Pagi itu Mas Suryo tak berhasil menjawab pertanyaan bapak. Aku tau bahwa ia pun masih ragu apakah keluarganya akan menerimaku yang hanya anak miskin sementara ada Mbak Melinda yang sempurna telah lebih dulu di sisinya. Tentu saja lelaki itu bisa saja tak ambil peduli dengan perkataan orang lain. Sudah dari lama juga ia tak mengurusi cemoohan Melinda. Tapi orang tua tetaplah orang tua. Tidak akan pernah ada namanya memutuskan ikatan yang didasari oleh darah daging. Itulah mengapa ia yang semula tenang dalam tekanan bapak yang terus menyuarakan tanya, tiba-tiba harus merasakan lidahnya kelu karena tak sanggup memberi pernyataan yang meyakinkan. Karena ia sendiri belum yakin akan membuat orang tuanya tersenyum bahagia ketika mengetahui pernikahan ini. Karena orang tuanya masih menginginkan Melinda tetap menjadi menantu satu-satunya. Orang tuanya sangat menyayangi wanita cantik itu. Bahkan melebihi rasa sayangnya kepada putranya sendiri. Bagaimana mungkin, aku, yang hanya seorang wani
Tiba di ruang tamu aku ternganga. Mata membeliak lebar. Di sana, tak jauh dari tempatku berpijak, ada sosok suamiku yang sedang berlutut. Kedua telapak tangan berada di atas paha, sementara kepalanya menunduk dalam. Pose paling meyakinkan untuk membuat permohonan atau ampunan. "Mas! " Aku berteriak. Menghampiri lelaki berkemeja biru itu untuk segera bangkit dari posisinya di lantai. Namun tanganku yang mencoba meraih lengannya malah ditepisnya lembut. Pria itu juga menggelengkan kepalanya, menyuruhku tanpa suara untuk tak mengganggunya. Lalu Mas Suryo mengalihkan tatapannya ke depan. Di mana telah berdiri bapak dan ibuk yang tentu saja menampakan wajah kaget dengan kelakuannya yang tak terduga ini. Sebenarnya Mas Suryo dapat ide ini dari mana sih? Apa ia baru saja nonton sinetron sehingga ia terinspirasi melakukan hal konyol seperti itu? Bukannya tersentuh, sebenarnya aku malah merasa malu karena aku pikir acara berlutut ini agak berlebihan. Demi tuhan, kami kan sedang tidak syut
Sore itu aku baru saja keluar dari dalam kamar mandi. Rambut yang basah karena habis keramas kubungkus dengan handuk. Sementara tubuhku terbalut selembar bathrobe warna biru kebesaran, ya, itu milik Mas Suryo. Aku baru saja mengambil lotion di atas meja rias yang kini dipenuhi oleh berbagai produk perawatan tubuh dan wajah. Mas Suryo yang menyuruhku membeli itu semua karena teringat dulu ia begitu nelangsa saat melihat aku tak punya alat make up ataupun skincare. Padahal aku merasa baik-baik saja tanpa itu semua. Tapi yah, karena ia terus memaksa aku pun mau tak mau menuruti keinginannya itu. Lagipula istri harus menurut apa kata suami. Aku juga cukup senang karena produk kecantikan yang aku miliki sekarang mbuatku bisa merawat wajahku menjadi lebih baik. Aku jadi tak terlalu minder karena sudah tak begitu buluk. Hehe.Menuang cairan beraroma harum itu pada telapak tangan, aku yang sedang membauinya sedikit tersentak ketika tiba tiba pintu kamar terbuka. Mas Suryo yang berpakaian ser
