Melani menatap punggung Haikal dari balik jendela rumahnya. Ada rasa tak tega yang tiba-tiba menyelinap masuk dalam hatinya. Melani merasa kasihan, sebab rasa yang Haikal tunjukan seperti nyata, apalagi keponakannya itu pernah kecewa pada wanita, sebelumnya. Tapi, apakah membiarkannya dengan wanita semacam Marissa adalah hal yang tepat?Melani mengembuskan napas kasar, dia meraih ponsel dan mengirim pada Haikal. Wanita itu memutuskan memberitahu lelaki itu, jika pernikahan Marissa dibatalkan.[Pernikahan Marissa dibatalkan. Sekarang dia ditahan di kantor polisi x. Jika mau bertemu, temui dia disana. Maafkan sikap Tante tadi, Tante hanya kecewa dengan pilihanmu.] Ting!Saat Haikal hendak membuka pintu mobil, ponselnya berdenting. Dengan sedikit rasa malas, Haikal membuka ponselnya dan melihat siapa yang mengirim pesan.Mata Haikal membeliak senang, saat membaca pesan dari Melani. Lelaki itu menoleh kebelakang, terlihat gorden yang tadi tersingkap langsung tertutup. Haikal tersenyum se
"T-tan-te?" Marissa menatap Haikal yang tampak salah tingkah."Kamu mengenal Melani?" cecar Marissa.Haikal diam. Dia tak menjawab, lelaki itu hanya menunduk, bingung harus bagaimana menjelaskan semuanya pada Marissa."Jawab, aku! Kamu mengenal Melani?" Marissa menatap Haikal nyalang. Melihat Haikal yang hanya diam, membuat wanita itu paham. Dia menggeleng tak percaya, kemudian terkekeh kecil."Jadi, kamu sebagai mata-mata, atau sengaja dibuat untuk menjebakku juga? Ternyata ini alasanmu mendekatiku berulang kali? Hingga menemuiku di kontrakan, dan rela datang kemari? Apa yang sudah kalian rencanakan?! Rencana apalagi yang sedang kalian susun untuk menghancurkanku? Jawab!" pekik Marissa. Mata wanita itu memerah menahan amarah. Kesal, marah dan malu bercampur jadi satu. Awalnya dia mengira jika Haikal tak mungkin ada maunya. Ternyata dia salah."Ris, dengar dulu. Ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku tidak bekerja sama dengan siapa pun. Aku–""Bullshit! Aku tak percaya! Sekarang le
Malam ini, Evelyn sedang menemani Chika belajar. Mereka berkumpul di ruang tengah, ada Bian dan kedua orang tuanya juga disana. Selagi Chika fokus mengerjakan tugasnya, Evelyn sesekali larut dalam obrolan suami dan mertuanya. Tak ada pembahasan berarti, hanya obrolan ringan seputar keadaan kafe, dan pengerjaan proyek baru yang sudah berjalan hingga tahap mana.Disela obrolan mereka, ponsel Evelyn berdering. Kontak Karina tertulis jelas disana. Evelyn memutuskan langsung mengangkatnya didepan semua orang."Assalamualaikum ...," sapa Evelyn lebih dulu. Karina pun menyahut diseberang sana."Ibu sehat, kan, Rin?" tanya Evelyn."Basi banget, sih, basa basi kamu itu, Lyn! Baru juga tadi pagi, udah kek paling lama pisah aja!" kelakar Karina diseberang sana.Evelyn dan yang lain tertawa mendengarnya, Evelyn memang meloudspeaker panggilan Karina, hingga Bian dan orang tuanya pun ikut mendengar."Bisa aja, kamu ini. Yaudah, kalo gitu ngapain nelpon?" balas Evelyn dengan sisa tawanya."Kamu lagi
