Hari ibu selalu menjadi momok untuk Azka, pasalnya ia masih terbayang-bayang dengan perayakan hari ayah yang membuatnya ingin kabur dari sekolahan. Perayakan-perayaan yang menyertakan ayah dan ibu adalah hal yang paling dibenci oleh Azka. Pasalnya ia tidak mempunyai satu pun dari mereka. Saat ini Azka sudah sampai di sekolah, panggung mewah sudah berdiri di depan sana dengan banyak hiasan. Azka duduk di samping neneknya dengan membawa bunga. Azka berganti menatap teman-temannya yang bersama ibunya masing-masing, hanya dia yang bersama neneknya.
"Azka, dengan nenekmu ya?" tanya seorang anak laki-laki yang ada di seberang Azka. Azka menganggukkan kepalanya.
"Ibumu ditanam di tanah, ya? Kamu sih nakal jadi ibumu tidak mau bersamamu," ucap anak laki-laki itu lagi. Ira sudah geram mendengar celotehan anak kecil itu, apalagi orang tua anak itu bukannya menasehati malah menertawakan.
Suara tawa dari anak-anak dan orang tua terdengar sangat nyaring kar
Saat ini Ira, Berlian dan Azka tengah duduk bersandingan dengan suasana yang sangat canggung. Hanya saja yang merasa canggung adalah Ira, sedangkan Berlian tampak santai menatap ke depan ke arah guru yang memberikan sambutan. Acara pesta hari guru baru dimulai setelah keributan yang dibuat Berlian."Kakak, kakak keren," bisik Azka pada Berlian. Berlian mengedipkan sebelah matanya pada Azka. Tentu saja Berlian bangga dengan dirinya sendiri yang seberani itu. Berlian cukup berang melihat tingkah para orang tua murid yang sudah berumur tapi masih menertawakan hal yang tidak lucu dan terdengar memalukan."Bu Berlian," panggil Bian berbisik tepat di belakang Berlian. Berlian menolehkan kepalanya, begitu pun dengan Ira yang turut menoleh."Kalau ada acara orang tua naik ke atas panggung, Kita berdua saja yang mewakili, saya ayahnya, Bu Berlian ibunya," bisik Bian."Enak saja kamu. Jangan macam-macam kamu, Bara yang pantas," sentak Ira dengan c
Berlian berjalan-jalan seorang diri di taman yang biasa ia kunjungi dulu sebelum ia putus dengan Deon. Taman air mancur yang terletak tidak jauh dari rumahnya selalu membuatnya tenang. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam, dan Berlian masih keluyuran. Berlian tidak bisa tidur meski sudah berusaha memejamkan matanya. Berlian menatap air yang tampak mengucur deras dari atas di bundaran air mancur. Gadis itu menghela napasnya, di tangannya menggenggam squisi yang terus ia remas.Berlian menatap dalam diam air mancur itu, perasaannya tetap sama, tidak baik-baik saja. Ia sudah move on dari Deon, tapi ada hal yang terus mengganjal di hatinya, yaitu ia yang tidak bisa diterima di keluarga manapun. Karena keegoisan orang tuanya, semuanya membencinya. Berlian adalah definisi cantik yang tidak berguna, banyak orang yang mengejarnya, tapi ketika akan memperjuangkannya, mereka memilih menyerah.Kalau boleh memilih, Berlian ingin menjadi orang biasa yang menjal
"Kamu ngapain sih ganggu aku?" tanya Berlian ketika sudah sampai di pintu rumahnya bersama dengan Bara."Aku tidak mengganggu," jawab Bara. Berlian menatap Bara yang masih mengenakan kemeja dan celana kain hitam. Tubuh Bara juga tercium bau obat-obatan."Kamu habis dari rumah sakit?" tanya Berlian. Bara menganggukkan kepalanya."Ya, aku ke sini juga mau mengambil kotak makan yang kamu bawa. Tadi aku sudah ke sini, tapi saat aku memencet bel tidak ada yang membukakan pintu, jadi aku ke taman air mancur, dan seperti dugaanku kalau kamu ada di sana," oceh Bara bertubi-tubi. Berlian memicingkan matanya mendengar ocehan Bara."Hanya karena kotak makan, kamu tengah malam harus kemari?" tanya Berlian tidak percaya."Kenapa tidak? Kotak makan itu sangat berharga untukku. Meski aku membelinya khusus untukmu, tentu saja tidak harus kamu bawa," jawab Bara."Ya sudah masuk sana, aku ambilkan," kata Berlian membuka pin
