"Oma Mayang dalam perjalanan," ucapku ke Bara yang duduk di samping ranjang."Iya, Santi udah kasih tau abang juga, barusan." Bara menjawab sambil berdiri membuka kulit jeruk yang baru di bukanya ke tempat sampah. "Semoga, Oma juga bisa membantu masalah Zanna." Aku berharap cukup besar pada bantuan Oma Mayang. Aku dan bara tak cukup kuat, kami sadar sepenuhnya itu."Abang yakin, Oma pasti membantu. Siapapun dirimu ternyata." Sepotong jeruk Bara sodorkan ke depan mulutku. Segera aku membuka mulutku."Semoga seperti itu," balasku."Sudah ada nama untuk jagoan kecil kita?" tanya Bara lagi. Aku menggeleng."Belum Zanna pikirkan," balasku.Santi dan Bi Nur, sedang keluar mencari makan. Bayiku juga dibawa kembali keruangan bayi. Tinggal aku dan Bara berdua dikamar."Sore Bunda, ini makan malamnya, yah. Ini juga ada parcel buah dari rumah sakit. Makan yang banyak agar ASI-nya banyak." Dua orang perawat datang ke kamar. Meletakkan nampan di atas nakas sebelah ranjang."Terima kasih," ucapku
"Oma minta maaf, harusnya …." Tante Fenny memeluk Oma, yang tak mampu meneruskan kata - katanya. Tubuh Oma bergetar, akupun sama. Dadaku terasa semakin sesak rasanya, nyeri dan sakit meski lega.Umurku baru delapan belas tahun. Usia yang masih amat muda, aku dipaksa untuk dewasa sebelum waktunya. Aku melewati hari - hari yang begitu berat. Tak ada kenangan masa kecil yang indah yang bisa aku ceritakan. Aku kehilangan masa kecil dan masa remaja. Air mata seolah menjadi teman setia, di setiap hariku."Zanna … maafkan Oma," ucap Oma Mayang masih dalam pelukan Tante Fenny."Bukan salah Oma." Aku menjawab di sela isakku. Bukan waktunya mencari siapa yang benar, siapa yang salah. Semua sudah terjadi, dan memang harus seperti itu jalannya. Setiap kisah membawa takdirnya sendiri - sendiri. Demikian juga dengan kisahku.Oma berhambur memelukku, Tante Fenny juga. Kami semua menangis untuk banyak alasan. Sedih dan bahagia, sesak dan kelegaan, berpadu dalam sebuah rasa. "Kamu tak akan sendiri l
"Semoga semua baik-baik saja," harap Oma kemudian."Zanna, Oma mohon, kamu bisa memaafkan Papamu, dan juga Opa kamu." Oma melihat ke arahku. "Oma tau semua ini tidak mudah, Oma berjanji akan menebus semua kesakitan yang telah kamu alami.""Zanna tidak menyalahkan siapa-siapa Oma. Semua yang sudah terjadi, memang sudah menjadi jalannya Zanna. Sekarang, Zanna hanya ingin hidup tenang dan bisa memberikan semua yang terbaik untuk anak Zanna." Ada sedikit sesak masih bisa terbaca jelas dari suaraku. Oma benar, semuanya tidak mudah. Tapi, tidak lantas membuatku mendendam ataupun menyalahkan siapa-siapa atas segala hal yang sudah terjadi. Dari dulu pun, aku juga yakin, apa yang aku alami pasti memang sudah menjadi jalan takdirku. Tak ada yang perlu disesalkan, aku sendiri selalu mencoba bersahabat dengan takdir. "Lalu, gimana masalah dengan suamimu?" tanya Tante Fenny kemudian."Fen, Zanna baru saja melahirkan. Biarkan sejenak hati dan pikirannya beristirahat. Kita yang akan menghadapinya
