“Ini Arthur dan Airell, Ma,” Oliver menjawab sambil memegang bahu si kembar dengan bangga. “Mereka anak-anak kami.”Tatapan Jingga berubah, penuh keterkejutan dan keharuan. Ia menatap Davin sejenak, lalu tersenyum lebar. “Anak-anak kalian? Astaga... jadi kalian punya anak kembar? Mereka cantik dan tampan sekali!” Jingga membungkuk untuk menyesuaikan tinggi mereka, menatap kedua bocah itu dengan tatapan tak percaya. “Hai, Arthur, Airell. Aku Grandma Jingga. Senang bertemu kalian.”Arthur dan Airell memandang Jingga dengan rasa penasaran.Arthur, yang lebih berani, tersenyum lebar. “Hai, Grandma! Aku Arthur, dan ini Airell,” ujarnya memperkenalkan diri. Airell mengangguk malu-malu di sebelahnya.Jingga tertawa kecil dan memeluk mereka dengan lembut. “Kalian berdua manis sekali. Grandma sangat senang bertemu kalian.”Davin yang berdiri di samping Jingga, juga ikut mendekati mereka. Wajahnya yang b
“Gimana kalau malam ini kalian menginap saja di sini?” tawar Jingga dengan penuh harap.Mendengar hal itu, Oliver langsung mengangguk setuju. “Aku sih oke oke aja.” Ia melirik ke arah Yara dengan mesra. “Gimana menurutmu, Sayang?”Yara berpikir sejenak, menatap kedua anaknya yang makan dengan lahap. Mungkin ini waktu yang tepat untuk semakin mendekatkan hubungan anak-anak dengan keluarga Oliver, pikirnya. Yara pun mengangguk. “Boleh. Aku juga setuju, kok.”“Nanti aku pulang dulu ke rumah buat ngambil pakaian kalian,” ucap Oliver.Yara kembali mengangguk.“Bagus! Kalau begitu kita siap-siap bikin malam ini lebih seru,” ujar Jingga dengan semangat. “Arthur, Airell, nanti kita bisa cerita-cerita sebelum tidur. Kalian mau dengar cerita apa?”Arthur yang lebih aktif langsung menjawab, “Cerita tentang Daddy waktu kecil, Grandma! Pasti seru banget.”Jingga terkekeh, sementara Davin ikut menimpali, “Oh, cerita tentang Daddy kalian waktu kecil? Banyak sekali cerita lucu tentang dia. Nanti Gran
Jingga baru saja memulai cerita pembuka untuk Arthur dan Airell, tetapi mata mereka berdua sudah tampak mengantuk. Berkali-kali si kembar menguap sambil mengeluh, “Ngantuk.” Jingga terkekeh kecil melihat mereka, perlahan ia mengusap puncak kepala si kembar satu persatu. “Mereka lucu-lucu, ya?” ucapnya pada Davin yang duduk di samping Airell. “Aku sama sekali nggak menyangka kalau Yara melahirkan anak kembar.” Davin mengangguk, senyuman lembut menghiasi wajah tegasnya. “Aku juga nggak menyangka, tapi melihat mereka sekarang, rasanya luar biasa. Mereka benar-benar perpaduan Yara dan Oliver,” gumamnya sambil menatap Arthur dan Airell yang mulai menguap lebar. “Tapi Oliver lebih banyak, sih. Tanpa perlu tes DNA juga orang-orang akan langsung tahu kalau mereka anaknya Oliver.” Jingga menatap si kembar dengan penuh kasih sayang. "Arthur mewarisi keceriaan Yara, sedangkan Airell lebih tenang seperti Oliver. Tapi keduanya punya daya tarik tersendiri," ucapnya, ia hendak berdiri untuk memb
