Azura berjalan di bawah lampu kota. Udara dingin menyeruak menembus jaket hitam gadis berambut sebahu itu.
“Hah, kalau bukan stok makanan habis, aku tidak akan keluar apartemen seperti ini,” gumam Azura.
Tring.
Dering ponsel seketika memecah kesunyian malam.
[“Halo, Bu.”] Salam Azura dengan hangat setelah mengangkat telepon.
[“Kau ini! Sampai kapan kau akan menghabiskan uangku? Bukankah seharusnya kau bekerja? Berhentilah menjadi beban keluarga!”] Telinga Azura seketika berdenging mendengar suara lantang dari balik telepon.
“Hah.”
Sejenak, Azura menghela napas sambil menjauhkan ponsel dari telinganya.
[“Hei kau! Kau tidak bisu, kan? Jawablah!”]
[“Iya, Bu. Tolong maafkan aku.”]
[“Maaf, maaf. Kau pikir aku ini apa? Pokoknya aku tidak ingin mendengar alasan lagi! Cepatlah mencari pekerjaan atau kau akan menjadi gembel di jalanan!”]
[“Iya Bu, a-.”]
Tut, tut, tut. Belum sempat ia menjawab, panggilan telepon tersebut telah terputus. Azura memijit keningnya seraya menghembuskan napas berat.
“Menambah pikiranku saja.” Umpatnya sambil kembali melanjutkan perjalanan yang sempat terhenti.
***
Suara bising kendaraan terdengar nyaring ketika Azura memasuki minimarket yang berada di sisi timur taman kota.
“Selamat datang di Indoapril,” sapa seorang kasir minimarket yang berdiri dekat pintu masuk.
Tanpa menghiraukan sapaan dari kasir minimarket, ia langsung berjalan menuju rak yang berisi tumpukan mi instan.
‘Kira-kira aku pilih mi instan yang mana ya?’ Tanya Azura di dalam hati sambil melihat varian mi di depannya.
Setelah berbagai pertimbangan, Azura akhirnya mengambil sepuluh bungkus mi instan dengan harga termurah. Dia memasukkan semua mi ke dalam keranjang sebelum bergegas menuju kasir.
‘Aku tidak menyangka jika mengantri sepanjang ini.’ Keluh Azura di dalam hati melihat barisan kepala di depannya.
Saat mengantri, tatapannya tiba-tiba saja teralihkan pada sebuah tayangan televisi yang tergantung di dekat meja kasir.
“Permisa, para peneliti meramalkan bahwa sebentar lagi akan turun sebuah komet yang sangat langka. Sebagian besar masyarakat berkumpul di tengah lapangan dan sangat antusias dengan fenomena tersebut,” ucap seorang reporter pembawa acara berita itu.
“Komet….” lirih Azura.
“Hei Mba, sedang apa kau? Kalau mau melamun jangan di sini! Cepatlah! Saya buru-buru!” seru wanita paruh baya di belakang Azura.
“A-a-ah, maaf,” sahutnya tergagap setelah sadar dari lamunan.
Azura segera membayar mi instan itu, lalu bergegas keluar dari minimarket.
“Hah, berinteraksi dengan orang lain memang membuat lelah,” gerutu Azura setelah keluar dari minimarket. Akan tetapi, hatinya merasa ringan saat melihat mie di dalam plastik genggamannya.
Cling.
Tiba-tiba cahaya terang muncul membelah langit malam.
“Woah…, ternyata benar kata reporter berita itu." Lirih Azura dengan mata bergetar menatap langit di atasnya.
Bersamaan dengan jatuhnya komet, pandangannya seketika teralihkan oleh sebuah portal yang muncul di depannya.
“Eh? Apa itu? Seperti portal di dalam komik." Seloroh Azura mencoba mengulurkan tangan ke arah portal.
“Pencopet! Pencopet! Tolong kejar pria itu!” Suara ribut dari dalam minimarket berhasil memecah pikiran Azura. Gadis itu lantas menoleh ke belakang dan melihat seorang pria berbaju hitam berlari kencang kearahnya.
