Azka menerima suapan-suapan dari neneknya dengan lahap, bocah itu juga berceloteh ringan mencairkan suasana. Pagi tadi Ira sangat sedih karena Berlian tidak menepati janjinya, tetapi malam ini ia sangat bahagia karena ada Kak Berlian di rumahnya. Azka mendongakkan kepalanya menatap Berlian dari bawah. Pemikiran anak kecil tidak bisa dihentikan saat ia sudah menyayangi seseorang. Sama halnya Azka saat ini. Azka sudah menyayangi Berlian sejak mereka bertemu. Apakah salah bila Azka mengharapkan Berlian untuk terus tinggal di sisinya? Azka pernah bahagia saat Berlian pernah menyuruhnya memanggilnya ibu. Tetapi sampai saat ini Azka tidak mempunyai keberanian melakukannya.
"Azka, ada apa?" tanya Berlian menundukkan kepalanya menatap keponakan dari dokter yang menanganinya.
"Kakak, apa kakak mau tinggal di sini?" tanya Azka berbisik sangat lirih membuat Ira dan Bara tidak mendengarnya. Azka takut nenek dan omnya akan marah dengan apa yang diucapkannya.
<"Bian, apa sudah ada titik temu di mana keberadaan ayahku?" tanya Berlian pada Bian. Bian menggelengkan kepalanya pelan.Berlian menjatuhkan kepalanya di meja kerjanya, perempuan itu tidak mempunyai semangat bekerja sejak pagi. Ini sudah pukul sebelas waktu indonesia bagian barat, tapi terasa seperti waktu indonesia bagian galau. Sejak kepulangannya dari rumah Bara, Berlian tidak berhenti merenung seorang diri. Pikiran Berlian sangat berkecamuk, bertanya-tanya dalam hati tentang sikap Bara dan apa maksud Bara. Bisa dikatakan Berlian itu dekat dengan Bara sekaligus jauh.Dekat karena mereka sering bertemu dan jauh karena mereka tidak pernah berbicara dari hati ke hati. Suka, cinta, Berlian memikirkan dua hal itu. Berlian kembali mendongakkan kepalanya, menatap Bian yang saat ini masih menatap ke arahnya. Bian yang ditatap pun menggaruk tengkuknya kikuk."Eh, ada apa, Bu?" tanya Bian. Berlian mengisyaratkan dengan tangannya pada Bian agar Bian me
Berlian menjalankan mobilnya dengan kecepatan penuh. Rahang Berlian mengetat dengan gigi yang bergemelatuk. Beberapa kali Berlian memukul setirnya dengan kesal. Hati Berlian terasa panas mengetahui kenyataan bahwa Dokter Bara adalah simpanan ibunya. Ibunya memang tidak mengatakan secara langsung pada Berlian, tetapi Berlian bisa menebaknya. Hubungan apa yang dimiliki seorang perempuan paruh baya kaya raya dengan seroang berondong? Pantas saja Bara mendekatinya, ternyata Bara mengincar ibunya. Berlian menggelengkan kepalanya karena memikirkan hal itu."Oh jadi gitu cara mainnya, dekati anaknya dulu baru ibunya," sinis Berlian. Berlian sudah terlanjur senang saat Bara pernah mengatakan di depan dokter Andre kalau pria itu menyukainya, tapi ternyata rasa suka Bara pada Berlian hanya sebatas anak simpanan."Apa gaji sebagai psikiater kurang sampai harus jadi simpanan ibu-ibu?" tanya Berlian semakin menginjak pedal gasnya dengan kencang. Di saat yang bersa
Bara mendekap kotak makan yang diberikan Berlian dengan erat. Senyum mengembang di wajah Bara seiring pria itu berjalan menuju kantin. Meski bukan Berlian yang memasak, tetapi itu sudah cukup membuat Bara senang. Hanya hal sederhana yang bisa membuat Bara senang, yaitu orang tuanya sehat, bisa memberikan kehiduan yang layak untuk Azka dan mendapatkan perhatian dari Berlian. Saat tiba di kantin, Bara menatap ke berbagai penjuru. Matanya menangkap keberadaan rekan-rekannya yang berada di sudut kantin, tetapi di sana juga ada dokter yang paling Bara tidak sukai, yaitu dokter Andre.Terakhir berbincang dengan Andre saat Bara menyusul Berlian di acara reuni. Saat itu mereka tengah adu cekcok memperebutkan Berlian. Andre bersikeras tidak ingin mengalah, pun dengan Bara. Namun Bara sudah selangkah lebih maju, dua restu sudah Bara kantongi dari ayah dan ibu Berlian. Tinggal meyakinkan ibunya sendiri dan Berlian, lalu semuanya akan beres.Bara mendekati teman-temann
