“A-apa? Ya, Tuhan!” teriak Satya saat mendengar kabar kematian Bu Sekar. Telinganya masih jelas mendengar getar suara Lintang di seberang dan isak Mbok Darmi.
“Ka-kamu nggak bohong, kan, Lin? Kamu nggak nge-prank aku, kan?” Satya masih tidak percaya dengan pendengarannya. Semalam ibunya terlihat bahagia ketika video call dengannya dan menceritakan kegiatan sehari bersama Lintang. Bagaimana mungkin pagi ini perempuan yang sangat dicintainya itu telah pergi. Apakah Tuhan sedang bercanda dengannya?
“O-oke, Lin. Aku pulang secepatnya,” ujar Satya setelah Lintang selesai mengabarkan waktu pemakaman Bu Sekar yang telah disepakati keluarga dan pengurus masjid setempat. “ Tolong jangan kuburkan Bunda sebelum aku sampai di rumah,” pungkasnya.
Satya segera mencari tiket dan memesan penerbangan tercepat ke Solo. Tergesa ia berkemas dan mendelegasikan beberapa pekerjaan kepada stafnya setelah mengajukan cuti selama sepekan. Tidak lama kemudian ucapan belasungkawa mengalir ke W******p miliknya meski tak satu pun yang ia balas. Pikirannya centang-perenang dan hatinya kelut-melut. Ia masih belum percaya jika perempuan yang keberadaannya tidak akan pernah tergantikan oleh siapa pun itu telah pergi.
Terkadang, banyaknya pekerjaan menyibukkan Satya sehingga terpaksa menunda kepulangan ke Solo. Jika lebih dari dua pekan ia tidak menampakkan batang hidung di rumah dan tetap menunda kepulangan, maka Bu Sekar akan menjadikan penyakit yang dideritanya sebagai senjata. Ia akan mengabarkan kalau dirinya sakit dan tidak ingin mati tanpa diketahui anaknya. Jika sudah demikian, Satya akan berusaha menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin dan segera pulang. Bu Sekar akan menyambut kedatangannya dengan semringah. Tidak terlihat jejak rasa sakit di wajahnya.
“Ratu drama”, begitu Satya berkelakar di depan Bu Sekar jika perempuan itu berpura-pura sakit. Sudah lama ibunya tergantung dengan bermacam obat. Hipertensi, diabetes, asma, adalah penyakit yang setia bersarang di tubuh Bu Sekar sejak bertahun lalu. Belakangan jantung dan ginjalnya pun bermasalah. Tiga bulan sebelum hari pernikahannya dengan Lintang, Bu Sekar menjalani operasi pemasangan ring di jantungnya.
Meski menanggung berbagai penyakit, Satya selalu yakin kondisi ibunya cukup terkendali karena ada dokter yang rutin memeriksa setiap pekan sekali. Kabar duka pagi ini di luar perhitungannya.
Ketika kakinya menapak di halaman rumah yang dipenuhi pelayat dan puluhan rangkaian bunga ucapan belasungkawa, Satya merasa bumi tempatnya berpijak bergoyang dan mengguncang tubuhnya dengan keras. Kali ini, ibunya memang tidak sedang bercanda. Perempuan berusia enam puluh tahun itu tidak sedang bermain drama seperti hari-hari yang telah lalu.
Satya menghentikan langkah sejenak dan menarik napas panjang sebelum kembali melangkah. Susah payah ditahannya air mata yang seolah ingin segera mengalir keluar. Beberapa kerabat menyalami dan memeluknya, membisikkan kata sabar yang terdengar seperti nyanyian sumbang. Salah satu di antara mereka menggandeng lengan Satya dan membawanya ke ruang tamu di mana jenazah sang bunda terbaring.
Beberapa pelayat yang baru selesai menyalatkan jenazah Bu Sekar menyalami Satya dan memberi ucapan belasungkawa. Satya memaksakan diri mengurai senyum dan mengucapkan terima kasih.
