Evan terdiam sejenak. “Saya tidak tahu ini berhubungan dengan Ndoro Mahendra atau tidak. Sekitar dua hari lalu di koran ada berita tentang hasil penelitian salah satu LSM tentang pencemaran sungai di sekitar Laweyan dan itu berasal dari limbah pabrik batik. Hasil risetnya menyebut-nyebut pabrik kita.” “Pabrik batik di Laweyan nggak cuma kita. Jadi, nggak bisa kalau hasil penelitian itu hanya ditujukan pada kita,” sanggah Evan.“Tapi kita yang terbesar dan menyuplai kebutuhan bahan baku pabrik-pabrik di sekitarnya.” “Coba kirim ke aku beritanya.” Satya penasaran. “Nanti saya kirim foto berita cetak dan link versi digitalnya.” Evan menjeda pembicaraan untuk mengambil gambar berita di koran dan mengirim tautan media digital yang memberitakan isu pencemaran pada Satya. “Thanks, Van. Nanti aku baca. Kita wait and see saja. Kalau ada yang wawancara kamu, jawab saja yang memang kamu tahu.” Evan mengiyakan perintah Satya. Sejauh ini dia memang masih mengamati arus pemberitaan di media ma
Suara pengait tirai bergeser terdengar ketika Lintang membuka kain putih yang menutupi jendela. Seketika cahaya matahari pagi menerobos masuk ke dalam kamar. Aroma kopi yang baru saja diseduh menguar dari dua cangkir kopi di atas meja ditingkahi gesekan biola Daniel Jang memainkan lagu A Thousand Year dari ponsel Satya memenuhi ruangan. Tiga menit berlalu dan Lintang masih tegak di tempat. Kedua matanya menyipit dan menerawang datar ke depan. Sejauh mata memandang tampak keindahan lanskap Kepulauan Sangihe dengan laut biru dan pegunungan yang terlihat seperti pagar berwarna hijau. Lalu-lalang kapal antar pulau meramaikan dermaga sementara bingar kendaraan bermotor memenuhi jalanan. Kehidupan berdetak dinamis di pulau terpencil ini. Sesuatu yang takpernah disangkanya ketika pertama kali mendengar kata Sangihe. Mendadak ingatan Lintang melayang ke Rena dan teman-temannya. Mereka pasti sedang sibuk sementara dia bersenang-senang di sini. Hati kecilnya sempat menyesali keputusan Satya me
Dana melirik Satya. Ia bisa merasakan sikap kurang bersahabat yang ditunjukkan lelaki itu. “Kayaknya sudah selesai. Tinggal Rena saja, tapi tinggal 20%. Makanya dia nggak pengen diganggu.” Dehaman Satya menghentikan percakapan mereka. Ia menatap kesal Dana yang di matanya terlihat menikmati pembicaraan dengan Lintang. Sebagai laki-laki, ia bisa melihat tatapan mendamba di mata Dana. “Ehm, sorry, Lin, aku duluan.” Dana menyalami Satya. “Yuk, Mas.” Ia tersenyum lalu berjalan menjauh. Rehat di Pantai Embuhanga sudah menjadi rencananya sejak awal dan harus dikacaukan dengan kedatangan Lintang dan Satya sehingga ia harus pergi sesegera mungkin. Melihat dua orang yang sedang nandang kasmaran hanya membuat hatinya sakit. “Kamu kalau ada Dana, suami sendiri dianggap lalat,” gerutu Satya. Ia memperlebar jarak dengan Lintang, berjalan lebih ke tengah. Lintang melongo. Buru-buru disusulnya sang suami. “Aku cuma nggak nyangka ketemu Mas Dana di sini.” Lintang meraih jemari kokoh Satya dan mem