Pukul satu dini hari, bukannya Bara pulang ke rumahnya, Bara masih berada di rumah Berlian. Suara teriakan-teriakan saling bersahutan keluar dari bibir Bara dan bibir Berlian. Kedua orang dewasa itu tengah bermain game bersama. Berlian tengah serius memegang hpnya seraya memencet ikon-ikon di sana, begitu pun dengan Bara. Mereka memainkan game Sausage Man. Terkadang Berlian akan tertawa seorang diri tatkala melihat kelucuan dalam game itu. Ini kali pertamanya ia bermain game dan itu karena Bara. Biasanya saat ia tidak bisa tidur, ia akan datang ke taman air mancur atau menonton drama idola. Namun akhir-akhir ini ia tidak menonton drama karena hanya akan menertawakan kisah hidupnya."Aku tidak akan membiarkamu menang, Berlian," ucap Bara dengan serius."Baik di dunia nyata atau pun di dunia game, kamu tidak akan bisa mengalahkanku, Dokter," jawab Berlian. Permainan semakin lama semakin seru, kedua orang itu tidak ada yang mengalah dan terus berusaha menjadi
"Berlian, sampai kapan kamu akan seperti ini? Kamu tidak perlu pura-pura kuat dan menyembunyikan masalahmu sendiri. Aku siap membantumu, Berlian," ujar Bara."Aku tidak butuh berobat lagi, Dokter. Lihat, aku sudah sembuh. Aku sudah sehat-sehat saja. Bahkan aku tidak keberatan lagi saat melihat barang-barang berserakan. Buat apa lagi aku berobat?" oceh Berlian menunjuk dirinya sendiri."Tapi lihatlah dirimu sekarang, kamu punya gangguan kecemasan, sulit tidur dan makan yang tidak teratur. Kalau begini terus kesehatanmu yang akan dipertaruhkan.""Buat apa dokter memikirkan kesehatanku? Aku sudah biasa.""Hanya karena laki-laki kamu sampai seperti ini, Berlian.""Siapa yang begini karena laki-laki? Aku sudah membayarmu mahal selama berbulan-bulan dan aku tidak melanjutkan berobatku, kamu masih untung, Bara. Atau kamu mau uang, aku bisa berikan tanpa kamu memaksaku untuk berobat.""Ini bukan masalah uang
Pukul tiga dini hari, Azka sudah dipindahkan ke ruang rawat VIP. Masalah administrasi Berlian lah yang sudah mengurusnya. Bara sudah berusaha menolak, tapi Berlian tetap keukeuh. Saat ini Berlian tengah berdiri bersandar di samping pintu, gadis itu menatap Azka yang sudah tertidur lelap. Sedangkan Bara, pria itu tidur di kursi sampaing ranjang Azka. Bara tampak pulas dengan kepala yang bertumpu pada ranjang. Menoleh ke ranjang khusus keluarga pasien, Ira juga tampak tertidur dengan wajah yang mengarah pada cucunya.Perasaan Berlian sungguh campur aduk dengan perkataan Bara yang masih terekam jelas di ingatannya. Bara mengatakan di depan Dokter Andre kalau Azka adalah anak mereka. Berlian tertawa seorang diri, ia pernah membayangkan menikah, lalu punya keluarga kecil dan anak-anak yang sangat lucu. Hal itu sangat menyenangkan saat terlintas jelas di pikiran Berlian. Namun lagi-lagi ia harus mengenyahkan bayangan itu. Berlian kembali menatap Bara yang tampak terlelap, seh
"Berlian, kamu mau kemana?" Bara terus mendesak Berlian dengan pertanyaan-pertanyaan 'mau kemana. Sedangkan yang ditanya pun sama sekali tidak menjawab. Berlian sibuk membersihkan wajah Azka yang berkeringat.Bara mendekati Berlian, pria itu merapatkan tubuhnya dengan gadis yang sudah beberapa hari ia tempeli bak ia seekor lintah darat. "Berlian, kamu mau keluar sama Dokter Andre itu? Dokter Andre itu dokter baru, kamu tidak-""Dokter, Andre teman sekolahku, aku mengenal dekat dia," jawab Berlian."Tapi sudah lama kan tidak bertemu. Dulu dan sekarang itu berbeda.""Dia baik, baik banget malah.""Berlian, kamu tidak tahu pemikiran laki-laki. Pasti Andre ada maunya." Bara terus mengoceh berharap Berlian tidak akan keluar dengan Andre."Dokter, dokter kenapa sih?""Apa? Aku tidak ngapa-ngapain.""Aku mau keluar dengan Andre, kenapa kesannya dokter tidak suka?""Siapa yang tida