Jenak berikutnya, Satya berjalan dengan gontai mendekati tubuh Bu Sekar yang tertutup kain jarik. Lelaki berusia tiga puluh tahun itu masih berharap semua hanya mimpi dan ibunya hanya tidur. Perempuan itu akan bangun lagi dan memeluknya sebagaimana yang biasa dilakukan ketika menyambut kedatangannya.
“Ya, Tuhan.” Satya merasa hatinya seperti diremas sekuat tenaga, menyisakan rasa nyeri yang luar biasa. Gemetar tangannya menyibak kain yang menutup bagian kepala. Di hadapannya, wajah sang bunda terlihat tenang dan damai. Ia seperti tengah tertidur pulas sembari menyunggingkan senyum, senyum yang selalu ia rindukan dan tidak akan pernah lagi ditemuinya. Satya menyadari sepotong hatinya telah pergi.
“Ya, Tuhan.” Hanya dua kata itu yang sanggup terlontar dari bibirnya. Detik berikutnya, tangannya melingkar di atas tubuh Bu Sekar sementara bahunya berguncang keras meningkahi air mata yang mengalir deras.
Entah berapa lama Satya memeluk tubuh Bu Sekar. Tidak ada yang berani mengganggunya hingga sebuah tepukan lembut membuat lelaki itu mengangkat kepala dan menghapus lelehan air mata.
“Mas Satya nyalatin Bunda dulu ya. Sebentar lagi waktu pemakaman.” Suara Lintang terdengar parau. Tadi ia tengah di belakang ketika Satya datang. Ia membiarkan Satya memeluk Bu Sekar untuk terakhir kalinya sampai Ustaz Salim memberi tahu kalau waktu pemakaman sudah tiba.
Suara Lintang seperti tali kasat mata yang menarik tubuh Satya. Lelaki berkulit cokelat itu menatap wajah sembab Lintang. “Kenapa Bunda bisa meninggal, Lin? Bukannya Bunda sehat-sehat saja kemarin?” Kedua tangan Satya meraih lengan Lintang dan mengguncang tubuh perempuan itu.
Duka kembali mengalir dari mata Lintang. Andai Satya tahu, hatinya lebih remuk ketimbang Satya. Ia baru saja bahagia karena bisa merasakan kasih sayang ibu yang lama dirindukannya. Lalu, semua itu lenyap dalam sekejap. Namun, ia bisa apa. Semua yang ada di dunia ini memang hanya titipan dan Allah telah mengambil milik-Nya. Hanya mengikhlaskan yang bisa dilakukan.
“Apa Bunda lupa minum obat? Bunda kecapekan? Dokter lupa ngecek?” Satya terus mencecar sembari mengguncang tubuh Lintang. Ia masih belum bisa menerima jika matahari yang menyinari hidupnya telah pergi. “Mana dr. Adrian? Kenapa Bunda bisa begini? Dia harus bertanggung jawab,” racau Satya.