Angin berembus meriapkan rambut Satya. Pandangannya masih terkunci pada paras manis Lintang. “Kan, ketutup sama topi lebar kamu. Jadi nggak bakal kelihatan.” Satya bergeming, enggan menggeser tubuh. Lintang menggeleng dan beringsut menjauhi Satya lalu kembali menyesap air kelapa muda sembari memandang laut lepas. Satya tersenyum gemas ketika matanya menangkap rona merah di wajah Lintang. Ia pun kembali fokus dengan minuman di tangannya sembari menikmati gradasi warna laut yang berubah seiring merangkaknya matahari menuju ke barat. “Ngomong-ngomong, kamu mau nggak melihat sunset di Pulau Mendaku?” tanya Satya setelah menandaskan satu butir kelapa muda. “Tadi aku sempat baca berita tentang pulau itu. Katanya favorit wisatawan di sini.” Lintang mengiyakan ucapan Satya. Pulau Mendaku dan Dokupang di Kecamatan Manganitu Selatan memang idola para turis. “Pergi ke mana pun kalau di Sangihe aku nggak nolak,” ujarnya bungah. Mata Lintang berpendar cerah. Citra kedua pulau eksotis itu menar
Satya menarik napas panjang. Mendadak wajahnya seperti berkerut-kerut karena bingung, kecewa, dan kesal berkelindan di dalam dada. Kepalanya terasa berat dipenuhi berbagai pikiran buruk. “Coba kamu ambil koran hari ini di tasku,” ujarnya kemudian. Tanpa diperintah dua kali, Lintang meraih tas kerja dan mengeluarkan surat kabar dari dua kantor berita yang terbit hari ini. “Baca headline koran-koran itu.” Satya meremas tepi sofa. Pemberitaan di koran itu seperti peluru yang menembus jantungnya. Setelah berhadapan dengan Paklik Mahendra, ia harus berhadapan dengan Bagas, sepupunya, yang menggugat perusahaannya dengan tuduhan mencemari dua sungai legendaris di Kota Solo, Kali Jenes dan Kali Wingko. Bagas menjadi salah satu penggerak LSM lingkungan hidup yang kabarnya telah mengkaji pencemaran di sungai itu selama setahun lebih. “Mas Satya istirahat dulu. Besok kita bicarakan lagi.” Lintang melipat koran. Ditatapnya paras tampan Satya yang semuram malam tanpa bulan dan bintang. “Meman
Satya menghela napas. “Semua karena dendam pribadi. Akal-akalan Bagas yang menyebut Hadikusumo sebagai perusahaan terbesar dan paling bertanggung jawab terhadap pencemaran di Kali Jenes dan Kali Wingko. Batik Maitreya dan Janaka lebih besar lagi, tapi kenapa tidak diseret ke pengadilan juga?” Lintang termangu menyadari keganjilan yang mulai tampak pada kasus ini. “Boleh aku lihat instalasi pengolah limbah di pabrik, Mas? Sekalian aku ambil sampel limbahnya untuk dianalisis.” Satya tersenyum. “Sepertinya kita akan berkolaborasi kali ini.” Lelaki itu bangkit lalu bersila di hadapan Lintang. “Terserah gimana baiknya saja, Nyonya Peneliti,” ujarnya seraya menggenggam tangan Lintang. “Kalau soal gugatan LSM itu, Mas Satya bisa hubungi lawyer untuk membantu menangani proses hukumnya. Aku ada kenalan lawyer yang sudah berpengalaman menangani kasus-kasus kejahatan lingkungan.” Lintang menyebut dua firma hukum terkenal yang selama ini banyak menangani kasus-kasus kejahatan lingkungan. Bahka
Lintang menggeleng. Ia masih memegang lengan Satya kuat-kuat. Perutnya kembali bergejolak, tetapi tidak ada satu pun yang keluar dari mulut.“Salah makan?”“Nggak, Mas. Cuma nggak tahan sama bau sungainya saja.” Ia menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan.“Ya, sudah, ayo pergi. Kamu juga aneh-aneh. Ngapain pakai ke sini kalau nggak tahan bau busuk kayak gini.” Satya menarik tangan Lintang menjauhi bibir sungai lalu mengajak Lintang ke salah satu warung nasi liwet.“Kamu kecapekan, Lin. Kebanyakan begadang.” Satya menatap Lintang yang terlihat agak pucat. Mereka tengah berada di sebuah warung nasi liwet karena Lintang meminta minuman hangat. “Waktunya tidur buat tidur, jangan malah mantengin laptop.” Lintang meringis. Kalau sudah mengomel, Satya susah dihentikan. Bahkan Bulik Marni saja kalah karena perempuan yang merawatnya sejak kecil itu tidak pernah merepet. “Ngejar jadwal wisuda, Mas. Sayang kalau nggak bisa ikutan wisuda Agustus. Nanti kalau keburu ke Belanda, tert
