2 / 2Semua orang terkejut ketika Elisa tiba-tiba menyerang Alpha mereka. Para pejuang berhenti berlatih dan antusias menyelimutinya. Jarang sekali Alpha turun ke lapangan pelatihan, apalagi untuk bertarung. Pertarungan antara seorang Luna dan Alpha merupakan peristiwa langka. Meskipun mereka tahu siapa yang akan keluar sebagai pemenang, tetap saja pertarungan ini menarik perhatian. Melihat dua pemimpin saling berhadapan begitu menyenangkan.Namun, ketegangan timbul saat Elisa terlihat kesulitan menghadapi serangan Alpha mereka. Daren merasa tak percaya akan keahlian Elisa dalam bermain pedang. Terlihat bahwa kelemahan gadis itu memaksa dia untuk menguasai hal-hal lain demi mempertahankan diri dari musuh-musuhnya.Para penonton, termasuk Kiana, juga terkesima melihat kemampuan Elisa. Gadis itu ternyata memiliki kelebihan dalam berpedang, meskipun masih perlu banyak perbaikan. Bagi seorang pemula, itu sudah merupakan prestasi yang baik."Sepertinya kau cukup terampil dalam menggunakan
"Kak! Hentikan!" teriak Kiana dari kejauhan. Gadis itu berlari menuju tengah lapangan, di mana Elisa terdiam dengan tatapan sengaja menatap kakaknya yang kejam. Bagaimana mungkin Daren melukai Elisa, pasangannya sendiri? Kiana berpikir bahwa Daren adalah pria yang tidak memiliki hati nurani. Gelar Alpha terkejam memang pantas untuknya."El, apa kau baik-baik saja?" tanya Kiana, mencoba membantu Elisa menutup luka di bahunya agar darah tidak terus mengalir. "Kau sengaja ingin membunuh pasanganmu sendiri!" sarkas Kiana menghadap Daren. Luka yang diberikan mungkin hanya sedikit, tetapi bagi Elisa itu cukup besar. Luka tersebut masih mengeluarkan darah yang merah dan kental. Elisa terus menatap kakaknya, tidak ada rasa hormat yang tersisa. Biarkan orang lain menganggapnya tidak sopan kepada pemimpin mereka."Hanya luka kecil, Kia. Dan karena itu, kau kehilangan rasa hormat padaku?" Daren meremehkan sambil menyentuh pedangnya dengan jari. Dia bahkan hanya melirik Elisa sekilas tanpa rasa b
"Apa yang terjadi di sini, Aston?" tanya seorang werewolf dengan tubuh besar yang baru saja tiba dengan para wariornya. Dia melihat sekeliling tempat itu dengan tatapan tajam. Di depan mereka, banyak Rogue yang memberontak, dan juga banyak warrior yang telah gugur."Sepertinya para Rogue telah melakukan serangan. Mereka beraksi lebih cepat dari yang saya duga," jelas serigala yang hampir sebesar Aston.Mereka berdua berdiri di atas batu besar sambil terus mengawasi para Rogue tersebut. Tatapan mereka begitu tajam, terutama Daren, yang memahami situasi dengan matanya.Aston jelas kalah jumlah dibanding para Rogue. Mereka tampak tak berhenti datang seperti semut. Mungkin semua Rogue di benua ini berkumpul? Tidak heran Aston membutuhkan bantuan.Tiba-tiba, Daren melihat pemimpin Rogue muncul di antara mereka. Tubuh serigala itu hampir sebesar tubuh Aston. "Apakah kau sudah siap, Daren?" tanya Greg dengan suara merem-melek melalui pemindah pikiran.Daren tidak sabar untuk memulai. Dia ber
Elisa kembali kesal karena masih tidak bisa keluar dari istana. Ini adalah hari kedua setelah Daren pergi. Tampaknya sang Alpha ingin dia mati kebosanan di sini."Dasar pria sinting!" geram Elisa di hadapan pengawal. Dia tidak peduli dengan mereka yang akan mencelanya. Dia berharap Daren mati di medan perang. Dia tidak ingin melihat Daren lagi.Pria itu selalu saja membuatnya kesal. Seperti sekarang, pengawasan dari para pengawal membuatnya tidak bisa bergerak dengan bebas. Meskipun kesal, dia masih memiliki cara lain untuk keluar. Kemungkinan besar akan berhasil."Baiklah, aku akan pergi dari sini dan kembali ke kamar," ujarnya pada dua pengawal yang selalu mengikutinya.Dia kembali memasuki istana dan berpura-pura menuju kamar. Saat sampai di depan kamar, dia berhenti sejenak dan menatap kedua pengawal tersebut."Apa kalian akan mengikutiku sampai ke dalam?" tanya Elisa dengan tatapan aneh."Maaf, Luna, kami tidak berani. Tapi kami akan menunggu di sini. Itu adalah perintah, jadi mo
