Share

Bab 5: Hanya Pura-Pura

Автор: HarunaHana
last update Последнее обновление: 2024-10-29 19:42:56

Lintang berharap berita yang ia dengar salah. Namun, suara di seberang dua kalii menegaskan jika ibu Satya benar-benar sakit dan Lintang harus segera pergi ke Solo.

“Ada apa, Lin?” Dini menatap wajah Lintang yang mendadak keruh.

Helaan napas panjang dan berat Lintang terdengar. Mata perempuan ayu itu menatap Dini bingung. Setumpuk rencana lembur yang telah tersusun rapi terancam buyar.

“Bunda sakit dan beliau minta aku ke Solo. Sekarang sopirnya sudah jalan mau jemput aku.”

“Ya udah, ayo cepetan pulang.”

Lintang mengiyakan ajakan Dini. Keduanya berjalan cepat menuju tempat parkir.

Ponsel Lintang kembali bergetar ketika ia dan Dini sampai di tempat parkir. Nama Satya tertera di layar.

“Lin, kamu bisa ke Solo sekarang?” Suara Satya di seberang terdengar khawatir. Ia bahkan lupa mengucap salam.

“Tolong tengok dan titip Bunda, ya. Aku pulang besok,” lanjutnya setelah Lintang menjawab pertanyaannya.

“Iya, Mas. Nanti aku kabari kalau sudah sampai dan tahu keadaan Bunda.”

Satya menutup panggilan telepon setelah mengucap terima kasih. Diam-diam, Lintang berharap sakitnya Bunda menjadi jalan bagi Satya untuk mengubah sikap.

“Kamu yakin mau pulang sendiri ke kos, Lin?”

Lintang mengangguk. Aku nggak apa-apa, kok, Din.”

“Ya, udah. Hati-hati, ya. Jangan ngelamun di jalan. Kalau butuh apa-apa, telepon saja.”

Selarik senyum tulus terlukis di wajah Lintang. “Makasih, Din. Doain ya, semoga Bunda nggak apa-apa jadi aku bisa cepetan balik ke sini buat nyelesein skripsi.”

Dini meraih tangan Lintang. ‘Insyaallah. Aku selalu doain yang terbaik buat kamu.”

Usai mengucapkan terima kasih, Lintang memacu motornya keluar kompleks fakultas. Satu jam setelah tiba di kost, mobil yang menjemputnya tiba. Tanpa menunggu waktu, Lintang segera naik dan mobil pun kembali melaju menuju Solo.

Sepanjang perjalanan Lintang menyusun ulang agendanya dan menyiapkan beberapa rencana untuk menghadapi kemungkinan terburuk.

“Jantungnya kambuh, Mbak. Padahal kemarin kondisi Ibu cukup stabil.” Pak Pardi, sopir keluarga  Satya menjawab ketika Lintang menanyakan kondisi sang bunda.

“Apa beliau mendengar berita yang tidak mengenakkan?”

Sekian detik Pak Pardi bergeming, mencoba mengingat apa yang terjadi beberapa hari terakhir.

“Seperinya semua baik-baik saja, Mbak. Saya sempat mengantar Ibu ke toko dan rumah kuno yang beliau beli dan sedang direnovasi itu. Ibu kelihatan bahagia dan sehat.”

“Atau kangen Mas Satya mungkin, Pak.”

Pak Pardi tertawa. “Mas Satya setiap hari video call dengan Ibu, Mbak.”

Lintang nyengir. Ia baru ingat kalau hampir setiap usai salat subuh dan isya, Satya selalu menelopon Bunda.

Setelah melalui dua jam perjalanan, Grand Livina hitam itu pun memasuki rumah berarsitektur Jawa kuno. Matahari telah tergelincir ke barat ketika Lintang menginjakkan kaki di halaman rumah yang asri itu. Suara jangkrik menyambut kedatangannya. Aroma melati berkelindan dengan bau tanah basah menyelusup ke rongga hidung. Lintang menghirup napas dalam-dalam. Ini kali keiga ia berkunjung ke rumah yang tampak anggun di bawah langit malam, mengingatkannya pada sosok putri keraton yang lembut dan lemah gemulai.