Lintang menarik napas dalam. “Semua baik-baik saja, Mas. Bunda sehat, bahagia.” Gemetar bibir Lintang meloloskan kalimat. “Tapi Allah sudah mencukupkan rezeki Bunda hari ini. Sudah saatnya Bunda kembali ke rumahnya di surga.”Satya merasa kata-kata Lintang seperti palu yang dipukulkan ke kepalanya berkali-kali. “Ya, Tuhan, aku belum sempat membahagiakannya dan Engkau sudah mengambilnya,” ujarnya. Satya melepas kedua lengan Lintang dan kembali memeluk Bu Sekar.Melihat Satya yang sangat terpukul dan masih tergugu seraya memeluk tubuh Bu Sekar, Lintang menghapus jejak air mata di wajahnya dan meminta panitia untuk menunda beberapa menit prosesi pemberangkatan jenazah sampai Satya bisa menenangkan diri.“Nak Satya.” Suara berat Ustaz Salim, ketua takmir masjid di sana, menerobos rongga telinga Satya. “Sudah saatnya ibumu dimakamkan. Ikhlaskan beliau. Insyaallah beliau husnul khatimah.”Satya mengangkat tubuhnya lalu menghapus air mata dengan kasar.“Kamu salatkan ibumu dulu sebelum belia
“Besok aku balik Bandung dulu, Lin.” Satya membuka pembicaraan setelah para tamu yang mengikuti pengajian hari ketujuh pulang. Jarum pendek jam di dinding menunjuk angka sepuluh. Lintang yang tengah membereskan ruang tengah menghentikan pekerjaan. Ia mendekat dan duduk di dekat Satya. “Iya, Mas. Besok berangkat jam berapa?” Satya menatap wajah Lintang yang terlihat lelah. Ada haru yang menyelusup ke relung hatinya. Meski diabaikan, Lintang tidak pernah menampakkan wajah tidak suka atau pun kecewa. Ia bahkan cukup cekatan mengurus semua keperluan pengajian sejak hari pertama hingga terakhir. “Pesawat berangkat jam tujuh. Jadi aku berangkat setengah enam.” “Aku siapkan baju-bajunya sekarang kalau gitu. Biar besok nggak terburu-buru.” “Eh, nggak usah.” Refleks Satya meraih tangan Lintang yang baru saja bangkit dari duduk. Sesaat kedua pasang mata itu saling bersitatap. Dalam hati, Satya mengakui jika wajah Lintang memang tidak secantik Hanum, tetapi selalu menawarkan keteduhan. “Ak
“Ya, Salam, Ya, Latif,” batin Lintang perih. Ia berharap pendengarannya salah dan bukan Satya yang baru saja mengucapkannya. Nyatanya, kalimat demi kalimat setajam duri mawar itu memang diucapkan Satya.“Udah malam, Lin. Yuk, istirahat.” Satya bangkit. Lelaki itu sama sekali tidak terlihat merasa bersalah dengan ucapannya yang telah melukai hati Lintang. “Besok biar kamu diantar Pak Parjo. Jadi nggak usah ngebis.” Satya menatap wajah istrinya sekilas lalu pergi ke kamarnya, meninggalkan Lintang yang nyaris meledakkan tangis.Dua minggu berlalu sejak Satya dan Lintang kembali ke kehidupan masing-masing. Lintang berusaha mengejar waktu yang tersisa. Ia menenggelamkan diri di perpustakaan dan sesekali ke laboratorium untuk mengambil hasil analisis. Beruntung, ia tidak perlu mengulang penelitian karena hasil analisis sesuai dengan hipotesis penelitiannya.Sepekan pertama terpisah jarak, tidak pernah satu kali pun Satya berkirim kabar lebih dulu. Selalu Lintang yang mengawali percakapan d
Angin berkesiur meniup jilbab mereka, menerbangkan debu dan daun-daun kering yang berserakan di tanah. Lintang menatap Dini lamat-lamat. Ia ingin harapan itu tetap menyala di hati. Sayang, wajah datar Satya meremukkan harapan itu.“Kita lihat tiga bulan lagi. Dia, kan, ngasih batas waktu tiga bulan,” ujar Lintang. Ucapan Satya saat malam pertama masih terekam jelas dalam ingatan.“Aku tetap yakin Satya akan luluh. Aku yakin Allah akan membuka hatinya,” pungkas Dini optimis.Selarik senyum terlukis di wajah Lintang. “Makasih, Din. Kamu seperti obor di tengah gulita malam,” ujar Lintang tulus.“Jangan lupa traktir aku kalau kamu berhasil menaklukkan hati Satya.” Senyum lebar tercetak di wajah Dini.“Beres. Kamu bebas milih baju dan perawatan di spa milik Bunda Sekar.” Lintang menepuk kedua pipi Dini.Matahari yang rebah sempurna ke barat menyudahi percakapan mereka. Gegas keduanya memacu motor menuju kostan masing-masing.Sesuai janjinya semalam, Satya benar-benar menjemput Lintang di k