“Oliver, aku mohon.” Suara Yara kini terdengar serak, hampir seperti bisikan. Ia berdiri tertatih-tatih, bersandar pada pintu yang dingin. “Aku nggak bisa seperti ini terus. Aku bukan Zara... aku nggak bisa menjadi dirinya....”Langkah kaki terdengar mendekat dari luar. Jantung Yara berdegup kencang. Pintu tidak terbuka, tetapi suara Oliver akhirnya terdengar, rendah dan dingin. “Kamu harus belajar, Yara. Kamu adalah pengganti Zara. Kamu tahu itu sejak awal.”Yara tertegun, air matanya mengalir tanpa bisa ia hentikan. Pengganti Zara. Itulah dia di mata Oliver. Bukan dirinya sendiri. Hanya bayang-bayang dari seseorang yang telah pergi.“Aku bukan Zara!” teriak Yara dengan seluruh tenaga yang tersisa. “Aku nggak akan pernah jadi dia, Oliver! Aku adalah aku! Kalau kamu nggak bisa terima itu, biarkan aku pergi!”Ini hari ketiga Yara dikurung di kamar itu—kamar yang dulunya milik Zara, saudari kembarnya sekaligus mendiang istri Oliver. Oliver bersikeras Yara harus tinggal di sini, mengenaka
“Aku mau menjadi Zara seperti yang kamu mau, tapi aku mohon jangan hentikan biaya pengobatan ibuku. Dan selain itu... aku punya permintaan lain.” Keterkejutan kembali tergambar di wajah Oliver saat mendengar ucapan Yara, tapi hanya sesaat, pria itu pandai menguasai ekspresinya. Ia berdiri, melangkah pelan keluar dari kungkungan meja kerja, bersandar di tepian meja menghadap Yara. “Permintaan?” ulang Oliver dengan ekspresi datar. “Iya.” Yara menjawab cepat. “Aku punya dua permintaan.” Oliver melirik tangan kiri Yara yang tengah saling meremas dengan tangan kanan. Lalu kembali menatap wajahnya. “Baik. Apa permintaanmu?” Yara menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. “Aku akan berpenampilan dan bersikap seperti Zara saat di hadapanmu, seperti yang kamu mau.” Ia tahu, keputusannya ini akan membuatnya menderita karena harus menjadi bayangan seseorang di mata suaminya sendiri. “Tapi beri aku ruangan khusus untukku, bukan ruangan Zara,” lanjut Yara, menyuarakan perminta
Yara menunggu sejenak, menanti komentar atau respon dari Oliver, tapi pria itu hanya kembali menunduk, sibuk dengan berkas-berkas di depannya. "Sudah selesai?" tanya Oliver dengan ekspresi datar, tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas di tangannya. Yara mengangguk, meskipun Oliver tak melihatnya. "Iya, sudah. Aku akan kembali ke rumah sakit," jawab Yara dengan nada yang berusaha tetap tegar. Namun tak bisa dipungkiri, hatinya terasa sedikit perih. Tak ada pujian atau apresiasi, seolah apa yang ia lakukan hanya kewajiban tanpa makna. Oliver akhirnya mendongak, mengangguk singkat. "Baik. Lucas akan mengantarmu." Yara terdiam sejenak, menatap Oliver yang kembali larut dalam pekerjaannya. Ia merasa kelelahan, bukan hanya fisik, tapi juga mental, karena mulai saat ini ia harus terus memerankan sosok Zara di hadapan pria yang dulu diam-diam ia cintai. "Satu hal lagi, Oliver," kata Yara dengan suara rendah tapi serius. "Aku harap kamu selalu ingat, meskipun aku terlihat seperti Zar
“Kak Zara...,” gumam pria itu, dengan tatapan tak percaya, menyadarkan Yara bahwa ternyata orang lain pun melihatnya sebagai Zara. “Bagaimana bisa Kak Zara—“ “Aku Yara, kembaran Zara,” sela Yara dengan cepat. “Bukan Zara seperti yang kamu kira.” Suara Yara melemah. “Aku bukan Zara,” tegasnya sekali lagi, lebih tepatnya seperti bicara kepada diri sendiri. “Oh? Maaf... maaf.” Pria bernama Marshall itu mengusap tengkuk, menyadari perubahan raut muka perempuan di hadapannya. “Aku baru dengar sepupuku menikahi kembaran Zara. Dan aku baru tahu kalau ternyata kalian semirip ini.” Wajah kami memang mirip, tapi sesungguhnya kami berdua sangat berbeda. Yara ingin menyuarakan kalimat itu, tapi pelukan Zio di lehernya membuat Yara akhirnya berkata dengan lembut, “Jangan khawatir, Sayang. Mama ada di sini. Mama akan selalu menemani kamu.” Ada rasa canggung saat menyebut dirinya ‘mama’. Sebab biasanya Yara mengenalkan diri sebagai ‘aunty’ kepada keponakan yang kini berubah status menjadi putra