Belum sempat Lintang menekan bel, pintu kayu jati setingga tiga meter terbuka. Seorag perempuan tua dengan kebaya bunga-bunga dan jarik cokelat tua muncul dari balik pintu.

“Monggo, Mbak, masuk. Sudah ditunggu Ibu.” Mbok Darmi, orang kepercayaan Bunda menggesr badannya, memberi jalan kepada Lintang untuk masuk.

Lintang mengangguk kemudian masuk ke dalam rumah. Aroma lavender yang lembut mengingatkannya pada wajah Bunda yang keibuan. Telinga Lintang menangkap suara merdu Syaikh Mishari Rasyid dari balik ruang tamu. Suara aerator memberi kabar jika di ruang yang luas itu terdapat kehidupan lain.

 Uisai membersihkan diri, Lintang pun masuk ke kamar perempuan berusia jelang enam puluh tahun itu.

‘Sudah makan, Nduk?” Perempuan itu melukis senyum di wajah. Ia terlihat baik-baik saja meski wajahnya sedikit pucat. Sebuah buku tergenggam di tangan.

“Lintang masih kenyang, Bun.” Lintang meraih tangan Bunda lalu menciumnya takzim.

“Bunda juga belum makan. Yuk, makan bareng. Tadi Mbok Darmi masak nasi liwet.” Wajah Bunda terlihat semringah.

Tidak ada alasan bagi Lintag untuk menolak. Ia terbiasa menuruti permintaan orang yang ia hormati. Almarhum orang tuanya sejak dulu mengajrkan seperti itu.

“Saya ambilkan nasinya dulu, Bun.”

Bunda meraih tangan Lintang. “Enggak usah. Kita makan di ruang makan saja.” Perempuan itu meletakkan kaca mata di atas nakas kemudian turun dari ranjang.

“Bunda nggak apa-apa jalan ke ruang makan?” Setahu Lintang, jika sedang tidak sehat, Bunda akan melakukan semunya di kamarr.

Lagi selarik senyum terbit di wajah Bunda. “Enggak apa-apa, Nduk. Melihat wajah kamu Bunda langsung sembuh.”

Lintang menarik napas panjang sebelum berjalan mengikuti Bunda. Dalam hati ia khawatir jika perempuan itu sebenarnya tidak benar-benar sakit. Ia hanya meminta perhatiannya saja dengan berpura-pura kambuh.

Related chapter

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 6: Bertemu Hanum

    Melihat Bunda dan Lintang di ruang makan, sigap Mbok Darmi menata makan malam yang memang sudah dimasaknya di atas meja. Harum rempah dari nasi liwet dan pelengkaapnya meraja hidung, membangktkan rasa lapar yang sempat tertahan.Sepsang manik mata cokelat milik Lintan smpat bersitatap dengan Mbok Darmi. Ia ingn meminta penjelasan perempuan tua itu kenapa Bunda ternyata tidak sakit.“Besok, Bunda ajak kamu ke Omah Lowo. Rumah itu sedang direnovasi. Kalau sudah jadi, kamu yang akan mengurus.”“Bunda istirahat dulu saja. Khawatirnya nanti drop lagi.” Lintang benar-benar merasa ganjil dengan sikap sang bunda. Sudut hatinya mulai yakin di mertuanya memang tidak sakit.Bunda bergeming sesaat, membiarkan sesendk nasi yang tengah dikunyah di mulut melewati tenggorokan menuju lambung.“Alhamdulillah Bunda baik-baik saja, Nduk. Kan, Bunda sudah bilang kalau lihat kamu sakit Bunda langsung sembuh.”“Ta-tapi, Bun …..”“Sst …., enggak boleh membantah orang tua, enggak patut.”Lintang menelan ludah