“Ibu ingin melihat Mas Satya dan Mbak Lintang seperti Bima dan Arimbi.”Selama beberapa detik ekspresi wajah Satya berubah. Namun, ia segera bisa menguasai diri.“Oh, iya. Benar juga, Mbok.” Lelaki berusia jelang tiga puluh tahun itu mengalihkan pandangan pada Lintang yang masih terpasak di depan pintu kamarnya. “Kamar kamu di sini, Lin, bareng aku.” Meski canggung, akhirnya kalimat itu lolos juga dari mulutnya.Selama tujuh hari setelah meninggalnya Bu Sekar, kamar Satya ditempati kerabat yang datang melayat. Ia memilih tidur di ruang perpustakaan. Tidak ada yang mengusiknya karena semua menganggap Satya tengah terpukul dengan meninggalnya sang bunda. Tidak ada yang mempertanyakan mengapa ia tidak tidur di kamar yang ditempati Lintang karena kerabat-kerabatnya menganggap Satya sedang berusaha menenangkan diri. Kini, hanya ada Mbok Darmi dan Kang Pardi di rumah ini. Mereka berdua bisa curiga jika ia tidur terpisah dengan Lintang.Dulu, setelah acara ngunduh mantu di sini, mereka tidak
“Seandainya Mas Satya tidak bersedia mengundurkan diri dari pekerjaan yang saat ini sedang dijalani di Bandung, Bu Sekar tidak keberatan jika usaha ini dikelola dari jarak jauh. Namun, Bu Sekar tidak mengizinkan usaha ini jatuh ke tangan orang lain karena sudah menjadi wasiat Pak Hadi agar usaha ini menjadi perusahaan keluarga.”Hati Satya kelut-melut. Ia tidak mungkin menolak perintah sang bunda dan wasiat mendiang ayahnya. Namun, ia juga terikat janji dengan Hanum dan tidak ingin dianggap sebagai lelaki tak bertanggungjawab karena membatalkan janji yang pernah terucap. Apalagi Hanum bersedia menunggunya bercerai dengan Lintang. Kekasihnya itu telah berkorban begitu banyak dan ia tidak mungkin meninggalkannya.“Selanjutnya saya akan mengurus semua keperluan balik nama aset-aset Bu Sekar dan akan saya kabari kalau semua sudah selesai. Terkait biaya, semua sudah disiapkan Bu Sekar.”Satya mengiyakan semua ucapan Pak Adrian. Saraf-saraf otaknya mendadak tumpul. Sementara itu, Lintang me
Cintaku seperti bunga matahari, tetapi hatimu serupa pohon meranggas. - Lintang Ayu Saraswati -***“Ya, Tuhan,” batin Satya. Ia menyesali ucapannya. Sayang, semua sudah terlanjur.Satya terdiam, manik mata kelamnya menatap Lintang. Hati Satya bagai diamuk badai melihat sepasang mata sewarna madu milik Lintang siap menumpahkan air mata.“Jadi memang Mas Satya benar-benar ingin melanjutkan pernikahan ini?” Sekuat tenaga Lintang menahan gelombang di hati. Bagaimanapun juga ia tidak ingin terlihat kalah di hadapan Satya.Satya menutup wajah dengan kedua tangan lalu menyugar rambut frustrasi. Ia benar-benar menyesal. “A-aku ….” Lelaki berambut lurus tebal itu bangkit dari sofa lalu mendekati Lintang. “Ma-maksudku ….”“Kalau memang Mas Satya tidak ingin melanjutkan pernikahan ini, ceraikan saya sekarang juga.” Tatapan setajam pisau milik Lintang menyambar tubuh Satya yang terpaku selangkah di depan Lintang.“Dulu Mas Satya meminta waktu untuk membujuk bunda dan sekarang beliau sudah tiada.