Greg sibuk bermain dengan para rogue yang semakin banyak menyerangnya, tetapi bukannya takut, ia malah menyeringai dengan senang hati. Meskipun begitu, ia bingung dari mana datangnya mereka semua. Sepertinya mereka tidak pernah habis. Mati satu, muncul lagi yang lain. Tubuhnya sudah dipenuhi dengan bekas cakaran dari para rogue, tetapi itu tidak mengurangi semangatnya untuk membunuh mereka. Meskipun sudah dua hari bertempur, ia tetap tidak kelelahan. Kemampuannya tidak diragukan lagi. Daren bahkan bisa bertempur selama seminggu hanya untuk mempertahankan wilayahnya.Tiba-tiba, suara sang beta mengganggu Greg. Seketika itu, dia tidak bisa berkonsentrasi. Beberapa rogue bahkan sempat melukainya. Greg mundur sedikit dan menggeram marah pada mereka. Main-mainnya telah hilang. Kali ini, dia akan menyelesaikan semuanya dalam sekejap. Dia bahkan mengaum keras sehingga terdengar oleh seluruh kaum werewolf yang ada di sana. Tanpa menunggu lagi, dia menerjang rogue-rogue di sana.Dia mencakar d
Daren sangat marah. Elisa belum ditemukan selama lebih dari satu jam. Ia telah menebas beberapa kepala prajurit yang gagal menjalankan tugasnya, termasuk dua pengawal yang telah diperintahkannya satu atau dua hari yang lalu. Tanpa ragu, ia mengayunkan pedang yang masih berlumuran darah prajurit tak bersalah. Para pejuang yang berkumpul di sana merasa cemas melihat teman-teman seperjuangan mereka mati sia-sia. Mereka merasa seperti menunggu kematian yang menjemput mereka, semakin dekat dan dekat."Mengapa kalian membiarkannya pergi begitu saja? Aku sudah mengatakan agar tidak meninggalkan luna kalian sendiri, bukan!" teriak Daren sambil mengayunkan pedang ke arah pejuang lain yang menunggu giliran. Suara pedang menyambar, dua kepala terlepas dan darah mengalir dari sayatan di leher mereka seperti air yang deras.Daren menghentikan gerakan pedangnya setengah ayunan. Ia merasakan aroma yang dikenalnya dengan baik. Aroma vanilla dan kayu manis yang memikatnya. Daren menoleh ke arah sumber
Teriakan dari para pejuang bergema di lapangan. Mereka terkejut dengan apa yang terjadi. Alpha mereka terluka.Sementara itu, Elisa semakin menarik pedangnya untuk membuat luka semakin dalam. Berbeda dengan Elisa, Daren tetap tenang. Ia bahkan tampak menikmati gesekan pedang tersebut. Ia tidak memperdulikan darah yang mengalir dari lehernya."El! Berhenti! Kau akan membuat Daren kehabisan darah!" teriak Kiana yang telah memperhatikan pertarungan mereka berdua.Namun, Elisa tidak menghiraukannya. Tanpa sadar, tubuhnya terhuyung ke samping. Kiana mendorong gadis itu dengan kekuatan serigalanya. Ia tidak menyadari tindakannya.Ketika menyadari apa yang telah dilakukannya, ia berlari mendekati Elisa untuk membantu gadis itu berdiri. Ia juga meminta maaf pada Elisa."El, apa yang terjadi padamu?" tanya Kiana ketika berada di depan gadis itu."Kia, kembalilah ke tempatmu. Aku akan menyelesaikan urusan dengan pria gila itu!" ejek Elisa sambil tetap menatap pria di hadapannya yang meremehkann
2 / 2Elisa masih menutup matanya, berpikir sejenak. Apa yang sedang terjadi? Mengapa ia tidak merasakan apa-apa? Apakah ia sudah mati? Setelah menghitung dalam hati, ia membuka matanya perlahan-lahan. Namun, alih-alih menemui keadaan yang diharapkan, ia merasakan kecupan di dahinya yang membuatnya terkejut. Ketika ia menatap, ia melihat Daren tersenyum padanya.Pedang yang tadi disentuh oleh Daren sudah jauh dari dirinya. Ia tidak mendengar suara benda itu jatuh atau tersingkir. Daren tiba-tiba saja terjatuh dan menabrak tubuh Elisa. Terkejut, Elisa langsung menangkap tubuh pria tersebut yang begitu berat. Namun, karena keterbatasan kekuatannya, Elisa tidak bisa menahannya dan akhirnya ikut terjatuh bersama Daren yang telah menutup matanya."Hei, jangan bermain-main!" bisik Elisa dengan suara bergetar di telinga Daren.Namun, pria itu tetap tak bergerak, semakin melemah. Elisa mencoba mengguncang-guncangkan tubuh Daren, tetapi ia tetap tidak bereaksi. Bahkan semakin melemah."Apa kau