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 7: Permintaan Bunda

    Bu Sekar memperkenalkannya pada semua karyawan yang bertugas pada shift pertama. Perempuan yang masih terlihat cantik meski usianya tak lagi muda itu juga memperkenalkan pada staf toko. Kantor pusat lima toko batik milik keluarga Satya ada di sini. Lantai dua selain menjadi tempat foodcourt aneka makanan tradisional juga berfungsi sebagai kantor.Lintang menatap semua aktivitas di toko dengan takjub. Ia tidak menyangka, Bu Sekar memiliki bisnis sebesar ini. Sebelumnya ia hanya tahu kalau Bunda memiliki toko batik dan spa khusus perempuan. Namun, ia tidak tahu berapa jumlah toko dan spa yang dimiliki perempuan ningrat itu.“Semua ini akan menjadi milikmu, Nduk Cah Ayu.” Bu Sekar tersenyum bahagia usai berkeliling. Kini mereka tengah berada di foodcourt menikmati serabi dan secangkir teh.Lintang tergeragap. “Saya tidak punya hak apa pun atas toko ini, Bunda,” ujarnya kemudian. Siapa dia yang tiba-tiba akan memiliki semua ini. Dia bukan siapa-siapa di sini. Hanya menantu yang bahkan tak

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 8: Kematian Bunda

    “A-apa? Ya, Tuhan!” teriak Satya saat mendengar kabar kematian Bu Sekar. Telinganya masih jelas mendengar getar suara Lintang di seberang dan isak Mbok Darmi.“Ka-kamu nggak bohong, kan, Lin? Kamu nggak nge-prank aku, kan?” Satya masih tidak percaya dengan pendengarannya. Semalam ibunya terlihat bahagia ketika video call dengannya dan menceritakan kegiatan sehari bersama Lintang. Bagaimana mungkin pagi ini perempuan yang sangat dicintainya itu telah pergi. Apakah Tuhan sedang bercanda dengannya?“O-oke, Lin. Aku pulang secepatnya,” ujar Satya setelah Lintang selesai mengabarkan waktu pemakaman Bu Sekar yang telah disepakati keluarga dan pengurus masjid setempat. “ Tolong jangan kuburkan Bunda sebelum aku sampai di rumah,” pungkasnya.Satya segera mencari tiket dan memesan penerbangan tercepat ke Solo. Tergesa ia berkemas dan mendelegasikan beberapa pekerjaan kepada stafnya setelah mengajukan cuti selama sepekan. Tidak lama kemudian ucapan belasungkawa mengalir ke Whatsapp miliknya mes

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 9: Perempuan di Pemakaman Bunda

    Lintang menarik napas dalam. “Semua baik-baik saja, Mas. Bunda sehat, bahagia.” Gemetar bibir Lintang meloloskan kalimat. “Tapi Allah sudah mencukupkan rezeki Bunda hari ini. Sudah saatnya Bunda kembali ke rumahnya di surga.”Satya merasa kata-kata Lintang seperti palu yang dipukulkan ke kepalanya berkali-kali. “Ya, Tuhan, aku belum sempat membahagiakannya dan Engkau sudah mengambilnya,” ujarnya. Satya melepas kedua lengan Lintang dan kembali memeluk Bu Sekar.Melihat Satya yang sangat terpukul dan masih tergugu seraya memeluk tubuh Bu Sekar, Lintang menghapus jejak air mata di wajahnya dan meminta panitia untuk menunda beberapa menit prosesi pemberangkatan jenazah sampai Satya bisa menenangkan diri.“Nak Satya.” Suara berat Ustaz Salim, ketua takmir masjid di sana, menerobos rongga telinga Satya. “Sudah saatnya ibumu dimakamkan. Ikhlaskan beliau. Insyaallah beliau husnul khatimah.”Satya mengangkat tubuhnya lalu menghapus air mata dengan kasar.“Kamu salatkan ibumu dulu sebelum belia

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 10: Kita Hanya Pura-Pura Menikah

