Pukul tiga dini hari, Azka sudah dipindahkan ke ruang rawat VIP. Masalah administrasi Berlian lah yang sudah mengurusnya. Bara sudah berusaha menolak, tapi Berlian tetap keukeuh. Saat ini Berlian tengah berdiri bersandar di samping pintu, gadis itu menatap Azka yang sudah tertidur lelap. Sedangkan Bara, pria itu tidur di kursi sampaing ranjang Azka. Bara tampak pulas dengan kepala yang bertumpu pada ranjang. Menoleh ke ranjang khusus keluarga pasien, Ira juga tampak tertidur dengan wajah yang mengarah pada cucunya.
Perasaan Berlian sungguh campur aduk dengan perkataan Bara yang masih terekam jelas di ingatannya. Bara mengatakan di depan Dokter Andre kalau Azka adalah anak mereka. Berlian tertawa seorang diri, ia pernah membayangkan menikah, lalu punya keluarga kecil dan anak-anak yang sangat lucu. Hal itu sangat menyenangkan saat terlintas jelas di pikiran Berlian. Namun lagi-lagi ia harus mengenyahkan bayangan itu. Berlian kembali menatap Bara yang tampak terlelap, seh
"Berlian, kamu mau kemana?" Bara terus mendesak Berlian dengan pertanyaan-pertanyaan 'mau kemana. Sedangkan yang ditanya pun sama sekali tidak menjawab. Berlian sibuk membersihkan wajah Azka yang berkeringat.Bara mendekati Berlian, pria itu merapatkan tubuhnya dengan gadis yang sudah beberapa hari ia tempeli bak ia seekor lintah darat. "Berlian, kamu mau keluar sama Dokter Andre itu? Dokter Andre itu dokter baru, kamu tidak-""Dokter, Andre teman sekolahku, aku mengenal dekat dia," jawab Berlian."Tapi sudah lama kan tidak bertemu. Dulu dan sekarang itu berbeda.""Dia baik, baik banget malah.""Berlian, kamu tidak tahu pemikiran laki-laki. Pasti Andre ada maunya." Bara terus mengoceh berharap Berlian tidak akan keluar dengan Andre."Dokter, dokter kenapa sih?""Apa? Aku tidak ngapa-ngapain.""Aku mau keluar dengan Andre, kenapa kesannya dokter tidak suka?""Siapa yang tida
Berlian sudah berdandan cantik memakai dress sebatas lutut yang membuat gadis itu terlihat tampak anggun. Berlian juga menggerai rambut pendeknya. Gadis itu tidak berhenti menatap ke cermin yang memantulkan dirinya. Mungkin tidak ada yang lebih percaya diri dari Berlian. Sejak tadi, dalam hati Berlian terus memuji dirinya yang sangat cantik. Kalau bukan diri sendiri yang memuji, mau siapa lagi?Berlian mengambil tas yang sudah dia siapkan, gadis itu segera melenggang pergi begitu saja. Berlian sudah meluangkan waktunya untuk datang ke reuni. Kalau dulu ia jarang datang ke acara teman-temannya, kali ini ia menyempatka datang. Ia punya segalanya, siapa yang akan merendahkannya.Saat membuka pintu, seorang pria sudah berdiri di sana dengan pakaian hitamnya. "Andre," panggil Berlian. Andre tersenyum menatap Berlian, pria itu mengulurkan tangannya pada Berlian berharap Berlian akan menyambutnya. Namun Berlian segera berjalan terlebih dahulu."Ayo!"