Berlian sudah berdandan cantik memakai dress sebatas lutut yang membuat gadis itu terlihat tampak anggun. Berlian juga menggerai rambut pendeknya. Gadis itu tidak berhenti menatap ke cermin yang memantulkan dirinya. Mungkin tidak ada yang lebih percaya diri dari Berlian. Sejak tadi, dalam hati Berlian terus memuji dirinya yang sangat cantik. Kalau bukan diri sendiri yang memuji, mau siapa lagi?Berlian mengambil tas yang sudah dia siapkan, gadis itu segera melenggang pergi begitu saja. Berlian sudah meluangkan waktunya untuk datang ke reuni. Kalau dulu ia jarang datang ke acara teman-temannya, kali ini ia menyempatka datang. Ia punya segalanya, siapa yang akan merendahkannya.Saat membuka pintu, seorang pria sudah berdiri di sana dengan pakaian hitamnya. "Andre," panggil Berlian. Andre tersenyum menatap Berlian, pria itu mengulurkan tangannya pada Berlian berharap Berlian akan menyambutnya. Namun Berlian segera berjalan terlebih dahulu."Ayo!"
Bara mendorong tubuh Berlian sampai gadis itu telentang di ranjang, tanpa basa basi Bara mencium bibir Berlian. Berlian menerima ciuman suaminya, bunga yang ia pegang pun sudah teronggok di ranjang. Ciuman ini pernah Berlian rasakan tepat pada empat tahun lalu sebelum Bara pergi ke luar negeri. Pertama kali mendapat ciuman dari Bara sungguh membuat candu untuk Berlian. Bahkan Berlian sangat mendambakan ciuman suaminya. Kini ciuman itu bisa Berlian rasakan kembali. Meski sudah empat tahun berlalu, tapi Berlian masih ingat jelas rasa ciuman itu. Berlian mengalungkan tangannya di leher suaminya. Ciuman Bara semakin lama semakin intens, tidak hanya ciuman di bibir, melainkan ciuman Bara turun sampai ke leher Berlian. Harum tubuh Berlian bagai candu untuk Bara. "Berlian, aku mencintaimu," aku Bara dengan jujur. Bara menarik tangan Berlian yang mengalung di lehernya, pria itu menautkan jari jemarinya dengan jari jemari Berlian. "Aku juga," jawab Berlian. "Apa kita harus melakukannya seka
Empat tahun sudah Berlian lalui dengan singkat, satu bulan pun juga terasa sangat singkat untuk Berlian. Setelah ibunya mengatakan satu bulan lali mereka akan menikah, kini Berlian benar-benar sudah menikah dengan Bara. Semua terjadi layaknya mimpi singkat. Di mana Bara mengucapkan janji pernikahan. Saat ini Berlian sudah memakai gaun pengantin berwarna putih dengan hiasan di kepalanya. Berlian sudah resmi menjadi istri Bara, saat ini pesta pernikahan akan dilangsungkan.Beberapa kali Berlian mencubit tangannya sendiri untuk meyakinkan dirinya bahwa yang ia alami ini bukanlah sebuah mimpi. Tetapi tangannya terasa sakit, artinya ia tengah berada di dunia nyata. Berlian berjalan membawa bunganya menuju ke tempat di mana Bara dan Azka tengah berdiri memakai jas yang senada. Suara ricuh tepuk tangan dari tamu undangan terdengar nyaring. Risa membuat pernikahan putri semata wayangnya dengan mewan dan tamu yang diundang pun sangat banyak.Langkah kaki Berlian tam