“Eh eh, hei tu-tunggu! Be-berhenti!” Azura berusaha menghentikan sang pria, tetapi sia-sia. Dia akhirnya tertabrak, lalu terpental masuk ke dalam portal misterius.
***
Gubrak!
Azura terjatuh menabrak sebuah pohon besar.
“Aduh, sakit.” Dia meringis sambil memegang kepala. Terlihat tetesan darah yang keluar dari dahinya.
“Sial sekali pencopet itu. Awas saja kalau bertemu lagi, akan aku pukul sekeras mungkin.” Gerutu Azura sambil mengepalkan tangan, lalu bangkit dan menyeka debu di tubuhnya.
Tiba-tiba suara gemercik air bergema memasuki telinganya bersama dengan gemeresik daun.
‘Air?’ Azura mulai tersadar akan suatu hal.
“Eh, aku ada di mana?” Tanya Azura sambil menatap sekelilingnya yang dipenuhi oleh pepohonan rimbun. Cahaya matahari jatuh dari sela daun, membiaskan wajahnya yang kusut dengan ekspresi tercengang.
Setelah beberapa saat, Azura pun termenung sejenak.
‘Tenang Azura, kau harus tenang. Pasti ini hanya mimpi,’ ucapnya di dalam hati.
“A-ah, iya. Mi instanku! Kalau ini mimpi, pasti mi instan itu juga tidak ikut be-,” belum sempat Azura melanjutkan perkataannya, tiba-tiba terdengar sahutan misterius di dekatnya.
“Mi instanmu jatuh di sana.”
Azura tanpa ragu berlari menghampiri mi instannya yang berjarak sepuluh kaki dari tempatnya berdiri.
“Ah, mi berhargaku,” kata Azura dengan nada sendu.
“Kau suka mi ya?” tanya suara misterius.
“Ya, aku sangat suka mi.” Jawab Azura dengan santai sambil terus memungut mi instannya satu-persatu.
Tiba-tiba Azura tersadar bahwa sejak tadi ia tidak melihat seorangpun di sekitarnya.
“Hei tunggu, suara siapa itu?” Lirih Azura sambil mematung.
“Itu suaraku,” jawab suara misterius.
Glek!
Azura tertegun. Bulu kuduknya berdiri dan seketika suasana di hutan itu terasa mencekam.
‘Itu bukan hantu, kan?’ tanya Azura di dalam hatinya.
Perlahan-lahan, ia memberanikan diri untuk menoleh ke belakang.
“Hai!” Seekor burung camar putih menyapa Azura dengan senyuman yang manis.
“Aa-ah, ka-ka-kau, bi-bisa bicara?” tanya Azura dengan terbata. Tanpa sadar ia bergerak mundur menjauhi burung tersebut.
Dengan ekspresi yang polos, burung camar itu berjalan mendekati Azura.
“Tu-tunggu!” seru Azura.
“Kau takut denganku?” Tanya burung camar sambil menghentikan langkahnya.
“Ya jelas aku takut. Sejak kapan seekor burung bisa berbicara?” tanya balik Azura dengan nada yang tinggi.
“Haha, kau sangat keterbelakang ya.” Ledek burung camar itu sambil menutupi mulutnya dengan sayap.
“He-hei! Kau menghinaku?” Azura mulai kesal dengan respon si burung camar.
“Tenang, tenang. Aku tidak akan berbuat jahat kepadamu. Perkenalkan, namaku Camaro.” Kata burung itu sambil mengulurkan sayap kanannya yang dipenuhi bulu putih bersih.
“Camaro?”
“Hm hm, Ca-ma-ro, namaku Camaro!” tegas sang burung camar.
Azura perlahan-lahan membalas uluran sayap Camaro.
“A-Azura,” ucapnya dengan gemetar.
“Azura! Nama yang cantik. Camaro menyukaimu. Selamat datang di Hutan Florestia,” seloroh Camaro.
Sejenak Azura terdiam, memperhatikan gerak-gerik burung camar aneh di depannya.
