Part 31"Damar, jangan diam saja! Kamu dengar gak ibu bilang apa? Cepat jemput Melinda!"Aku menghela nafas dalam dan menjatahkan bobotku di sofa. "Aku baru dateng, Bu, tapi ibu malah langsung menyuruhku jemput dia. Apa ibu tidak bertanya padaku apa masalah kami sebenarny?:"Ibu sudah tahu semuanya, Melinda sudah cerita. Kamu yang salah paham, Damar!" tukas ibu lagi.Aku tertawa, merasa konyol sekali. "Apa ibu gak ingin tahu kabar Wulan dan anak-anak? Mereka juga menantu serta cucu ibu.""Halaah, paling mereka sudah pulang. Tipe wanita seperti Wulan itu pasti gak bisa jauh-jauh dari kamu. Dia bisa apa tanpa kamu sih! Cuma lulusan SMA aja belagu, gadis miskin gak punya orang tua! Gak punya apa-apa yang bisa dibanggakan," tukas ibu kesal. "Dari awal kan ibu setengah hati memberikan restu pada kalian. Tapi ya sudahlah, ibu gak mau mengungkit lagi. Toh pernikahan kalian sudah tujuh tahun. Sudah saling mengerti. Lebih baik sekarang kamu ke sana, susul Melinda. Ibu kasihan sama dia, Nak," u
Part 32Bila bertahan menyakitkan, maka melepaskan adalah jalan terbaik. Aku sudah berpikir tentang hal ini sejak aku tahu Mas Damar bermain hati. Setiap manusia punya kesempatan untuk bahagia, begitu pula denganku. Aku tak ingin kesehatan mentalku terganggu, apalagi harus membesarkan dua anak kesayanganku.Seperti pagi ini, aku memang pulang kembali ke rumah. Tentu dengan beberapa tujuan. Meski Mas Damar sudah menalak Melinda di hadapanku, tapi aku tak serta merta percaya. Bisa saja mereka rujuk kembali tanpa sepengetahuanku. Ya, semua didasari oleh rasa curiga. Mas Damar sepertinya mulai berbohong lagi, kulihat dari sorot matanya yang tampak gusar saat dia izin pulang kampung ke rumah ibunya. Dia memang mengajakku, tapi aku tak siap dengan kenyataan bahwa dia bertemu Melinda. Aku paham Melinda pasti takkan menyerah begitu saja untuk kembali pada suamiku. Mungkin lebih baik aku yang pergi.Setelah kepergian Mas Damar, aku bersiap-siap ke sekolah Raffa, dan menghadap ke kantor guru m
Part 33Kuhubungi ponselnya berkali-kali tapi tidak aktif. Aku mengusap wajah dengan kasar. Dimana aku harus mencari Wulan? Malam ini pasti aku tak bisa tidur dengan tenang lagi. Kepala terasa berdenyut berkali-kali.Wulan, kamu kemana? Bagaimana dengan anak-anak? Seketika rasa getir menyelinap dalam hati. Bagaimana ini? Kuletakkan ponsel di meja, pandanganku terkunci pada sebuah kartu ATM yang tergeletak di sana. Jadi dia meninggalkan kartu ini? Lagi dan lagi keningku berkerut. Lalu bagaimana cara dia membiayai anak-anak? Wulan kan gak kerja. Aku jadi tak mengerti apa yang dia pikirkan. Kenapa egois sekali. Bagaimana dengan anak-anakku. Apa dia ingin mati kelaparan?Aku tertidur, entah bagaimana caranya. Ketika terbangun, kondisi rumah masih sama. Sepi. Kupikir itu hanyalah mimpi buruk, rupanya tidak. Wulan dan anak-anak tak kembali.Kepala masih terasa berat, aku beranjak membasuh wajah dan minum segelas air putih. Kuembuskan nafas panjang."Oke, Damar, ayo berpikir yang jernih," g