Berlian dan Andre memasuki gedung restoran biasa yang dipesan ketua kelas. Saat baru satu langkah Berlian melangkahkan kakinya ke restoran, suara teriakan heboh teman-temannya terdengar nyaring. Berlian segera menghampiri teman-temannya dan memeluk mereka satu persatu. Berlian tidak hapal siapa saja nama-nama mereka. Karena ia pun hampir tidak pernah berhubungan dengan mereka."Berlian, sekarang kamu sombong, tidak pernah mau muncul di grub whatsapp kelas," celetuk salah satu teman Berlian."Aku tidak punya waktu untuk membukanya. Kapan-kapan aku akan buka," jawab Berlian. Semua mata menatap ke arah Berlian, wajah cantik dan dress selutut membuat gadis itu terlihat sangat menawan."Berlian, ayo duduk sini!" ajak ketua kelas menepuk kursi sampingnya. Dengan sigap Andre mendekati kursi, ia ingin menarik untuk Berlian. Namun nasibnya sungguh jelek saat Berlian lebih sigap menarik kursi dan segera duduk di sana.Semua mata menatap ke a
Acara reuni yang harusnya penuh suka cita karena bertemu teman lama yang sudah lama tidak bersapa, kini berbeda dengan acara reuni kelas Berlian yang terus ada keributan. Berlian merasa tidak bebas di acara reuni, karena saat ia akan berbicara, Bara selalu menyelanya. Namun itu hanya berlaku saat Berlian berbicara dengan Andre. Saat Berlian berbicara dengan teman perempuan, Bara juga akan anteng."Berlian, kamu mau ini? Bukankah ini kesukaan kamu saat masih sekolah?" tanya Andre menyerahkan ayam panggang pada Berlian. Berlian sudah ingin menjawab iya, tetapi Bara terlanjur menyela."Berlian tidak suka, sini biar aku yang makan sebagai gantinya," ucap Bara menyodorkan piringnya pada Andre. Suara godaan teman-temannya pun terdengar menggoda Bara dan Berlian.Bagi teman-teman mereka, sikap Bara adalah sikap romantis dengan pasangannya. Namun beda bagi Berlian, Berlian sama sekali tidak mengerti maksud Bara yang bertingkah sesuka hatinya. Bagi Berl
Siang ini Berlin sama sekali tidak bisa fokus pada pekerjaannya. Gadis itu terus memikirkan soal Bara yang katanya mempunyai perasaan padanya. Berlian menghela napasnya berkali-kali, gadis itu meletakkan hp di depan layar laptopnya. Di layar laptopnya tengah ada pekerjaannya, sedangkan di hpnya tengah memutar drama romansa dari negeri Tiongkok. Berlian menatap drama idola yang sudah beberapa lama tidak ia tonton. Gadis itu tampak serius menikmati alur dramanya."Dih, ya kali cowok bisa seromantis itu," ucap Berlian dengan sinis. Kalau soal menonton drama, Berlian tidak akan bisa diam. Karena perempuan itu sibuk mengomentari jalan cerita. Baginya, drama romansa hanyalah kebohongan belaka. Di dunia nyata tidak ada cowok yang romantis, tidak ada cowok yang dingin lalu diam-diam peduli dan melakukan segalanya untuk si cewek."Bu Berlian," panggil Bian menginterupsi. Berlian tidak menjawab, gadis itu masih asik menonton film."Bu Berlian," ulang Bia
Berlian berjalan mengedap-edap menuju ruang rawat Azka. Di tangan gadis itu memegang buah-buahan segar yang tadi sempat ia beli setelah dari kantor. Berlian masih memakai stelan lengkap baju kerjanya. Jam masih menunjukkan pukul empat sore dan Berlian sudah kabur dari kantor, tidak seperti Berlian biasanya yang datang paling awal dan pulang paling akhir. Berlian sengaja mendatangi Azka jam empat sore agar ia tidak bertemu dengan Bara.Bara memang tidak mengucapkan kalimat cintanya secara terus terang, tetapi Berlian tidak siap bila harus bertemu dengan Bara. Apalagi saat ia tahu Bara menyukainya. Bagi Berlian itu sebuah kemustahilan, ia tidak yakin, tetapi di sudut hatinya yang lain seolah ada bunga yang bertebaran di sana.Berlian bergegas berlari menyusuri lorong rumah sakit setelah ia berhasil melewati ruangan Bara. Gadis itu sedikit mengencangkan larinya, sesekali gadis itu akan menengok ke belakang untuk memstikan Bara tidak ada di belakang. Hingga ...