‘Seekor burung bisa bicara? Apakah aku sudah gila? Ah tidak-tidak, sepertinya aku memang sudah mati. Tunggu, aku mati karena ditabrak pencopet?’ tanya Azura di dalam hati.
“Ah, memalukan sekali!” Teriak Azura sambil menjambak rambutnya.
“Kau kenapa? Kau malu bertemu denganku?” tanya Camaro dengan polos.
“Bu-bukan.” Jawab Azura sambil menggelengkan kepala.
‘Aku harus cari tahu tentang dunia ini. Aku pasti masih hidup,’ tegasnya di dalam hati.
“Hei, Camaro. Hutan Florestia itu di mana?” tanya Azura kepada si burung camar.
“Hutan Florestia itu di Negara Tirakia. Hutan Florestia adalah tempat tinggalku,” jawab Camaro.
Azura seketika menepuk kepalanya.
‘Bodoh! Tidak seharusnya aku bertanya dengan burung misterius ini. Bagaimanapun dia hanya seekor burung,’ keluh Azura dengan sesal di dalam hati.
“Baiklah, lalu apakah kau tahu mengapa aku bisa datang ke sini?” Azura kembali melontarkan pertanyaan kepada Camaro.
“Tahu. Kau datang ke sini, karena Dewa yang membawamu.”
“Dewa?” Azura sangat kaget dengan jawaban si burung camar tersebut.
“Ya, ya, Dewa. Kau adalah pahlawan pilihan Dewa untuk melawan pasukan iblis yang menganggu keseimbangan dunia ini.” Jawab Camaro sambil menganggukkan kepalanya, membuat ia merasa skeptis.
“Hah? Kau serius? Kau pasti sedang bercanda, kan?” Azura berusaha memastikan jawaban dari Camaro.
“Tentu saja aku serius. Lagi pula tidak ada untungnya aku berbohong.”
“Lalu, mengapa Dewa memilihku?” Azura menuntut jawaban.
“Ya mana aku tahu.”
“Ya sudah, tolong bilang ke Dewa, kalau aku menolak untuk menjadi pahlawan,” kata Azura dengan tegas.
“Haha, mana bisa. Kau ditakdirkan untuk menjadi pahlawan dan melawan pasukan iblis. Kau tidak bisa lari dari takdirmu,” seloroh Camaro yang terlihat tidak peduli.
Bruk!
Seketika Azura terlentang lemas dengan tatapan yang kosong.
‘Jadi, dihadapi atau lari, aku tetap harus melawan pasukan iblis?’ tanya Azura di dalam hati.
“Hei Azura, kau kenapa?” Tanya Camaro sambil menggoyang-goyangkan tubuh Azura yang tidak berdaya.
‘Setelah menjadi beban keluarga, aku harus menanggung beban satu dunia.’ Keluh Azura sambil menangis di dalam hati.
***
“Sebelum kau menggunakan sihir, kau harus tahu dua hal, yaitu mana dan power,” ucap Camaro. “Hm hm.” Azura menganggukkan kepala sambil menyantap semangkok mi yang terhidang di batok kelapa. “Ketika kau menggunakan sihir, kau harus pertimbangkan seberapa besar power sihir itu dan seberapa banyak mana yang dipakai,” ujar Camaro. “Slurp.” Azura hanya menganggukkan kepala sambil menyeruput kuah mi. Gubrak! Tiba-tiba sebuah tendangan mengarah kepada Azura, hingga membuatnya terjungkal. “Hei Camaro, apa yang kau lakukan?” tanya Azura dengan penuh emosi. “Kau! Mengapa kau hanya sibuk makan? Padahal aku sedang memberi pelajaran kepadamu!” jawab Camaro. “Y-ya, aku lapar,” sahut Azura. “Lapar, lapar. Seharusnya kau pikir, ketika aku menjelaskan, berhenti dulu makannya!” seru Camaro. “Hah.” Azura menghela napasnya. Dia kemudian duduk dan menatap Camaro dengan serius. “Baiklah, kali ini aku akan memperhatikanmu,” ucap Azura. Camaro hanya terdiam menatap Azura dengan mata membulat sem