Part 34"Mas ...?" panggil sebuah suara. Aku menoleh dan melihatnya datang membawa koper. Keningku berkerut melihat ia berjalan berlenggak-lenggok dan tersenyum menghampiriku."Kamu? Ngapain kesini?" "Ingin melayani suamiku dengan baik," jawabnya santai. Ia langsung menghampiriku dan menggelayut manja."Ngapain bawa-bawa koper segala?""Ya tinggal disinilah, Mas, nemenin kamu. Kan Wulan udah gak ada. Biar kamu gak kesepian lagi.""Tidak, Mel. Kau pulanglah, tempatmu bukan di sini.""Lho kenapa, aku juga kan istrimu, Mas! Kenapa aku gak boleh tinggal di rumahmu? Lagian aku kesepian di rumah sendirian. Lola gak pulang-pulang. Jadi aku butuh kamu, Mas," jawabnya lagi. Bibirnya setengah cemberut kala aku memprotesnya.Aku menghela nafas kasar."Please Mas, izinkan aku tinggal di sini, bersamamu. Lagian Wulan kan gak ada, Mas," rajuknya lagi."Ya tapi, lingkungan di sini gak tahu kalau kita sudah menikah. Kalau digrebek gimana?" Aku berusaha menjelaskan."Halah, gitu aja bingung, Mas. Tin
Part 35“Hah? Masa gak ada saldo, itu gak mungkin, Mel!” sahutku lagi tak percaya. Karena yang kutahu saldo di kartu ATM ini masihlah banyak, mungkin tersisa 120 jutaan diambil buat bayar kuliah farah juga emas perhiasan untuk Wulan. Kalaupun Wulan mengambil tak mungkin sebanyak itu, dia kan gak punya rekening.“Hiih! Kamu nyebelin sekali, Mas! Ngerjain orang gak tanggung-tanggung!” ia menjatuhkan bobotnya di sampingku.Aku mengusap tengkukku bingung. Tak tahu apa yang sudah terjadi. “Serius, Mel. Masa kartu ATM ini gak ada saldonya?”“Kalau gak percaya cek aja sendiri!” sungutnya kesal.Aku menghempaskan nafas kasar. Kalau gak ada terus kemana larinya duit itu? Masa iya kosong?“Wulan kali yang udah nguras isi ATM-mu, Mas! Siapa lagi kalau bukan dia! Kurang ajar dia, sama aja dia dengan pencuri. Kamu gak mau laporin dia, Mas?”“Hah? Laporin kemana?” Aku makin bingung dengan ucapan Melinda, masa istri sendiri dilaporkan.“Ya ke polisi lah, tentang pencurian.”“Ya gak mungkin, Mel. D
Part 36“Diam kau, Wulan! Istri macam apa kamu, yang berani-beraninya minggat dari rumah suamimu sendiri? Dan ada masalah segenting ini kau tak menghubungiku? Hati nuranimu dimana, Wulan?! Aku ini ayah mereka! Kau tak pikirkan perasaanku dan anak-anak ‘hah?!”Ceklek ... pintu ruang IGD terbuka.“Maaf Pak, tolong jangan ribut di sini ya, Pak. Jangan mengganggu ketentraman pasien,” ujar seorang perawat yang keluar dari ruang IGD dan melerai mereka, Mas Damar juga Mas Ranu. Seketika mas Damar melepaskan cekalan tangannya.“Ibu dari ananda Raffa, ditunggu di dalam ya Bu,” ujar perawat itu. Tapi tanpa kompromi lagi, Mas Damar lah yang langsung masuk ke ruangan. "Biar saya saja Sus, saya ayah kandungnya," tukas Mas Damar yang masih terdengar di telingaku.“Sini Mbak, Amanda biar sama saya. Mbak masuk aja,” ujar Mas Ranu lagi. Aku mengangguk saja dan menyerahkan bayi mungilku padanya. Entah apa jadinya kami kalau saat kejadian tak ada dirinya. Dia menolong kami saat mobil itu melaju kencan
Part 37Aku mengendarai mobil cukup kencang, hati dilanda emosi. Rasanya kesal sekali melihat istriku dekat dengan pria lain. Bahkan dia tak menghubungiku mengenai masalah Raffa? Ia justru datang ke klinik ditemani oleh pria itu?! Aku menghela nafas kesal. Tega-teganya Wulan berkhianat."Mas, kamu boleh marah sama Wulan, tapi jangan lampiaskan ini pada kami! Lihatlah Raffa sepertinya ketakutan!" tukas Melinda menyadarkanku.Aku menoleh sejenak, melihat anak lelakiku di pangkuan Melinda yang tampak tak nyaman. Bahkan ia tak mau disentuh oleh ibu tirinya. Sorot matanya terlihat takut. Mulutnya terkatup rapat setelah tadi sempat kubentak."Ayah, Raffa mau ikut bunda," tukas bocah kecilku dengan suara serak habis menangis. "Ayah, kasihan Bunda, Ayah. Bunda nangis."Kami masih diam, Melinda tampak mendiamkannya tapi Raffa meronta."Ayah, Raffa mau ikut sama Bunda. Bunda ... Bunda ..." rengeknya lagi, telingaku sampai penging mendengarnya."Ayah, Raffa mau ikut sama Bunda, Ayah!" rengek Ra