"Berlian, mari kita bicara baik-baik!" ajak Evan menarik tangan Berlian. Namun Berlian menepisnya dengan cepat."Apa yang perlu dibicarakan baik-baik, Yah? Meski sekarang kita duduk berdua, berbicara baik-baik pun tidak akan mengubah kenyataan bahwa ayah menghindariku!" teriak Berlian sampai mengundang beberapa orang yang ada di sana untuk melihatnya."Sekarang jawab aku, yah. Apa benar ayah menghindariku?""Ya." Satu patah jawaban persetujuan membuat Berlian jauh lebih frustasi dari sebelumnya."Benar kan apa yang aku tebak. Lalu apa tujuan ayah melakukannya?" Evan terdiam, pria itu kembali menarik resleting jaketnya. Evan bersiap untuk meraih helmnya, tetapi interupsi dari Berlian menghentikannya."Ayah mau kemana?" tanya Berlian."Kapan-kapan kita bicara lagi.""Kapan yah? Apa kita masih punya kesempatan untuk bertemu lagi? Kalau aku tidak sengaja bertemu ayah tadi, mungkin sampai aku mati
Berlian menangis terisak-isak di depan terasnya, buku catatan kecil yang hanya berisi coretan tangannya pun masih ia dekap dengan erat. Awan yang mendung pun membuat hujan turun lambat laun dengan deras. Berlian menatap berkali-kali ke arah pagar dan pintu rumahnya. Baik ibunya atau pun kakaknya tidak membukakan pintu untuknya masuk. Andai itu ibunya tidak ada, pasti kakaknya berani membuka pintu. Tetapi kalau ada ibunya, pasti kakaknya juga akan dimarahi habis-habisan. Meski masih kecil, Berlian merasakan kasih sayang ibunya hanya untuk kakaknya, sedangkan dirinya, ia merasa tidak pernah diinginkan ibunya. Hanya kebencian yang selalu ibunya berikan padanya.Suara derum motor terdengar membuat Berlian menatap ke arah pagar. Seorang pria muda tengah turun dari motornya dan membuka pagar yang menjulang tinggi. Pria yang terbalut jas hujan itu setelah berhasil membuka pagar segera menaiki motornya lagi dan menuju ke depan rumahnya. Berlian tersenyum cerah saat melihat ayah
Berlian menghentikan mobilnya di basment perusahaannya, gadis itu bergegas turun setelah mengusap air matanya dan memastikan kalau wajahnya tidak ada jejak-jejak air mata. Berlian keluar dari area basment dan memasuki perusahaannya, sebisa mungkin Berlian menampilkan raut baik-baik sajanya. Langkah gadis itu terlihat tegap memasuki gedung pencakar langit itu."Berlian, bagaiaman? Apa Bara suka makanannya?" sebuah suara mengerinterupsi membuat Berlian menghentikan langkahnya. Gadis itu menolehkan kepalanya ke arah ruang tunggu. Di sana sang ibu tengah duduk dengan santai."Kenapa masih di sini?" tanya Berlian balik. Risa mendekati sang anak, sedangkan yang didekati pun berjalan mundur. Entah kenapa Berlian merasa jijik saat ini melihat ibunya. Wanita yang sudah berperilaku kasar padanya sejak kecil dan saat ini merenggut kebahagiaan yang belum sempat ia rasakan.Bagi Berlian, ibunya sudah merebut Bara. Dulu perkenalan Berlian dengan Bara selalu
"Dokter, apa yang terjadi dengan Dokter Evan?" tanya Bara saat dokter spesialis jantung baru saja keluar dari ruang UGD."Pak Evan mengidap penyakit pembengkakan jantung. Sudah saya periksa dan Pak Evan sudah istirahat, temui saja nanti kalau sudah membaik," jawab Dokter Surya pada Bara. Bara menganggukkan kepalanya, pria itu menatap ke jendela untuk melihat keadaan Dokter Evan.Bara masih berusaha menghubungi Berlian, tetapi satu kali pun Berlian tidak menjawab panggilan dari Bara. Bara tidak tahu pasti apa yang menyebabkan ayah dan anak itu ribut hingga Dokter Evan harus masuk Ruang Uni Gawat Darurat, tapi yang ia lihat Berlian sangat marah. Biasanya semarahnya Berlian masih bisa diajak berbicara, tetapi kali ini, jangankan berbicara, menurunkan kaca mobilnya saja Berlian enggan.Bara kasihan melihat Dokter Evan yang tidak ada sanak saudara menunggu, anak dan istri tidak di sampingnya saat sakit. Bara ingin masuk dan menemani Dokter Evan, tet