Ucapan Lintang membuat otot-otor wajah Dini menegang. Senyumnya lenyap berganti dengan tatapan cemas."Aku sudah ngasih waktu Mas Satya satu bulan untuk menceraikanku. Bulan depan aku bakal jadi janda, Din." Perlahan, mendung tebal yang bergelayut di mata Lintang berubah menjadi hujan. Awalnya gerimis, lalu menderas perlahan.“Ya, Allah.” Dini takkuasa menyembunyikan rasa terkejut. Ia beringsut lalu memeluk Lintang erat, membiarkan sahabatnya menumpahkan segala luka.Sekian waktu suara isakan Lintang memenuhi kamar berukuran sembilan meter persegi itu. “Apa kamu sudah pikirkan masak-masak, Lin?” tanya Dini hati-hati setelah sedu-sedan Lintang mereda. Tangannya mengulurkan sekotak tissue.“Mas Satya memang tidak pernah ingin melanjutkan pernikahan ini. Buat apa hidup dengan laki-laki yang tidak mencitai kita, Din?” Lintang mengusap wajah kasar dan mengelap ingus hingga hidungnya semerah buah ceri.“Ya, tapi --““Aku tidak akan mengorbankan hidup dan hatiku untuk sebuah cinta yang berte
“Ya, kamu, sih, enteng bilang kayak gitu karena satu server sama Evan.” Satya merapikan anak-anak rambut yang sempat menyembul dari jilbab Lintang. “Dalam hal ini, cita-citaku sederhana, Lin. Hapal juz tiga puluh saja aku sudah seneng. Kamu tahu aku agak bebal kalau soal ini.” Satya tersenyum malu. “Aku doakan Allah memberi lebih dari juz tiga puluh.” Lintang mengecup mesra jemari Satya. “Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah.” Satya tertawa. Ia masih sangsi bisa lebih dari itu. Seumur hidupnya ia belum pernah menghapal Al Quran secara khusus selain ketika masih kecil dan ikut TPA di masjid.Langit perlahan berubah warna. Dari biru ke jingga, kemudian menggelap seiring masuknya bola besar berwarna kuning ke dalam laut. Keduanya meninggalkan Parangtritis setelah salat Magrib. Sepanjang jalan menuju hotel, sesekali Satya menggenggam jemari Lintang seperti anak kecil khawatir terpisah dari ibunya. Lalu keduanya saling menatap. Penuh cinta.Dadai Lintang berdebar melihat senyum Saty
“Sejak melahirkan, kamu macam gadis pingitan.” Satya tertawa di ujung kalimat. “Kamu butuh refreshing. Pasti capek ngurus Rendra dan meramu bahan-bahan pewarna itu. Lagi pula, Bulik Marni dan Paklik Heru pasti sudah kangen cucunya.” Satya mendekati Lintang hingga keduanya bersisihan menatap taman di luar kamar. Lintang terdiam. Ia memang menyarankan Satya menggunakan pewarna dari bahan alam agar penggunaan pewarna kimia bisa berkurang. Sejak dua bulan sebelum melahirkan, ia sibuk mencari bahan yang dibutuhkan dan mencoba membuat meski dalam skala kecil dan sejak sebulan lalu Lintang sudah kembali disibukkan dengan aneka pewarna alam itu. Beruntung, beberapa perajin batik di Yogyakarta yang telah menggunakan pewarna alam bersedia memberitahu bahan-bahan yang dibutuhkan. Mereka juga menghubungkan Lintang dengan penyedia pewarna alam itu sehingga untuk beberapa warna ia tidak perlu membuat sendiri. Kepala Lintang penuh rencana kerja dan refreshing tidak masuk di dalamnya. Ia tidak mer
