PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz(Bagian 28)Episode : Perpisahan “Apa Nak Hamizan tidak tinggal saja dulu untuk sementara di sini?” ucap Umi Afifah merasa berat karena hendak ditinggalkan oleh anak-menantunya hari ini. “ … Atau biarkan Arumi di sini dulu, nanti pekan depan Nak Hamizan balik lagi ke sini.”Mata tua wanita itu berkaca-kaca disertai nada suara lirih, seperti tertekan dengan dera perasaan yang menghimpit dada.Hamizan melirik pada istrinya yang berdiri di samping. Sebenarnya, dia pun merasakan hal yang sama terkait keberangkatannya tersebut. Namun karena memiliki kewajiban lain, mau tidak mau hanya semalam menginap di rumah keluarga Arumi.“Bagaimana ini, Dik?” tanya lelaki tersebut pada istrinya. “Umi berharap, Adik jangan dulu ikut sama aku hari ini.”Bola mata Arumi bergerak-gerak liar, seperti tengah merasakan kebingungan untuk menentukan sikap. Di satu sisi, tidak teg
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz(Bagian 29)Episode : Hari Terakhir Di Rumah LamaBi Inah dan Mang Karta sama-sama membisu usai mendengarkan penuturan dari Hamizan dan Arumi, terkait rencana kepindahan mereka berdua dari rumah.“Saya sudah minta sama Pak Waluyo, agar Mamang dan Bibi tetap tinggal di sini dan melanjutkan tugas serta pekerjaan seperti biasa,” ujar Hamizan di pengujung penjelasannya. “Mengenai kami, saya dan Dik Arum, mungkin dalam waktu dekat ini akan—”“Den ….,” sebut Bi Inah menukas ucapan Hamizan. “Mengapa Aden melakukan ini? Sadarkah Aden, kalau rumah ini adalah warisan dari Tuan dan Nyonya Subagyo? Papah-Mamah Den Izan sendiri. Kami berdua, sama sekali tidak menduga, kalau ternyata Aden telah menjualnya. Buat apa, Den?” tanya perempuan tua berusia 60’an tahun tersebut, terkaget-kaget sekaligus merasa heran.Mang Karta turut menimpali. “Benar, De
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz(Bagian 30)Episode : Berpindah Ke Kontrakan BaruHari pertama menempati rumah kontrakan, Hamizan dan Arumi bahu membahu merapikan kondisi tempat tinggal mereka yang baru. Hingga akhirnya pasangan suami-istri itu pun duduk-duduk, terkulai, kelelahan.“Capek ya, Dik?” tanya Hamizan yang tergolek di samping sang istri. Keduanya sama-sama terlentang menghadap langit-langit yang berwarna putih kecoklatan. Berbahan anyaman bambu atau bilik yang dicat menggunakan bahan sejenis kapur. Disebagian tempat, kondisinya pun sudah mulai retak-retak, bolong, dan berjatuhan.“Capeklah. Memangnya Mas Izan tidak?” tanya balik Arumi sembari memutar kepala, memandangi suaminya dari samping. “Mas lapar?”“Adik sendiri?” Malah kini giliran Hamizan yang mengajukan pertanyaan tandingan. Arumi mengangguk malu. “Yā Allāh ….,” seru lelaki tersebut seraya bangkit dari rebahan. “Kenapa Adik tidak bila
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz(Bagian 31)Episode : Di Balik Kekerasan Hati Abah BashoriSementara itu, kita lihat dulu kejadian sebelum Hamizan dan Arumi pergi dari lingkungan Pondok Pesantren Al Ardul Basyariyah beberapa hari yang lalu. Pasangan pengantin baru tersebut menghadap Umi Afifah usai melaksanakan ijab kabul dan walimatul 'urs."Ke mana Abah, Umi?" tanya Arumi, tidak melihat sosok ayahnya itu di sana.Menjawab wanita tua tersebut dengan raut wajah kuyu, "Ada, Nak. Tadi Umi lihat, Abah bersama Kiai Anam ke sana." Umi Afifah menunjuk ke satu arah ruangan. "Entahlah, sedang apa mereka di sana."Arumi melirik pada Hamizan, laki-laki yang baru saja menghalalkannya sebagai sepasang suami-isteri."Bagaimana ini, Mas? Apa kita bicarakan saja pada Umi tanpa kehadiran Abah?" Perempuan cantik dan muda itu bertanya pada suaminya."Ya, sudah, Nèng. Kita sudah tidak punya banyak waktu untuk berbicara pada Umi atau Abah. Soalnya, besok aku sudah harus berangkat lag