    “Besok aku balik Bandung dulu, Lin.” Satya membuka pembicaraan setelah para tamu yang mengikuti pengajian hari ketujuh pulang. Jarum pendek jam di dinding menunjuk angka sepuluh. Lintang yang tengah membereskan ruang tengah menghentikan pekerjaan. Ia mendekat dan duduk di dekat Satya. “Iya, Mas. Besok berangkat jam berapa?” Satya menatap wajah Lintang yang terlihat lelah. Ada haru yang menyelusup ke relung hatinya. Meski diabaikan, Lintang tidak pernah menampakkan wajah tidak suka atau pun kecewa. Ia bahkan cukup cekatan mengurus semua keperluan pengajian sejak hari pertama hingga terakhir. “Pesawat berangkat jam tujuh. Jadi aku berangkat setengah enam.” “Aku siapkan baju-bajunya sekarang kalau gitu. Biar besok nggak terburu-buru.” “Eh, nggak usah.” Refleks Satya meraih tangan Lintang yang baru saja bangkit dari duduk. Sesaat kedua pasang mata itu saling bersitatap. Dalam hati, Satya mengakui jika wajah Lintang memang tidak secantik Hanum, tetapi selalu menawarkan keteduhan. “Ak

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 11: Ayo Rebut Cintanya

    “Ya, Salam, Ya, Latif,” batin Lintang perih. Ia berharap pendengarannya salah dan bukan Satya yang baru saja mengucapkannya. Nyatanya, kalimat demi kalimat setajam duri mawar itu memang diucapkan Satya.“Udah malam, Lin. Yuk, istirahat.” Satya bangkit. Lelaki itu sama sekali tidak terlihat merasa bersalah dengan ucapannya yang telah melukai hati Lintang. “Besok biar kamu diantar Pak Parjo. Jadi nggak usah ngebis.” Satya menatap wajah istrinya sekilas lalu pergi ke kamarnya, meninggalkan Lintang yang nyaris meledakkan tangis.Dua minggu berlalu sejak Satya dan Lintang kembali ke kehidupan masing-masing. Lintang berusaha mengejar waktu yang tersisa. Ia menenggelamkan diri di perpustakaan dan sesekali ke laboratorium untuk mengambil hasil analisis. Beruntung, ia tidak perlu mengulang penelitian karena hasil analisis sesuai dengan hipotesis penelitiannya.Sepekan pertama terpisah jarak, tidak pernah satu kali pun Satya berkirim kabar lebih dulu. Selalu Lintang yang mengawali percakapan d

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 12: Seperti Bima dan Arimbi

    Angin berkesiur meniup jilbab mereka, menerbangkan debu dan daun-daun kering yang berserakan di tanah. Lintang menatap Dini lamat-lamat. Ia ingin harapan itu tetap menyala di hati. Sayang, wajah datar Satya meremukkan harapan itu.“Kita lihat tiga bulan lagi. Dia, kan, ngasih batas waktu tiga bulan,” ujar Lintang. Ucapan Satya saat malam pertama masih terekam jelas dalam ingatan.“Aku tetap yakin Satya akan luluh. Aku yakin Allah akan membuka hatinya,” pungkas Dini optimis.Selarik senyum terlukis di wajah Lintang. “Makasih, Din. Kamu seperti obor di tengah gulita malam,” ujar Lintang tulus.“Jangan lupa traktir aku kalau kamu berhasil menaklukkan hati Satya.” Senyum lebar tercetak di wajah Dini.“Beres. Kamu bebas milih baju dan perawatan di spa milik Bunda Sekar.” Lintang menepuk kedua pipi Dini.Matahari yang rebah sempurna ke barat menyudahi percakapan mereka. Gegas keduanya memacu motor menuju kostan masing-masing.Sesuai janjinya semalam, Satya benar-benar menjemput Lintang di k