"Kadang, kita ingin memilih jalan kita sendiri. Hanya saja, takdir telah lebih dulu memilihkan untuk kita. Lalu, kita bisa apa?! Aku hanya berusaha, agar kedepannya tak ada lagi luka yang tercipta."Mimpiku hanya sederhana, dapat bersama dengan anakku dan memberikan segala yang terbaik. Berkumpul dengan keluarga yang baru saja aku temukan. Sesimpel itu, bukan suatu hal yang berlebihan sebenarnya."Jadi kapan?" tanya Santi kemudian. "Apanya?""Ke keluarga Kenzi." "Tunggu Papa datang, Franda sakit, Papa menunda kepulangannya." Aku menjelaskan."Mereka baik-baik saja?""Pastinya tidak," jawabku. Aku menarik nafas panjang, menghembuskan perlahan. Pastinya ini bukan sebuah kabar yang baik untuk keluarga Papa. Bukan hal yang bisa diterima dengan mudah juga oleh istrinya. Obrolan kami terjeda, saat Bi Nur membawa bayiku yang sepertinya haus. Dia tidur tadi, saat Santi datang. Dan, kami memilih mengobrol di taman samping kamarku. Yang juga terdapat sebuah kolam ikan di sana. Setelah kenya
Pria yang membawaku pada kehidupan Kenzi itu, tampak beberapa kali mengusap wajahnya setelah mendengar perkataan Oma Mayang."Jadi, Zanna cucu Nyonya?" Kembali pria itu menegaskan."Iya," jawab Oma singkat. Pria itu mengangguk berulang."Berarti, Nyonya juga tau kalau Zanna adalah menantu dari keluarga Hadi Pranata?""Apakah mereka, benar -benar menganggap Zanna menantu?" Oma balik bertanya. Pria itu terdiam. "Tuan Besar menebus Zanna dari tempat prostitusi, kemudian Zanna terikat kontrak pernikahan dengan Tuan Muda. Apa yang menjadi kewajiban Tuan Pranata, sudah dipenuhi. Selama tinggal bersama, semua kebutuhan Zanna terpenuhi dengan baik." Tuan Bram bercerita panjang lebar, yang sebenarnya sudah aku ceritakan semua pada Oma Mayang."Lalu masalahnya apa? Kenapa masih mengusik kehidupan cucu saya." Suara Oma terdengar tegas."Zanna mengandung anak Tuan Muda, yang berarti bayi tersebut adalah anggota keluar Pranata. Tuan Pranata menginginkan bayi itu dibesarkan di keluarga Pranata."
"Karena menyangkut banyak hati, pikirkan semuanya. Tante tetap dukung, keputusanmu untuk minta cerai dari Kenzi sekarang. Tapi, bukan langsung mengganti posisinya dengan Bara atau yang lainnya. Terlalu dini, untuk kembali merajut sebuah kisah. Menata hidupmu adalah tujuan Tante sekarang, pendidikanmu, dan semua hal demi masa depanmu."Oma mengangguk kecil, sepertinya dia setuju dengan yang Tante Fenny pikirkan."Tante tak akan menghalangi, bila Bara terus ada didekatmu. Tapi, sebuah pernikahan dan keluarga baru. Bukan suatu pilihan bijak, saat ini. Kalau kalian memang berjodoh, siapapun dia kami akan tetap mendukung." Tante Fenny menambahkan."Oma setuju, dengan Tantemu. Kamu akan bersekolah, bukan sekolah umum pastinya. Tapi akan ada ijazah yang bisa digunakan untuk jenjang pendidikan berikutnya. Kamu harus menjadi sosok, mandiri dan terpelajar. Biar tantemu siapkan, setelah kondisimu membaik. Kamu juga harus membagi waktu dengan bayimu." Oma menyampaikan keinginannya juga."Ada syu
"Maafkan aku, yang selalu menempatkan dirimu pada situasi yang berbahaya. Maafkan aku …."Hatiku bagai disayat sembilu, siapa yang akan aku persalahkan atas kesakitan ini. Siapa juga yang bisa mengatur segala rasa ini. Aku menarik napasku dalam di tengah isak tangis. Mencoba menenangkan diriku sendiri. Aku harus tenang …Aku memegang kedua tangan Kenzi dan melepaskan pelukannya. Kemudian memutar tubuhku hingga kami berdiri berhadapan. Wajahnya basah dan memerah, pasti sama juga denganku. Sesaat kami saling bertatap, hingga aku tak mampu, dan membuang pandanganku kelantai."Sayang, anak kita?" tanyanya kemudian.Aku kembali mengarahkan pandangan, ke wajah tampan itu. Matanya menatapku lekat sedikit menyipit, menunggu jawaban dariku. Terlintas dalam benakku, bayangan saat dia berbicara dengan anaknya sewaktu masih dalam kandunganku."Dia … tampan sepertimu." Aku langsung menunduk, menahan sebah dalam dadaku yang kembali hadir. "Aku sudah menduganya," ucapnya seraya menarikku dalam dek