Glek!Azura tertegun saat melihat seekor burung camar asing di depannya.“A-a-ada du-dua?” tanya Azura terbata.‘Satu burung saja menyebalkan, lalu bagaimana aku menghadapi dua burung sekaligus?’ tanya Azura di dalam hati.“Hei Camari, kau mengangetkan saja,” ujar Camaro.“Hah? Camari? Tu-tunggu, kalian kembar?” tanya Azura.“Bisa dibilang begitu,” gumam Camaro.“Senang bertemu denganmu, Azura.” Kata Camari sambil tersenyum tipis kepada Azura.“Ya, senang bertemu denganmu juga,” sahut Azura.‘Aku harap Camari tidak begitu menyebalkan seperti Camaro,’ kata Azura di dalam hati.“Camari, mengapa kau tidak memberitahuku dulu sebelum datang ke sini?” tanya Camaro.“Aku ingin membuat kejutan saja hihi.” Jawab Camari sambil menutup mulut dengan sayap putihnya.“Oh begitu,” gumam Camaro.Azura menyilangkan kakinya sambil memperhatikan dua burung camar yang asik berbincang. Perlahan-lahan, darah yang menetes dari hidungnya terhenti. Lemas di tubuh dia juga semakin menghilang.“Azura, apa saja
Duar! Sebuah ledakan kecil terjadi. Sihir Azura berhasil mengenai satu pohon besar di depannya tanpa menumbangkan pohon tersebut. “Hah.” Azura menghela napasnya sejenak. ‘Tubuhku tidak lemas seperti tadi,’ kata Azura di dalam hati. “Hebat! Kau hebat Azura! Kau sudah bisa mengendalikan mana dan power sihirmu,” ujar Camari. “Itu semua karena kau, Camari.” Sahut Azura sambil tersenyum lebar. Camari menggelengkan kepalanya. “Tidak, itu semua karena kerja keras dan kemampuanmu.” Bruk! Azura seketika memeluk Camari. “Ah Camari, kau begitu lembut dan baik hati. Berbeda sekali dengan burung jantan yang super menyebalkan itu,” ucap Azura. “Hehe, terima kasih pujiannya,” seloroh Camari. “Woy Azura buruk rupa! Aku masih bisa mendengar kata-katamu ya!” teriak Camaro dari ketinggian. “Berisik kau burung gemuk!” Cibir Azura sambil melepaskan pelukannya. Aum! Tiba-tiba terdengar suara hewan yang familiar bagi Azura. “Camari, apa kau dengar sesuatu?” tanya Azura. Camari menganggukkan
Camaro berjalan mendekati Azura. “Mau apa kau? Aku pukul nih!” Ancam Azura sambil mengangkat sebuah batu besar. “Aku minta maaf.” Kata Camaro sambil mengulurkan sayap kanannya. “Cih, tidak mau!” Tolak Azura sambil memalingkan wajah. “Hah.” Camaro menghela napas berat. “Azura, maafkanlah Camaro! Kau harus mendengarkan alasannya dulu. Aku yakin Camaro tidak berniat jahat kepadamu,” bujuk Camari. Azura melirik Camaro dengan sinis. “Ayo dong Azura, berdamai ya! Aku mohon!” Camari membujuk Azura dengan lembut. “Hah, baiklah. Kali ini aku akan memaafkanmu.” Ucap Azura sambil membalas uluran sayap Camaro. Camaro pun tersenyum tipis. “Tapi kau harus jelaskan apa tujuanmu melakukan itu!” Seru Azura sambil melepaskan sayap Camaro. “Baik, aku akan menjelaskannya kepadamu.” Ujar Camaro sambil duduk di depan Azura. Meskipun Azura sudah memaafkan Camaro, tetapi matanya masih sinis menatap Camaro. “Aku pernah mendengar bahwa ketika manusia merasa terdesak, maka ia akan mengeluarkan sel