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 13: Wasiat Bunda

    “Ibu ingin melihat Mas Satya dan Mbak Lintang seperti Bima dan Arimbi.”Selama beberapa detik ekspresi wajah Satya berubah. Namun, ia segera bisa menguasai diri.“Oh, iya. Benar juga, Mbok.” Lelaki berusia jelang tiga puluh tahun itu mengalihkan pandangan pada Lintang yang masih terpasak di depan pintu kamarnya. “Kamar kamu di sini, Lin, bareng aku.” Meski canggung, akhirnya kalimat itu lolos juga dari mulutnya.Selama tujuh hari setelah meninggalnya Bu Sekar, kamar Satya ditempati kerabat yang datang melayat. Ia memilih tidur di ruang perpustakaan. Tidak ada yang mengusiknya karena semua menganggap Satya tengah terpukul dengan meninggalnya sang bunda. Tidak ada yang mempertanyakan mengapa ia tidak tidur di kamar yang ditempati Lintang karena kerabat-kerabatnya menganggap Satya sedang berusaha menenangkan diri. Kini, hanya ada Mbok Darmi dan Kang Pardi di rumah ini. Mereka berdua bisa curiga jika ia tidur terpisah dengan Lintang.Dulu, setelah acara ngunduh mantu di sini, mereka tidak

Latest chapter

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 141: Rahasia Satya

    “Ya, kamu, sih, enteng bilang kayak gitu karena satu server sama Evan.” Satya merapikan anak-anak rambut yang sempat menyembul dari jilbab Lintang. “Dalam hal ini, cita-citaku sederhana, Lin. Hapal juz tiga puluh saja aku sudah seneng. Kamu tahu aku agak bebal kalau soal ini.” Satya tersenyum malu. “Aku doakan Allah memberi lebih dari juz tiga puluh.” Lintang mengecup mesra jemari Satya. “Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah.” Satya tertawa. Ia masih sangsi bisa lebih dari itu. Seumur hidupnya ia belum pernah menghapal Al Quran secara khusus selain ketika masih kecil dan ikut TPA di masjid.Langit perlahan berubah warna. Dari biru ke jingga, kemudian menggelap seiring masuknya bola besar berwarna kuning ke dalam laut. Keduanya meninggalkan Parangtritis setelah salat Magrib. Sepanjang jalan menuju hotel, sesekali Satya menggenggam jemari Lintang seperti anak kecil khawatir terpisah dari ibunya. Lalu keduanya saling menatap. Penuh cinta.Dadai Lintang berdebar melihat senyum Saty

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 140: Bulan Madu

    “Sejak melahirkan, kamu macam gadis pingitan.” Satya tertawa di ujung kalimat. “Kamu butuh refreshing. Pasti capek ngurus Rendra dan meramu bahan-bahan pewarna itu. Lagi pula, Bulik Marni dan Paklik Heru pasti sudah kangen cucunya.” Satya mendekati Lintang hingga keduanya bersisihan menatap taman di luar kamar. Lintang terdiam. Ia memang menyarankan Satya menggunakan pewarna dari bahan alam agar penggunaan pewarna kimia bisa berkurang. Sejak dua bulan sebelum melahirkan, ia sibuk mencari bahan yang dibutuhkan dan mencoba membuat meski dalam skala kecil dan sejak sebulan lalu Lintang sudah kembali disibukkan dengan aneka pewarna alam itu. Beruntung, beberapa perajin batik di Yogyakarta yang telah menggunakan pewarna alam bersedia memberitahu bahan-bahan yang dibutuhkan. Mereka juga menghubungkan Lintang dengan penyedia pewarna alam itu sehingga untuk beberapa warna ia tidak perlu membuat sendiri. Kepala Lintang penuh rencana kerja dan refreshing tidak masuk di dalamnya. Ia tidak mer

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 139: Ajakan Bulan Madu

    Tatapan kecewa Satya bertemu dengan raut muka penuh sesal milik Evan. Satya menarik napas. “Bisa nggak, kamu hubungi mereka lagi? Siapa tahu mereka masih berminat?”“Siap, Mas. Nanti saya hubungi Ustaz Haikal.” Evan menatap sekilas Satya sembari tersenyum. Detik berikutnya ia mempercepat laju mobil. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Draft laporan yang harus dicek dan jadwal rapat berderet panjan di tabletnya.“Nggak mampir, Van? Ngopi-ngopi dulu,” tawar Satya sebelum turun dari mobil ketika mereka sudah sampai di halaman rumah Satya.“Makasih, Mas. Saya langsung ke kantor saja.” Satya mengangguk. Hanya dalam hitungan menit setelah ia turun, Evan lenyap dari pandangan. Sejurus kemudian ia memasuki rumah dengan hati bungah. Satya menghentikan langkah di ambang pintu dapur ketika dilihatnya Lintang tengah mengupas timun sementara Dini mengulek sambal. Aroma segar dari timun dan nanas berpadu dengan bau sambal rujak menyelusup hidung.“Kapan datang, Din?” Lintang menoleh k

