"Mau kemana?" tanyanya menoleh padaku, yang duduk di sampingnya. Aku mengangkat bahuku. "Pengen makan apa?""Nasi goreng," jawabku."Boleh, aku ada langganan nasi goreng enak, tapi di pinggir jalan. Bukan restoran tapi, tapi aki jamin rasanya mantap," promo Kenzi."Aku udah biasa, makan di pinggir jalan. Kamunya nggak apa-apa?" tanyaku kemudianKenzi malah tertawa."Aku bukan pemilih makanan sayang, ini beneran enak. Dulu pas masih kuliah suka nongkrong di sama temen-temen," cerita Kenzi lagi."Enak yah, bisa sekolah, kuliah." Bibirku tersenyum, membayangkan tubuhku dalam balutan seragam sekolah. Pasti menyenangkan sekali. Kenzi menoleh ke arahku, mengusap lembut kepalaku.Harusnya di usiaku yang tujuh belas tahun, aku masih sibuk dengan buku-buku. Tapi nasib membawa diriku ke jalan lainnya, bukan sibuk sekolah dan belajar. "Kamu mau sekolah?" tanya Kenzi padaku. "Memangnya bisa?" tanyaku."Bisa, tapi bukan yang pergi pagi tiap hari. Bukan di sekolah, tapi gurunya yang datang ke ru
"Hii, ntar ada yang liat kan malu," ucapku kemudian."Tuh, kan sengaja menggoda aku lagi," ucapnya. Aku segera mengatupkan bibir ku, melihatnya Kenzi kembali tertawa."Tunggu sampai di rumah, aku lumat habis itu," bisiknya. Aku mencubit perut pria itu gemas. Ah, dia berubah semakin mesum, tapi kenapa aku malah semakin suka.Tatapan mata kami beradu untuk sesaat, senyum lebar menghias bibir manis itu, sementara aku masih mengatupkan bibir, menahan senyumku. Ini kisah cinta yang sempurna, mengalir apa adanya, menikmati setiap jengkal rasa, mendekap hati yang hangat, merengkuh panasnya hasrat.Sekarang, ya sekarang. Esok biarlah milik hari esok. Tak ingin hati yang berbunga ini, layu oleh duga akan apa yang terjadi selanjutnya. Biarkan kukecap bahagia, ditemani indahnya tawa, dan berselimut suka.Mobil Kenzi keluar dari area taman, dan kembali membelah jalanan. Suasana sekitar masih tampak ramai oleh manusia dengan segala kesibukannya, jalan pun masih padat roda empat, dan roda dua terl
"Wah, cantik sekali," puji guru kursusku, melihat puding yang aku buat untuk ujian hari ini. "Apakah rasanya, secantik eh seenak tampilannya?" ucapnya lagi dengan gaya khas, kemudian tertawa."Good, semua pas, manisnya, teksturnya tampilannya juga cantik, kayak yang bikin." Wanita berambut coklat, bermata sipit itu mengacungkan kedua jempolnya."Makasih, miss Fanny," ucapku kemudian.Hari ini ada ujian di tempat kursus, dengan basic puding. Menyenangkan sekali, aku mulai bermimpi memiliki usaha kuliner. Pasti akan terlihat keren, sebuah toko kue. Banyak sekali ilmu yang aku dapatkan selama beberapa bulan ini. Selain itu, setiap hari begitu menyenangkan. Berkumpul bersama teman di tempat kursus, mengenal orang baru dengan berbagai macam karakter.Hari ini cukup padat, selepas masak memasak, berlanjut ke kelas bahasa inggris. Aku tak terlalu suka, susah sekali menurutku. Masih satu jam lagi, aku putuskan untuk tidur di dalam mobil selama perjalanan.Saking lelapnya, aku tak terbangun