Oliver mendorong pintu kamar dan menarik Yara, membawanya masuk, pintu di belakangnya otomatis menutup.Dengan gerakan sedikit kasar, Oliver melepaskan tangan Yara dari genggamannya. Raut mukanya tampak mengerikan. Yara baru kali ini melihat sisi itu dari Oliver.“Apa yang mau kamu bicarakan?” Pertanyaan Yara memecah keheningan di antara mereka berdua.Oliver yang baru saja melepas jas dan melonggarkan sampul dasi, menatap Yara dengan dingin dan berkata, “Zara nggak pernah dekat dengan lelaki lain, apalagi saat aku nggak ada. Dia istri yang setia, dan hanya melihatku seorang.”Mendengarnya, Yara tercenung. Jadi ini yang ingin Oliver bicarakan? Ingin membandingkan dirinya dengan Zara? Ah, benar. Ia harus menjadi Zara di hadapan pria itu.“Oliver, seperti yang Marshall tadi bilang, dia cuma—““Apakah harus berpegangan tangan?” sela Oliver.“Kami nggak berpegangan tangan seperti yang kamu kira.”“Sudahlah.” Oliver melepas dasi dan melemparnya ke sofa, sementara Zara masih berdiri di deka
Jingga baru saja memulai cerita pembuka untuk Arthur dan Airell, tetapi mata mereka berdua sudah tampak mengantuk. Berkali-kali si kembar menguap sambil mengeluh, “Ngantuk.” Jingga terkekeh kecil melihat mereka, perlahan ia mengusap puncak kepala si kembar satu persatu. “Mereka lucu-lucu, ya?” ucapnya pada Davin yang duduk di samping Airell. “Aku sama sekali nggak menyangka kalau Yara melahirkan anak kembar.” Davin mengangguk, senyuman lembut menghiasi wajah tegasnya. “Aku juga nggak menyangka, tapi melihat mereka sekarang, rasanya luar biasa. Mereka benar-benar perpaduan Yara dan Oliver,” gumamnya sambil menatap Arthur dan Airell yang mulai menguap lebar. “Tapi Oliver lebih banyak, sih. Tanpa perlu tes DNA juga orang-orang akan langsung tahu kalau mereka anaknya Oliver.” Jingga menatap si kembar dengan penuh kasih sayang. "Arthur mewarisi keceriaan Yara, sedangkan Airell lebih tenang seperti Oliver. Tapi keduanya punya daya tarik tersendiri," ucapnya, ia hendak berdiri untuk memb
“Gimana kalau malam ini kalian menginap saja di sini?” tawar Jingga dengan penuh harap.Mendengar hal itu, Oliver langsung mengangguk setuju. “Aku sih oke oke aja.” Ia melirik ke arah Yara dengan mesra. “Gimana menurutmu, Sayang?”Yara berpikir sejenak, menatap kedua anaknya yang makan dengan lahap. Mungkin ini waktu yang tepat untuk semakin mendekatkan hubungan anak-anak dengan keluarga Oliver, pikirnya. Yara pun mengangguk. “Boleh. Aku juga setuju, kok.”“Nanti aku pulang dulu ke rumah buat ngambil pakaian kalian,” ucap Oliver.Yara kembali mengangguk.“Bagus! Kalau begitu kita siap-siap bikin malam ini lebih seru,” ujar Jingga dengan semangat. “Arthur, Airell, nanti kita bisa cerita-cerita sebelum tidur. Kalian mau dengar cerita apa?”Arthur yang lebih aktif langsung menjawab, “Cerita tentang Daddy waktu kecil, Grandma! Pasti seru banget.”Jingga terkekeh, sementara Davin ikut menimpali, “Oh, cerita tentang Daddy kalian waktu kecil? Banyak sekali cerita lucu tentang dia. Nanti Gran