Bangun dalam keadaan tubuh luar biasa pegal bukan hal baru lagi bagiku setelah menikah dengan Mas Suryo. Dikerjai selama berjam-jam tanpa henti tentunya sangat berpengaruh pada hilangnya energi karena aku yang jarang berolah raga. Dan meski sudah cukup atau malah sering? Melakukannya dengan suamiku itu, tetap saja aku selalu kuwalahan menghadapinya. Terkadang aku juga berfikir, staminanya sedikit tak masuk akal. Bagaimana mungkin ia bisa bertahan selama dua jam tanpa merasa lelah? Padahal aku sendiri, baru 30 menit saja sudah mulai lemas. Menyingkirkan bayangan yang terjadi beberapa saat lalu, aku menoleh ke samping. Di mana Mas Suryo tengah tertidur dengan lelapnya. Tangannya yang merengkuh sisi perutku segera kugeser pelan agar tak mengganggunya. Aku kemudian bangkit, memungut bathrobe yang tergeletak begitu saja di bawah ranjang dan memakainya dengan cepat. Melirik jam dinding yang berbentuk bundar sembari mengikat tali baju handuk dengan kuat, aku melangkah pelan keluar dari
Aku menatap potongan kertas yang tersebar di mana-mana itu dengan mata nanar. Mbak Melinda merobeknya! Merobek surat gugatan perceraian yang telah diberikan oleh Mas Suryo. Sebenarnya apa yang dipikirkan oleh wanita ini? Bagaimana bisa ia... "Apa-apaan ini, Mbak?! "Ia mendengus, "Bilang pada Suryo, kalau aku tidak akan pernah mau bercerai! ""Dia sudah memberimu talak, Mbak!" Aku menggeram. Merasa tak terima karena terus dipermainkan oleh wanita itu sesuka hati. "Tolong jangan mempersulit keadaan! ""Aku yang seharusnya berkata seperti itu padamu, Tolol! " Ia menunjuk padaku sembari memperlihatkan wajah bengis. "Jika saja kamu tidak bertingkah kegatelan pada Suryo! Sudah pasti rumah tangga kami akan baik-baik saja sampai sekarang. Aku juga akan hidup dengan tenang tanpa harus takut menanggung malu. Gara-gara kamu datang, hidupku sekarang menjadi sangat sulit! Suryo bahkan berniat menceraikanku padahal aku tak melakukan kesalahan apapun!"Aku mengedipkan mata cepat ketika hatiku ma
"Kamu kenapa? "Pertanyaan itu membuatku yang sedang menyaksikan acara sinetron di televisi dengan tatapan kosong menjadi tersentak. Menolehkan kepala ke samping, aku mendapati Mas Suryo yang tengah memandangku dengan alis hampir menyatu. "Kenapa? Aku enggak apa-apa. "Mengedipkan mata beberapa kali, aku kemudian mengalihkan wajah kembali ke depan. Namun kemudian Mas Suryo malah meraih daguku untuk menghadapnya. Ia sama sekali tak memberikanku kesempatan untuk menghindar. "Sadar enggak kamu dari tadi diem terus, Yang? Kamu kenapa? Ada yang dipikirin? "Aku menghembuskan nafas. Kemudian menggeleng. "Aku baik-baik aja, Mas""Kamu tuh enggak pandai bohong, Fi. Jadi jujur aja, ada masalah apa?"Kalau sudah memanggilku dengan nama, itu berarti Mas Suryo sedang dalam mode serius dan tak mau dibantah. Aku tau aku memang tak bisa membohonginya. Dia tau aku luar dalam. Aku tak bisa menyembunyikan apapun darinya karena baginya aku memang terlihat begitu transparan seperti toples kaca. Tapi
Nafasku masih terengah-engah saat lengan Mas Suryo merengkuhku kedalam pelukannya. Tubuh kami yang sama-sama berkeringat dan lengket saling menempel tanpa sekat. Bukannya merasa risih, aku malah mendapati diriku merasa nyaman ketika kulit kami yang polos bersentuhan secara langsung. Apalagi saat aku menapakkan kepala ke atas dadanya, seketika bunyi detakkan jantungnya yang cepat mampu membuat hatiku menghangat. Seperti biasanya, malam ini pun kami baru selesai melakukan aktifitas menghangatkan ranjang. Suamiku itu tak pernah memberikanku hari libur, ia selalu meminta jatah tiap kali ada kesempatan. Tapi untungnya kali ini pria itu menggempurku tak terlalu berlebihan. Meskipun tentu saja, mau bagaimanapun aku tetap saja kelelahan karena masih belum bisa mengimbangi staminanya. Cukup aneh memang, ini masih pukul sepuluh. Waktu yang lumayan awal untuk mengakhiri sesi percintaan kami. Karena biasanya Mas Suryo akan berhenti ketika hampir tengah malam. Aku bahkan ingat betul kalau pri
