sedangkan Bintang sebisa mungkin melepas pelukan dari sekretaris bosnya. Ia belum terlalu dekat dengan Bian, ada kesan tidak enak bila posisi tubuh mereka sangat dekat."Ternyata benar kalau orang akan terlihat berharga setelah mereka pergi. Aku pun sama di matamu. Setiap hari aku mengejar kamu, saat hari ini aku tidak terlihat, kamu merindukanku," ujar Bian dengan bangga. Bian tidak bisa menyembunyikan senyumnya karena ocehan Bintang bertubi-tubi."Tidak seperti itu, saya hanya ... eh saya.""Sudah tidak perlu menyangkal lagi, Bintang. Bagaimana kalau sekarang kita meresmikan hubungan kita?""Apa yang perlu diresmikan?""Kamu jangan pura-pura bodoh, Bintang. Aku sudah mengatakan kalau aku mencintaimu, kamu pun juga sudah mengungkapkan perasaanmu. Kalau kita terus mengulur waktu, kapan kita jadiannya?""Siapa juga yang mengungkapkan perasaan, saya tidak mengungkapkan
Berlian merenung di ruang tamu ibunya, gadis itu tampak diam melamun. Di pangkuannya ada bingkisan yang tadi sempat ia beli sebelum ia datang. Risa tidak ada di rumahnya, sedangkan Berlian dengan lancang masuk ke rumah ibunya yang kuncinya pun ia punya. Pikiran Berlian berkecamuk memikirkan kalimat maaf yang akan ia ucapkan pada sang ibu."Ibu, anakmu sudah salah, maafkan aku," ucap Berlian seorang diri. Berlian buru-buru menggelengkan kepalanya karena ia rasa kalimat itu tidak tepat."Ibu, selama ini aku tidak tahu kalau ibu- Akhhh ....""Maafkan aku, aku sudah salam sama ibu. Aku pikir ibu yang sudah jahat sama aku dan menyembunyikan ayah. Aku mengaku salah, aku minta maaf."Berlian terus berbicara seorang diri. Gadis itu bejalar berbicara maaf pada sang ibu. Tetapi Berlian merasa aneh dengan dirinya sendiri, seolah kata maaf memang tidak cocok dengan dirinya. Berlian menghempaskan tubuhnya di sofa, gadis itu menjambak rambutnya
Risa menyiapkan makanan yang dibawakan Berlian pada dua piring. Selama menyiapkan makanan itu, senyum tidak kunjung redup dari bibir Risa. Tanpa sadar perempuan itu tersenyum. Berlian menatap tidak berkedip ke arah ibunya. Untuk pertama kalinya Berlian melihat senyum ibunya. Senyum yang tulus tanpa raut sinis dan tanpa mencemooh di wajahnya. Dada Berlian terasa sangat nyeri seolah ada yang menghantamnya. Di luar sana, banyak anak yang sedih kehilangan orang tuanya, terlebih seorang ibu. Bahkan teman-teman Berlian mengatakan kalau hidupnya hancur tanpa seorang ibu. Sedangkan Berlian, ibunya masih ada, tetapi ia sudah banyak menyia-nyiakan waktu dengan berperilaku tidak baik pada ibunya.Sekarang Berlian tahu apa yang membuat ibunya bahagia, yaitu dengan kepedulian kecil darinya. Ibunya tidak pernah tersenyum setulus ini saat memenangkan tander, berhasil dalam bisnisnya atau karena hal lain. tetapi ibunya tersenyum hanya karena Berlian memberikannya sedikit makanan. Risa
"Dokter Bara, ada seratus lima pasien yang mendaftar untuk besok. Angka orang yang mengidap gangguan kejiwaan sangat banyak akhir-akhir ini. Kami sudah menggeser jadwal konsultasi untuk dibagi ke beberapa waktu. Tingkat gangguan ini juga beragam, ada yang sedang, parah dan ada yang membutuhkan perawatan khusus," ucap rekan Dokter Bara. Bara menganggukkan kepalanya."Atur saja, jam saya sudah habis, saya mau pulang," kata Bara. Rekan dokter Bara itu pun segera undur diri.Bara menatap pergelangan tangannya di mana ada jam tangan hitam yang melingkar di sana. Pikiran Bara kembali berkecamuk. Menjadi Psikiater adalah cita-citanya, dan mengobati orang adalah bagian dari pengabdiannya. Bara menatap Dokter Evan yang masih belum beranjak dari duduknya. Ia baru saja mengatakan pada Dokter Evan kalau ia tidak akan pergi, tapi sesaat kemudian pikirannya berubah."Aku permisi, Dok," ucap Bara pamit undur diri. Bara segera berlari kembali memasuki rumah sa