"Tuan Bram, Bi?" Ulangku memastikan, Bi Nur mengangguk mengiyakan."Sekarang ya, Non." Bi Nur kembali menegaskan, aku mengangguk mengerti."Iya, Bi. Zanna kesana."Aku melangkah pelan, meninggalkan Bi Nur, yang kemudian masuk ke dalam kamar untuk bersih-bersih. Kenapa jantungku jadi berdebar seperti ini, aku menarik nafas dalam, dan menghembuskan perlahan. Sadarku mulai menghampiri, membangunkan diri dari mimpi panjang yang indah. Ini hanya pernikahan sementara, hanya sebuah kontrak, mengapa aku menenggelamkan diri begitu dalam. Lalu, siapa yang akan aku salahkan, Kenzi dengan cinta nya, atau diriku yang terjebak dalam rasa yang sama.Suara berat seorang pria memintaku masuk, setelah aku mengetuk pintu. Aku memutar handling pintu, kemudian mendorongnya. Pandanganku langsung tertuju pada sosok yang tetap terlihat gagah di usianya yang sudah tidak muda lagi, Tuan Bram.Begitu juga pria itu, yang langsung menyambutku dengan tatapan tajamnya."Duduk!" Perintah, Tuan Bram padaku. Aku lalu
Setelah berpamitan untuk terakhir kalinya dengan Bik Nur, aku akhirnya pergi juga, mengikuti langkah sopir Tuan Bram yang menyeret koperku. Mobil berwarna hitam itu, membawaku keluar dari rumah besar, yang selama beberapa bulan ini aku tinggali.Aku seperti orang linglung, mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Perpisahan ini begitu cepat terjadi, tanpa aku bisa menyiapkan diri.•••"Non, saya permisi," pamit sopir Tuan Bram, setelah membantu mengantarku ke apartemen."Terima kasih," jawabku.Pria dengan seragam serba hitam itu pun beranjak pergi. Aku melangkah mengamati setiap sudut ruangan, luasnya lebih dari apartemen milik Bara. Baru aku membuka tirai dinding kaca yang lebar di sebelah kanan, sebuah panggilan telepon masuk."Ini Bram," ucapnya saat aku mengangkat teleponnya."Iya, Tuan.""Aku sudah mentransfer uang ke dalam rekening bank milikmu. Sementara kamu boleh tinggal di sana, hanya sementara. Aku juga tak ingin kena masalah, minggu depan, kamu harus keluar. Di bawah de
Aku menyeka air mata dengan jari, menepuk pelan pipiku. Sekedar menyemangati diriku sendiri."Tuan, saya permisi. Sekali lagi terima kasih atas semua kebaikan dan bantuan yang telah telah Tuan berikan. Saya titip tolong jagakan Tuan Muda," ucapku sambil menunduk."Kamu juga hati-hati, jaga diri, semoga kamu menemukan kebahagiaanmu," ucap pria itu. Aku mengangguk pelan.Aku bangun dari tempat duduk setelah mengembalikan kunci apartemen miliknya. Menarik pelan koperku, di ujung sana Santi telah menungguku."Sini aku bawakan," tawar Santi saat aku mendekat."Nggak usah, nggak berat kok," ucapku. Kami berjalan menuju ke tempat motornya di parkir."Bang, bantuin!" serunya pada seorang pria yang berdiri di samping motornya."Iyah, Neng," jawab pria itu. Yang kemudian mendekat dan membantu membawa koperku. Pria itu tukang ojek yang diminta Santi untuk membawa barang-barangku.Santi membawaku keluar dari area apartemen dengan motor maticnya. Setelah menyusuri jalanan beraspal, dengan padatny
"Kamu terlihat pucat sekali, pulang aja ya?"Santi merapikan rambutku yang berantakan. Menatapku dengan tatapan cemas. Aku mengangguk pelan."San, ntar mampir apotik sebentar ya, ada obat yang ingin ku beli," ucapku sedikit kencang, di atas motor yang melaju. Aku harus memastikan apakah aku benar-benar hamil. Tidak pernah aku berpikir sampai sejauh ini."Aku tunggu di sini aja ya?" ucap Santi saat di depan sebuah apotek, aku mengangguk dan segera turun. Pikiran ini mulai kacau, entahlah apa yang kurasakan sekarang. Di identitasku masih tertera belum menikah, lalu apa penjelasanku nanti bila aku benar- benar hamil.Lima buah alat tes kehamilan aku beli, dan segera memasukkannya ke dalam tasku. Setelah selesai, aku segera keluar. Santi masih menunggu, duduk di atas motornya. Jalanan yang kami lalui tak terlalu ramai, tak sampai lima belas menit kami sudah sampai di kost-kostan."Aku beli makan dulu ya, kamu kan juga belum sarapan tadi," ucap Santi yang hanya berhenti di depan pagar. "