Berlian tersenyum seorang diri sembari mengaduk kopi di tangannya. Hari minggu Berlian yang biasanya bangun kesiangan kini bangun lebih awal. Gadis itu menyeduh kopi sembari tertawa kecil. Terhitung dua minggu sudah hubungannya dan Bara sangat dekat. Sejak pengakuan Bara pada Andre bahwa Bara menyukainya, Bara benar-benar memperlakukan Berlian dengan baik. Kalau biasanya saat bertemu mereka akan bertengkar, kini meski sering adu mulut tapi langsung berbaikan lagi. Setelah dari kantor, Berlian selalu menyempatkan diri ke rumah sakit untuk menjenguk Azka. Sepuluh persen menjenguk, sepuluh persen mengejek Bu Ira dan delapan puluh persennya untuk bertemu Bara. Berlian terkikik geli mengingat kelakuannya.Berlian bagai abg yang tengah dirundung asmara, Berlian tidak pernah segila ini saat pacaran dengan mantannya. Namun berbeda dengan Bara, gadis itu membawa kopinya ke sofa, menyesapnya perlahan dan terus mengusung senyumnya.Ting!Bunyi notifikasi dari h
Hujan deras mengguyur kota jakarta sore ini. Hujan deras disertai angin yang kencang juga suara petir terdengar menyambar-nyambar. Azka duduk di kursi kamarnya seraya menatap jendela dengan pandangan sendu. Bocah usia lima tahun itu menatap air hujan yang tampak deras. Pikiran Azka berkecamuk memikirkan banyak hal. Azka berjalan kecil membuka jendela kamarnya, tepat di samping kamarnya yang berhadapan dengan jendela adalah rumah teman Azka."Haidar, lempar bolanya kesini!" teriak seorang perempuan muda yang tengah basah kuyup karena berlarian di bawah air hujan bersama Haidar. Pun dengan Haidar, sang bocah berusia lima tahun itu hanya memakai kaos dalam berwarna putih sembari menendang bola dengan kencang."Ibu, tendang lagi ke sini!" teriak Haidar pada ibunya.Seorang pria datang dengan menaiki motornya seraya memakai jas hujan lengkap. Pria itu menghentikan motornya tepat di depan rumah Haidar. Tatkala helm itu dilepas, Haidar berteriak nyari
Bara mendorong tubuh Berlian sampai gadis itu telentang di ranjang, tanpa basa basi Bara mencium bibir Berlian. Berlian menerima ciuman suaminya, bunga yang ia pegang pun sudah teronggok di ranjang. Ciuman ini pernah Berlian rasakan tepat pada empat tahun lalu sebelum Bara pergi ke luar negeri. Pertama kali mendapat ciuman dari Bara sungguh membuat candu untuk Berlian. Bahkan Berlian sangat mendambakan ciuman suaminya. Kini ciuman itu bisa Berlian rasakan kembali. Meski sudah empat tahun berlalu, tapi Berlian masih ingat jelas rasa ciuman itu. Berlian mengalungkan tangannya di leher suaminya. Ciuman Bara semakin lama semakin intens, tidak hanya ciuman di bibir, melainkan ciuman Bara turun sampai ke leher Berlian. Harum tubuh Berlian bagai candu untuk Bara. "Berlian, aku mencintaimu," aku Bara dengan jujur. Bara menarik tangan Berlian yang mengalung di lehernya, pria itu menautkan jari jemarinya dengan jari jemari Berlian. "Aku juga," jawab Berlian. "Apa kita harus melakukannya seka
Empat tahun sudah Berlian lalui dengan singkat, satu bulan pun juga terasa sangat singkat untuk Berlian. Setelah ibunya mengatakan satu bulan lali mereka akan menikah, kini Berlian benar-benar sudah menikah dengan Bara. Semua terjadi layaknya mimpi singkat. Di mana Bara mengucapkan janji pernikahan. Saat ini Berlian sudah memakai gaun pengantin berwarna putih dengan hiasan di kepalanya. Berlian sudah resmi menjadi istri Bara, saat ini pesta pernikahan akan dilangsungkan.Beberapa kali Berlian mencubit tangannya sendiri untuk meyakinkan dirinya bahwa yang ia alami ini bukanlah sebuah mimpi. Tetapi tangannya terasa sakit, artinya ia tengah berada di dunia nyata. Berlian berjalan membawa bunganya menuju ke tempat di mana Bara dan Azka tengah berdiri memakai jas yang senada. Suara ricuh tepuk tangan dari tamu undangan terdengar nyaring. Risa membuat pernikahan putri semata wayangnya dengan mewan dan tamu yang diundang pun sangat banyak.Langkah kaki Berlian tam
