Pagi ini, Elisa berada di penjara bawah tanah. Ia berjalan sendirian menuju sana karena Kinan sudah pergi lebih awal. Sebenarnya, ia seharusnya tidak berada di sana saat ini. Daren telah memberikan perintah agar ia tidak datang beberapa hari yang lalu. Namun, Elisa merasa bosan. Selain itu, ada kewajiban yang harus dilakukannya, terutama karena ia mengikuti kontes bersama Kiana. Tidak mungkin bagi gadis itu untuk melakukannya sendirian, bukan? Sementara itu, Elisa hanya tidur di tempat tidur, makan, dan minum tanpa melakukan apapun.Elisa melangkahkan kakinya ke dalam lorong yang gelap dan tak berujung. Awalnya, ia ragu untuk masuk. Ada perasaan takut melihat lorong yang gelap di depannya. Lorong itu terasa sepi, tanpa ada pelayan atau warrior yang lewat. Udara di bawah tanah terasa lembab dan dingin, dan Elisa bisa mencium bau bangkai.Semakin mendekati penjara, aroma bangkai semakin tercium. Elisa yakin aroma itu berasal dari mayat-mayat Rogue yang tewas, entah karena apa. Mungkin k
Matahari telah mencapai titik tertinggi di langit. Elisa akhirnya bisa keluar dari kamarnya setelah mendapatkan izin dari Daren. Ia senang bisa berjalan-jalan di istana, meskipun harus mematuhi beberapa persyaratan yang ditetapkan. Ia menyadari bahwa melanggar salah satu persyaratan tersebut akan berakibat buruk baginya, seperti dikurung di dalam kamar tanpa diizinkan keluar.Dengan demikian, Elisa hanya bisa berjalan mengelilingi istana sampai dia benar-benar pulih. Padahal, dia sudah tidak merasakan rasa sakit lagi, terutama setelah menggunakan ramuan yang dia buat sendiri. Sebenarnya, dia bisa sembuh sepenuhnya dengan ramuan dari X, namun dia memutuskan untuk tidak menggunakannya. Elisa takut jika tabib-tabib akan mengetahui hal tersebut. Baginya, itu sama saja seperti memberi tahu X tentang keberadaannya. Dia yakin bahwa X akan dicari ketika para tabib mengetahuinya."Salam, Luna," sapa para pelayan yang dengan hormat menundukkan kepala mereka.Elisa tersenyum kepada mereka semua
"Apakah aku boleh membuatkannya untukmu?" tanya Elisa dengan sopan. Ia sedikit tersanjung karena telah dikagumi. Mungkin memberikan ramuannya sebagai ucapan terima kasih jauh lebih baik, dibandingkan sekedar ucapan saja."Tentu saja, aku ingin merasakan manfaat dari ramuan yang kau buat," ujar Marius sambil tertawa. Tawa yang tak pernah berubah sejak dulu. Bahkan tawa itulah yang membuat Elisa jatuh cinta pada pandangan pertama.Itu dulu, tidak sekarang. Masa kini melihat tawa pria itu membuatnya geram. Bahkan kini, ia mengepalkan kedua tangannya agar amarah tak keluar begitu saja. Ila tahu ini bukan waktu yang tepat. Banyaknya serigala yang berkumpul membuatnya sadar diri. Sama saja ia mengganggu macan di kandangnya. Ia akan kalah telak.Saat itu juga beberapa pelayan datang membawakan makanan dan minuman untuk mereka, termasuk pelayan yang ditemuinya tadi saat di dapur.Elisa langsung mengambil salah satu minuman tersebut. Tanpa rasa takut, ia memasukkan beberapa tetes ramuan yang s
"Tidak!" teriak Daren sambil menarik tangan Elisa menjauhkan kakeknya. Ia tidak suka melihat Elisa disentuh oleh pria lain, bahkan jika itu anggota keluarganya sendiri, termasuk sang kakek.Daren menatap tajam kakeknya. Meskipun hanya seorang kakek, ia merasakan ada perasaan lain dari tatapan kakeknya pada Elisa. Dan hal itu tidak bisa ia biarkan begitu saja."Wah, sepertinya cucuku sedang cemburu padaku," ujar Marius dengan senyuman mengejek mengarahkan pada Daren. Dia senang bercanda dengan cucu-cucunya. Dulu, ketika mereka berdua masih kecil, Marius sering melakukannya. Namun, sekarang tidak lagi. Kedua cucunya sibuk dengan kegiatan masing-masing dan setelah mendapatkan pasangan masing-masing, mereka sudah melupakan pria tua itu."Kau benar, Ayah. Aku tidak pernah melihat dia seperti itu sebelumnya," sela sang raja. Ia mengakui bahwa Daren tidak pernah menunjukkan sikap seperti sekarang pada Valeri. Baru kali ini ia melakukannya pada Elisa.Gadis ini telah membuat perubahan dalam k