Dua musim sudah Berlian dan Azka lewati beberapa kali. Saat ini musim penghujan yang ke sekian kali telat tiba. Berlian dan Azka tengah berdiri di bawah payung yang sama sembari menatap lurus ke depan. Hujan turun dengan sangat deras, Berlian berusaha keras memegang payungnya agar tidak terbang diterpa hujan yang sangat dasyat.Lima belas menit sudah ibu dan anak itu berteduh di bawah payung yang sama sembari pandangannya lurus ke depan. Tiga tahun sudah berlalu, kini usia Azka sudah menginjak sembilan tahun. Azka sudah duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar, setiap semester dan kenaikan kelas, Azka tidak pernah luput dari juara satu. Bocah itu tumbuh menjadi bocah yang aktif dan sangat pintar. Terkadang kepintarannya bisa membuat guru-gurunya kuwalahan."Sudah lebih dari lima belas menit kita di sini. Mama gak mau menunggu di ruang tunggu sambil berteduh?" tanya Azka. Berlian menggelengkan kepalanya.Berlian tetap keukeuh untuk menunggu di lua
Satu tahun sudah berlalu. Kini usia Azka genap enam tahun, bocah itu tumbuh menjadi bocah yang sangat pintar dan menggemaskan. Hari ini juga hari pertama Azka masuk ke kelas satu sekolah dasar. Sejak tadi Berlian sudah sibuk memutari ruangan apartemennya untuk menyiapkan segala kebutuan Azka."Mama, aku capek lihat mama jalan terus," ucap Azka menepuk keningnya dengan pelan. Azka berdiri di atas sofa, tidak berpindah sedikit pun sejak lima belas menit yang lalu. Azka sudah lelah berdiri, tetapi mamanya tidak mengijinkannya berpindah tempat.Azka sudah siap dengan seragam Sdnya. Baju putih, celana merah dan ikat pinggang. Hanya saja di leher Azka belum terkalung dasi karena mamanya lupa menaruh dasi di mana. Satu tahun hidup bersama Berlian membuat Azka mengerti seluruh sikap Berlian, salah satunya perempuan itu yang sangat pelupa saat menaruh barangnya.Azka bahagia hidup bersama mamanya di apartemen ini. Setiap satu minggu sekali nenek Ira dan
Hari ini Bara benar-benar akan pergi ke luar negeri. Pria itu sudah siap dengan kopernya, dibantu dengan Bian, pria itu memasukkan barang-barangnya ke mobil Bian. Azka menangis sembari merangkul leher omnya, bocah lima tahun itu tidak mau turun dari gendongan omnya, membuat Bara kesulitan menata barang-barangnya."Huu huuu ... hikss hiksss ...." Azka menangis sejak pagi karena tidak mau ditinggal pergi. Selama ini omnya lah yang mengurusnya. Mulai dari Azka bangun tidur sampai tidur lagi, Omnya lah yang mengurus. Sekarang bagaimana Azka bisa hidup tanpa Bara. Apalagi Bara akan meninggalkannya selama empat tahun. Bagi Azka itu bukanlah waktu yang singkat."Om, jangan pergi, Om." Azka merengek sembari memeluk leher Bara dengan erat."Azka, Om akan kembali lagi kok. Om Pergi hanya sebentar," bujuk Bara menurunkan Azka. tetapi Azka tidak mau turun, bocah itu semakin melingkarkan kakinya ke tubuh omnya."Bohong. Om pergi sangat lama, om
Brakkk!Berlian dan Bara menolehkan kepalanya ke pintu apartemen Berlian yang saat ini terbuka dengan lebar. Bian lah yang muncul di sana. Berlian menatap Bian dengan pandangan sangat garang, pintu apartemennya yang kokoh tak tertandingi kini rusak karena tendangan Bian."Bian!" desis Berlian dengan tajam."Eh maaf ... maaf bu tidak sengaja," ucap Bian bergegas menghampiri Berlian. Bian menatap Berlian dengan pandangan memelas agar Berlian tidak menghajarnya di sini. Namun fokus Bian teralih saat melihat bibir Berlian yang membengkak dengan bekas gigitan di ujunya. Dengan spontan Bian menatap ke arah Bara, bibir Bara pun demikian, membengkak parah dengan ujung yang berdarah."Ka ... kalian habis ngapain?" tanya Bian menunjuk bibir Berlian dan Bara. Kedua orang itu langsung mengusap sudut bibir masing-masing."Akhh!" Berlian mengaduh kesakitan saat mengusap bibirnya, bibirnya terasa perih.