Dalam lisan Berlian boleh saja mengatakan kalau ia tidak peduli apapun yang terjadi pada ayahnya. Namun ikatan batin antara anak dan orang tua tidak bisa terlepas begitu saja. Berlian bersih keras tidak akan peduli dengan sang ayah, tetapi kenyataannya apa? saat ini Berlian kembali ke rumah sakit. Gadis itu menuju ruang administrasi. "Bu, pasien atas nama Evan, dokter yang bekerja juga di rumah sakit ini, ada di kamar nomor berapa?" tanya Berlian dengan sopan. "Dokter Evan ada di kamar Bougenville nomor tiga.""Saya mau melunasi administrasinya," kata Berlian. Petugas itu memberikan selembar kertas administrasi pada Berlian. Berlian membacanya dengan seksama. Tangan Berlian bergetar kecil saat membaca diagnosa kalau ayahnya mengidap penyakit pembengkakan jantung. Buru-buru gadis itu membayar semua administrasi ayahnya dan bergegas pergi. Berlian menuju ruang rawat yang ditunjukkan petugas. Saat sampai di kamar itu, Berlian tidak langsung masuk. Gadis itu
Bara mendorong tubuh Berlian sampai gadis itu telentang di ranjang, tanpa basa basi Bara mencium bibir Berlian. Berlian menerima ciuman suaminya, bunga yang ia pegang pun sudah teronggok di ranjang. Ciuman ini pernah Berlian rasakan tepat pada empat tahun lalu sebelum Bara pergi ke luar negeri. Pertama kali mendapat ciuman dari Bara sungguh membuat candu untuk Berlian. Bahkan Berlian sangat mendambakan ciuman suaminya. Kini ciuman itu bisa Berlian rasakan kembali. Meski sudah empat tahun berlalu, tapi Berlian masih ingat jelas rasa ciuman itu. Berlian mengalungkan tangannya di leher suaminya. Ciuman Bara semakin lama semakin intens, tidak hanya ciuman di bibir, melainkan ciuman Bara turun sampai ke leher Berlian. Harum tubuh Berlian bagai candu untuk Bara. "Berlian, aku mencintaimu," aku Bara dengan jujur. Bara menarik tangan Berlian yang mengalung di lehernya, pria itu menautkan jari jemarinya dengan jari jemari Berlian. "Aku juga," jawab Berlian. "Apa kita harus melakukannya seka
Empat tahun sudah Berlian lalui dengan singkat, satu bulan pun juga terasa sangat singkat untuk Berlian. Setelah ibunya mengatakan satu bulan lali mereka akan menikah, kini Berlian benar-benar sudah menikah dengan Bara. Semua terjadi layaknya mimpi singkat. Di mana Bara mengucapkan janji pernikahan. Saat ini Berlian sudah memakai gaun pengantin berwarna putih dengan hiasan di kepalanya. Berlian sudah resmi menjadi istri Bara, saat ini pesta pernikahan akan dilangsungkan.Beberapa kali Berlian mencubit tangannya sendiri untuk meyakinkan dirinya bahwa yang ia alami ini bukanlah sebuah mimpi. Tetapi tangannya terasa sakit, artinya ia tengah berada di dunia nyata. Berlian berjalan membawa bunganya menuju ke tempat di mana Bara dan Azka tengah berdiri memakai jas yang senada. Suara ricuh tepuk tangan dari tamu undangan terdengar nyaring. Risa membuat pernikahan putri semata wayangnya dengan mewan dan tamu yang diundang pun sangat banyak.Langkah kaki Berlian tam