"Berlian, sudah, jangan menangis lagi," kata Risa mengendurkan pelukannya pada sang anak. Risa menangkup wajah Berlian, wajah anaknya tampak sayu dengan air mata yang membanjiri wajahnya. Dengan lembut Risa mengusap air mata yang membanjiri wajah anaknya."Bu, kenapa ibu tidak mengatakan apapun padaku? Selama ini ayah lah yang salah, tetapi aku malah bersikeras mencarinya. Kesulitan apa yang ibu alami selain ini? Aku akan menebusnya.""Berlian, lupakan saja hal yang sudah terjadi. Ibu tidak keberatan.""Tapi aku keberatan, Bu. Selama ini aku yang sudah menganggap ibu jahat, aku menganggap ibu tidak menyayangiku. Tapi kenyataannya ibu lah yang sudah berjuang besar untukku. Sedangkan ayahku? Ayahku tega menjual aset ibu, bahkan ayahku membuat berita bohong tentang ibu. Ibu sudah dicap jelek di luar sana. Aku tidak bisa menerimanya, Ibu.""Sayang, semua sudah berlalu. Kalau pun sekarang ibu bilang ke seluruh dunia kalau berita tentang
Tidak pernah ada di pikiran Berlian kalau ia bisa berdekatan dengan ibunya tanpa rasa canggung di dalam hatinya. Pun dengan Risa. Kini tangan Berlian dan Risa tengah bertautan dengan erat satu sama lain. Kedua perempuan beda usia itu tengah berada di ranjang yang sama dan saling menatap langit-langit kamar Risa. Pencahayaan yang sedikit gelap membuat kedua perempuan itu harus menajamkan penglihatannya."Ibu, boleh aku tahu apa yang membuat ibu tahan menyembunyikan semuanya?" tanya Berlian. Ibunya cerita hanya sepotong-potong membuat Berlian masih penasaran. Bagaimana ibunya yang terkenal tidak berperasaan ternyata menyembunyikan hal besar. Berlian pun sadar diri kalau ibunya bercerita tanpa ia mengetahui faktanya, ia tidak akan percaya. Malah sebaliknya ia akan membenci ibunya karena ia nilai mengarang cerita."Kamu dan kakakmu. Ibu tidak ingin kamu tahu kalau kamu memiliki ayah yang tidak bertanggung jawab, bagaimana pun Evan juga ayahmu. Awalnya ibu masih
"Yeyy banyak makanan," pekik Azka dengan senang tatkala melihat banyaknya bahan makanan di dapur mewah rumah orang tua Berlian."Nak Azka mau makan apa? Nanti nenek masakin yang enak," tanya Risa menarik pipi Azka dengan gemas."Aku mau apapun yang nenek masak," jawab Azka antusias.Berlian dan Bara sudah memperkenalkan Azka pada Risa, pun dengan Risa yang sudah dikenalkan pada keluarga Bara. Ira salah besar menilai kalau Risa adalah perempuan angkuh, ternyara Risa sangat ramah. Awal datang ke rumah besar bak istana milik Risa, Ira merasa sangat canggung, tetapi kini ia tampak biasa saja saat Risa juga baik padanya dan pada Azka. Bahkan Risa menyuruh Azka memanggilnya dengan sebutan nenek. Risa menyukai Azka sejak mereka bertemu. Azka sangat pintar dan menggemaskan."Ibu, perlu bantuan memasak?" tanya Berlian yang datang menuju dapur bersama Bara."Memangnya kamu bisa memasak? Yang ada kamu menghancurkan dapur."