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 138: Akhir Perjuangan Satya

    Di sisi lain, Bagas tersenyum puas. Akhirnya ia bisa membalaskan dendam sang ayah untuk menghancurkan Satya. Sepupunya tidak hanya akan kehilangan gurita bisnis, tetapi juga nama baik. Tidak ada yang lebih buruk dalam hidup selain kehilangan reputasi. Harta bisa dicari, jabatan bisa diperebutkan, tetapi serpihan nama baik yang hancur tidak akan mudah dipungut dan disatukan. “Mengingat bahwa terdakwa: (1) masih berusia muda, (2) bersikap kooperatif dan terbuka selama proses persidangan, (3) bukan satu-satunya pihak yang membuang limbah ke Kali Jenes, (4) telah membangun instalasi pengolah limbah sehingga air buangannya memenuhi baku mutu yang ditentukan perundang-undangan, (4) memberi kesempatan kepada warga sekitar pabrik untuk meningkatkan taraf hidup mereka melalui berbagai unit usaha yang dimiliki.” Wajah-wajah di ruang sidang terlihat tegang. Evan menatap tak sabar pimpinan majelis hakim yang menurutnya bertele-tele. Segala urusan yang berkaitan dengan hukum sering membuat kesab

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 137: Kabar dari Dini

    Dini tersenyum lebar. Ditepuknya pipi Lintang dengan gemas. Setelah masa-masa awal pernikahan yang menyedihkan, gadis itu kini merasa lega karena Lintang telah berhasil melewati semua.“Ya, teleponlah. Tapi, kan, jarang banget. Jadi ibuku ngambek. Terakhir nelepon, dia kasih ultimatum segera balik Semarang sekalian bawa calon suami.” “Ya, Allah, ada-ada saja.” Lintang tertawa. Ia kenal baik ibunya Dini karena beberapa kali ke Semarang dan bisa membayangkan bagaimana mimik wajah perempuan itu ketika berbicara pada Dini. “Trus, calon suaminya gimana? Berhasil bawa pulang dia nggak?” Seketika air muka Dini berubah. Pendar ceria di matanya meredup. Lintang menelan ludah, merasa tidak enak karena telah menghapus binar cerah di wajah sahabatnya. “Itu dia, Lin.” Dini menunduk lalu merogoh tas dan mengeluarkan dompet. Sejurus kemudian tangannya mengambil selembar foto dan menyodorkannya pada Lintang. “Insyaallah aku mau nikah sama orang ini.” Dini menahan tawa hingga pipinya sedikit mengg

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 136: Bumbu Rayuan Paling Lengkap

    Evan menekan pedal gas dan kembali melajukan mobil. Ia memilih tidak melanjutkan negosiasi dengan Satya. Suasana hati Satya sedang tidak mendukung dan ia akan mencari waktu lain untuk membicarakan masalah itu.“Kamu nggak masuk dulu?” Satya menatap heran Evan yang tidak melepaskan tangan dari kemudi ketika mereka memasuki halaman. “Saya masih harus balik kantor, Mas. Ada beberapa laporan yang harus ditandatangani. Kasihan Laras sudah nunggu.” “Dia nggak cuma nunggu kamu tanda tangan dokumen, tapi juga nunggu lamaran dan tanda tangan kamu di buku nikah,” sahut Satya santai. Ia keluar mobil tanpa mengindahkan Evan yang bengong. Satya melambaikan tangan sebelum melangkahkan kaki ke pendopo.“Lagi masak apa, Mama Cantik?” Satya memeluk Lintang dari belakang. Istrinya tengah mengaduk panci dan mencicip kuahnya.‘Nyobain bikin sup iga. Dari tadi pengen makan seger-seger.” “Hmm, baunya enak, jadi nggak sabar buat makan.” “Mandi dulu, bau ruang sidang.” “Baru kali ini ruang sidang ada ba

