Satya menghela napas lalu mengukir senyum. “Kemarin-kemarin, aku masih banyak mikir. Aku melakukan semua sebagiannya karena tanggung jawab sebagai suami. Tapi mulai saat ini aku melakukan semuanya dengan cinta karena hatiku sudah menjadi milikmu.” Sekian detik Lintang tercenung. Semua yang didengarnya seolah tidak nyata. Ucapan Satya seperti mantra gaib yang melempar dirinya ke dalam angan-angan. Ia kembali menjejak dunia nyata ketika bibir Satya mendarat di dahinya. Segera Lintang mencium punggung tangan Satya setelah suaminya menarik wajahnya menjauh. “Saya ….” Belum sempat Lintang melanjutkan kalimat, Satya sudah menempelkan telunjuknya di bibir Lintang. “Bisa nggak mulai sekarang kamu nggak formal-formal gitu kalau ngomong sama aku?” Satya tersenyum jenaka. “Masa ngomong sama temen bisa akrab banget tapi ngomong sama temen satu selimut malah kaku.” “Eng ….” “Jangan bilang “saya” lagi kalau ngomong sama aku. Nanti aku mogok ngomong kalau kamu masih kayak gitu,” sergah Satya ce
Durasi rekaman pembicaraan telepon Pak Handoko dengan Paklik Soeroso memang tidak lebih dari lima menit, tetapi sudah cukup membuat otak Satya seperti dihempas badai.“Rencana satu sudah dilaksanakan, Ndoro.” Suara Pak Handoko terdengar lirih. “Katanya kemarin gagal?” Kali ini suara Paklik Soeroso terdengar penuh tekanan. Dari suaranya Satya bisa membayangkan raut muka pamannya ketika berbicara. “Sudah bisa diatasi.” “Bagus.”Satya menghentikan rekaman. Ia mencoba membuka file ingatan di kepala, pekerjaan apa saja yang dilakukan Pak Handoko selama sebulan terakhir. Ingatannya melayang pada ulah Pak Handoko yang memesan pewarna dengan kandungan senyawa berbahaya. Setelah mendengar rekaman itu, Satya yakin jika ada maksud lain selain mengurangi beban biaya produksi. Namun, Pak Handoko menyebut rencana yang gagal sudah berhasil diatasi, artinya dia sudah melakukan sesuatu. “Kapan rencana kedua dijalankan, Ndoro?”
Hendrijk membuka ransel dan mengeluarkan kantung kain berwarna putih. “Oleh-oleh buatmu dari Bajawa.” Lelaki berambut pirang itu menyodorkan kantung pada Satya. “Yellow cattura.” Sepasang mata berwarna biru milik Hendrijk memendarkan cahaya. “Serius?” Satya meraih kantung dari atas meja lalu membukanya. Aroma kopi segera menyergap hidung ketika tali pengikat terbuka. “Coba saja kalau kamu tidak percaya dan rasakan sensasinya.” Pendar cahaya di mata Hendrijk semakin terang. “Kamu habiskan sebulan di Bajawa?” Satya menatap heran teman lamanya. “Tentu saja tidak. Aku ke Bajawa, Toraja, dan Wamena. Cukuplah untuk dapat beberapa karung kopi yang bisa dibawa pulang.” Hendrijk terlihat bungah dan puas. Ia sengaja datang ke Indonesia untuk menjelajah perkebunan kopi di timur Indonesia dan mencari rekanan untuk bisnis kopinya di Amsterdam, dan usahanya kali ini tidak sia-sia. Ia bisa pulang dengan biji kopi terbaik dari tanah yang menurutnya sangat diberkati ini. “Gila!” seru Satya. “Se
Sesaat pandangan Satya menerawang, lalu ia menggeleng lemah. Ia benar-benar seperti terlempar ke lubang gelap, jatuh dan terpukul. “Jangan memelihara ular kalau tidak ingin terkena bisanya. Kamu harus singkirkan Handoko secepatnya.” Helaan napas panjang keluar dari mulut Satya. “Terima kasih infonya, Hendrijk.” Satya tidak mampu lagi berkata-kata. Pikirannya mulai centang-perenang dan hatinya kelut-melut. Bisa jadi yang dibicarakan Pak Handoko dalam rekaman sebenarnya bukan rencana pertama, melainkan rencana entah keberapa. “Well, mengurus perusahaan memang tidak mudah, Kawan. Ada banyak kepala dan pikiran. Ada banyak kemauan. Tapi itulah seninya.” Hendrijk tidak kehilangan optimisme. “Kamu masih muda dan pintar, pasti bisa membawa bisnis keluargamu lebih besar. Handoko hanya masalah kecil.” Lelaki Belanda itu menjentikkan jari kelingking. “Pasti mudah bagimu untuk membereskan orang itu.” Satya tersenyum getir. “Yah, teori dan kalimat-kalimat motivasi memang selalu mudah diucapkan