Akibat menangis semalam mata sampai bengkak dan aku bangun kesiangan. Itu pun Santi yang membangun kan, lekas aku solat subuh lebih dahulu. Selepas solat berlanjut dengan membersih kan kamar dan mencuci bajuku. Tak seperti biasanya, pagi ini badanku terasa lemas. Mungkin karena kurang tidur tadi malam."Nangis lagi?" tanya Santi saat menungguku menjemur pakaian. "Kalau mau cerita, aku siap dengerin kok. Masalah cowok ya?" tanyanya lagi.Aku hanya tersenyum dan menggeleng. "Kamu pucet banget pagi ini, sakit ya?" selidik Santi lagi."Kurang enak badan aja.""Yakin mau masuk kerja, kamu tambah kurusan sekarang. Berat ya kerjanya di sana?"Aku menghela nafas panjang. "Lumayan, tapi aku suka. Mereka semua baik-baik. Aku juga bisa banyak belajar selama kerja di sana," jawabku kemudian."Iya, kata temenku juga gitu, kakaknya kan kerja disitu juga, cuma masih cuti habis kecelakaan," cerita Santi kemudian.Selepas menjemur pakaian, aku langsung mandi dan bersiap. Sudah jam tujuh lebih, Sant
Papa mengenalkanku pada istri dan anaknya. Wanita berhijab itu menyambutku, baik. Meski tetap terasa kaku dan berjarak, atau hanya perasaanku saja. Aku harus belajar banyak dari Ibu, yang bisa mengendalikan perasaan dengan dengan sangat baik.Perasaanku saja, atau memang seperti itu adanya. Aku merasa Papa masih memiliki perasaan ke Ibu, dari cara mereka menatap terlihat berbeda. Ini bukan hal baik, tapi, siapa yang bisa mengatur perasaan.•••"Sayang, aku ingin kita tinggal bertiga. Aku, kamu dan anak kita. Tinggal dirumah impian, tak perlu besar, tapi, nyaman. Aku akan menyiapkan untuk kalian. Sebuah rumah dengan taman kecil, untukku dan Al bermain bola nanti." Aku tersenyum mendengar Kenzi. Dia memelukku dari belakang, dan meletakkan dagunya di bahuku. "Tapi, apa Oma mengijinkan?" tanyaku kemudian."Aku kepala keluarga, aku yang memiliki tanggung jawab atas kalian, berdua. Kita hanya tinggal terpisah, masih bisa setiap saat bersama. Keluarga kita pasti bisa memahami itu semua." T
Tanganku langsung meraih jemari Ibu. Wanita itu tercekat melihat seseorang di depannya. Wajahnya memerah, matanya basah. Tangannya meremas jariku kuat, aku ikut merasakan apa yang Ibu rasakan. Semua terdiam, dadaku terasa sesak seketika. Apa yang sedang Ibu rasakan sekarang? Ibu segera menyeka air mata dengan sebelah tangannya. Mengerjapkan mata, mencoba untuk menahannya agar tak kembali keluar. Oma, Tante Fenny, dan pria itu berdiri bersamaan."Zanna, ini … Papa kamu." Oma memanggilku. Aku masih tercekat, terdiam. Aku kembali melihat ke arah Ibu, yang mengarahkan pandangan ke arah lain. Sedikit menaikkan wajah. Ibu sedang mengendalikan hatinya."Mala …." Pria itu memanggil nama Ibu. Berjalan ke arahku dan Ibu."Mas." Suara Ibu terdengar serak. Hanya itu yang keluar dari bibir Ibu."Zanna, ini Papa Sayang." Aku masih berdiri mematung, entah apa yang aku rasakan sekarang. "Pah …." Aku menoleh ke arah suara. Sosok gadis kecil muncul dari dalam, bersama seorang wanita berhijab. Ibu jug
