“Mas mau apa?” tanyaku tegas ketika mendapati Gamal masih saja menatapku lekat dengan seringainya yang tetap meresahkan.Lelaki itu kembali menepuk sofa di sampingnya memintaku untuk segera mendekat.“Kemarilah ada yang mau aku tunjukkan.”Aku masih bersikap waspada.Gamal malah mengulum senyumnya melihatku yang begitu tegang.“Kamu pikir aku mau ngapain kamu?”Aku mengedikkan bahu.Masih saja enggan untuk mendekat.Gamal menatapku dengan jengkel.“Duduk di sini Mala, ini perintah.”Gamal mulai memaksa.Aku tertegun sesaat meski kemudian mulai melangkah karena tak memiliki pilihan lain.Saat aku duduk di dekatnya, Gamal malah meraih tanganku. Aku tersentak dan membeliak.
“Tak bisakah kamu membukakan pintu maaf untuk ayah, Mala?” Aku mengernyit dengan tatapan tajam. Hatiku diliputi banyak prasangka. Selalu aku tak bisa memberikan rasa percaya pada pria yang dulu kuingat hanya bisa memberikan luka pada kami. “Maaf? Kenapa baru sekarang? Ke mana saja kamu selama ini? Apa sebelumnya kamu pernah berpikir untuk mendatangiku dan meminta maaf? Jika saja bukan karena lamaran dari Gamal tak akan mungkin kamu akan datang dan mengemis meminta maaf padaku seperti ini?” Aku mendengus geram dengan tatapan yang masih saja tajam. “Apa tujuan kamu melakukan semua ini? Apa karena anak kamu yang bernama Sherly itu, yang juga menginginkan Gamal untuk menjadi suaminya?” Aku mencecar dengan tanpa ragu. Pria itu terdiam kelu memandangku dengan tetap saja lekat. “Nyatanya dia memang terlebih dahulu bersama Gamal sebelum kamu datang mengacaukan semuanya.” Aku mencebik sarkas dengan aura kecewa yang terunggah lugas. “Aku tahu kamu memang tak pernah tulus untuk meminta
Aku langsung memalingkan muka saat Gamal masih saja memandangku dengan intens. Sementara aku langsung bergerak dengan canggung dan menggaruk tengkukku dengan sangat gusar. Gamal tersenyum simpul bahkan kemudian malah terkekeh. “Aku tahu jika itu ciuman pertamamu, asal kamu tahu ini juga yang pertama buatku.” Aku tersentak mendengarnya yang membuatku kembali menatapnya lurus meski aku kembali menarik pandanganku karena kerikuhanku. “Sebaiknya aku keluar sekarang, sepertinya di tempat ini sudah banyak setan yang nanti malah akan mempengaruhi kita berbuat lebih dari ini.” Kali ini Gamal tergelak lebih lama. Tapi setelah itu ia kembali menatapku dengan sorot yang lebih serius. “Nanti malam kita harus pulang bersama karena kita akan langsung meluncur menuju butik untuk fitting gaun pengantin.” “Baiklah, tapi mulai sekarang hingga saat hari pernikahan kita aku mau kamu bisa menjaga sikap kamu.” “Aku tidak janji untuk soal yang satu itu.” Aku membeliakkan mata. Aku menjadi sangat gu
“Mas sebaiknya Mas pulang dan beristirahat, ini sudah malam, bukankah besok Mas ada meeting penting yang harus dihadiri.”Aku berbicara pada Gamal yang sejak tadi setia duduk di sisiku, sejak operasi berlangsung bahkan ketika kedua keponakanku sudah dipindahkan ke ruang perawatan, calon suamiku selalu saja mendampingi.Gamal hanya melirikku sekilas.“Aku bisa menunda meeting itu, sudahlah tak ada yang perlu kamu khawatirkan.”“Tapi Mas itu rekanan penting perusahaan, jangan seperti ini.”Aku masih merasa tak enak, Gamal mengabaikan kepentingan perusahaan untuk mengurusi masalahku, meski aku adalah calon istrinya, seorang gadis yang masih bingung mengartikan keberuntungan yang mendadak hadir di dalam hidup setelah sekian lama selalu berkutat dalam rasa sakit dan kesialan.“Kamu nggak usah mengkhawatirkan masalah perusahaan.”Gamal kemudian menatapku lurus. Tangannya kemudian mulai meraih pundakku.Aku agak beringsut menghindar, tapi Gamal tetap saja meraihku.“Mas, Mas udah janji untuk