Panas terik matahari tak kuhiraukan lagi, demi ingin menjemput Raffa kembali. Tapi nihil, sampai di sana rumah kelihatan sepi. Mereka semalaman tak ada di rumah? Aku harus mencari kemana lagi? Lelah badan jiwa dan raga. Tadinya aku ingin masuk tapi rasanya percuma. Tak ada tanda-tanda orang di rumah.Aku sengaja menunggu di rumah Mbak Rasti, kuceritakan semua pada wanita itu. Ia turut prihatin dengan kondisiku."Kurang ajar memang suamimu itu. Dia bahkan berani membawa pelakor itu kesini. Tadinya aku mau melaporkan ini pada Pak RT, tapi ternyata pak RT sudah tahu lebih dulu, katanya mereka sudah nikah siri. Aku harap Mbak Wulan sabar ya," ungkap Mbak Rasti. Ekspresi wajahnya terlihat sedih."Iya, Mbak. Terima kasih banyak. Aku tunggu di rumah lagi, Mbak. Siapa tahu Mas Damar pulang.""Iya Mbak Wulan. Semangat ya, kami semua mendukungmu kok."Aku duduk sebentar di dekat pintu gerbang itu. Biasanya gerbang ini tak pernah dikunci sepertinya Mas Damar sengaja menggantinya dengan yang baru
Aku menatap layar ponsel di aplikasi marketplace. Bersyukur tiada terkira melihat banyak sekali pesanan masuk hingga ribuan paket. Ya, sangat banyak, aku sampai kewalahan, padahal waktu itu hanya mengikuti promo diskon yang diselenggarakan aplikasi merketplace online tersebut. Tiada mengira akan sebanyak ini, bahkan sampai kehabisan stock dan harus ambil ke supplier itupun berkat bantuan Mas Ranu yang mengambil ke gudangnya langsung.Tetiba sebuah tangan meraih ponselku. Aku mendongak, melihat Mas Ranu tersenyum. Mengecup keningku dengan lembut.“Pesanan sebanyak ini, sudah waktunya kamu menambah karyawan lagi, Sayang. Biar kamu gak kecapekan gini.”Aku memandangnya sambil senyum, meregangkan tubuh sejenak karena sejak ba’da isya tadi berkutat dengan membungkus paket yang tiada habisnya. Bahkan Raffa dan Amanda, Mas Ranu lah yang menidurkannya. Biar pun dia hanya ayah sambungnya, tapi ia begitu baik dan menyayangi anak-anakku dengan tulus.“Coba lihat sudah jam berapa sekarang,” ujar
Pagi buta seusai salat subuh, aku segera pulang. Pintu dibuka setelah kuketuk berkali-kali. Rupanya Melinda yang membukakan pintu. "Oh ternyata kau sudah bangun, Mel," sapaku. Wanita itu tersenyum. "Ya, Mas."Dia tampak kaku saat memandang ke arahku. Gegas aku ke kamar mandi dan bebersih diri. Tiap pagi aku harus cari tambahan uang, jadi tukang ojek dadakan untuk memenuhi semua kebutuhan hidup keluarga, meski dapat satu sampai tiga penumpang sudah alhamdulillah, bisa buat beli bensin dan kuota data.Keluar dari kamar mandi kulihat ada ibu dan Melinda yang ada di dapur. Sepertinya hendak memasak."Damar, sebelum berangkat, kau sarapan dulu. Ini sama mie telor.""Iya, Bu."Ibu menghidangkan semangkuk mie plus telor di meja. Segera kusantap dengan lahap. Sedangkan Farah, belum bangun, pintu kamarnya masih tertutup rapat."Kamu kerja lagi, Mas?" tanyanya saat aku memakai jaket hitam dan hijau itu."Ya, seperti yang kau lihat. Paling sampai jam 9 pagi. Lumayan buat tambahan. Pagi-pagi b