Meski dalam hatiku, aku tak yakin Bara bisa secepat itu membuka hatinya untuk orang lain. Walau, terlihat baik - baik saja aku yakin ada luka, yang sedang berusaha ditutupinya. Itulah Bara, malaikat tak bersayapku.•••Aku belum menanyakan apa saja yang dibicarakan tadi oleh keluarga Kenzi dan keluargaku. Yang pasti semua terlihat membaik, meski masih terasa kaku dan canggung, tapi, semua nampak baik. Sepertinya banyak hal yang dibicarakan. Mama Kenzi mengajakku menginap di rumah mereka tadi. Hanya saja entah untuk alasan apa, Oma belum mengijinkan. Aku juga merasa belum siap. Akhirnya Kenzi yang akan tinggal sementara di rumah Oma. Dia sedang pulang mengambil pakaian dan barang - barangnya.••"Non, susunya Bibi taruk di meja, ya." Bi Nur datang membawakan segelas susu hangat untukku. "Iya, Bi. Terima kasih," ucapku. Aku masih duduk di sofa mengutak atik ponsel lama dan ponsel baruku. Bayiku sudah terlelap sedari tadi. Ponselku bergetar ada panggilan masuk, dari Bara. Aku buru - b
"Non, ditunggu Oma di ruang baca." Bi Nur masuk, dan memberi tau. Aku baru saja memberikan bayiku ASI dan sekarang dia kembali tidur."Iya, Bik." Aku menjawab sambil mengangguk. Sesaat kemudian aku menidurkan bayiku, menciumnya.dan beringsut turun dari atas ranjang."Zanna titip ya, Bik," ucapku."Iya, Non. Bibi jagain." Bi Nur menjawab.Aku segera beranjak keluar kamar, berjalan sedikit cepat menuju ruang baca Oma. Setelah mendorong pintu, kudapati sudah ada Om Rei dan juga Tante Fenny disana. "Kenzi?" tanya Oma saat aku masuk."Sudah Zanna telepon, Oma. Sebentar lagi sampai." Aku menjawab. Kemudian menyapa Om dan Tante bergantian."Mah, kenapa nggak minta Mas Febian saja, yang tanam modal di perusahaan suami Zanna," ucap Tante Fenny."Em, bener Ma. Perusahaan Mas Febian berkembang cepat dua tahun terakhir, bahkan dia sudah buka cabang hampir di setiap kota loh." Om Rei menambahkan."Semakin banyak yang sadar akan pentingnya makanan sehat. Sayang, kalau di Indonesia kita buat kaya
"Mama?" tanya Kenzi memastikan. Bi Nur mengangguk membenarkan."Terima kasih, Bi," ucapku pada Bi Nur, perempuan setengah baya itu mengangguk. Ada kecemasan terlihat di wajah yang sudah sedikit keriput itu. Dia berbalik badan dan berjalan perlahan.Aku menatap Kenzi lekat, ada kecemasan dan ketakutan dalam hatiku. Mama sangat dekat dengan Carla. Lalu apa pendapatnya tentangku, yang hanya menikah kontrak dengan anaknya.Kenzi menangkupkan tangannya di wajahku. Matanya menatapku tajam, seolah ingin meyakinkan semua akan baik - baik saja."Kita ajak Ken, ketemu Omanya?!" kata Kenzi kemudian."Bukan Ken, panggilannya Al." Aku memberi tahu, bahkan bukan sesuatu yang penting untuk dibahas saat sekarang. Hanya respon spontanitas saja."Iya, kita ajak Al ketemu Oma dan Tantenya." Kenzi meralat kalimatnya. Aku mengangguk, kemudian berjalan ke arah ranjang dan mengangkat tubuh mungil itu kemudian."Biar aku yang gendong," pinta Kenzi padaku. Hati-hati aku memberikan pada Kenzi bayi laki - lakin
"Beri aku waktu, kondisi perusahaan sebenarnya sudah membaik. Hanya saja, bila kelaurga Carla bertindak seperti ancaman mereka, perusahaanku belum siap. Bantuan mereka sangat berpengaruh besar pada perusahaan.""Rumit sekali." Aku menarik napas dalam dan menghembuskan sekaligus."Aku akan bicara dengan Carla, hanya aku butuh waktu yang tepat. Dia pasti tak akan tega, bila tau akibat dari di hentikannya kerjasama itu.""Tapi, kita sudah menyakitinya.""Dia, wanita hebat. Dia berhak bahagia, tapi, bukan denganku.""Kaliaan … sudah ….""Aku tak bisa melakukannya, selain denganmu. Aku katakan kalau aku sakit."Ada kelegaan, diantara pikiran rumit yang berkecamuk dalam benakku. "Carla masih belum bisa menerimanya. Dia hanya diam, tak mau berbicara apapun juga. Aku mengerti, ini sulit untuk dia diterima.""Keluargamu?""Semua menentangku, aku bertahan hanya demi perusahaan. Disana banyak bergantung kehidupan orang lain. Aku akan berusaha semaksimal mungkin. Yang pasti, keputusanku sudah bu