Langkah Lintang seketika terhenti. Dilihatnya raut muka kesal Rena. “Ya, aku --“ “Denger ya Nyonya Satya yang baik hatinya, sekali lagi kamu ngebelain ular derik itu, aku putus hubungan teman sama kamu!” sentaknya lalu kembali berjalan cepat menuju ruang tunggu meninggalkan Lintang yang sempat bengong sekian detik. “Teman-teman, kita menginap semalam di sini dan baru ke Talaud besok pagi dengan kapal pertama.” Kevin sebagai pimpinan rombongan dari WWF pusat memberi penjelasan. “Kita sudah siapkan penginapan dekat pelabuhan. Malam ini kalian bisa jalan-jalan dulu menikmati Kota Manado sebelum bekerja keras selama sebulan.” Penjelasan Kevin disambut seruan bahagia anggota tim. “Mobil yang akan membawa kita ke penginapan sudah siap.” Kevin melanjutkan penjelasan usai mengecek ponselnya. “Kita cabut sekarang.” Lelaki berperawakan sedang itu memberi isyarat dengan gerakan dagu untuk mengikuti langkahnya. Sebuah minibus berwarna abu metalik telah menunggu di parkir ketika mereka telah
Satya dan Evan berlari di belakang Pak Pardi menuju dapur di mana Mbok Darmi tergeletak tak sadarkan diri. Sigap Satya mengecek kondisi Mbok Darmi. Ia menarik napas lega ketika tidak melihat luka serius. Denyut nadi perempuan itu juga masih di ambang batas normal meski agak melemah. "Sepertinya Mbok Darmi cuma pingsan biasa. Tapi kita bawa ke rumah sakit saja, Kang. Biar kalau ada luka dalam cepat tertangani." Satya memandang wajah cemas Pak Pardi lalu memintanya menyiapkan mobil. "Biar saya saja yang siapin dan bawa mobil, Pak." Evan memegang lengan Pak Pardi yang bersiap bangkit lalu berjalan cepat menuju halaman sementara Satya menyusul di belakangnya sembari membopong tubuh Mbok Darmi. "Kang, biar semua diurus Evan. Saya mau nunggu Hamdan di sini." Satya menepuk bahu Pak Pardi. “Semoga Mbok Darmi nggak ada luka dalam yang serius.”"Nggih, Mas." Pak Pardi mengangguk sopan lalu masuk ke dalam mobil. "Titip simbok, Van," ujar Satya sebelum Evan menginjak pedal gas. Tanpa menung
Hamdan membiarkan gumaman Satya dipeluk angin malam. “Tunggu hasil penyelidikan sidik jari saya,” putus Hamdan. Ia masih berusaha merangkai keping-keping puzzle yang berhasil dikumpulkannya dan masih belum lengkap. Ia tidak ingin gegabah memberi saran dan masukan. “Jangan-jangan kebakaran tempo hari juga bagian dari rencana mereka,” ujar Satya lesu. Bola matanya memandang ke arah luar. Lalu, ingatannya kembali melayang pada peristiwa belasan tahun silam saat kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya terjadi. Apakah semua saling terkait. Mendadak kepala Satya berdenyut nyeri ketika menyadari betapa pelik masalah yang dihadapinya. “Hasil pengamatan dan penyelidikan saya tidak ada unsur kesengajaan. Begitu pula hasil penyidikan polisi. Saya kira kasus itu murni kecelakaan. Anda teledor tidak memasang fire detection.” Nada suara Hamdan berubah dingin. Ia tidak suka ada yang menyangsikan hasil pekerjaannya. Ia bukan penyidik kemarin sore. “Well, bukan aku meragukan hasil penyelidikanmu da
Rena tersenyum lebar. “Justru itu. Sengaja aku nyebur ke laut biar ditolong Dana. Kan, romantis,” ujarnya kemudian. “Ya, kalau Mas Dana mau nolong. Kalau dibiarin gimana?” “Ya, nasib. Gitu saja, nggak usah dipikir dalem-dalem. Namanya juga lagi mengkhayal, bebas aja, kan, mau gimana?” Tawa keduanya pecah berderai. Mereka menyudahi duduk di belakang jendela ketika matahari telah sempurna keluar dari peraduannya. Keduanya bergegas bergabung dengan anggota tim lainnya untuk sarapan.Usai makan pagi, akhirnya Lintang berhasil menghubungi Satya. Belum sampai Sangihe saja komunikasi mereka seperti jembatan putus. Apalagi nanti kalau sudah tiba di pulau terluar Indonesia itu. Ia harus bisa menahan rindu.“Mas Satya sakit?” tanya Lintang cemas ketika telinganya menangkap suara Satya yang terdengar lesu.“He-em.” Satya menjawab malas-malasan. “Sudah minum obat?” Lintang semakin khawatir. Ia belum pernah melihat Satya sakit dan mendengar suaranya selesu ini. “Obatnya nggak ada di rumah.”