“Elemenzeus fire ball.” Teriak Azura sambil menyerang Camaro yang terbang di ketinggian.Syuu! Syuu!Camaro dengan lincah berhasil menghindari serangan Azura.“Ha ha, kau masih belum bisa mengenaiku,” cibir Camaro.“Cih, bodo ah. Terserah kau saja!” Umpat Azura sambil terduduk dan bersandar di batang pohon besar.“Istirahat saja dulu,” ujar Camari.“Iya memang, melelahkan sekali,” sahut Azura.“Hei Azura, berhentilah bermalas-malasan!” Seru Camaro sambil terbang mendekati Azura.‘Apa sih, dasar burung camar menyebalkan.’ Umpat Azura di dalam hati sambil menatap tajam Camaro.“Sudahlah Camaro, biarkan Azura beristirahat dulu,” kata Camari.“Heleh, kemampuan masih lemah begitu kok malah sering beristirahat,” gerutu Camaro.“Tolong! Tolong!”Tiba-tiba Azura mendengar teriakan seseorang dari kejauhan.“Hei Azura, ada apa?” tanya Camari dengan ekspresi khawatir.“Kalian dengar tidak?” tanya balik Azura.“Dengar apa? Tidak ada suara apa-apa,” jawab Camaro.“Aku mendengar ada teriakan minta
“Jadi, mau kau apakan pria itu?” tanya Camaro.Azura menatap Camaro dengan tajam. “Apa maksudmu?”“Ya, apa rencanamu mengenai pria itu? Jika dia sadar, kau mau bagaimana?”“Hah.” Azura menghela napasnya seraya menyandarkan tubuh di batang pohon besar.“Mungkin aku akan mengantarnya untuk keluar dari sini,” jawab Azura.“Memangnya kau tahu jalan keluarnya?” tanya Camari.“Tentu saja tidak. Tapi aku bisa bertanya dengan kalian, bukan?”“Kami tidak bisa menampakkan diri ke depan pria itu,” jelas Camari.“Kenapa memangnya?” Azura mengangkat alisnya dengan penuh tanda tanya.“A-a-ah i-it-.” Camari berusaha menjawab pertanyaan Azura, tetapi Camaro dengan cepat menyanggahnya.“Karena aku terlalu tampan dan jenius untuk dilihat oleh pasang mata manusia asing ho ho.”Azura
‘Setelah pohon ceri merah, ambil arah timur…,’ pikir Azura di dalam hati. “Hei Azura! Lihat!” Seru Elenio sambil menunjuk gapura kuno di depan. “Gapura…,” lirih Azura. “Yeay! Akhirnya kita bisa keluar dari hutan ini." Kata Elenio sambil meloncat penuh semangat.Azura terdiam dan hanya berkata di dalam hati. 'Aku kira keluar dari hutan ini membutuhkan perjalanan yang lama.'"Hup, Hah. Aku kira, aku tidak bisa merasakan udara di luar hutan lagi." Ujar Elenio sambil sesekali menghirup udara segar di sekelilingnya.Azura menoleh dan menatap Elenio dengan datar. “Memangnya kau pikir benaran akan mati?” “Tidak, bukan begitu." Sahut Elenio sambil menggelengkan kepala dengan cepat. "Lalu?" Azura memiringkan kepalanya penuh penasaran. "Saat aku dengan kelompokku waktu itu, kami sulit sekali menemukan jalan keluar. Konon, masyarakat mengenal Hutan Florestia itu adalah hutan kramat,” jelas Elenio.“Ha ha.” Azura lantas tertawa setelah mendengar perkataan Elenio yang menohok. “Kau menertawa
Syut! Syut! “Whoa, ternyata kau juga hebat dalam menggunakan pedang!” Puji Elenio sambil memperhatikan Azura dengan mata yang membulat sempurna. “Heh? Ah tidak, tidak. Aku belum pernah belajar seni bela diri pedang. Barusan yang kau lihat itu hanya sedikit adegan pertarungan yang aku baca dari komik kesukaanku,” sahut Azura. “Loh, komik? Apa itu?” Tanya Elenio sambil memiringkan kepalanya dengan penuh penasaran. “Komik it-.” Seketika seorang pria kekar menyanggah perkataan Azura. “Komik itu sejenis buku, tetapi ada gambarnya. Ya, semacam koran gitu, tetapi berisi cerita fiksi.” “Wah! Lion! Lama tidak berjumpa,” sapa Elenio dengan penuh semangat. “Halo Pangeran, bagaimana kabarmu? Kemana saja kau? Sepertinya kau membawa teman baru lagi?” tanya pria kekar bernama Lion tersebut. “He he iya, perkenalkan dia Azura,” ujar Elenio. “Azura Amalthea.” Ujar Azura sambil membungkukkan tubuh selama beberapa saat. “Ah iya, saya Lion, pemilik toko peralatan senjata ini. Senang bertemu denga