Pagi ini, tak secerah biasanya. Hujan gerimis turun sedari Subuh tadi. Hari ini kegiatan berjemur terpaksa ditiadakan. Sehabis mandi dan minum susu bayiku terbangun. Dia enggan kembali tidur, sepertinya dia sedang ingin bermain. Aku mengajaknya bicara, menyanyikan lagu anak -anak yang aku bisa.Tidak banyak perbendaharaan lagu anak - anak dalam benakku, juga dengan lagu lainnya. Aku tidak punya waktu untuk itu dulu. Ah, segera aku tepis jauh, bila bayangan pahit masa laluku datang tiba - tiba. Tak ingin mengingat kembali, karena yang ada hanya rasa sakit."Non, diminta Oma, untuk sarapan." Bi Nur datang, menghampiri ranjangku. Pintu memang tidak aku tutup."Iya, Bi. Zanna titip bayi Zanna, ya?" Aku bangun dari samping bayiku, kemudian turun dari ranjang, selepas menciumnya gemas. Bi Nur mengangguk dan tersenyum menjawabku. Langkahku mengayun pelan keluar dari kamar.Dari kemarin sore, aku juga belum tau bagaimana hasil pembicaraan Kenzi dan keluarga besarnya. Aku memang belum memegan
"Sakit ya?" tanya Kenzi saat aku memegangi kepala yang terasa berdenyut."Nggak apa - apa," jawabku kemudian."Aku minta maaf, pasti karena aku." Kenzi mengusap kepalaku pelan."Jangan biarkan mereka menunggu," ucapku kemudian. Ya Tuhan, semoga segala kepahitan dan kesakitan ini segera berakhir. Semoga kebahagiaan terbit setelah ini. Apapun nanti suratan takdir yang akan aku jalani, aku hanya inginkan yang terbaik untuk semuanya."Teruslah bersamaku." Kenzi menangkupkan tangannya di wajahku. Aku mengangguk perlahan dengan mata terpejam. Sebuah kecupan Kenzi berikan pada keningku.Sesaat kemudian kami sama - sama melihat ke arah yang sama. Sosok mungil yang sedang terlelap di atas ranjang. Untuknya lah kami harus berjuang untuk bersatu. Berjuang untuk menghadirkan orang tua yang lengkap baginya.Sejenak mengatur hati, aku dan Kenzi beranjak keluar setelahnya. Bi Nur yang melihatku keluar dari kamar langsung beranjak ke kamarku. Kenzi menggenggam erat tanganku. Kami berjalan bersisia
"Banyak orang menghinanya, dikira dia hamil tanpa suami. Hingga akhirnya dia melahirkan. Hanya Bu Ella yang peduli padanya. Dia lebih muda darimu waktu itu tujuh belas tahun." Kembali Tante Fenny menjeda karena tak kuasa untuk meneruskan kalimatnya."Saya bingung, takut dan tak tau harus bagaimana. Hingga saya memutuskan, memberikan bayi saya pada Bu Ella. Saya benar - benar bingung. Saya tak memiliki siapapun, tak kenal siapapun selain Bu Ella yang membantu saya." Wanita itu berbicara di tengah isak tangisnya. "Akhirnya saya meninggalkan bayi saya." Tangis wanita itu semakin menjadi, begitu juga denganku. "Saya dibawa seseorang yang baru saya kenal untuk bekerja sebagai pembantu. Majikan pria saya orang asing, setelah membuatkan saya identitas baru. Mereka membawa saya, ke Belanda. Di Negara itulah saya hidup selama belasan tahun."Ibu … iya Ibu. Ibu menjeda kalimatnya, sedang aku masih terisak menikmati rasa sakit seperti yang Ibu rasakan."Mereka tidak menganggap saya sebagai p