"Sepertinya haus," ucapku sambil menyeka air mataku. "Waktu nya kasih ASI," lanjutku lagi."Uh, aus ya, Sayang. Mik cucu dulu, ya. Muach." Kenzi mencium gemas bayinya sebelum memberikan padaku."Kenapa?" tanyanya, saat aku tak segera memberikan ASI pada bayiku. Cukup lama berpisah, membuatku merasa malu, kalau harus memberikan ASI di depan Kenzi, meski dia Suamiku. Kenzi mengangkat alisnya, kembali mempertegas pertanyaanya tanpa kata. Aku hanya menjawab dengan memanyunkan bibir."Iya, aku ngerti. Aku nggak lihat." Kenzi seakan paham, dia duduk di belakangku, menghadap arah berlawanan. Kami saling beradu punggung. Tangis bayiku semakin nyaring, segera aku berikan apa yang sedang diinginkan.Rasanya … masih sakit. Aku menggigit pelan bibirku. Kuat sekali bayiku minum, ada semacam ngilu terasa di payu d***ku. Tapi, kata Ta te Fenny, hanya sebentar. Setelah ini akan biasa saja, dan mulai lagi kalau bayi sudah tumbuh gigi.Tak berapa lama, bayiku kembali terlelap. Dia melepas sendiri, ak
Papa mengenalkanku pada istri dan anaknya. Wanita berhijab itu menyambutku, baik. Meski tetap terasa kaku dan berjarak, atau hanya perasaanku saja. Aku harus belajar banyak dari Ibu, yang bisa mengendalikan perasaan dengan dengan sangat baik.Perasaanku saja, atau memang seperti itu adanya. Aku merasa Papa masih memiliki perasaan ke Ibu, dari cara mereka menatap terlihat berbeda. Ini bukan hal baik, tapi, siapa yang bisa mengatur perasaan.•••"Sayang, aku ingin kita tinggal bertiga. Aku, kamu dan anak kita. Tinggal dirumah impian, tak perlu besar, tapi, nyaman. Aku akan menyiapkan untuk kalian. Sebuah rumah dengan taman kecil, untukku dan Al bermain bola nanti." Aku tersenyum mendengar Kenzi. Dia memelukku dari belakang, dan meletakkan dagunya di bahuku. "Tapi, apa Oma mengijinkan?" tanyaku kemudian."Aku kepala keluarga, aku yang memiliki tanggung jawab atas kalian, berdua. Kita hanya tinggal terpisah, masih bisa setiap saat bersama. Keluarga kita pasti bisa memahami itu semua." T
Tanganku langsung meraih jemari Ibu. Wanita itu tercekat melihat seseorang di depannya. Wajahnya memerah, matanya basah. Tangannya meremas jariku kuat, aku ikut merasakan apa yang Ibu rasakan. Semua terdiam, dadaku terasa sesak seketika. Apa yang sedang Ibu rasakan sekarang? Ibu segera menyeka air mata dengan sebelah tangannya. Mengerjapkan mata, mencoba untuk menahannya agar tak kembali keluar. Oma, Tante Fenny, dan pria itu berdiri bersamaan."Zanna, ini … Papa kamu." Oma memanggilku. Aku masih tercekat, terdiam. Aku kembali melihat ke arah Ibu, yang mengarahkan pandangan ke arah lain. Sedikit menaikkan wajah. Ibu sedang mengendalikan hatinya."Mala …." Pria itu memanggil nama Ibu. Berjalan ke arahku dan Ibu."Mas." Suara Ibu terdengar serak. Hanya itu yang keluar dari bibir Ibu."Zanna, ini Papa Sayang." Aku masih berdiri mematung, entah apa yang aku rasakan sekarang. "Pah …." Aku menoleh ke arah suara. Sosok gadis kecil muncul dari dalam, bersama seorang wanita berhijab. Ibu jug