“Apa kamu sungguh-sungguh dengan apa yang kamu ucapkan?”Aku masih saja bertanya menyiratkan keraguanku yang masih terasa pelik.“Mala, aku kecewa, sampai detik ini kamu masih saja meragukan aku. Sampai kapan kamu bisa percaya? Bahkan ketika aku mengatakan aku mencintai kamu, apa kamu masih meragukan aku?”Aku terdiam, berusaha mencerna kesungguhannya yang memang tak seharusnya aku ragukan.Aku kemudian menarik nafas panjang dan menundukkan pandanganku sejenak.“Nyatanya aku masih menganggap semua ini mimpi, bahkan penerimaanmu pada Ghara dan Ghara masih tak sepenuhnya bisa menghalau kebimbangan yang terlalu merasuki jiwaku.”Gamal kemudian menggenggam tanganku kian erat.Lelaki itu tersenyum begitu lembut, sangat menyentuh kalbu dan membuai hati.Apakah memang rasanya begini, dicintai dan dipedulikan. Setelah aku kebas dengan segala pengabaian, nyatanya cinta ini hanya bisa aku terima dengan canggung.Hingga Gamal harus senantiasa berusaha untuk meyakinkan aku tentang ketulusannya ya
“Siapa di sana?!”Secepatnya Gamal keluar dari dalam ruangan, untuk mencari tahu siapa yang sedang mengintip kami saat ini.Nyatanya tak ada seorangpun di luar, hingga akhirnya kami berpandangan dalam rasa heran.“Siapa yang sedang mengintip kita tadi?”Aku mengedikkan bahu menjawab pertanyaan Gamal yang disertai nada kekesalan.“Mungkin Abi atau Umi, mereka ingin mengawasi anak laki-lakinya agar jangan sampai bertindak kelewat jauh.”Gamal langsung mengernyit ketika mendengar prasangkaku.“Udahlah Mas, sekarang kamu kembali ke kamar sana, jangan dekat-dekat, takutnya nanti ada setan lewat dan Mas jadi kelewatan.”Gamal mengerling nakal.Aku berjengit memalingkan wajah.Tapi Gamal langsung menghampiri menatapku dengan lekat.“Kelewatan apa maksud kamu?”“Udah Mas, nggak usah diperjelas, sudah sana pergi, aku mau lanjutkan tugasku lagi.”Aku menampakkan wajah kesalku, karena Gamal sangat sulit diberi pengertian, masih saja ingin menungguiku.Aku sungguh tak bisa melakukan tugasku denga
Aku pulang dari kampus dengan membawa tubuh lelahku.Ketika sampai di rumah besar milik keluarga Gamal yang sekarang menjadi tempat tinggalku bersama bunda dan kedua keponakanku, seperti biasa aku langsung menuju ke kamarku sendiri. Setelah membersihkan tubuh, aku menengok sebentar Ghana dan Ghara yang saat ini tampak sedang asyik dengan mainan mobil-mobilan remote, yang harganya lumayan mahal itu di kamar mereka sendiri yang memang sangat luas.Mereka sudah tampak kian membaik dan jarang mengeluh sakit lagi, meski luka mereka belum sepenuhnya pulih.Karena terlalu asyik mereka agak mengabaikan aku.Mendadak aku merasa bosan di kamar dan berinisiatif untuk menjelajahi rumah megah keluarga Gamal ini yang belum seluruhnya aku kelilingi.Rumah ini memiliki banyak ruangan, dengan segala kemewahan yang tak tertampik. Bahkan seingatku rumah keluargaku dulu tak semegah ini
Gamal langsung pergi tanpa menjawab pertanyaanku.Akhir-akhir sikap Gamal menjadi penuh misterius, bukan hanya menjadi sangat posesif dan pencemburu.Sepeninggalan Gamal, aku hanya mampu membisu dengan menarik nafas panjang sembari memandang pada kartu hitam dengan limit tak terbatas yang kini ada di tanganku.“Apa aku sekarang beneran sudah menjadi orang kaya?”Aku bertanya sendiri.Tapi kemudian ingatanku langsung teringat pada bunda. Sejak dulu aku selalu ingin untuk membahagiakan wanita yang sudah menghadirkan aku ke dunia itu. Sudah terlalu lama bunda hidup menderita dalam keterbatasan bahkan kekurangan.Aku berniat ingin mengajak bunda berbelanja, membelikan semua yang bunda mau dengan uang yang sudah diberikan Gamal padaku.***“Kamu pergilah sendiri ke mall, bunda merasa tak memerlukan apapun lagi.”Jawaban bunda ketika aku mengajaknya berbelanja sedikit mengecewakan aku.Aku mendesah pelan memandang lurus pada wajah teduh bunda, yang selalu memancarkan kewibawaan.“Ini uang d