Dua musim sudah Berlian dan Azka lewati beberapa kali. Saat ini musim penghujan yang ke sekian kali telat tiba. Berlian dan Azka tengah berdiri di bawah payung yang sama sembari menatap lurus ke depan. Hujan turun dengan sangat deras, Berlian berusaha keras memegang payungnya agar tidak terbang diterpa hujan yang sangat dasyat.Lima belas menit sudah ibu dan anak itu berteduh di bawah payung yang sama sembari pandangannya lurus ke depan. Tiga tahun sudah berlalu, kini usia Azka sudah menginjak sembilan tahun. Azka sudah duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar, setiap semester dan kenaikan kelas, Azka tidak pernah luput dari juara satu. Bocah itu tumbuh menjadi bocah yang aktif dan sangat pintar. Terkadang kepintarannya bisa membuat guru-gurunya kuwalahan."Sudah lebih dari lima belas menit kita di sini. Mama gak mau menunggu di ruang tunggu sambil berteduh?" tanya Azka. Berlian menggelengkan kepalanya.Berlian tetap keukeuh untuk menunggu di lua
Satu tahun sudah berlalu. Kini usia Azka genap enam tahun, bocah itu tumbuh menjadi bocah yang sangat pintar dan menggemaskan. Hari ini juga hari pertama Azka masuk ke kelas satu sekolah dasar. Sejak tadi Berlian sudah sibuk memutari ruangan apartemennya untuk menyiapkan segala kebutuan Azka."Mama, aku capek lihat mama jalan terus," ucap Azka menepuk keningnya dengan pelan. Azka berdiri di atas sofa, tidak berpindah sedikit pun sejak lima belas menit yang lalu. Azka sudah lelah berdiri, tetapi mamanya tidak mengijinkannya berpindah tempat.Azka sudah siap dengan seragam Sdnya. Baju putih, celana merah dan ikat pinggang. Hanya saja di leher Azka belum terkalung dasi karena mamanya lupa menaruh dasi di mana. Satu tahun hidup bersama Berlian membuat Azka mengerti seluruh sikap Berlian, salah satunya perempuan itu yang sangat pelupa saat menaruh barangnya.Azka bahagia hidup bersama mamanya di apartemen ini. Setiap satu minggu sekali nenek Ira dan
Hari ini Bara benar-benar akan pergi ke luar negeri. Pria itu sudah siap dengan kopernya, dibantu dengan Bian, pria itu memasukkan barang-barangnya ke mobil Bian. Azka menangis sembari merangkul leher omnya, bocah lima tahun itu tidak mau turun dari gendongan omnya, membuat Bara kesulitan menata barang-barangnya."Huu huuu ... hikss hiksss ...." Azka menangis sejak pagi karena tidak mau ditinggal pergi. Selama ini omnya lah yang mengurusnya. Mulai dari Azka bangun tidur sampai tidur lagi, Omnya lah yang mengurus. Sekarang bagaimana Azka bisa hidup tanpa Bara. Apalagi Bara akan meninggalkannya selama empat tahun. Bagi Azka itu bukanlah waktu yang singkat."Om, jangan pergi, Om." Azka merengek sembari memeluk leher Bara dengan erat."Azka, Om akan kembali lagi kok. Om Pergi hanya sebentar," bujuk Bara menurunkan Azka. tetapi Azka tidak mau turun, bocah itu semakin melingkarkan kakinya ke tubuh omnya."Bohong. Om pergi sangat lama, om
Brakkk!Berlian dan Bara menolehkan kepalanya ke pintu apartemen Berlian yang saat ini terbuka dengan lebar. Bian lah yang muncul di sana. Berlian menatap Bian dengan pandangan sangat garang, pintu apartemennya yang kokoh tak tertandingi kini rusak karena tendangan Bian."Bian!" desis Berlian dengan tajam."Eh maaf ... maaf bu tidak sengaja," ucap Bian bergegas menghampiri Berlian. Bian menatap Berlian dengan pandangan memelas agar Berlian tidak menghajarnya di sini. Namun fokus Bian teralih saat melihat bibir Berlian yang membengkak dengan bekas gigitan di ujunya. Dengan spontan Bian menatap ke arah Bara, bibir Bara pun demikian, membengkak parah dengan ujung yang berdarah."Ka ... kalian habis ngapain?" tanya Bian menunjuk bibir Berlian dan Bara. Kedua orang itu langsung mengusap sudut bibir masing-masing."Akhh!" Berlian mengaduh kesakitan saat mengusap bibirnya, bibirnya terasa perih.