Setelah pelepasan tadi selesai, pasangan suami istri itu sama-sama mengistirahatkan tubuh yang sama lelahnya. Bian menyandarkan punggungnya pada badan ranjang, sedang Evelyn merebahkan tubuhnya pada dada telanjang sang suami. Keduanya saling mendekap, menikmati romansa yang sudah lama tak tercipta."Sayang, Karina curhat apa tadi?" tanya Bian. Lelaki itu bertanya untuk menormalkan debar jantung yang tadi memburu."Emh ... Apalagi? Ya, pastinya tentang hubungannya dengan Fattan, lah!" sahut Evelyn dengan mata terpejam. Wanita itu tak berniat mengubah posisinya sedikit pun, kadung nyaman dengan sandarannya. "Memangnya kenapa mereka?" tanya Bian lagi. Lelaki itu semakin mengencangkan pelukannya pada tubuh sang istri yang berada di dadanya."Fattan mengajak Karina menikah dalam waktu dekat. Katanya proyek kalian sudah hampir rampung." Evelyn menjawab malas. Wanita itu sebenarnya sudah sangat mengantuk, tapi suaminya malah terus mengajaknya bicara."Wah, berarti nggak lama lagi kita baka
Haikal sudah rapi dengan pakaian kerjanya, dia meraih tas kemudian keluar dari kamar. Lelaki itu mulai menapaki anak tangga satu persatu, ia bangun sedikit telat hari ini, sedang di kantor pekerjaan sudah menunggu.Saat ia sampai di ruang makan, semua keluarganya sudah berkumpul disana. Haikal menyapa mereka satu persatu, kemudian menarik kursi dan duduk disana. Keluarga mereka mulai sarapan, seperti biasa, tak ada yang berbicara saat acara makan berlangsung."Bik, siapkan bekal buat saya, ya?" pinta Haikal pada ART mereka. Wanita paruh baya yang sudah berkerja sejak lama pada keluarga Haikal itu mengangguk sopan, kemudian kembali ke dapur untuk mengerjakan yang diminta sang majikan. Permintaan tak biasa lelaki itu membuat seluruh keluarganya keheranan. Sang Mama menatap putra bungsunya itu bingung."Tumben bawa bekal? Kenapa?" tanya Bu Santi. Haikal hanya menoleh sekilas."Nggak kenapa-kenapa, Ma. Cuma lagi pengen aja," sahut Haikal sekenanya."Mmm ... Bagus itu! Baiknya sekarang kam
Marissa meraih dengan ragu rantang itu, ia membawanya kembali ke sel tahanannya. Dari aroma yang tercium, sudah bisa Marissa pastikan isi dalam rantang itu masakan yang lezat. Perutnya keroncongan, tak sabar ingin segera menyantap masakan rumahan yang begitu menggugah.Dan benar saja, saat Marissa membuka rantang tadi. Aroma rempah yang bercampur membuat perutnya semakin berbunyi. Ada nasi putih yang masih hangat, rica-rica daging dan juga sayur sop. Masakan yang terbilang mewah untuknya saat ini. Tanpa menunggu lama, segera dia menyantap dengan lahap. Selama menjadi tahanan, makanan yang dimakannya tak pernah menggiurkan. Entah karena nasinya yang terlalu keras, atau mungkin lauknya yang terlalu hambar. Nafsu makan wanita itu benar-benar hilang selama ditahan disana.Disisi lain, Bu Dena dan Karina baru saja datang berkunjung ke rumah Bu Maya. Mereka disambut hangat oleh sang tuan rumah, Evelyn yang merasa senang karena dikunjungi, langsung memeluk Bu Dena dan Karina."Ayok, masuk du
Evelyn menyambut kepulangan Bian dengan senyuman. Wanita itu menunggu suaminya didepan rumah. Bian mengulurkan tangan dan langsung disambut oleh Evelyn untuk disalami, kemudian dibalas dengan kecupan hangat di kening sang istri."Mas nggak telat, kan?" tanya Bian sembari mengajak istrinya masuk."Nggak, kok! Yang lain juga masih ngumpul didalem," sahut Evelyn.Keduanya berjalan masuk. Bian langsung menyalami tangan Bu Dena dengan takzim, kemudian beralih pada kedua orang tuanya. Setelah merentangkan tangan pada sang putri, membuat gadis kecil itu langsung menghambur dalam pelukan sang papi. Semua orang tersenyum melihat ayah dan anak itu.Bian membawa Chika duduk disamping sang istri. Baru saja ia menghempaskan tubuh disana, ponselnya tiba-tiba saja berdering. Bian meminta Chika bergeser, dia meraih ponsel didalam saku celana, dan melihat siapa yang menelpon."Assalam–" Belum sempat Bian mengucapkan salam. Suara Fattan sudah lebih dulu menyambar."Kamu dimana, sih, Bi? Rumahmu, kok,