"Sudah lama ya kita tidak duduk berdua seperti ini," ucap Azura."Yah kau saja yang terlalu sibuk." Sahut Elenio, lengkap dengan senyum sinisnya."Aku ada tugas misi, mau bagaimana lagi.""Tapi kau hebat, Azura," puji Elenio.Azura lantas menoleh dan menatap Elenio. "Hebat kenapa? Kau bicara apa, Elen?""Iya, kau sangat hebat tau!" Tutur Elenio sambil menganggukkan kepalanya."Mana ada," gumam Azura."Kau hebat, Azura. Aku mohon kau jangan menyangkal itu.""Sekarang, coba jelaskan, aku hebat karena apa?""Banyak hal yang kau lalui. Kau juga hebat bisa mengalahkan banyak iblis," jawab Elenio."Hah." Azura menghela napasnya sejenak.Syuuu.Pepohonan bergoyang diterpa semilir angin."Aku berkali-kali hampir mati. Perutku saja sampai bolong," ucap Azura."Bo-b-b-bolong?!" Elenio terkaget setelah mendengar perkataan Azura.Azura menganggukkan kepalanya dengan cepat. "Iya bolong, perlu aku tunjukkan?""Mana? Aku mau lihat!""Tidak boleh!" larang Azura."Cih, tadi kau menawarkan.""Aku perem
"Memangnya kenapa aku tidak boleh ikut dalam misi itu?" Tanya Azura sambil menatap Pangeran Elzenath dengan tajam."Hola, semua!" Sapa Laurel dari kejauhan yang berhasil memecah suasana."Cih," desis Pangeran Elzenath."Kalian sedang bicara apa? Sepertinya asik sekali?" Tanya Laurel sambil merangkul pundak Pangeran Elzenath."Kau ini, datang di saat yang tidak tepat!" Decak Pangeran Elzenath sambil mengepalkan kedua tangannya."Loh, emang iya?""Pake nanya lagi!" bentak Pangeran Elzenath."Hue he he, maaf ya. Aku tidak tahu." Sahut Laurel sambil tertawa kecil."Kenapa kalian bekerja sama untuk mencegahku menjalankan misi dari Guru La Gramarye?" tanya Azura dengan tegas."Ho ho ho, misi apa? Memang si Kakek tua itu memberikanmu misi apa sih? Aku saja ti-.""Diam!" potong Azura.Laurel langsung terdiam."Aku tidak ingin basa-basi. Aku butuh kepastian! Mengapa kalian bekerja sama mencegahku menjalankan misi itu? Apa kalian memandangku dengan lemah? Apa menurut kalian, aku tidak mampu men
Azura berjalan menyusuri lorong menara sihir yang cukup gelap.'Aku seperti berjalan di film horor,' decak Azura di dalam hati.Syuu. Cletak.Hembusan angin yang kencang, berhasil membuka paksa jendela usang di sisi lorong."Tanpa permisi." Gumam Azura sambil melihat jauh ke luar jendela.Prak. Prak.Langkah kaki perlahan mendekati Azura."Elizabeth, apa kabar?" tanya Azura."Saya sungguh terpukau. Kau menyadari kehadiranku dengan cepat."Azura tersenyum tipis, lalu ia pun berbalik dan menatap Elizabeth."Bukankah kita teman?" seloroh Azura.Elizabeth tersenyum kecil, lalu ia memejamkan matanya beberapa saat."Kau belum menjawab pertanyaanku loh." Ucap Azura sambil berdekap tangan."Kabarku baik. Bagaimana denganmu?" Tanya Elizabeth sambil menatap nanar mata Azura."Aku baik. Meskipun beberapa kali berada di ambang kematian." Jawab Azura sambil menatap pemandangan di luar jendela."Syukurlah jika begitu," ujar Elizabeth.Puk. Puk."Jika kau mati, mungkin Guru akan depresi." Sambung El