“Ini Arthur dan Airell, Ma,” Oliver menjawab sambil memegang bahu si kembar dengan bangga. “Mereka anak-anak kami.”Tatapan Jingga berubah, penuh keterkejutan dan keharuan. Ia menatap Davin sejenak, lalu tersenyum lebar. “Anak-anak kalian? Astaga... jadi kalian punya anak kembar? Mereka cantik dan tampan sekali!” Jingga membungkuk untuk menyesuaikan tinggi mereka, menatap kedua bocah itu dengan tatapan tak percaya. “Hai, Arthur, Airell. Aku Grandma Jingga. Senang bertemu kalian.”Arthur dan Airell memandang Jingga dengan rasa penasaran.Arthur, yang lebih berani, tersenyum lebar. “Hai, Grandma! Aku Arthur, dan ini Airell,” ujarnya memperkenalkan diri. Airell mengangguk malu-malu di sebelahnya.Jingga tertawa kecil dan memeluk mereka dengan lembut. “Kalian berdua manis sekali. Grandma sangat senang bertemu kalian.”Davin yang berdiri di samping Jingga, juga ikut mendekati mereka. Wajahnya yang b
“Wuaah Grandma cantik sekali!” Arthur berdecak kagum saat melihat foto Jingga dan Davin di ponsel Oliver.“Mana? Mana? Aku mau lihat!” seru Airell yang baru saja keluar dari kamar dan berlari menghampiri ayah dan kakaknya.“Ini, lihat. Ini Grandpa Davin, dan ini Grandma Jingga. Mereka tampan dan cantik, ‘kan?” Oliver menunjuk kedua orang tuanya bergantian, menunjukkannya pada Airell.“Wuaaah... iya, Dad! Grandpa dan Grandma tampan dan cantik!” Airell terkikik sambil menutupi mulutnya. “Tapi Grandma Rianti juga tidak kalah cantik!”“Iya, makanya Mommy kalian cantik sekali. Kecantikannya menurun dari Grandma Rianti,” ujar Oliver dengan bangga saat menyebutkan bahwa Yara cantik sekali.Harum aroma buah-buahan menguar dari tubuh kedua anak itu yang sudah siap pergi ke rumah orangtua Oliver. Hanya tinggal menunggu Yara yang masih bersiap-siap di dalam kamar.“Tapi,
“Kapan kamu akan kembali ke rumah kita?” tanya Oliver di sela-sela ciumannya.Mendengar pertanyaan itu, Yara mendorong pelan dada Oliver, hingga pria itu terpaksa menjeda pagutan bibir mereka.“Rumah... kita?” tanya Yara, menatap mata Oliver dengan penuh kebingungan. Napasnya terengah-engah.“Mm-hm.” Jemari Oliver menyentuh lembut dan memberi penekanan pada bibir bawah Yara. “Rumah kita. Aku sudah menyiapkan rumah baru untuk kita, Yara.”“Rumah baru?” Yara kembali bertanya. “Apa maksudmu rumah baru?”“Aku sengaja membuat rumah untuk kita beberapa tahun yang lalu. Walau saat itu aku nggak tahu kapan kamu akan kembali, tapi aku sudah menyiapkannya untukmu.”Ucapan Oliver tersebut membuat Yara tertegun. Perasaannya mendadak campur aduk, antara senang, sedih dan terharu bercampur menjadi satu. Matanya berkaca-kaca. Ia menangkup rahang Oliver dan mencium bibir pria
“Sayang, apa yang sedang kamu lakukan?” Oliver menatap Yara dengan tatapan heran. Ia berdiri di ambang pintu kamar, menyandarkan satu bahunya di kusen pintu sembari bersedekap dada.Sementara di dalam kamar itu, Yara tengah mengeluarkan pakaian miliknya dan milik anak-anak dari dalam lemari.Tanpa menatap Oliver, Yara menjawab, “Aku lagi cari baju buat aku dan anak-anak. Maksudku, baju yang akan kami gunakan untuk menemui Mama dan Papa.” Yara menggigit bibir bawahnya, sambil melihat dua pasang pakaian Airell yang ia angkat di kedua tangannya. “Apa ini cocok untuk Airell? Ah, nggak, nggak, baju ini sudah lama sekali. Aku harus cari yang lebih bagus.”Tadi saat pulang dari kantor, Oliver dan Yara sepakat akan datang ke acara makan malam di rumah Davin, besok. Davin dan Jingga sempat menelepon Oliver, meminta agar Oliver membawa Yara dan anaknya ke rumah.‘Kalau Mama nggak lihat berita kalian di The Luxe Hotels, Mama nggak akan tahu kalau Yara sudah kembali,’ ucap Jingga kala itu.Oliver