Part 70“Melindaaa ...! Tunggu, Mel!” teriakku.Aku berlari mengejarnya dan berhasil menarik tangan wanita yang berambut acak-acakan itu. Tetiba ia menangis sesenggukkan. Aku tak mampu mendengar ia bicara apa. Melihatnya seperti ini hatiku teriris begitu perih. Benarkah ini Melinda yang dulu begitu cantik dan selalu ingin tampil sempurna? Kenapa kondisinya jadi makin memprihatinkan seperti ini?“Mel, kenapa kamu jadi seperti ini?”Mendadak tubuhnya merosot ke tanah, bahunya berguncang. Ia menangis begitu pilu tapi tak mau menjawab pertanyaanku.“Mel, tinggal dimana kamu sekarang?”Dia menggeleng lagi. Dan hanya menangis. Aku menatapnya nanar. Baju yang begitu kumal, tanpa mengenakan alas kaki. Rambut yang berantakan karena jarang disisir lalu, kulit yang dulu putih mulus sudah berganti coklat dan penuh kotoran, pun aroma tubuh yang tidak sedap. Dia tak berani menatapku, mungkin karena malu. Aku menoleh ke kanan dan kiri, kendaraan bermmotor hanya sesekali lewat. Banyak sekali perta
Saat ini, aku hanya seorang pengangguran, uang kompensasi yang kuterima sebagian kuberikan pada ibu, dan sebagian lagi untuk peganganku, untuk bensin dan makan di luar serta kebutuhan mendadak yang lain. Alhamdulillah, setidaknya aku merasa lega saat Farah perlahan membaik. Ia tak lagi menjerit atau berteriak histeris seperti di kampung. Ia pun mulai mau diajak mengobrol.Surat lamaran pekerjaan sudah kulayangkan ke beberapa perusahaan, tapi belum ada kejelasan. Jadi aku melamar ke tempat pekerjaan lain. “Bu, hari ini aku mau lamar kerja.”“Melamar kerja dimana?”“Di Mall Bu, kata orang sedang butuh cleaning service.”“Kamu gak apa-apa kerja begituan?”“Iya, Bu. Aku tidak apa-apa. Akan kubuang gengsi ini jauh-jauh. Dari pada nganggur, yang penting dapat penghasilan untuk memenuhi hidup kita.”“Terima kasih ya, Nak. Kamu sudah berubah sekarang, semoga Allah meridhoimu.”“Aamiin, Bu. Keadaan yang membentuk kita jadi seperti ini ya, Bu.”Ibu mengangguk seraya tersenyum simpul. Kita dide
Sudah lebih dari satu minggu aku di rumah. Panggilan kantor tak kugubris lagi. Ini dikarenakan Farah yang sering kumat, berteriak histeris bahkan tak segan menyakiti dirinya sendiri. Ibu sudah kewalahan, selalu menangis tanpa bisa berbuat apa-apa. Apalagi akhir-akhir ini Syifana pun sering sakit-sakitan, panas dan tak berhenti menangis. Mungkin dia pun merasa terganggu dengan teriakan Farah.“Farah! Jangan seperti ini, Dek! Jangan sakiti dirimu seperti ini, Dek!” pekikku seraya mengambil cutter di tangannya. Lalu kupeluk tubuhnya yang terguncang. Kubiarkan dia memukul-mukul tubuhku. Rasanya benar-benar perih. Sangat perih melihat adikku hancur. Aku benar-benar tak tega. Wajah cantiknya sudah tak karuan. Mata merah yang sembab, bahkan rambutnya yang berantakan sungguh membuatnya sangat miris. Sudah hilang keceriaan dan semangatnya untuk hidup gara-gara lelaki biadab. Andai kutahu siapa pria yang begitu tega membuat adikku sampai seperti ini, pasti sudah kuhabisi dia.“Dek, ini adalah
Tetiba sebuah sentuhan lembut di pundak membuyarkan pikiranku. "Ada apa, Sayang? Kamu kenapa? Kok di sini?" tanya suara seorang laki-laki yang kini mengisi hari-hari sepiku.Aku menoleh dan menatapnya yang tengah keheranan."Mas, tadi aku lihat Melinda.""Melinda istri mantan suamimu itu? Dimana? Apa dia menyakitimu lagi?""Ah tidak-tidak. Tapi aku sungguh tak percaya dengan keadaannya sekarang.""Maksudmu?""Dia kok kayak jadi gembel ya, Mas," jawabku heran."Gembel?""Iya, tadi dia ngorek-ngorek tong sampah, Mas, sepertinya cari makanan. Jadi aku beri saja kotak nasi. Eh setelah kulihat termyata dia Melinda, dia langsung lari."Mas Ranu masih diam memperhatikanku bicara. "Penampilannya juga lusuh, kumal banget, Mas. Kasihan kalau memang benar itu Melinda.""Kenapa kasihan?""Bukannya dia masih punya bayi.""Sayang, apa kau tidak ingat dulu pernah disakiti olehnya?" pertanyaan Mas Ranu seketika membungkam mulutku."Mungkin itu bentuk teguran dari Allah agar dia sadar dan bisa berta