Meski dalam hatiku, aku tak yakin Bara bisa secepat itu membuka hatinya untuk orang lain. Walau, terlihat baik - baik saja aku yakin ada luka, yang sedang berusaha ditutupinya. Itulah Bara, malaikat tak bersayapku.•••Aku belum menanyakan apa saja yang dibicarakan tadi oleh keluarga Kenzi dan keluargaku. Yang pasti semua terlihat membaik, meski masih terasa kaku dan canggung, tapi, semua nampak baik. Sepertinya banyak hal yang dibicarakan. Mama Kenzi mengajakku menginap di rumah mereka tadi. Hanya saja entah untuk alasan apa, Oma belum mengijinkan. Aku juga merasa belum siap. Akhirnya Kenzi yang akan tinggal sementara di rumah Oma. Dia sedang pulang mengambil pakaian dan barang - barangnya.••"Non, susunya Bibi taruk di meja, ya." Bi Nur datang membawakan segelas susu hangat untukku. "Iya, Bi. Terima kasih," ucapku. Aku masih duduk di sofa mengutak atik ponsel lama dan ponsel baruku. Bayiku sudah terlelap sedari tadi. Ponselku bergetar ada panggilan masuk, dari Bara. Aku buru - b
"Non, ditunggu Oma di ruang baca." Bi Nur masuk, dan memberi tau. Aku baru saja memberikan bayiku ASI dan sekarang dia kembali tidur."Iya, Bik." Aku menjawab sambil mengangguk. Sesaat kemudian aku menidurkan bayiku, menciumnya.dan beringsut turun dari atas ranjang."Zanna titip ya, Bik," ucapku."Iya, Non. Bibi jagain." Bi Nur menjawab.Aku segera beranjak keluar kamar, berjalan sedikit cepat menuju ruang baca Oma. Setelah mendorong pintu, kudapati sudah ada Om Rei dan juga Tante Fenny disana. "Kenzi?" tanya Oma saat aku masuk."Sudah Zanna telepon, Oma. Sebentar lagi sampai." Aku menjawab. Kemudian menyapa Om dan Tante bergantian."Mah, kenapa nggak minta Mas Febian saja, yang tanam modal di perusahaan suami Zanna," ucap Tante Fenny."Em, bener Ma. Perusahaan Mas Febian berkembang cepat dua tahun terakhir, bahkan dia sudah buka cabang hampir di setiap kota loh." Om Rei menambahkan."Semakin banyak yang sadar akan pentingnya makanan sehat. Sayang, kalau di Indonesia kita buat kaya
"Mama?" tanya Kenzi memastikan. Bi Nur mengangguk membenarkan."Terima kasih, Bi," ucapku pada Bi Nur, perempuan setengah baya itu mengangguk. Ada kecemasan terlihat di wajah yang sudah sedikit keriput itu. Dia berbalik badan dan berjalan perlahan.Aku menatap Kenzi lekat, ada kecemasan dan ketakutan dalam hatiku. Mama sangat dekat dengan Carla. Lalu apa pendapatnya tentangku, yang hanya menikah kontrak dengan anaknya.Kenzi menangkupkan tangannya di wajahku. Matanya menatapku tajam, seolah ingin meyakinkan semua akan baik - baik saja."Kita ajak Ken, ketemu Omanya?!" kata Kenzi kemudian."Bukan Ken, panggilannya Al." Aku memberi tahu, bahkan bukan sesuatu yang penting untuk dibahas saat sekarang. Hanya respon spontanitas saja."Iya, kita ajak Al ketemu Oma dan Tantenya." Kenzi meralat kalimatnya. Aku mengangguk, kemudian berjalan ke arah ranjang dan mengangkat tubuh mungil itu kemudian."Biar aku yang gendong," pinta Kenzi padaku. Hati-hati aku memberikan pada Kenzi bayi laki - lakin
"Beri aku waktu, kondisi perusahaan sebenarnya sudah membaik. Hanya saja, bila kelaurga Carla bertindak seperti ancaman mereka, perusahaanku belum siap. Bantuan mereka sangat berpengaruh besar pada perusahaan.""Rumit sekali." Aku menarik napas dalam dan menghembuskan sekaligus."Aku akan bicara dengan Carla, hanya aku butuh waktu yang tepat. Dia pasti tak akan tega, bila tau akibat dari di hentikannya kerjasama itu.""Tapi, kita sudah menyakitinya.""Dia, wanita hebat. Dia berhak bahagia, tapi, bukan denganku.""Kaliaan … sudah ….""Aku tak bisa melakukannya, selain denganmu. Aku katakan kalau aku sakit."Ada kelegaan, diantara pikiran rumit yang berkecamuk dalam benakku. "Carla masih belum bisa menerimanya. Dia hanya diam, tak mau berbicara apapun juga. Aku mengerti, ini sulit untuk dia diterima.""Keluargamu?""Semua menentangku, aku bertahan hanya demi perusahaan. Disana banyak bergantung kehidupan orang lain. Aku akan berusaha semaksimal mungkin. Yang pasti, keputusanku sudah bu