Sungguh aku tak menduga kalau Sherly akan mengambil jalan pintas yang jelas begitu bodoh.Ketika mendengar berita kematiannya karena bunuh diri, aku benar-benar tak habis pikir.Jadi ini rencana yang sempat dia isyaratkan beberapa waktu lalu, ketika kami berbicara setelah pernikahan ayah dengan bunda.Sherly lebih memilih mati dengan masih mempertahankan kecantikan yang selalu ia banggakan."Sherly, bangun ... !"Lola terus meraung di samping jenazah putri kesayangan, alih-alih mengaji demi menentramkan jiwa anaknya yang sudah berpindah alam.Bunda yang berada di sampingku, hanya melirik sekilas pada mantan madunya. Beliau lebih memilih untuk kembali meneruskan membaca surat Yasin.Aku juga tetap khusyu dengan bacaanku, mengabaikan tangisan Lola yang sudah terasa sangat mengganggu.Sampai akhirnya Sisca mendekat untuk menenangkan. Ketika Lola masih saja menjerit histeris, pada akhirnya Sisca memaksa mamanya untuk beranjak pergi."Ma, ayo ke atas saja, Mama bisa sepuasnya menangis di s
“Kenapa, Mas?” Aku bertanya dengan penuh rasa penasaran. “Aku tak mau kamu tertulari penyakit kotor yang diderita wanita itu saat ini.” Aku terkesiap dengan wajah terperangah ketika mendengar apa yang dikatakan Gamal. “Maksud kamu apa Mas?” Gamal menatapku lurus. “Kemarin sebelum Tony berangkat ke Eropa untuk berobat, dia mengaku padaku kalau beberapa hari sebelum sakit dia sudah tidur dengan Sherly. Jadi aku menyarankan pada mantan saudara tiri kamu ini untuk melakukan pemeriksaan.” Gamal lalu menegaskan tatapannya pada Sherly yang sedang mendengus kesal padaku. “Perlu kamu tahu kalau sebenarnya Tony terinfeksi HIV, dan dia sekarang harus mendapatkan perawatan insentif di Jerman.” Sekarang malah Sherly yang tampak sangat terkejut dengan kedua matanya membeliak tajam ke arah Gamal.
Aku dan Gamal benar-benar tak lagi bisa menghindari permintaan Umi Risa. Pada akhirnya kami mengantar beliau ke rumah sakit menemui Tony yang sekarang tampak semakin melemah bila dibanding saat kami terakhir kali melihatnya beberapa hari lalu.Umi Risa terus saja menjatuhkan air matanya, menjadi sangat tega melihat keadaan putra pertamanya yang sangat kesakitan.Ketika melihat kedatangan Umi Risa bersama kami berdua, Tony yang kian tirus itu tampak sangat kaget bahkan hanya bisa terperangah untuk beberapa saat dengan tatapan yang agak menegas ke arah Gamal sebagai isyarat ketidaksetujuannya atas keputusan Gamal untuk membawa Umi Risa ke rumah sakit.“Aku sudah tidak bisa menutupinya terlalu lama dari Umi,” ucap Gamal seakan menjawab pertanyaan yang terlontar dari tatapan Tony yang tajam.Tony menjawabnya dengan sebuah tarikan nafas panjang sembari ia menggerakkan kepalanya ke samping sepe
“Lalu dia kenapa sampai menangis seperti itu?”Aku tak bisa lagi menahan rasa penasaranku.“Kenapa kamu tak tanyakan saja sama dia?”Aku mendesah jengah melihat sikap suamiku yang masih saja sarkas dan sinis pada kakaknya yang bahkan sekarang masih saja menangis dengan sangat sedih.Aku langsung menegaskan tatapanku pada Gamal yang kemudian malah menanggapiku dengan kedikan di kedua bahunya.Tanpa menunggu lama aku langsung mendekati Tony, berusaha menenangkan pria itu sebisanya.“Jangan menakutkan apapun, percayalah Tuhan itu Maha Pengasih. Aku yakin kalau kamu bertobat dengan sungguh-sungguh Allah pasti akan mengampuni kamu.”Setelah itu aku mulai mengambil sekotak tisu dari atas nakas dekat ranjang dan menariknya beberapa lembar untuk aku ulurkan pada Tony yang sekarang sudah menatap ke