"Untuk apa kamu datang kemari? Ingin mencibirku? Ingin mengatakan jika kamulah pemenangnya, iya?!" teriak Marissa.Evelyn mundur beberapa langkah, dia kaget mendapati sambutan yang luar biasa dari Marissa. Bian sendiri sigap berdiri didepan sang istri, takut Marissa akan berlaku nekat pada Evelyn. Marissa menaikkan sudut bibirnya melihat kekhawatiran Bian, ada yang berdenyut didalam sana, berpikir jika dialah yang harus Bian lindungi."Kenapa, Mas? Kamu takut aku akan menyakiti istrimu?" sindir Marissa, sembari melirik tajam Evelyn."Tentu saja! Karena dia tak pantas untuk diperlakukan buruk!" jawab Bian tegas. Evelyn langsung memegang lengan Bian, memberi isyarat agar suaminya itu tidak meneruskan, karena ada Chika yang turut menyaksikan."Maaf, Ris! Jika kedatangan kami malah membuatmu tak nyaman. Kami datang hanya untuk membawa Chika. Dia mengatakan rindu denganmu, jadi aku dan mas Bian berinisiatif membawanya berjumpa denganmu." Evelyn mengalihkan pembicaraan. Tak ingin terus-mene
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa 8 bulan sudah Marissa dan Chika hidup berdua saja. Saat memilih pergi, dia sengaja memilih tinggal di pinggiran kota. Dengan berbekal uang pemberian Bu Ratih, dia mencari kontrakan dan mulai buka usaha kecil-kecilan. Dia juga melanjutkan bakat merajutnya, ilmu yang dia dapat saat menjadi tahanan dulu. Biasanya dia merajut gantungan kunci, dan akan dijual oleh Chika pada teman-teman sekolahnya. Dia juga menerima orderan untuk orang dewasa, entah itu tas, dompet atau banyak barang lain lagi.Marissa merasa hidupnya jauh lebih tenang sekarang. Dia dan Chika hidup bahagia meski jauh dari kata mewah. Sekarang ia tau, betapa sikap dan perlakuannya dulu amatlah buruk. Selama memilih menjauh, tentu saja kehidupannya tak langsung berjalan mulus. Ada tanjakan, serta jalan yang berliku yang harus ia hadapi. Tapi, berkat kesabaran dan keikhlasannya, semua pun bisa ia hadapi.Kadang dia masih sering teringat tentang Haikal. Bagaimana kabar lelaki itu sekara
Marissa masih saja bergeming ditempatnya. Tak menyangka akan kembali berjumpa dengan wanita itu lagi. Ya, yang dia temui itu adalah Bu Ratih –Mama Haikal."A-anda?" seru Marissa tergagap."Ya! Bagaimana rasanya bisa kembali menghirup udara bebas?" balas Bu Ratih tersenyum."Kenapa anda lakukan ini? Bukankah anda menginginkan saya menjauh dari Haikal, putra anda?" Marissa tak menjawab pertanyaan tadi, melainkan kembali melempar tanya pada wanita itu. Dia hanya merasa heran dengan keputusan Bu Ratih, kenapa dia harus repot-repot membebaskan Marissa?"Justru itu. Saya membebaskan mu, agar kamu bisa pergi menjauh dari kota ini." Jawaban Bu Ratih membuat Marissa tercengang. Apa maksudnya?"Apa maksud anda? Kenapa saya harus pergi dari kota ini?" Marissa tak terima. Dia merasa Bu Ratih sedang berusaha mengatur hidupnya."Haikal tak lama lagi akan menikah. Saya tak ingin dia tiba-tiba bertemu denganmu, kemudian malah menimbulkan lagi benih yang sempat tumbuh. Jadi, tolong menjauh dari kehidu