"Hah, aku lemas sekali." Lirih Azura seraya berjalan dengan lunglai."Maaf, kita tidak bisa masak daging," ucap Laurel.Azura menunjuk Laurel sambil berkata. "Ini semua gara-gara kau!""Hah?" Laurel pun menyanggah dengan mulut yang lebar."Iya! Gara-gara kamu! Kamu sih masak dagingnya lama, jadi keburu ada iblis," ujar Azura."Heleh, bukankah ini semua gara-gara kau?!" Laurel seketika menghentikan langkahnya."Kok aku?!" Azura yang tidak mau kalah, langsung berbalik tanya dengan mata yang membulat sempurna."Iya kamu! Coba saja jika kamu tidak marah-marah dan ngambek selayaknya bocah, kita mungkin sudah membakar daging dan menikmatinya sebelum para iblis itu datang." Decak Laurel sambil bertolak pinggang seperti seorang ayah yang memarahi putrinya."Apa?! Kau ini sebenarnya laki-laki atau perempuan sih?! Seenaknya sekali menilai seseorang!""Aku? Menilai? Aku menilai kamu? Hei, aku bukan menilai, tapi aku berbi-."Belum sempat Laurel melanjutkan perkataannya, tiba-tiba sesuatu menimpa
“Hoam, aku tidak mengerti mengapa kau malah mengajakku jalan saat dini hari.” Ujar Azura seraya menguap.“Agar kita cepat sampai ke Ibu Kota Tirakia.” Jelas Laurel yang memimpin jalan.“Mengapa harus cepat-cepat? Santai saja tidak sih?” gerutu Azura.“Kalau sudah sampai mah enak,” sahut Laurel.“Tapi kalau jalan dini hari seperti tadi bisa-bisa kita bertemu iblis.”“Siang hari juga kita bisa bertemu iblis.”“Tapi besar kemungkinan kita bertemu iblis kalau gelap.”Laurel menghentikan langkahnya.Bruk!Azura yang selama ini berjalan mengantuk, seketika menabrak punggung Laurel.“Aduh! Punggungmu keras sekali,” decak Azura.“Lagi pula mengapa kau malah menabrakku? Jika mau memelukku, bilang saja,” sahut Laurel.“Cih, mana ada. Hoam.”Laurel menoleh dan menatap Azura.“Kau sungguh mengantuk?” tanya Laurel dengan khawatir.Azura menganggukkan kepalanya dengan cepat.“Ya sudah, kita beristirahat dulu saja di sini!” Seru Laurel sambil mengarahkan Azura untuk duduk di bawah pohon mangga yang
“Baik, kalau begitu saya permisi.” Ucap seorang perempuan berambut pendek seraya pergi.“Siapa itu? Muridmu?” tanya Azura.“Oh, itu?” Tanya balik Laurel sambil menoleh dan menatap Azura.“Iya, memang kau berpikir apa, hah?!” Sahut Azura sambil berdekap tangan.“Dia bukan muridku.” Jelas Laurel sambil tersenyum tipis.“Lalu?”“Nih, dia memberiku sebuah surat ini.” Kata Laurel sambil menyodorkan Azura sebuah amplop putih.“Surat cinta?” ledek Azura.“Kau berpikir apa sih, ha ha ha.”“Yah, lalu apa? Mengapa juga kau malah memberikan surat itu kepadaku?” heran Azura.Laurel langsung meraih tangan Azura dan meletakkan amplop putih itu di atas telapak tangan Azura.“Heh?” Azura semakin bingung dengan sikap Laurel.“Surat itu untukmu.” Kata Laurel sambil berpaling dari pandangan Azura.“Untukku? Untuk apa? Apa sih maksudmu? Tinggal bicara saja, mengapa harus ada surat begini?”“Itu bukan surat dariku,” lirih Laurel.“Heh? Lalu?” Azura menaikkan kedua alisnya.“Itu dari pengawal kerajaan,” uc