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 135: Masa Lalu Bagas

    Dana bergeming meski tatapan setajam pisau terhunjam tepat di matanya. Ia tidak boleh terpancing provokasi Bagas. “Kasus itu sudah ditutup dan aku tidak terbukti memalsukan dokumen Amdal,” lanjut Bagas. Telunjuknya masih berada di dada Dana. “Apa sebutan yang tepat untuk orang yang tidak mau menerima kekalahan, hah?” Dana menggeser piring. “Kasus yang sudah ditutup bukan berarti tidak bisa diangkat lagi,” ujar Dana tenang. “Gugatan Walhi sudah masuk ke Pengadilan Negeri Kota Bandung. Kami pastikan kali ini kamu tidak akan bisa lari dari jerat hukum.” Raut muka Dana terlihat datar, tetapi nada suaranya terdengar dingin penuh tekanan. Di seberang meja, El tampak tidak terganggu dengan perdebatan antara Dana dan Bagas sementara Satya menahan napas melihat dua orang di hadapannya mirip dua prajurit saling bersiap untuk melakukan duel maut. Dana mengelak ketika tangan Bagas terulur hendak meraih kerah kemejanya. Sumpah serapah lelaki muda itu berhamburan di udara, menarik perhatian An

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 134: Saksi Kunci (2)

    Tepat jam sembilan pimpinan majelis hakim memulai sidang. Setelah memeriksa para saksi dan meminta mereka bersumpah di bawah kitab suci, pimpinan sidang meminta Prof. Kathrina sebagai saksi ahli pertama yang memberikan kesaksiannya hari itu. “Saya sudah mempelajari kasus pencemaran Kali Jenes sejak lama dan Hadikusumo bukan satu-satunya perusahaan yang harus bertanggung jawab. Jadi, menjadikannya pihak yang harus menanggung kesalahan kolektif tentu tidak tepat. Seharusnya semua perusahaan yang membuang limbahnya ke Kali Jenes ada di kursi terdakwa.” “Keberatan, Yang Mulia. Sekali lagi ini hanya awalan. Setelah kasus Hadikusumo selesai, penggugat akan melanjutkan ke perusahaan lainnya.” “Saya tidak yakin itu, Yang Mulia.” Prof. Kathrina menyahut cepat. “Fokus penggugat pada Hadikusumo Group. Penggugat sama sekali tidak menyentuh perusahaan lain. Bahkan hasil analisis mereka juga hanya dari Hadikusumo. Kalau mereka ingin menyeret semua perusahaan, seharusnya saat ini juga semua pim

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 133: Saksi Kunci

    Jeda satu minggu sidang digunakan Satya untuk rehat, mendinginkan otak yang mendidih. Ia belajar bangun di ujung malam dan mengisinya dengan salat dan membaca Al Quran meski bacaannya belum sempurna. Ia juga menambah waktu yoga sembari mengingat setiap pesan Guru Hadji yang tersimpan dalam memorinya. Kabar dari Evan yang menyebutkan bahwa keluarga Hanum akan membeli salah satu spa-nya dan telah menawar dengan harga tertinggi membuat Satya merasa menjadi pesakitan untuk kedua kalinya. Setelah semua yang terjadi antara dia dan Hanum, keluarga mantan kekasihnya itu tak pernah berubah sikap. Mereka tetap menjadi kolega yang baik. Bahkan ibu Hanum selalu terlihat ramah dan hangat jika bertemu Lintang. Kini, mereka menjadi dewa penolong ketika posisinya berada di ujung tanduk. Kalau saja ia tidak sedang terjepit, Satya akan meminta Evan mencari orang lain untuk membeli dua spa itu. “Beberapa hari ke depan mungkin kamu akan sedikit repot.” Satya memulai obrolan usai membaca wirid pagi bers

DMCA.com Protection Status