'Mbak, aku kangen. 'Itu adalah bunyi pesan yang dikirim oleh Adrian di suatu pagi. Aku memang cukup kaget dengan pernyataanya yang tiba-tiba itu, karena biasanya Adrian hanya menanyakan kabar juga basa basi lain yang selanjutnya akan berlanjut pada cerita tentang kesehariannya sebagai anak sekolahan. Karena memang sudah tak pernah lagi bertemu, kami pun mulai jarang berkomunikasi. Tapi tentu saja kami masih saling menelepon atau berbalas pesan jika ada kesempatan. Karena yah, Mas Suryo sebenarnya tak menyukaiku yang masih berhubungan dengan Adrian. Rupanya suamiku masih belum benar-benar melupakan pertikaian mereka di waktu lalu. Tiap aku tak sengaja membahas soal adik dari Koh Ari itu juga mood-nya akan langsung buruk. Makanya aku pun jadi jarang membalas chat Adrian. Yang mulanya masih intens di tiap harinya menjadi berkurang di tiap waktu. Adrian yang mulai bosan kucueki juga mulai menyerah pada akhirnya. Dan setelah sekian lama tak ada kabar, tiba-tiba anak itu mengirimiku pesa
" Belum tidur, Yang?" Aku mengalihkan mataku dari pemandangan gelapnya malam dibalik jendela kaca ketika kudengar mas suryo memasuki kamar. Pria tampan itu kini terlihat lusuh. Kemeja yang ia kenakan dari siang masih ia pakai padajal sudah lecek dan kusut. Sinar wajahnya begitu lelah. Sepertinya obrolan panjang duamiku bersama ayah dan beberapa orang penting di kelurahan cukup alot dan banyak memguras energinya. Ia yang biasanya penuh dengan semangat pun kini hanya bisa terduduk diranjang dengan lesu. "Maaf ya, mas. Aku nggak bisa bantuin apa-apa." Aku mendekatinya dan duduk berhadaoan. "Aku cuma bisa bikin kekacauan." "Sst, sudah beraoa aku bilang sih sayang, ini semua bukan salah kamu." Ia berucap lembut sembari merengkuhku dalam oelukan. "Kamu jangan mikir yang macam-macam. Mas bakalan jagain kamu, nggak bakalan bikin kamu kenapa kenapa. Semuanya bakal mas beresin seceoatnya. " Aku mengangguk, makin merangsek dalam pelukannya yang hangat. "Aku percaya kamu, mas." "Kita bisa
Sebenarnya ada apa? Apa yang sedang terjadi?Aku meremas jemariku dengan hati gekisah. Mas suryo masih bungkam namun dari raut wajahnya yang tegang aku tau bahwa semuanya tidak baik baik saja.Siapa yang menghubunginya tadu? Kabar apa yang diterimanya? Sebegitu buruk ya kah sampai suamiku terguncang seperti ini?"Mas?"Tak sanggup menahan diri lebih lama dalam keterdiaman, akuoun memecah kesunyian yang mencekam itu dengan memanggilnya pelan. "Sebenarnya ada apa?" Aku memegang oengannya lembut.Mas suryo menoleh. Dari raut wajahnya aku tau pikirannya kini tengah berkecamuk."Nanti, yang..." Ia balas menggenggam jemariku, menyalurkan kekuatan. " Nanti aku jelasin semuanya. Yang pentingbkita harus pergi ke tempat yang aman duku."Meskipun belum cukup puas karena beoum mendapatkan jawaban yang aku inginkan namun sekarang aku hanya bisa menurutinya. Aku harus menahan diri dan bersabar sebentar.Tak lama berkendara aku akhirnya tau kemana mas suryo membawaku. Itu adalah kediam utama kedua