Dua musim sudah Berlian dan Azka lewati beberapa kali. Saat ini musim penghujan yang ke sekian kali telat tiba. Berlian dan Azka tengah berdiri di bawah payung yang sama sembari menatap lurus ke depan. Hujan turun dengan sangat deras, Berlian berusaha keras memegang payungnya agar tidak terbang diterpa hujan yang sangat dasyat.Lima belas menit sudah ibu dan anak itu berteduh di bawah payung yang sama sembari pandangannya lurus ke depan. Tiga tahun sudah berlalu, kini usia Azka sudah menginjak sembilan tahun. Azka sudah duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar, setiap semester dan kenaikan kelas, Azka tidak pernah luput dari juara satu. Bocah itu tumbuh menjadi bocah yang aktif dan sangat pintar. Terkadang kepintarannya bisa membuat guru-gurunya kuwalahan."Sudah lebih dari lima belas menit kita di sini. Mama gak mau menunggu di ruang tunggu sambil berteduh?" tanya Azka. Berlian menggelengkan kepalanya.Berlian tetap keukeuh untuk menunggu di lua
Satu tahun sudah berlalu. Kini usia Azka genap enam tahun, bocah itu tumbuh menjadi bocah yang sangat pintar dan menggemaskan. Hari ini juga hari pertama Azka masuk ke kelas satu sekolah dasar. Sejak tadi Berlian sudah sibuk memutari ruangan apartemennya untuk menyiapkan segala kebutuan Azka."Mama, aku capek lihat mama jalan terus," ucap Azka menepuk keningnya dengan pelan. Azka berdiri di atas sofa, tidak berpindah sedikit pun sejak lima belas menit yang lalu. Azka sudah lelah berdiri, tetapi mamanya tidak mengijinkannya berpindah tempat.Azka sudah siap dengan seragam Sdnya. Baju putih, celana merah dan ikat pinggang. Hanya saja di leher Azka belum terkalung dasi karena mamanya lupa menaruh dasi di mana. Satu tahun hidup bersama Berlian membuat Azka mengerti seluruh sikap Berlian, salah satunya perempuan itu yang sangat pelupa saat menaruh barangnya.Azka bahagia hidup bersama mamanya di apartemen ini. Setiap satu minggu sekali nenek Ira dan
Hari ini Bara benar-benar akan pergi ke luar negeri. Pria itu sudah siap dengan kopernya, dibantu dengan Bian, pria itu memasukkan barang-barangnya ke mobil Bian. Azka menangis sembari merangkul leher omnya, bocah lima tahun itu tidak mau turun dari gendongan omnya, membuat Bara kesulitan menata barang-barangnya."Huu huuu ... hikss hiksss ...." Azka menangis sejak pagi karena tidak mau ditinggal pergi. Selama ini omnya lah yang mengurusnya. Mulai dari Azka bangun tidur sampai tidur lagi, Omnya lah yang mengurus. Sekarang bagaimana Azka bisa hidup tanpa Bara. Apalagi Bara akan meninggalkannya selama empat tahun. Bagi Azka itu bukanlah waktu yang singkat."Om, jangan pergi, Om." Azka merengek sembari memeluk leher Bara dengan erat."Azka, Om akan kembali lagi kok. Om Pergi hanya sebentar," bujuk Bara menurunkan Azka. tetapi Azka tidak mau turun, bocah itu semakin melingkarkan kakinya ke tubuh omnya."Bohong. Om pergi sangat lama, om
Brakkk!Berlian dan Bara menolehkan kepalanya ke pintu apartemen Berlian yang saat ini terbuka dengan lebar. Bian lah yang muncul di sana. Berlian menatap Bian dengan pandangan sangat garang, pintu apartemennya yang kokoh tak tertandingi kini rusak karena tendangan Bian."Bian!" desis Berlian dengan tajam."Eh maaf ... maaf bu tidak sengaja," ucap Bian bergegas menghampiri Berlian. Bian menatap Berlian dengan pandangan memelas agar Berlian tidak menghajarnya di sini. Namun fokus Bian teralih saat melihat bibir Berlian yang membengkak dengan bekas gigitan di ujunya. Dengan spontan Bian menatap ke arah Bara, bibir Bara pun demikian, membengkak parah dengan ujung yang berdarah."Ka ... kalian habis ngapain?" tanya Bian menunjuk bibir Berlian dan Bara. Kedua orang itu langsung mengusap sudut bibir masing-masing."Akhh!" Berlian mengaduh kesakitan saat mengusap bibirnya, bibirnya terasa perih.