Daren berendam di air dingin di sebuah air terjun. Biasanya ia akan pergi ke sana bersama wanitanya, tapi sekarang ia hanya sendirian. Mungkin nanti ia akan membawa Elisa ke sini."Hei, apa yang kita lakukan di sini? Ayo kembali ke kamar. Aku ingin segera bertemu dengan Elisa dan melakukannya," ucap wolfnya, Greg."Itu tidak akan terjadi, Greg. Kau bisa melihat tadi bahwa Elisa tidak menginginkannya. Aku tidak ingin melukainya dan membuat Elisa semakin membenci kita," jelas Daren.Setelah itu, Daren kembali menyelam untuk mendinginkan pikirannya. Ia membuka mata dan melihat beberapa ikan yang sedang berenang mendekatinya. Tiba-tiba, ia mendapatkan ide.Dengan tangkas, ia menangkap ikan-ikan tersebut dan membawanya ke daratan. Setelah memakai kembali pakaiannya, ia mencari beberapa kayu untuk dibakar bersama dengan ikan hasil tangkapannya tadi.Ia merasa lapar setelah lima belas menit berendam di air tersebut. Kini, pikirannya sudah teralihkan oleh ikan-ikan segar di sampingnya. Tak bu
Suasana lapangan begitu ramai dengan suara pedang yang saling beradu. Tidak hanya itu, suara para pejuang pun terdengar begitu keras. Di sudut lapangan terdapat dua orang pria yang sedang bercengkerama, membahas strategi peperangan untuk mempertahankan wilayah. Daren, sebagai Alpha, sedang mendengarkan dengan seksama penjelasan dari Gamma, orang yang bertugas membuat strategi perang dan melatih para pejuang agar siap berperang kapanpun dibutuhkan."Daren, bagaimana kemampuan mereka?" tanya Daren. "Aku pikir kemampuan mereka jauh lebih baik sekarang, jadi kau tak perlu khawatir. Mereka siap kapanpun dibutuhkan," jelas Gamma tersebut.Daren merasa bangga pada Gamma. Serigala itu begitu bisa diandalkan, dan ia percaya pada Gamma tersebut.Setelah berbicara panjang lebar, keduanya pun berpisah. Gamma pamit untuk kembali melatih para pejuang di lapangan. Sementara itu, Daren masih memperhatikan latihan tersebut. Dalam pengawasannya, tiba-tiba terdengar suara Elisa tertawa. Tidak hanya itu,
2 / 2Semua orang terkejut ketika Elisa tiba-tiba menyerang Alpha mereka. Para pejuang berhenti berlatih dan antusias menyelimutinya. Jarang sekali Alpha turun ke lapangan pelatihan, apalagi untuk bertarung. Pertarungan antara seorang Luna dan Alpha merupakan peristiwa langka. Meskipun mereka tahu siapa yang akan keluar sebagai pemenang, tetap saja pertarungan ini menarik perhatian. Melihat dua pemimpin saling berhadapan begitu menyenangkan.Namun, ketegangan timbul saat Elisa terlihat kesulitan menghadapi serangan Alpha mereka. Daren merasa tak percaya akan keahlian Elisa dalam bermain pedang. Terlihat bahwa kelemahan gadis itu memaksa dia untuk menguasai hal-hal lain demi mempertahankan diri dari musuh-musuhnya.Para penonton, termasuk Kiana, juga terkesima melihat kemampuan Elisa. Gadis itu ternyata memiliki kelebihan dalam berpedang, meskipun masih perlu banyak perbaikan. Bagi seorang pemula, itu sudah merupakan prestasi yang baik."Sepertinya kau cukup terampil dalam menggunakan
"Kak! Hentikan!" teriak Kiana dari kejauhan. Gadis itu berlari menuju tengah lapangan, di mana Elisa terdiam dengan tatapan sengaja menatap kakaknya yang kejam. Bagaimana mungkin Daren melukai Elisa, pasangannya sendiri? Kiana berpikir bahwa Daren adalah pria yang tidak memiliki hati nurani. Gelar Alpha terkejam memang pantas untuknya."El, apa kau baik-baik saja?" tanya Kiana, mencoba membantu Elisa menutup luka di bahunya agar darah tidak terus mengalir. "Kau sengaja ingin membunuh pasanganmu sendiri!" sarkas Kiana menghadap Daren. Luka yang diberikan mungkin hanya sedikit, tetapi bagi Elisa itu cukup besar. Luka tersebut masih mengeluarkan darah yang merah dan kental. Elisa terus menatap kakaknya, tidak ada rasa hormat yang tersisa. Biarkan orang lain menganggapnya tidak sopan kepada pemimpin mereka."Hanya luka kecil, Kia. Dan karena itu, kau kehilangan rasa hormat padaku?" Daren meremehkan sambil menyentuh pedangnya dengan jari. Dia bahkan hanya melirik Elisa sekilas tanpa rasa b