hari ini aku bangun dengan tubuh super lemas. Bedanya, kemarin karena aku digemour habis habisan olehas suryo semalaman suntuk, sementara hari ini entah katena apa. Mungkin aku sedang tak enak badan, kena gejala fDualu, atau masuk angin, entahlah. Yang jelas, saat aku terbangun aku sudah tak memikiki energi. Mulutku terasa pahit, mual juga masih sering hilang timbul. Udaea pegunungan yang biasanya kurasakan segar malah kini membuat tububku memggigil bak orang pesakitan. Aneh sekali...aneh... "Makan duku ya? Dari kemarin kamu belum makan yang?" Mas suryo menyendokan sop hangat yang kutolak mentah-mentah. Aku caoek mencoba menelan apapun karena nantina akan kumuntahkan juga semuanya. Lebih baik tak makan saja sekalian walaupun jadinya oemas begimi. "Dikit aja, sayang. Kalo iamu kayak gini terus kaoan sembuhnya?" "Tapi aku mual," aku menatap mas suryo dengan mata berkaca akaca. Mas suryo menghela nafas oanjang, lelah juga mu gkin menghadapiku yang dalam mode keras kepala. "Atau ma
Aku mengerjap dan menghela nafas panjang begitu mendengar mas suryo terus terusan bergerak gelisah di belakang. Ini sudah hampir tengah malam, waktunya untuk terlelap namun pria besar itu dari tadi belum juga mau tidur. Aku yang sudah sangat mengantuk karena seharian lelah jalan-jalan kesana kemari pada akhirnya jadi terganggu oleh tingkah polah suamikuyang entah sedang kesurupan apa sampai tak mau diam bagai cacing kepanasan. "Kenapa sih mas? " Aku yang jengah dengan sikap suamiku pun membalikan badan untuk berbaring menghadapnya. Mas Suryo terkejut. Ia mengerjap beberapa kali sebelum merangsek mendekat. Entah mengapa setelah itu ia beberapa kali kedapatan menghela nafas panjang seolah sedang menenangkan diri. Suamiku ini kenapa sih? "Kenapa bangun? Udah tidur aja gih, " ujarnya singkat. Tangannya mengelus pipiku dengan lembut. Jakunnya naik turun seperti kesusahan menelan air liur. Sikapnya ini benar benar aneh. Apa mas Suryo tengah menyembunyikan sesuatu? "Gimana mau tidur
Tubuhku remuk. Semuanya terasa sakit sekali sampai rasanya aku tak mampu bergerak sedikitpun dari kasur. pergulatan kami semalam sungguh menguras energiku sampai tak bersisa. bahkan mungkin aku harus bersyukur dengan kenyataan tak sampai jatuh pingsan, walapun tentu saja terbaring lemah seperti ini pun sangat menyiksa. "Sarapan dulu, Yang." Aku menoleh penuh kemalasan ketika Mas Suryo memasuki kamar dengan membawa dua mangkuk bubur ayam dan teh hangat. Melihat lelaki itu yang sudah rapi menggunakan stelan kasual, segar bugar dan bahkan wajahnya begitu bercahaya membuatku mendengsus. Tiba tiba saja aku merasa jengkel sendiri. Kenapa suamiku bagai baru disuntik satu ton vitamin sementara keadaanku layaknya korban yang habis hanyut terkena banjir bandang begini sih. "Kenapa lagi? Kok malah cemberut?" Ia duduk di sampingku yang masih rebahan. Tangannya mengelusi wajah yang luar biasa lusuh. "Ya gara gara siapa badanku remuk kaya habis ditabrak gerobak!" Bukannya menyesal mas Su
Tak mendapatkan respon positif seperti yang aku bayangkan sebelumnya--bahwa Mas Suryo akan senang melihatku berpakaian minim--aku yang cukup kecewa akhirnya hanya bisa menunduk setelah mencelupkan diri pada air kolam. Kepulan uap hangat terangkat ke udara, menciptakan kabut tipis di antara udara pegunungan yang dingin. Aku duduk di samping suamiku yang terus terdiam. Di antara kami ada jarak, tak terlalu lebar memang, namun tetap saja aku merasa sedih karena Mas Suryo benar-benar tak menanggapi dengan antusias usahaku untuk menyenangkannya. Apa sekarang ia berpikir aku norak? Apa kain kurang bahan yang kupakai ini sangat jelek sehingga dia bahkan tak berniat melirikku? Apa aku terlihat murahan? Tapi dia suamiku. Bukankah hal yang wajar memakai pakaian seksi di depan suami? Apakah sebenarnya ia tak suka jika pasangannya berlaku agresif seperti ini? Apa aku sudah berlebihan? "Mas? " Aku memanggil dengan lirih. Menautkan jemari dan meliriknya yang sekarang seolah menjelma jadi patu