Tatapan kecewa Satya bertemu dengan raut muka penuh sesal milik Evan. Satya menarik napas. “Bisa nggak, kamu hubungi mereka lagi? Siapa tahu mereka masih berminat?”“Siap, Mas. Nanti saya hubungi Ustaz Haikal.” Evan menatap sekilas Satya sembari tersenyum. Detik berikutnya ia mempercepat laju mobil. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Draft laporan yang harus dicek dan jadwal rapat berderet panjan di tabletnya.“Nggak mampir, Van? Ngopi-ngopi dulu,” tawar Satya sebelum turun dari mobil ketika mereka sudah sampai di halaman rumah Satya.“Makasih, Mas. Saya langsung ke kantor saja.” Satya mengangguk. Hanya dalam hitungan menit setelah ia turun, Evan lenyap dari pandangan. Sejurus kemudian ia memasuki rumah dengan hati bungah. Satya menghentikan langkah di ambang pintu dapur ketika dilihatnya Lintang tengah mengupas timun sementara Dini mengulek sambal. Aroma segar dari timun dan nanas berpadu dengan bau sambal rujak menyelusup hidung.“Kapan datang, Din?” Lintang menoleh k
Di sisi lain, Bagas tersenyum puas. Akhirnya ia bisa membalaskan dendam sang ayah untuk menghancurkan Satya. Sepupunya tidak hanya akan kehilangan gurita bisnis, tetapi juga nama baik. Tidak ada yang lebih buruk dalam hidup selain kehilangan reputasi. Harta bisa dicari, jabatan bisa diperebutkan, tetapi serpihan nama baik yang hancur tidak akan mudah dipungut dan disatukan. “Mengingat bahwa terdakwa: (1) masih berusia muda, (2) bersikap kooperatif dan terbuka selama proses persidangan, (3) bukan satu-satunya pihak yang membuang limbah ke Kali Jenes, (4) telah membangun instalasi pengolah limbah sehingga air buangannya memenuhi baku mutu yang ditentukan perundang-undangan, (4) memberi kesempatan kepada warga sekitar pabrik untuk meningkatkan taraf hidup mereka melalui berbagai unit usaha yang dimiliki.” Wajah-wajah di ruang sidang terlihat tegang. Evan menatap tak sabar pimpinan majelis hakim yang menurutnya bertele-tele. Segala urusan yang berkaitan dengan hukum sering membuat kesab
Dini tersenyum lebar. Ditepuknya pipi Lintang dengan gemas. Setelah masa-masa awal pernikahan yang menyedihkan, gadis itu kini merasa lega karena Lintang telah berhasil melewati semua.“Ya, teleponlah. Tapi, kan, jarang banget. Jadi ibuku ngambek. Terakhir nelepon, dia kasih ultimatum segera balik Semarang sekalian bawa calon suami.” “Ya, Allah, ada-ada saja.” Lintang tertawa. Ia kenal baik ibunya Dini karena beberapa kali ke Semarang dan bisa membayangkan bagaimana mimik wajah perempuan itu ketika berbicara pada Dini. “Trus, calon suaminya gimana? Berhasil bawa pulang dia nggak?” Seketika air muka Dini berubah. Pendar ceria di matanya meredup. Lintang menelan ludah, merasa tidak enak karena telah menghapus binar cerah di wajah sahabatnya. “Itu dia, Lin.” Dini menunduk lalu merogoh tas dan mengeluarkan dompet. Sejurus kemudian tangannya mengambil selembar foto dan menyodorkannya pada Lintang. “Insyaallah aku mau nikah sama orang ini.” Dini menahan tawa hingga pipinya sedikit mengg
Evan menekan pedal gas dan kembali melajukan mobil. Ia memilih tidak melanjutkan negosiasi dengan Satya. Suasana hati Satya sedang tidak mendukung dan ia akan mencari waktu lain untuk membicarakan masalah itu.“Kamu nggak masuk dulu?” Satya menatap heran Evan yang tidak melepaskan tangan dari kemudi ketika mereka memasuki halaman. “Saya masih harus balik kantor, Mas. Ada beberapa laporan yang harus ditandatangani. Kasihan Laras sudah nunggu.” “Dia nggak cuma nunggu kamu tanda tangan dokumen, tapi juga nunggu lamaran dan tanda tangan kamu di buku nikah,” sahut Satya santai. Ia keluar mobil tanpa mengindahkan Evan yang bengong. Satya melambaikan tangan sebelum melangkahkan kaki ke pendopo.“Lagi masak apa, Mama Cantik?” Satya memeluk Lintang dari belakang. Istrinya tengah mengaduk panci dan mencicip kuahnya.‘Nyobain bikin sup iga. Dari tadi pengen makan seger-seger.” “Hmm, baunya enak, jadi nggak sabar buat makan.” “Mandi dulu, bau ruang sidang.” “Baru kali ini ruang sidang ada ba