Dua minggu lebih sudah berlalu sejak hari terakhir Haikal mengunjungi Marissa. Dua hari setelah kunjungan Haikal, Evelyn dan Bian juga sempat datang. Tak ada pembahasan penting selain Chika. Marissa lebih banyak bicara dengan Evelyn, sedang Bian hanya diam menyimak. Marissa meminta maaf sambil menangis. Dia menyesali semuanya. Kebohongan dan pengkhianatan ia saat bersama Bian dulu kembali membayang, mengejarnya hingga menimbulkan sesal yang teramat dalam.Dia juga mengatakan pada Evelyn dan Bian, jika mereka merasa repot harus mengurus Chika, lebih baik tinggalkan di panti asuhan saja, dan akan dia jemput setelah bebas nanti. Namun, Evelyn tentu saja menolak. Dia mengatakan akan mengurus Chika sampai saat itu tiba.Marissa merasa bersyukur karena sang putri berada di lingkungan yang orang-orangnya sangat baik. Padahal jika ingin balas dendam, bisa saja Evelyn membalas lewat Chika, entah itu menyiksanya atau membuangnya.Selama itu tak bertemu Haikal, tentu sangat menyiksa perasaan Ma
Haikal berdiri, dia menatap Marissa serius. Wanita itu malah memalingkan wajah, demi menutupi perasaannya sendiri."Apa aku punya salah?" Suara Haikal terdengar lirih, dan itu makin menambah sakit di hati Marissa. Wanita itu menggeleng cepat, tapi tak juga menatap Haikal."Tatap aku, Ris! Kenapa kamu berubah tiba-tiba begini? Aku salah apa?" Haikal mendekat dan mencengkram kuat kedua bahu Marissa, hingga wanita itu meringis pelan."Jawab, Ris! Jangan hanya diam. Aku butuh kepastian darimu. Aku butuh alasan yang menurutku masuk akal. Coba katakan, apa alasanmu?" Lagi, Haikal kembali menekankan suaranya. Dada lelaki itu terasa berdenyut."Aku harus jelaskan apa lagi? Sudah kukatakan, aku tak bisa membalas rasamu. Apalagi yang ingin kamu dengar?" balas Marissa memberanikan diri menatap Haikal."Aku tau kamu sedang bercanda, kan? Kamu nggak ingat dengan janjiku? Kita akan bersama, Ris. Jangan begini," kata Haikal. Nada bicaranya kembali melembut. Dia menatap Marissa dengan wajah memelas,
Wanita paruh baya yang terlihat cantik dengan penampilan yang elegan itu menatap Marissa dari ujung kaki hingga ujung rambut. Mendapat tatapan seperti itu tentu saja membuat Marissa risih, dia segera menunduk demi menghindari tatapan tajam dari wanita didepannya."Kamu yang bernama Marissa?" tanya wanita itu datar. Marissa hanya menoleh sekilas kemudian kembali menunduk setelah menganggukkan kepalanya."Duduklah. Saya ingin bicara," perintah wanita itu. Tanpa menunggu dua kali, Marissa langsung mengambil posisi dengan duduk didepan wanita itu."Sebelumnya perkenalkan dulu, saya Ratih Mamanya ... Haikal." Wanita bernama Ratih itu memperkenalkan dirinya. Marissa tercengang, kepala yang tadi menunduk langsung terangkat begitu mengetahui siapa wanita didepannya.Tak tau harus bereaksi seperti apa. Marissa tak menyangka saja jika ia akan kedatangan tamu tak diduga seperti ini. Apa tujuan Bu Ratih kesana? Apa ... Haikal sudah memberitahu Mamanya tentang Marissa?"Kau mengenalnya, Bukan? Mak
"Jangan ngomong gitu, Mas! Kamu ini ingin menerka-nerka takdir?" kesal Evelyn."Bukan begitu, Lyn. Tapi--coba kamu pikir, kita sudah setahun lebih menikah, tapi sampai sekarang kamu belum hamil juga. Mas rasa--memang Mas yang bermasalah," kata lelaki itu."Gimana kalau kebalikannya? Gimana kalau aku yang ternyata nggak bisa mengandung anakmu?" Bian langsung menatap istrinya, kepalanya menggeleng tak setuju."Tidak. Mas yakin bukan kamu yang bermasalah, Yank. Dari masalah ini saja sudah terbukti," sangkal Bian."Terus, kalau memang kamu yang bermasalah, kamu mau apa, Mas? Mau drama dan meminta aku meninggalkanmu dan mencari laki-laki yang bisa memberiku keturunan, begitu?" ketus Evelyn. Dia merasa kesal dengan suaminya."Eh-- tentu aja enggak, Yank! Kamu pikir Mas mau berpisah denganmu lagi, gitu? Nggak, nggak! Mas nggak mau!" "Anak itu titipan, rezeki yang Allah beri. Sewaktu-waktu kita bisa saja diberi kepercayaan oleh Allah, yang penting kita harus selalu berdo'a. Jika Allah belum