Bara mendorong tubuh Berlian sampai gadis itu telentang di ranjang, tanpa basa basi Bara mencium bibir Berlian. Berlian menerima ciuman suaminya, bunga yang ia pegang pun sudah teronggok di ranjang. Ciuman ini pernah Berlian rasakan tepat pada empat tahun lalu sebelum Bara pergi ke luar negeri. Pertama kali mendapat ciuman dari Bara sungguh membuat candu untuk Berlian. Bahkan Berlian sangat mendambakan ciuman suaminya. Kini ciuman itu bisa Berlian rasakan kembali. Meski sudah empat tahun berlalu, tapi Berlian masih ingat jelas rasa ciuman itu. Berlian mengalungkan tangannya di leher suaminya. Ciuman Bara semakin lama semakin intens, tidak hanya ciuman di bibir, melainkan ciuman Bara turun sampai ke leher Berlian. Harum tubuh Berlian bagai candu untuk Bara. "Berlian, aku mencintaimu," aku Bara dengan jujur. Bara menarik tangan Berlian yang mengalung di lehernya, pria itu menautkan jari jemarinya dengan jari jemari Berlian. "Aku juga," jawab Berlian. "Apa kita harus melakukannya seka
Empat tahun sudah Berlian lalui dengan singkat, satu bulan pun juga terasa sangat singkat untuk Berlian. Setelah ibunya mengatakan satu bulan lali mereka akan menikah, kini Berlian benar-benar sudah menikah dengan Bara. Semua terjadi layaknya mimpi singkat. Di mana Bara mengucapkan janji pernikahan. Saat ini Berlian sudah memakai gaun pengantin berwarna putih dengan hiasan di kepalanya. Berlian sudah resmi menjadi istri Bara, saat ini pesta pernikahan akan dilangsungkan.Beberapa kali Berlian mencubit tangannya sendiri untuk meyakinkan dirinya bahwa yang ia alami ini bukanlah sebuah mimpi. Tetapi tangannya terasa sakit, artinya ia tengah berada di dunia nyata. Berlian berjalan membawa bunganya menuju ke tempat di mana Bara dan Azka tengah berdiri memakai jas yang senada. Suara ricuh tepuk tangan dari tamu undangan terdengar nyaring. Risa membuat pernikahan putri semata wayangnya dengan mewan dan tamu yang diundang pun sangat banyak.Langkah kaki Berlian tam
Dua musim sudah Berlian dan Azka lewati beberapa kali. Saat ini musim penghujan yang ke sekian kali telat tiba. Berlian dan Azka tengah berdiri di bawah payung yang sama sembari menatap lurus ke depan. Hujan turun dengan sangat deras, Berlian berusaha keras memegang payungnya agar tidak terbang diterpa hujan yang sangat dasyat.Lima belas menit sudah ibu dan anak itu berteduh di bawah payung yang sama sembari pandangannya lurus ke depan. Tiga tahun sudah berlalu, kini usia Azka sudah menginjak sembilan tahun. Azka sudah duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar, setiap semester dan kenaikan kelas, Azka tidak pernah luput dari juara satu. Bocah itu tumbuh menjadi bocah yang aktif dan sangat pintar. Terkadang kepintarannya bisa membuat guru-gurunya kuwalahan."Sudah lebih dari lima belas menit kita di sini. Mama gak mau menunggu di ruang tunggu sambil berteduh?" tanya Azka. Berlian menggelengkan kepalanya.Berlian tetap keukeuh untuk menunggu di lua
Satu tahun sudah berlalu. Kini usia Azka genap enam tahun, bocah itu tumbuh menjadi bocah yang sangat pintar dan menggemaskan. Hari ini juga hari pertama Azka masuk ke kelas satu sekolah dasar. Sejak tadi Berlian sudah sibuk memutari ruangan apartemennya untuk menyiapkan segala kebutuan Azka."Mama, aku capek lihat mama jalan terus," ucap Azka menepuk keningnya dengan pelan. Azka berdiri di atas sofa, tidak berpindah sedikit pun sejak lima belas menit yang lalu. Azka sudah lelah berdiri, tetapi mamanya tidak mengijinkannya berpindah tempat.Azka sudah siap dengan seragam Sdnya. Baju putih, celana merah dan ikat pinggang. Hanya saja di leher Azka belum terkalung dasi karena mamanya lupa menaruh dasi di mana. Satu tahun hidup bersama Berlian membuat Azka mengerti seluruh sikap Berlian, salah satunya perempuan itu yang sangat pelupa saat menaruh barangnya.Azka bahagia hidup bersama mamanya di apartemen ini. Setiap satu minggu sekali nenek Ira dan
Hari ini Bara benar-benar akan pergi ke luar negeri. Pria itu sudah siap dengan kopernya, dibantu dengan Bian, pria itu memasukkan barang-barangnya ke mobil Bian. Azka menangis sembari merangkul leher omnya, bocah lima tahun itu tidak mau turun dari gendongan omnya, membuat Bara kesulitan menata barang-barangnya."Huu huuu ... hikss hiksss ...." Azka menangis sejak pagi karena tidak mau ditinggal pergi. Selama ini omnya lah yang mengurusnya. Mulai dari Azka bangun tidur sampai tidur lagi, Omnya lah yang mengurus. Sekarang bagaimana Azka bisa hidup tanpa Bara. Apalagi Bara akan meninggalkannya selama empat tahun. Bagi Azka itu bukanlah waktu yang singkat."Om, jangan pergi, Om." Azka merengek sembari memeluk leher Bara dengan erat."Azka, Om akan kembali lagi kok. Om Pergi hanya sebentar," bujuk Bara menurunkan Azka. tetapi Azka tidak mau turun, bocah itu semakin melingkarkan kakinya ke tubuh omnya."Bohong. Om pergi sangat lama, om
Brakkk!Berlian dan Bara menolehkan kepalanya ke pintu apartemen Berlian yang saat ini terbuka dengan lebar. Bian lah yang muncul di sana. Berlian menatap Bian dengan pandangan sangat garang, pintu apartemennya yang kokoh tak tertandingi kini rusak karena tendangan Bian."Bian!" desis Berlian dengan tajam."Eh maaf ... maaf bu tidak sengaja," ucap Bian bergegas menghampiri Berlian. Bian menatap Berlian dengan pandangan memelas agar Berlian tidak menghajarnya di sini. Namun fokus Bian teralih saat melihat bibir Berlian yang membengkak dengan bekas gigitan di ujunya. Dengan spontan Bian menatap ke arah Bara, bibir Bara pun demikian, membengkak parah dengan ujung yang berdarah."Ka ... kalian habis ngapain?" tanya Bian menunjuk bibir Berlian dan Bara. Kedua orang itu langsung mengusap sudut bibir masing-masing."Akhh!" Berlian mengaduh kesakitan saat mengusap bibirnya, bibirnya terasa perih.