“Aku sengaja menyimpannya karena biar kalau dia telepon, aku tahu, jadi aku nggak perlu mengangkatnya,” ujar Yara apa adanya sambil turun dari pangkuan Oliver.Namun, Oliver tidak membiarkan Yara menjauh. Ia raih pinggang wanita itu lagi agar tetap duduk di pangkuan. Yara terkekeh pelan, tapi kekehannya berubah jadi tatapan heran saat mendapati raut muka Oliver memberengut.“Jadi artinya... kamu sedang menghindari dia?”“Begitulah.” Yara mengedikkan bahu.“Kenapa?” tanya Oliver dengan nada penuh tuntutan. “Kenapa kamu harus menghindari dia? Apa dia mengganggumu?”Yara menghela napas pelan, ia tahu Oliver pasti akan menyelidikinya lebih jauh. Dan tidak ada gunanya bagi Yara untuk mengelak. Alhasil, Yara mengangguk mengiakan pertanyaan Oliver.“Lebih tepatnya aku yang merasa terganggu,” ujar Yara dengan jujur. “Waktu di Swiss dia terus menerorku siang dan malam. Lalu saat aku kembali ke Jakarta, aku ganti nomor, tapi nggak tahu kenapa kok dia bisa tahu nomor baruku?”Mendengarnya, rahan
Wanda berjalan mondar-mandir di depan ruangan CEO, sambil memikirkan cara untuk menginterupsi percakapan bosnya dan Yara di dalam sana. Perasaan suka pada Oliver itu masih ada hingga kini, bersemayam di hati Wanda begitu kuat. Ia tidak suka melihat Oliver didekati wanita lain, meskipun itu istrinya sendiri.Saat pikiran Wanda sedang sibuk berkelana, memikirkan cara-cara licik untuk masuk ke dalam ruangan itu, tiba-tiba ia mendengar suara-suara yang membuat tubuhnya meremang dari dalam sana.Suara itu... suara erangan dan desahan yang saling bersahutan, cukup terdengar hingga ke luar. Mata Wanda terbelalak. Pikirannya berkelana, memikirkan apa yang tengah dilakukan suami istri itu di dalam sana.Wanda bukan wanita polos. Jadi, ia bisa membayangkan permainan panas macam apa yang tengah mereka lakukan.Pipi Wanda memerah. Tubuhnya ikut memanas saat Oliver memanggil nama Yara di sela-sela erangannya. Dan saat mendengar teriakan Yara yang penuh sensual itu, Wanda bisa membayangkan sepanas
“N-Nona Yara?” Wanda ternganga kala melihat siapa yang tengah menghampirinya. Setelah enam tahun lamanya, kini ia kembali menatap istri sang bos dengan mata kepalanya sendiri.Yara berjalan dengan penuh percaya diri sambil menenteng paper bag. Tersenyum penuh arti pada Wanda. Meski Yara tidak ingin berburuk sangka pada sekretaris suaminya, tapi Yara merasa penasaran apa kira-kira yang telah dilakukan Wanda selama enam tahun ini untuk menarik perhatian Oliver?“Oliver ada?”Wanda terlihat gelagapan, tapi wanita itu berhasil menguasai emosinya. Tersenyum profesional pada Yara. “Ada, Nona, di dalam. Tapi beliau sedang tidak bisa diganggu.”Satu sudut bibir Yara terangkat. “Benarkah? Ah, sayang sekali. Apa aku telepon dia saja?”Namun, Wanda tahu apa yang akan terjadi jika Yara menelepon Oliver. Bosnya itu akan marah jika Wanda menolak kedatangan Yara. Akhirnya, Wanda berkata, “Tapi sepertinya tidak ada yang lebih penting dari pada Anda, Nona Yara.”Yara kembali tersenyum. “Terima kasih a