Dana bergeming meski tatapan setajam pisau terhunjam tepat di matanya. Ia tidak boleh terpancing provokasi Bagas. “Kasus itu sudah ditutup dan aku tidak terbukti memalsukan dokumen Amdal,” lanjut Bagas. Telunjuknya masih berada di dada Dana. “Apa sebutan yang tepat untuk orang yang tidak mau menerima kekalahan, hah?” Dana menggeser piring. “Kasus yang sudah ditutup bukan berarti tidak bisa diangkat lagi,” ujar Dana tenang. “Gugatan Walhi sudah masuk ke Pengadilan Negeri Kota Bandung. Kami pastikan kali ini kamu tidak akan bisa lari dari jerat hukum.” Raut muka Dana terlihat datar, tetapi nada suaranya terdengar dingin penuh tekanan. Di seberang meja, El tampak tidak terganggu dengan perdebatan antara Dana dan Bagas sementara Satya menahan napas melihat dua orang di hadapannya mirip dua prajurit saling bersiap untuk melakukan duel maut. Dana mengelak ketika tangan Bagas terulur hendak meraih kerah kemejanya. Sumpah serapah lelaki muda itu berhamburan di udara, menarik perhatian An
Tepat jam sembilan pimpinan majelis hakim memulai sidang. Setelah memeriksa para saksi dan meminta mereka bersumpah di bawah kitab suci, pimpinan sidang meminta Prof. Kathrina sebagai saksi ahli pertama yang memberikan kesaksiannya hari itu. “Saya sudah mempelajari kasus pencemaran Kali Jenes sejak lama dan Hadikusumo bukan satu-satunya perusahaan yang harus bertanggung jawab. Jadi, menjadikannya pihak yang harus menanggung kesalahan kolektif tentu tidak tepat. Seharusnya semua perusahaan yang membuang limbahnya ke Kali Jenes ada di kursi terdakwa.” “Keberatan, Yang Mulia. Sekali lagi ini hanya awalan. Setelah kasus Hadikusumo selesai, penggugat akan melanjutkan ke perusahaan lainnya.” “Saya tidak yakin itu, Yang Mulia.” Prof. Kathrina menyahut cepat. “Fokus penggugat pada Hadikusumo Group. Penggugat sama sekali tidak menyentuh perusahaan lain. Bahkan hasil analisis mereka juga hanya dari Hadikusumo. Kalau mereka ingin menyeret semua perusahaan, seharusnya saat ini juga semua pim
Jeda satu minggu sidang digunakan Satya untuk rehat, mendinginkan otak yang mendidih. Ia belajar bangun di ujung malam dan mengisinya dengan salat dan membaca Al Quran meski bacaannya belum sempurna. Ia juga menambah waktu yoga sembari mengingat setiap pesan Guru Hadji yang tersimpan dalam memorinya. Kabar dari Evan yang menyebutkan bahwa keluarga Hanum akan membeli salah satu spa-nya dan telah menawar dengan harga tertinggi membuat Satya merasa menjadi pesakitan untuk kedua kalinya. Setelah semua yang terjadi antara dia dan Hanum, keluarga mantan kekasihnya itu tak pernah berubah sikap. Mereka tetap menjadi kolega yang baik. Bahkan ibu Hanum selalu terlihat ramah dan hangat jika bertemu Lintang. Kini, mereka menjadi dewa penolong ketika posisinya berada di ujung tanduk. Kalau saja ia tidak sedang terjepit, Satya akan meminta Evan mencari orang lain untuk membeli dua spa itu. “Beberapa hari ke depan mungkin kamu akan sedikit repot.” Satya memulai obrolan usai membaca wirid pagi bers