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz(Bagian 32)Episode : Abah Bashori MenangisDeru kendaraan itu mulai menjauh. Umi Afifah bersama anak, cucu, serta menantu, melambaikan tangan mengiringi kepergian Hamizan dan Arumi. Beberapa pasang mata para santri yang kebetulan ada di sekitar tempat tersebut pun, turut mengantar keduanya hingga lenyap di tikungan jalan. Terlebih sosok Nizar, Hasan, dan Dayat. Ketiga santri yang menemani Hamizan sewaktu berada di rumah sakit menjagai Kiai Bashori.“Seandainya Ustaz Izan mau tinggal di sini dan ngajar kita-kita, rasanya senang sekali ya, Kawan-kawan,” kata Dayat sambil memandangi kendaraan yang dikemudikan Hamizan, perlahan menjauh dan semakin mengecil dari pandangan.“Ya, saya juga berharap demikian, Yat,” timpal Nizar. “Kalo kamu bagaimana, San?” tanyanya kemudian pada sosok temannya yang satu lagi, yakni Hasan.Sosok yang ditanya, menghela napas berat terlebih dahulu sekali. Lantas tatapannya beralih pada Ustaz Muzakir di depan k
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanza(Bagian 33)Episode : Kecemburuan Pertama ArumiMemasuki waktu janari, Arumi terbangun dari lelapnya tidur. Sejenak perempuan muda tersebut melihat-lihat sekeliling kamar di antara kesadarannya yang masih membias. Satu hal yang menjadi titik fokusnya, tentu saja sang suami. Sosok lelaki itu tidak terlihat di samping tempat tidur. Ke mana Hamizan?‘Sudah duluan bangunkah Mas Izan?’ Bertanya-tanya sendiri perempuan itu di dalam hati.Masih di dera sisa rasa kantuk usai semalaman menikmati indahnya kebersamaan, Arumi bergegas menggeser badan hendak berpindah berpijak ke dasar hamparan lantai. Dia tertegun sejenak, sudah tersedia di pinggir kasur, sepasang sandal jepit yang biasa digunakan perempuan itu saat berada di dalam rumah. Seperti sengaja diposisikan siap guna, teronggok di bawah sana.Sesaat Arumi tersenyum dan bergumam. ‘Ini pasti sudah disiapkan sama Mas Izan,’ pikirnya seraya manggut-manggut semringah.Bukan sekali ini saja
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz(Bagian 34)Episode : Drama Cinta Di Pagi Hari Usai salat Subuh berjamaah, Hamizan dan Arumi lanjut berjibaku mempersiapkan menu untuk sarapan mereka di pagi itu. Kemudian bersama-sama, duduk di dalam satu ruangan, menikmati makanan yang telah mereka masak tadi. Semuanya dijalankan dengan penuh keceriaan dan hati ikhlas. Bukan berdasarkan apa yang terhidang, melainkan kebersamaan disertai rasa cinta serta kasih sayang. Bahkan untuk urusan mencuci piring sekalipun, laki-laki itu masih juga berkenan membantu, walaupun berulangkali sang istri melarang.“Aku gak ingin ninggalin banyak kerjaan di rumah sebelum berangkat kerja, Sayang,” ucap Hamizan beralasan. “Cukuplah cucian basah itu saja yang tinggal dijemur di luar nanti ya, Dik? Maaf, kayaknya aku gak bakalan sempet ngerjainnya itu. He-he.”Arumi tersenyum seraya menyenggol badan sang suami dengan bahu di sampingnya.
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David Khanz(Bagian 35)Episode : Prinsip Pernikahan Menurut HamizanBeberapa menit sebelum jam masuk kerja mulai, Hamizan sudah tiba di kantor. Tidak lupa mengisi data kehadiran melalui perangkat finger print yang tersedia di ruang front office."Alhamdulillāh, gak sampe kesiangan," gumam lelaki tersebut berseri-seri. Kemudian merogoh saku baju untuk mengambil ponsel, hendak mengabarkan ketibaannya di tempat kerja kepada Arumi.Sebentar kemudian, panggilan teleponnya diterima sang istri."Assalāmu'alaikum, Sayang," ucap Hamizan mengawali pembicaraan, dijawab oleh Arumi dengan balasan lembut dan menyenangkan. "Alhamdulillāh, aku udah sampe di kantor nih, Dik. Baru saja. Kamu baik-baik saja 'kan, di rumah, Sayang?""Alhamdulillāh, Mas. Aku turut bersyukur di sini. He-he. Insyā Allāh, aku baik, kok," jawab Arumi terdengar semringah di balik spiker ponsel. "Mas Izan gak usah khaw