"Berlian, aku mengatakan yang sejujurnya," ucap Bara masih berusaha meyakinkan Berlian."Lalu apa kabar kamu yang tidak pernah menganggapku, Bar? Semua orang tahu kalau kamu akan pergi melanjutkan sekolah kamu. Bahkan ibuku dan Bian pun tahu, sedangkan aku? Bukankah sikap kamu yang seperti ini menandakan kalau aku tidak penting bagimu?" tanya Berlian bertubi-tubi."Kamu penting bagiku, Berlian.""Kalau penting kenapa kamu membohongiku, Bara? Kalau dari awal kamu mengatakan kamu menyukaiku karena paksaan Bian, lalu kamu jatuh cinta sama aku, pasti masalahnya tidak sampai seperti ini. Juga rasa sakit hatiku tidak akan sedalam ini. Tapi apa yang sudah kamu lakukan? Meski kamu sekarang sudah mencintaiku, tapi aku tidak bisa mengelak bahwa fakta mengatakan awal mula kamu mendekatiku itu adalah terpaksa," oceh Berlian."Apa gunanya memikirkan bagaimana awal kita bersama, Berlian? Yang penting saat ini kita sudah saling mencintai."
Sudah satu minggu Berlian mengunci dirinya di rumah, gadis itu tidak membiarkan siapa saja datang ke rumahnya. Setiap hari ada saja yang mencarinya, tetapi Berlian enggan membukakan pintu. Hpnya pun terus bergetar dan berdering nyaring menandakan ada pesan bertubi dan telfon. Berlian hanya meliriknya sekilas. Panggilan suara dari Bara dan Bian bergantian masuk. Sekali pun Berlian tidak ada niatan untuk mengangkatnya.Sudah satu minggu juga Berlian mangkir dari pekerjaanya, pekerjaan diambil alih oleh ibunya. Berlian sudah tidak menangis lagi, gadis itu hanya sedang berdiam diri di rumah sembari mengerjakan merk barunya seorang diri. Berlian juga menolak kerja sama dengan Kenan, kerja sama yang lalu Berlian putuskan dengan sepihak. Gadis itu hanya ingin melakukannya seorang diri, tanpa gangguan dari siapapun. Berlian mengerjakan semuanya dari rumah, berhubungan dengan orang-orang penting pun hanya via surel.Sekarang Berlian tahu kenapa banyak pria yang ingi
"Berlian, jangan pergi!" cegah Bara mencekal tangan Berlian. Berlian berusaha melepaskan cekalan tangan Bara, tetapi cekalan tangan Bara sangat kuat membuat tubuh gadis itu terhuyung menubruk tubuh Bara."Aku bisa jelasin semuanya, Berlian. Kamu dengerin dulu," titah Bara."Apa yang perku kamu jelasin, Bara. Kamu mau menjelaskan atau mau mengarang bebas? Semua sudah selesai, aku tidak butuh kamu lagi," teriak Berlian mendorong tubuh Bara dengan kencang sampai cekalan tangan Bara terlepas. Namun itu hanya sepersekian detik, setelahnya Bara kembali menarik tangan Berlian. Bukan hanya menarik, tapi juga merengkuh tubuh gadis itu."Berlian, aku akui pertama kali aku mendekatimu karena desakan dari Bian, tapi itu hanya bertahan dua hari, Berlian. Dua hari aku dipaksa, tapi aku jatuh cinta sama kamu setelah tiga hari sama kamu," ujar Bara dengan jujur."Bohong!" sentak Berlian. Berlian sudah berusaha untuk tidak menangis, tetapi nyatanya