"Berlian, aku mengatakan yang sejujurnya," ucap Bara masih berusaha meyakinkan Berlian."Lalu apa kabar kamu yang tidak pernah menganggapku, Bar? Semua orang tahu kalau kamu akan pergi melanjutkan sekolah kamu. Bahkan ibuku dan Bian pun tahu, sedangkan aku? Bukankah sikap kamu yang seperti ini menandakan kalau aku tidak penting bagimu?" tanya Berlian bertubi-tubi."Kamu penting bagiku, Berlian.""Kalau penting kenapa kamu membohongiku, Bara? Kalau dari awal kamu mengatakan kamu menyukaiku karena paksaan Bian, lalu kamu jatuh cinta sama aku, pasti masalahnya tidak sampai seperti ini. Juga rasa sakit hatiku tidak akan sedalam ini. Tapi apa yang sudah kamu lakukan? Meski kamu sekarang sudah mencintaiku, tapi aku tidak bisa mengelak bahwa fakta mengatakan awal mula kamu mendekatiku itu adalah terpaksa," oceh Berlian."Apa gunanya memikirkan bagaimana awal kita bersama, Berlian? Yang penting saat ini kita sudah saling mencintai."
Sudah satu minggu Berlian mengunci dirinya di rumah, gadis itu tidak membiarkan siapa saja datang ke rumahnya. Setiap hari ada saja yang mencarinya, tetapi Berlian enggan membukakan pintu. Hpnya pun terus bergetar dan berdering nyaring menandakan ada pesan bertubi dan telfon. Berlian hanya meliriknya sekilas. Panggilan suara dari Bara dan Bian bergantian masuk. Sekali pun Berlian tidak ada niatan untuk mengangkatnya.Sudah satu minggu juga Berlian mangkir dari pekerjaanya, pekerjaan diambil alih oleh ibunya. Berlian sudah tidak menangis lagi, gadis itu hanya sedang berdiam diri di rumah sembari mengerjakan merk barunya seorang diri. Berlian juga menolak kerja sama dengan Kenan, kerja sama yang lalu Berlian putuskan dengan sepihak. Gadis itu hanya ingin melakukannya seorang diri, tanpa gangguan dari siapapun. Berlian mengerjakan semuanya dari rumah, berhubungan dengan orang-orang penting pun hanya via surel.Sekarang Berlian tahu kenapa banyak pria yang ingi
"Berlian, jangan pergi!" cegah Bara mencekal tangan Berlian. Berlian berusaha melepaskan cekalan tangan Bara, tetapi cekalan tangan Bara sangat kuat membuat tubuh gadis itu terhuyung menubruk tubuh Bara."Aku bisa jelasin semuanya, Berlian. Kamu dengerin dulu," titah Bara."Apa yang perku kamu jelasin, Bara. Kamu mau menjelaskan atau mau mengarang bebas? Semua sudah selesai, aku tidak butuh kamu lagi," teriak Berlian mendorong tubuh Bara dengan kencang sampai cekalan tangan Bara terlepas. Namun itu hanya sepersekian detik, setelahnya Bara kembali menarik tangan Berlian. Bukan hanya menarik, tapi juga merengkuh tubuh gadis itu."Berlian, aku akui pertama kali aku mendekatimu karena desakan dari Bian, tapi itu hanya bertahan dua hari, Berlian. Dua hari aku dipaksa, tapi aku jatuh cinta sama kamu setelah tiga hari sama kamu," ujar Bara dengan jujur."Bohong!" sentak Berlian. Berlian sudah berusaha untuk tidak menangis, tetapi nyatanya