“Siapa sih Mas yang sakit?”Aku semakin tak sabar dan terus penasaran.Tapi kemudian Gamal malah menarik nafasnya sangat dalam.“Kamu bilang kemarin aku harus memperbaiki hubunganku dengan kakakku.”Aku sedikit mengernyitkan dahi.“Jadi Mas Tony sekarang yang sedang sakit? Dia sakit apa?” Aku segera mengunggah tebakanku.Gamal malah melirik tajam ke samping ke arahku yang juga sedang melekatkan tatapanku padanya.“Udah aku bilang jangan panggil dia Mas ... “Aku mendesah jengah. Dalam keadaan seperti ini Gamal masih saja posesif dan di depanku malah seringkali bersikap terlalu manja seperti anak kecil.“Iya, iya maksud aku Tony, dia sakit apa?” tanyaku lagi.“Penyakit yang aku yakin pasti akan membuatnya insyaf
Semua orang bersungguh-sungguh saling tarik menarik tali tambang, benar-benar berusaha untuk menjadi pemenang.Aku bersama timku yang tampak sangat antusias berusaha untuk memenangkan perlombaan.Sementara pihak Ela juga tak mau mengalah.Semua gigih berjuang hingga akhirnya aku bersama timku berhasil mengalahkan tim Ela.Tapi meski aku menang aku kemudian malah tak bisa menyeimbangkan diri, dan jatuh tersungkur, yang tak pernah aku sangka malah membuat semua orang panik, termasuk juga Gamal yang langsung mendekat untuk membawa tubuhku ke dalam gendongannya.Sikap Gamal yang terlalu berlebihan malah membuatku risih sendiri terlebih saat melihat tatapan iri dari karyawan Gamal yang lain.“Mas, turunkan aku, aku nggak apa-apa!” sergahku kesal dengan kedua kakiku bergelinjang meminta suamiku untuk menurunkan aku dari gendongannya.
“Sayang bagaimana kalau kita mulai melakukan program kehamilan?” Aku terkesiap menjadi tak bisa menyembunyikan kegusaranku. “Program hamil Mas?” Gamal menatapku kian tegas. “Kenapa, apa kamu keberatan?” “Kan aku tadi sudah bilang aku nggak mau hamil dulu dalam waktu dekat ini.” Aku menegaskan kalimatku. Gamal langsung mengenyit lugas memandangku dengan sorot matanya yang tajam. “Sekarang katakan padaku apa alasan kamu menunda kehamilan?” “Aku masih belum lulus Mas. Bahkan sebentar lagi aku akan sangat sibuk dengan skripsi. Aku nggak mau menunda semua itu lagi Mas.” “Mala, kalau soal kuliah kamu bisa menjalaninya setelah kamu melahirkan, aku janji kehadiran anak kita nantinya tidak merepotkan kamu sama sekali.” Gamal kian gigih meyakinkan aku. Aku menggeleng masih bersikeras dengan cita-citaku. “Sayang, aku tidak menyalahkan kamu yang masih ingin mempertahankan cita-cita kamu. Tapi aku juga minta kamu mempertimbangkan tentang status kamu sekarang.” Aku mendesah pelan dan m
“Yakin Mas, akan mengabulkannya?”Aku masih berusaha untuk memastikan.Gamal langsung mengiyakan dengan anggukan pasti sembari ia mulai membelai rambutku yang baru saja mendapat perawatan di salon mahal, yang sekarang aromanya menjadi harum semerbak.Aku masih menelisiknya dengan ragu.“Udah sayang, katakan saja.”“Kalau aku minta Mas Gamal baikan sama Mas Tony, apa Mas Gamal mau melakukannya?”Gamal sontak mengangkat punggungnya padahal tadi bersandar dengan sangat nyaman di sandaran sofa.“Sejak kapan kamu manggil Tony dengan sebutan Mas, kamu hanya boleh manggil sebutan Mas, padaku saja?”Gamal malah marah dengan panggilanku pada Tony, kakaknya satu ibu itu.“Kan panggilan Mas itu buat seorang lelaki yang lebih tua dari kita.”&
“Jadi sekarang kalian tinggalkan rumah ini, dan jangan pernah kembali.”Gamal kian menegas dengan tatapan yang sekarang terlihat begitu tajam.“Soal Sisca, dia itu anak kamu jadi urus saja dia sendiri, lagipula sekarang Adeo Pattinama berada di dalam penjara dan sudah tak bisa melakukan apapun seperti yang sudah kamu katakan tadi.”Gamal membalik ucapan Lola, yang membuat wanita itu kian kesal karena ucapannya malah menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.“Jangan bebankan Sisca pada Mala, meski Sisca dan istriku saudara satu ayah bukan berarti dia harus mengambil alih semua tanggung jawab tentang Sisca.”Lola dan Sherly terdiam mereka tampak sangat geram karena telah dikalahkan oleh Gamal yang terus membelaku tanpa jeda.Pada akhirnya tak ada lagi yang bisa mereka lakukan lagi kecuali berbalik pergi bersama Sisca yang kemud