"Berlian, aku mengatakan yang sejujurnya," ucap Bara masih berusaha meyakinkan Berlian."Lalu apa kabar kamu yang tidak pernah menganggapku, Bar? Semua orang tahu kalau kamu akan pergi melanjutkan sekolah kamu. Bahkan ibuku dan Bian pun tahu, sedangkan aku? Bukankah sikap kamu yang seperti ini menandakan kalau aku tidak penting bagimu?" tanya Berlian bertubi-tubi."Kamu penting bagiku, Berlian.""Kalau penting kenapa kamu membohongiku, Bara? Kalau dari awal kamu mengatakan kamu menyukaiku karena paksaan Bian, lalu kamu jatuh cinta sama aku, pasti masalahnya tidak sampai seperti ini. Juga rasa sakit hatiku tidak akan sedalam ini. Tapi apa yang sudah kamu lakukan? Meski kamu sekarang sudah mencintaiku, tapi aku tidak bisa mengelak bahwa fakta mengatakan awal mula kamu mendekatiku itu adalah terpaksa," oceh Berlian."Apa gunanya memikirkan bagaimana awal kita bersama, Berlian? Yang penting saat ini kita sudah saling mencintai."
Sudah satu minggu Berlian mengunci dirinya di rumah, gadis itu tidak membiarkan siapa saja datang ke rumahnya. Setiap hari ada saja yang mencarinya, tetapi Berlian enggan membukakan pintu. Hpnya pun terus bergetar dan berdering nyaring menandakan ada pesan bertubi dan telfon. Berlian hanya meliriknya sekilas. Panggilan suara dari Bara dan Bian bergantian masuk. Sekali pun Berlian tidak ada niatan untuk mengangkatnya.Sudah satu minggu juga Berlian mangkir dari pekerjaanya, pekerjaan diambil alih oleh ibunya. Berlian sudah tidak menangis lagi, gadis itu hanya sedang berdiam diri di rumah sembari mengerjakan merk barunya seorang diri. Berlian juga menolak kerja sama dengan Kenan, kerja sama yang lalu Berlian putuskan dengan sepihak. Gadis itu hanya ingin melakukannya seorang diri, tanpa gangguan dari siapapun. Berlian mengerjakan semuanya dari rumah, berhubungan dengan orang-orang penting pun hanya via surel.Sekarang Berlian tahu kenapa banyak pria yang ingi
"Berlian, jangan pergi!" cegah Bara mencekal tangan Berlian. Berlian berusaha melepaskan cekalan tangan Bara, tetapi cekalan tangan Bara sangat kuat membuat tubuh gadis itu terhuyung menubruk tubuh Bara."Aku bisa jelasin semuanya, Berlian. Kamu dengerin dulu," titah Bara."Apa yang perku kamu jelasin, Bara. Kamu mau menjelaskan atau mau mengarang bebas? Semua sudah selesai, aku tidak butuh kamu lagi," teriak Berlian mendorong tubuh Bara dengan kencang sampai cekalan tangan Bara terlepas. Namun itu hanya sepersekian detik, setelahnya Bara kembali menarik tangan Berlian. Bukan hanya menarik, tapi juga merengkuh tubuh gadis itu."Berlian, aku akui pertama kali aku mendekatimu karena desakan dari Bian, tapi itu hanya bertahan dua hari, Berlian. Dua hari aku dipaksa, tapi aku jatuh cinta sama kamu setelah tiga hari sama kamu," ujar Bara dengan jujur."Bohong!" sentak Berlian. Berlian sudah berusaha untuk tidak menangis, tetapi nyatanya