"Berlian, aku mengatakan yang sejujurnya," ucap Bara masih berusaha meyakinkan Berlian."Lalu apa kabar kamu yang tidak pernah menganggapku, Bar? Semua orang tahu kalau kamu akan pergi melanjutkan sekolah kamu. Bahkan ibuku dan Bian pun tahu, sedangkan aku? Bukankah sikap kamu yang seperti ini menandakan kalau aku tidak penting bagimu?" tanya Berlian bertubi-tubi."Kamu penting bagiku, Berlian.""Kalau penting kenapa kamu membohongiku, Bara? Kalau dari awal kamu mengatakan kamu menyukaiku karena paksaan Bian, lalu kamu jatuh cinta sama aku, pasti masalahnya tidak sampai seperti ini. Juga rasa sakit hatiku tidak akan sedalam ini. Tapi apa yang sudah kamu lakukan? Meski kamu sekarang sudah mencintaiku, tapi aku tidak bisa mengelak bahwa fakta mengatakan awal mula kamu mendekatiku itu adalah terpaksa," oceh Berlian."Apa gunanya memikirkan bagaimana awal kita bersama, Berlian? Yang penting saat ini kita sudah saling mencintai."
Sudah satu minggu Berlian mengunci dirinya di rumah, gadis itu tidak membiarkan siapa saja datang ke rumahnya. Setiap hari ada saja yang mencarinya, tetapi Berlian enggan membukakan pintu. Hpnya pun terus bergetar dan berdering nyaring menandakan ada pesan bertubi dan telfon. Berlian hanya meliriknya sekilas. Panggilan suara dari Bara dan Bian bergantian masuk. Sekali pun Berlian tidak ada niatan untuk mengangkatnya.Sudah satu minggu juga Berlian mangkir dari pekerjaanya, pekerjaan diambil alih oleh ibunya. Berlian sudah tidak menangis lagi, gadis itu hanya sedang berdiam diri di rumah sembari mengerjakan merk barunya seorang diri. Berlian juga menolak kerja sama dengan Kenan, kerja sama yang lalu Berlian putuskan dengan sepihak. Gadis itu hanya ingin melakukannya seorang diri, tanpa gangguan dari siapapun. Berlian mengerjakan semuanya dari rumah, berhubungan dengan orang-orang penting pun hanya via surel.Sekarang Berlian tahu kenapa banyak pria yang ingi
"Berlian, jangan pergi!" cegah Bara mencekal tangan Berlian. Berlian berusaha melepaskan cekalan tangan Bara, tetapi cekalan tangan Bara sangat kuat membuat tubuh gadis itu terhuyung menubruk tubuh Bara."Aku bisa jelasin semuanya, Berlian. Kamu dengerin dulu," titah Bara."Apa yang perku kamu jelasin, Bara. Kamu mau menjelaskan atau mau mengarang bebas? Semua sudah selesai, aku tidak butuh kamu lagi," teriak Berlian mendorong tubuh Bara dengan kencang sampai cekalan tangan Bara terlepas. Namun itu hanya sepersekian detik, setelahnya Bara kembali menarik tangan Berlian. Bukan hanya menarik, tapi juga merengkuh tubuh gadis itu."Berlian, aku akui pertama kali aku mendekatimu karena desakan dari Bian, tapi itu hanya bertahan dua hari, Berlian. Dua hari aku dipaksa, tapi aku jatuh cinta sama kamu setelah tiga hari sama kamu," ujar Bara dengan jujur."Bohong!" sentak Berlian. Berlian sudah berusaha untuk tidak menangis, tetapi nyatanya