Satya memainkan bolpoin di tangan. Bangkit dari keterpurukan tidak pernah mudah. Satya tahu itu. Ia hanya butuh stok sabar lebih panjang agar bisa melewati masa-masa sulit ini. “Lakukan saja terus. Nggak ada yang sia-sia dari sebuah usaha, kan?” ujarnya kemudian.Evan membenarkan ucapan Satya. Dipandanginya Satya lekat-lekat. Di depannya, Satya seperti Dewa Janus dalam mitologi Yunani. Ia bisa tampil memukau dengan kecerdasan dan analisis yang tajam. Di sisi lain, ketika penyakit iseng dan kekanakannya kambuh, ia terlihat sangat konyol dan absurd. Langit perlahan berubah warna ketika Satya mengakhiri pembicaraan dengan Evan. Sunyi menyelimuti pabrik. Tinggal mereka berdua, satpam, dan Laras yang tersisa. “Kamu nggak bareng Evan saja, Ras. Bentar lagi gelap.” Satya menatap Laras yang baru saja keluar dari ruang kerjanya dengan langkah tergesa. “Saya bawa motor, kok, Pak.” Laras meringis. “Ya tinggal saja motornya. Besok bawa pulang kalau nggak lembur.” “Besok gimana saya berangkat
“Ya, kamu, sih, enteng bilang kayak gitu karena satu server sama Evan.” Satya merapikan anak-anak rambut yang sempat menyembul dari jilbab Lintang. “Dalam hal ini, cita-citaku sederhana, Lin. Hapal juz tiga puluh saja aku sudah seneng. Kamu tahu aku agak bebal kalau soal ini.” Satya tersenyum malu. “Aku doakan Allah memberi lebih dari juz tiga puluh.” Lintang mengecup mesra jemari Satya. “Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah.” Satya tertawa. Ia masih sangsi bisa lebih dari itu. Seumur hidupnya ia belum pernah menghapal Al Quran secara khusus selain ketika masih kecil dan ikut TPA di masjid.Langit perlahan berubah warna. Dari biru ke jingga, kemudian menggelap seiring masuknya bola besar berwarna kuning ke dalam laut. Keduanya meninggalkan Parangtritis setelah salat Magrib. Sepanjang jalan menuju hotel, sesekali Satya menggenggam jemari Lintang seperti anak kecil khawatir terpisah dari ibunya. Lalu keduanya saling menatap. Penuh cinta.Dadai Lintang berdebar melihat senyum Saty
“Sejak melahirkan, kamu macam gadis pingitan.” Satya tertawa di ujung kalimat. “Kamu butuh refreshing. Pasti capek ngurus Rendra dan meramu bahan-bahan pewarna itu. Lagi pula, Bulik Marni dan Paklik Heru pasti sudah kangen cucunya.” Satya mendekati Lintang hingga keduanya bersisihan menatap taman di luar kamar. Lintang terdiam. Ia memang menyarankan Satya menggunakan pewarna dari bahan alam agar penggunaan pewarna kimia bisa berkurang. Sejak dua bulan sebelum melahirkan, ia sibuk mencari bahan yang dibutuhkan dan mencoba membuat meski dalam skala kecil dan sejak sebulan lalu Lintang sudah kembali disibukkan dengan aneka pewarna alam itu. Beruntung, beberapa perajin batik di Yogyakarta yang telah menggunakan pewarna alam bersedia memberitahu bahan-bahan yang dibutuhkan. Mereka juga menghubungkan Lintang dengan penyedia pewarna alam itu sehingga untuk beberapa warna ia tidak perlu membuat sendiri. Kepala Lintang penuh rencana kerja dan refreshing tidak masuk di dalamnya. Ia tidak mer