"Ada apa, Mas?""Ada yang mengacau di toko," sahutnya. "Mereka sepertinya komplotan, security dibuat babak belur, kaca toko dihancurkan, mungkin mereka juga mengambil isinya serta uang yang masih ada di brankas kasir."Dia menghela nafas dalam-dalam. "Rampok?"Mas Ranu mengangguk. "Tapi kau tenang saja ya, nanti akan kubereskan. Aku harus berangkat sekarang, mau cek ke lokasi dulu.""Mas mau langsung pergi?""Iya."Wajah lelaki itu tampak begitu tegang. Ia meraih kunci mobil yang tergeletak di atas meja serta jaket agar tubuhnya sedikit hangat. Aku mengantarnya sampai teras depan. "Sayang ...""Ya, Mas?""Tolong jangan beri tahu ibu m3ngenai hal ini, aku takut beliau drop lagi. Bilang saja aku ada urusan di Butik yang gak bisa ditinggal," ujar Mas Ranu kemudian."Iya, Mas.""Maaf ya.""Tidak apa-apa, Mas, semoga masalahnya cepat selesai ya, Mas.""Terima kasih, Wulan." Aku meraih punggung tangannya lalu menciumnya dengan takdzim. "Mas, hati-hati.""Iya, Sayang. Makasih ya. Kau tena
“Aku mencintaimu, Wulan. Mari kita raih bahagia bersama,” ujarnya lembut.Aku mengangguk lagi, entah mulai dari mana bunga-bunga cinta ini hadir dalam hatiku. Saat bersamanya terasa begitu damai juga nyaman.Ting ting ting, denting suara notifikasi pesan WA membuyarkan kami. Aku menatap ponselku yang menyala dan berkedip-kedip sebagai tanda banyak pesan yang masuk.“Handphonemu bunyi, Wulan, coba dilihat dulu, mungkin ada yang penting,” ujar Mas Ranu. “Iya, Mas. Emmh aku sekalian mau ganti baju dulu,” jawabku kikuk. Mas Ranu mengangguk sambil tersenyum melihat salah tingkahku. Dia duduk di bibir ranjang sembari terus memperhatikanku.Aku membuka pesan yang dikirim oleh Naima. [Wulan, jangan lupa kado dariku dibuka dulu. Kadonya sudah kutaruh di dekat lampu tidur][Kau harus tampil cantik dan mempesona di hadapan suamimu][Semangat ya Wulan, semoga malam pertamamu dilalui dengan indah][Aku yakin, Mas Ranu takkan mungkin mengecewakanmu. Dia kalau sudah jatuh cinta, pasti bakalan cin
Satu hari yang begitu istimewa, acara demi acara terlewati dengan baik. Aku tak menyangka, banyak tamu undangan yang pada hadir. Rasanya seperti mimpi, aku menikah lagi bahkan dibuatkan pesta semeriah ini. "Terima kasih ya sudah mau jadi istriku," ujarnya sambil tersenyum. Aku mengangguk. Tak lama Mas Ranu mengecup keningku dengan lembut. "Hari ini kita pulang ke rumah ya, ya menginaplah selama beberapa hari setelah itu terserah kamu mau tinggal dimana," ucapnya lagi."Iya, Mas."Malam harinya, setelah pernikahan selesai, kami langsung dibawa pulang ke rumah Mas Ranu. Selama jalannya acara, anak-anak juga tak menangis, mereka bersama Naima juga ibu."Ranu, Wulan, kalian istirahatlah. Raffa dan Amanda biar Bik Waroh yang mengurusnya," ujar ibu. Di sampingnya sudah berdiri wanita yang berumur 45 tahunan, tersenyum ke arah kami.Aku menghampiri Amanda yang masih digendong oleh Naima. Dia tengah tertidur pulas. Kuciumi sebentar gadis mungilku ini. Sementara Raffa tengah duduk di sofa,