Aku menatap takjub sekelilingku yang menampilkan pemandangan dari ketinggian. Dari sini aku bisa melihat rumah-rumah di bawah sana terlihat begitu kecil. Di bawah payung lebay yang menaungi kami dari terik matahari, aku dan Mas Suryo rehat sejenak setelah menempuh perjalanan panjang. Ia bilang penginapan yang kami tuju masih setengah jam lagi sampai. Karena hari sudah siang dan kami merasa lapar, kami pun akhirnya mampir dan memesan satu set nasi rames di warung pinggir jalan. Jalanan cukup ramai karena ini memang sedang masanya libur panjang. Banyak orang dari berbagai kota yang datang ke daerah pegunungan ini untuk melepas penat. Pemandangan serba hijau ini tentunya sangat tepat untuk dijadikan penyegar mata. Menyeruput teh hangat, aku menyendok menu makan siangku dengan riang. Di hadapanku Mas Suryo sedang mengunyah setusuk sate kambing, nasi ramesnya sudah lebih dulu ia habiskan sejak tadi. Seperti biasa, perutnya yang seperti karet itu tak akan kenyang sebelum dijejali seti
Aku menggeliat kecil dan membuka mata. Meraba bawah bantal dan menemukan ponsekku berada. Sudah hampir pukul setengah lima pagi. Menoleh ke samping, aku menemukan Mas Suryo yang masih terlelap. Ia tidur dalam posisi tengkurap hingga punggungnya yang lebar dan polos terpampang nyata pada dunia. Mengguncang bahunya beberapa kali, aku kemudian berbisik lirih di dekat telinganya. "Mas, bangun. Udah mau subuh. Mandi yuk. "Pria itu hanya menggeliat. Matanya enggan terbuka. Aku terkekeh kecil dan dengan sabar memberikan beberapa kecupan di pipinya. "Mas... Ayo bangun.""Ngantuk, Yang.... Hngggg. " Kini pria itu bergerak telentang. Aku menunggu hingga akhirnya matanya perlahan terbuka sebelum beringsut dan memberinya satu kecupan lagi tepat di rahangnya yang tegas. "Yuk, mandi sekarang. Mumpung masih sepi. "Ia menolehkan kepala padaku sebentar sebelum mengangguk. Tapi sebelum benar-benar bangkit, tangannya lebih dulu terulur meraih pinggangku mendekat hingga tubuh kami yang masih polos d
"Mas? " Bagaimana bisa suamiku ada di sini sekarang? Apakah ia tahu bahwa aku pergi dan langsung menyusul kesini? "Yang! " serunya sembari mencopot helm dengan tergesa. "Kamu kenapa ninggalin aku?! " Aku tak tau mengapa ia kesal karena seharusnya aku lebih kesal sekarang. Memang siapa yang tak akan kesal jika disuruh membiarkan suaminya menginap dengan wanita lain? Meskipun Mbak Melinda masih berstatus istrinya tapi tetap saja aku sakit hati. Apalagi setelah itu aku juga diusir begitu saja tanpa perasaan. Hewan pun juga bakalan menangis jika diperlakukan dengan begitu tega! Apalagi manusia biasa sepertiku? "Kenapa? Bukannya ibumu menyuruh Mas buat nginep sama Mbak Melinda? " Aku menatapnya memicing. Aku tau Mas Suryo tidak salah karena ia tak tau dengan rencana ibu mertua, tapi entah mengapa aku ingin melampiaskan kekesalanku padanya. "Kenapa Mas malah nyusul kesini? Sana tidur sama menantu kesayangan ibumu itu. Dia pingin kalian rujuk kan! " "Kok kamu marah-marah sih, Yang?