Tatapan kecewa Satya bertemu dengan raut muka penuh sesal milik Evan. Satya menarik napas. “Bisa nggak, kamu hubungi mereka lagi? Siapa tahu mereka masih berminat?”“Siap, Mas. Nanti saya hubungi Ustaz Haikal.” Evan menatap sekilas Satya sembari tersenyum. Detik berikutnya ia mempercepat laju mobil. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Draft laporan yang harus dicek dan jadwal rapat berderet panjan di tabletnya.“Nggak mampir, Van? Ngopi-ngopi dulu,” tawar Satya sebelum turun dari mobil ketika mereka sudah sampai di halaman rumah Satya.“Makasih, Mas. Saya langsung ke kantor saja.” Satya mengangguk. Hanya dalam hitungan menit setelah ia turun, Evan lenyap dari pandangan. Sejurus kemudian ia memasuki rumah dengan hati bungah. Satya menghentikan langkah di ambang pintu dapur ketika dilihatnya Lintang tengah mengupas timun sementara Dini mengulek sambal. Aroma segar dari timun dan nanas berpadu dengan bau sambal rujak menyelusup hidung.“Kapan datang, Din?” Lintang menoleh k
Di sisi lain, Bagas tersenyum puas. Akhirnya ia bisa membalaskan dendam sang ayah untuk menghancurkan Satya. Sepupunya tidak hanya akan kehilangan gurita bisnis, tetapi juga nama baik. Tidak ada yang lebih buruk dalam hidup selain kehilangan reputasi. Harta bisa dicari, jabatan bisa diperebutkan, tetapi serpihan nama baik yang hancur tidak akan mudah dipungut dan disatukan. “Mengingat bahwa terdakwa: (1) masih berusia muda, (2) bersikap kooperatif dan terbuka selama proses persidangan, (3) bukan satu-satunya pihak yang membuang limbah ke Kali Jenes, (4) telah membangun instalasi pengolah limbah sehingga air buangannya memenuhi baku mutu yang ditentukan perundang-undangan, (4) memberi kesempatan kepada warga sekitar pabrik untuk meningkatkan taraf hidup mereka melalui berbagai unit usaha yang dimiliki.” Wajah-wajah di ruang sidang terlihat tegang. Evan menatap tak sabar pimpinan majelis hakim yang menurutnya bertele-tele. Segala urusan yang berkaitan dengan hukum sering membuat kesab
Dini tersenyum lebar. Ditepuknya pipi Lintang dengan gemas. Setelah masa-masa awal pernikahan yang menyedihkan, gadis itu kini merasa lega karena Lintang telah berhasil melewati semua.“Ya, teleponlah. Tapi, kan, jarang banget. Jadi ibuku ngambek. Terakhir nelepon, dia kasih ultimatum segera balik Semarang sekalian bawa calon suami.” “Ya, Allah, ada-ada saja.” Lintang tertawa. Ia kenal baik ibunya Dini karena beberapa kali ke Semarang dan bisa membayangkan bagaimana mimik wajah perempuan itu ketika berbicara pada Dini. “Trus, calon suaminya gimana? Berhasil bawa pulang dia nggak?” Seketika air muka Dini berubah. Pendar ceria di matanya meredup. Lintang menelan ludah, merasa tidak enak karena telah menghapus binar cerah di wajah sahabatnya. “Itu dia, Lin.” Dini menunduk lalu merogoh tas dan mengeluarkan dompet. Sejurus kemudian tangannya mengambil selembar foto dan menyodorkannya pada Lintang. “Insyaallah aku mau nikah sama orang ini.” Dini menahan tawa hingga pipinya sedikit mengg
Evan menekan pedal gas dan kembali melajukan mobil. Ia memilih tidak melanjutkan negosiasi dengan Satya. Suasana hati Satya sedang tidak mendukung dan ia akan mencari waktu lain untuk membicarakan masalah itu.“Kamu nggak masuk dulu?” Satya menatap heran Evan yang tidak melepaskan tangan dari kemudi ketika mereka memasuki halaman. “Saya masih harus balik kantor, Mas. Ada beberapa laporan yang harus ditandatangani. Kasihan Laras sudah nunggu.” “Dia nggak cuma nunggu kamu tanda tangan dokumen, tapi juga nunggu lamaran dan tanda tangan kamu di buku nikah,” sahut Satya santai. Ia keluar mobil tanpa mengindahkan Evan yang bengong. Satya melambaikan tangan sebelum melangkahkan kaki ke pendopo.“Lagi masak apa, Mama Cantik?” Satya memeluk Lintang dari belakang. Istrinya tengah mengaduk panci dan mencicip kuahnya.‘Nyobain bikin sup iga. Dari tadi pengen makan seger-seger.” “Hmm, baunya enak, jadi nggak sabar buat makan.” “Mandi dulu, bau ruang sidang.” “Baru kali ini ruang sidang ada ba