"Nih!" Kata Laurel sambil menyodorkan segelas teh hijau kepada Azura."Kau sehat?" tanya Azura."Tentu saja, mengapa kau bertanya seperti itu?" Tanya balik Laurel sambil duduk di sebelah kanan Azura.Azura pun menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak biasanya saja kau baik.""Cih, sebegitu buruknya aku di pikiranmu?" sahut Laurel."Ha ha ha, tidak buruk selalu sih.""Ya sudah, nih ambil!" Seru Laurel seraya menggoyang-goyangkan segelas teh hijau."Hm, baiklah. Terima kasih." Kata Azura sembari menerima segelas teh hijau dari Laurel."Aku kagum dengan perkembanganmu," ujar Laurel."Heleh, jangan memujiku sebaik itu." Sahut Azura sambil mengendus aroma teh hijau.Laurel menggelengkan kepalanya. "Aku tidak sedang memujimu. Aku bicara apa adanya.""Oh begitukah?" lirih Azura."Aku rasa perkembangan yang sekarang telah cukup, jadi apakah kau akan balik ke Ibu Kota?" tanya Laurel.Azura menoleh dan menatap Laurel selama beberapa detik, kemudian ia memalingkan pandangannya."Kau mengusir
"Hem benar! Kau benar Camaro!" Ucap Azura sambil menganggukkan kepala penuh tekad."Kalau begitu ayok Azura!" teriak Camaro."Hyaaaa!"Azura dan Camaro berlari menerjang kobaran api.'Saat ini, aku harus bisa!' kata Azura di dalam hati."Azura, ambil posisi barat!" seru Camaro."Hm, oke!" Sahut Azura sambil menganggukkan kepalanya dan berlari ke arah barat sesuai dengan instruksi Camaro."Uhuk! Uhuk!" Asap yang menggumpal begitu pekat mengganggu pernapasan dan penglihatan Azura.'Aku harus menggunakan sihir perlindungan,' kata Azura di dalam hati."Elemenzeus light eyes protected!" gumam Azura.Melalui sihir perlindungan yang Azura aktifkan, ia mampu melihat lebih jelas semua objek di antara asap tebal."Azura, mari serang bersamaan!" seru Camaro."Hm, baik!" Kata Azura sambil menganggukkan kepalanya."Wahai Dewa penyelamat alam semesta, berikanlah kami sedikit kekuatan. Elemenzeus white light ball!" Teriak Azura dan Camaro secara serempak.Syuuuu!Bola cahaya putih melesat dengan ce
“Hya! Hya!”Syut! Switch!“Hah hah.”Azura dengan penuh tekad berlatih seorang diri di bawah sinar rembulan.‘Aku, harus lebih kuat!’ tegas Azura di dalam hati.“Hya!”Whoosh! Duar!Brak.Azura terduduk lelah. “Sial, seharusnya aku bisa menahan diri sedikit lagi. Jika begini, aku bisa membangunkan banyak orang.”Brum! Brum!Sesekali Azura merasakan sebuah getaran misterius di dekatnya.“Getar?” Dengan rasa waspada, Azura memperhatikan sekelilingnya.‘Di saat seperti ini, adalah cara yang tepat untukku menciptakan sihir baru,’ kata Azura di dalam hati.Azura langsung menundukkan kepalanya, lalu ia berkonsentrasi dengan keras.“Wahai Dewa pemelihara alam semesta, aku..., Azura Amalthea, meminjam sedikit kekuatanmu. Elemenzeus light eyes detected!”Mata Azura seketika di kelilingi oleh cahaya violet.‘Aku berhasil! Aku bisa, aku bisa merasakannya!’ senang Azura di dalam hati.Azura pun tersenyum puas. Kini, dengan kekuatan sihir yang ia ciptakan, ia mampu melihat objek halus yang tidak t