Pagi ini, tak secerah biasanya. Hujan gerimis turun sedari Subuh tadi. Hari ini kegiatan berjemur terpaksa ditiadakan. Sehabis mandi dan minum susu bayiku terbangun. Dia enggan kembali tidur, sepertinya dia sedang ingin bermain. Aku mengajaknya bicara, menyanyikan lagu anak -anak yang aku bisa.Tidak banyak perbendaharaan lagu anak - anak dalam benakku, juga dengan lagu lainnya. Aku tidak punya waktu untuk itu dulu. Ah, segera aku tepis jauh, bila bayangan pahit masa laluku datang tiba - tiba. Tak ingin mengingat kembali, karena yang ada hanya rasa sakit."Non, diminta Oma, untuk sarapan." Bi Nur datang, menghampiri ranjangku. Pintu memang tidak aku tutup."Iya, Bi. Zanna titip bayi Zanna, ya?" Aku bangun dari samping bayiku, kemudian turun dari ranjang, selepas menciumnya gemas. Bi Nur mengangguk dan tersenyum menjawabku. Langkahku mengayun pelan keluar dari kamar.Dari kemarin sore, aku juga belum tau bagaimana hasil pembicaraan Kenzi dan keluarga besarnya. Aku memang belum memegan
"Sakit ya?" tanya Kenzi saat aku memegangi kepala yang terasa berdenyut."Nggak apa - apa," jawabku kemudian."Aku minta maaf, pasti karena aku." Kenzi mengusap kepalaku pelan."Jangan biarkan mereka menunggu," ucapku kemudian. Ya Tuhan, semoga segala kepahitan dan kesakitan ini segera berakhir. Semoga kebahagiaan terbit setelah ini. Apapun nanti suratan takdir yang akan aku jalani, aku hanya inginkan yang terbaik untuk semuanya."Teruslah bersamaku." Kenzi menangkupkan tangannya di wajahku. Aku mengangguk perlahan dengan mata terpejam. Sebuah kecupan Kenzi berikan pada keningku.Sesaat kemudian kami sama - sama melihat ke arah yang sama. Sosok mungil yang sedang terlelap di atas ranjang. Untuknya lah kami harus berjuang untuk bersatu. Berjuang untuk menghadirkan orang tua yang lengkap baginya.Sejenak mengatur hati, aku dan Kenzi beranjak keluar setelahnya. Bi Nur yang melihatku keluar dari kamar langsung beranjak ke kamarku. Kenzi menggenggam erat tanganku. Kami berjalan bersisia
"Banyak orang menghinanya, dikira dia hamil tanpa suami. Hingga akhirnya dia melahirkan. Hanya Bu Ella yang peduli padanya. Dia lebih muda darimu waktu itu tujuh belas tahun." Kembali Tante Fenny menjeda karena tak kuasa untuk meneruskan kalimatnya."Saya bingung, takut dan tak tau harus bagaimana. Hingga saya memutuskan, memberikan bayi saya pada Bu Ella. Saya benar - benar bingung. Saya tak memiliki siapapun, tak kenal siapapun selain Bu Ella yang membantu saya." Wanita itu berbicara di tengah isak tangisnya. "Akhirnya saya meninggalkan bayi saya." Tangis wanita itu semakin menjadi, begitu juga denganku. "Saya dibawa seseorang yang baru saya kenal untuk bekerja sebagai pembantu. Majikan pria saya orang asing, setelah membuatkan saya identitas baru. Mereka membawa saya, ke Belanda. Di Negara itulah saya hidup selama belasan tahun."Ibu … iya Ibu. Ibu menjeda kalimatnya, sedang aku masih terisak menikmati rasa sakit seperti yang Ibu rasakan."Mereka tidak menganggap saya sebagai p