Dana bergeming meski tatapan setajam pisau terhunjam tepat di matanya. Ia tidak boleh terpancing provokasi Bagas. “Kasus itu sudah ditutup dan aku tidak terbukti memalsukan dokumen Amdal,” lanjut Bagas. Telunjuknya masih berada di dada Dana. “Apa sebutan yang tepat untuk orang yang tidak mau menerima kekalahan, hah?” Dana menggeser piring. “Kasus yang sudah ditutup bukan berarti tidak bisa diangkat lagi,” ujar Dana tenang. “Gugatan Walhi sudah masuk ke Pengadilan Negeri Kota Bandung. Kami pastikan kali ini kamu tidak akan bisa lari dari jerat hukum.” Raut muka Dana terlihat datar, tetapi nada suaranya terdengar dingin penuh tekanan. Di seberang meja, El tampak tidak terganggu dengan perdebatan antara Dana dan Bagas sementara Satya menahan napas melihat dua orang di hadapannya mirip dua prajurit saling bersiap untuk melakukan duel maut. Dana mengelak ketika tangan Bagas terulur hendak meraih kerah kemejanya. Sumpah serapah lelaki muda itu berhamburan di udara, menarik perhatian An
Tepat jam sembilan pimpinan majelis hakim memulai sidang. Setelah memeriksa para saksi dan meminta mereka bersumpah di bawah kitab suci, pimpinan sidang meminta Prof. Kathrina sebagai saksi ahli pertama yang memberikan kesaksiannya hari itu. “Saya sudah mempelajari kasus pencemaran Kali Jenes sejak lama dan Hadikusumo bukan satu-satunya perusahaan yang harus bertanggung jawab. Jadi, menjadikannya pihak yang harus menanggung kesalahan kolektif tentu tidak tepat. Seharusnya semua perusahaan yang membuang limbahnya ke Kali Jenes ada di kursi terdakwa.” “Keberatan, Yang Mulia. Sekali lagi ini hanya awalan. Setelah kasus Hadikusumo selesai, penggugat akan melanjutkan ke perusahaan lainnya.” “Saya tidak yakin itu, Yang Mulia.” Prof. Kathrina menyahut cepat. “Fokus penggugat pada Hadikusumo Group. Penggugat sama sekali tidak menyentuh perusahaan lain. Bahkan hasil analisis mereka juga hanya dari Hadikusumo. Kalau mereka ingin menyeret semua perusahaan, seharusnya saat ini juga semua pim
Jeda satu minggu sidang digunakan Satya untuk rehat, mendinginkan otak yang mendidih. Ia belajar bangun di ujung malam dan mengisinya dengan salat dan membaca Al Quran meski bacaannya belum sempurna. Ia juga menambah waktu yoga sembari mengingat setiap pesan Guru Hadji yang tersimpan dalam memorinya. Kabar dari Evan yang menyebutkan bahwa keluarga Hanum akan membeli salah satu spa-nya dan telah menawar dengan harga tertinggi membuat Satya merasa menjadi pesakitan untuk kedua kalinya. Setelah semua yang terjadi antara dia dan Hanum, keluarga mantan kekasihnya itu tak pernah berubah sikap. Mereka tetap menjadi kolega yang baik. Bahkan ibu Hanum selalu terlihat ramah dan hangat jika bertemu Lintang. Kini, mereka menjadi dewa penolong ketika posisinya berada di ujung tanduk. Kalau saja ia tidak sedang terjepit, Satya akan meminta Evan mencari orang lain untuk membeli dua spa itu. “Beberapa hari ke depan mungkin kamu akan sedikit repot.” Satya memulai obrolan usai membaca wirid pagi bers