Haikal melangkah dengan gontai, lelaki itu baru saja sampai di rumah setelah sebelumnya mengantar Melani ke rumahnya. Entah kenapa, setelah mengetahui sebuah kenyataan jika Chika bukanlah anak kandung Bian, Haikal mendadak dilema.Jika memang Chika bukan anak kandung Bian, itu artinya Marissa pernah berselingkuh dengan laki-laki lain selain Brata, kan? Ah, bukan! Maksudnya, itu artinya Marissa pernah berhubungan badan dengan laki-laki yang bukan pasangannya, selain Brata tentunya. Siapa yang tau dengan pasti sudah berapa laki-laki yang ia tiduri, kan?"Kalau memang Chika bukan anak Bian, apa dia adalah anak ... Om Brata?" Dengan hati-hati Haikal melempar pertanyaan itu pada Marissa.Marissa terdiam, Haikal menunggu jawabannya dengan harap-harap cemas. Bagaimana jika itu anak Om Brata? "Tidak. Ng ... maksudku ... bukan Brata Ayah biologis Chika." Jawaban Marissa melegakan sekaligus mengejutkan Haikal. Lantas, siapa Ayah biologis Chika?"J-jadi?" Haikal ternyata masih sangat penasaran.
Bian bangkit dari duduknya dengan wajah yang sudah memerah. Dia tak terima dengan berita yang dibawa Haikal dan Melani yang ia anggap hanya sebuah tipuan itu."Berita bohong apa ini, hah? Kalian ingin mempermainkanku? Kalian pikir aku akan percaya begitu saja, hah?!" teriak Bian kalap. Evelyn ikut bangkit dan berusaha menenangkan suaminya.Sedang Melani dan Haikal sudah merasa tak enak hati. Apa yang ditakutkan terjadi juga. Keduanya paham, dan tak bisa menyalahkan Bian. Hal ini pasti sangat mengejutkan untuk lelaki itu. Anak yang selama ini sangat ia sayangi, justru bukan darah dagingnya."Mas, tenang dulu. Kita tidak boleh pakai emosi begini. Nanti Chika bisa mendengarnya," kata Evelyn berusaha menenangkan sang suami.Evelyn tak terlalu terkejut dengan berita ini. Namun, dia tetap merasa kecewa, sebab dugaannya selama ini benar. Tak menyangka jika Marissa mampu membohongi semua orang."Bagaimana mas bisa tenang, Lyn? Setelah mendengar berita jika Chika ... Arrrghhh! Ini tidak mungki
Bian dan Evelyn sedang menonton saat terdengar ketukan pintu diluar. Keduanya sama-sama menoleh, merasa heran, siapa yang bertamu malam-malam. Evelyn memutuskan bangkit, ingin melihat siapa tamunya."Tante Mel? Haikal?" Evelyn terkejut saat mendapati Haikal dan juga Melani disana."Iya. Maaf, ya, Lyn, kita sudah mengganggu waktu istirahatmu," kata Melani tak enak hati."Ah, tidak, tidak. Kita masih santai, kok! Kalau begitu, ayok, Tante masuk dulu." Evelyn mempersilahkan tamunya masuk, dengan membuka pintu lebar-lebar.Melani pun mengangguk, kemudian menoleh pada Haikal yang memasang wajah gusar. Melani mengangguk pada Haikal, kemudian mengajak keponakannya itu masuk. Evelyn mempersilahkan mereka duduk di ruang tamu, sedang dia sendiri menuju ruang tengah untuk memanggil suaminya."Siapa, Yank?" tanya Bian saat menyadari sang istri sudah kembali."Diluar ada Tante Melani sama Haikal, Mas. Kayaknya ada hal penting, deh. Soalnya nggak biasanya mereka kemari, malam-malam lagi," kata Evel