Ibuk-ibuk disana sudah pada heboh sendiri. Karina mengajak Evelyn untuk mendekat, dia ingin bertanya lebih jelas."Nggak usah, Rin! Mending kita ke mobil saja. Kita tunggu Tante Melani disana," tolak Evelyn saat Karina mengajaknya mendekat kearah para tetangga yang sudah heboh."Kamu yakin, Lyn? Atau kita kesana aja, yuk!" Karina kembali mengajak Evelyn, tapi kali ini dia mengajak Evelyn ke rumah Bu Maya."Aku nggak bisa, Rin! Nggak tega liat Chika ...." kata Evelyn dengan tatapan kosong. Nyatanya, dia bukan hanya tak tega dengan perasaan Chika saja, tapi lebih tak tega lagi dengan hatinya, dia tak siap menangis dihadapan Bian. 'Ah, Mas! Kenapa kamu mengingkari janji? Bukankah kamu mengatakan akan menungguku?' batin Evelyn dengan sesak yang teramat dalam. "Jangan mikirin perasaan orang lain terus! Kapan kamu mau ngertiin diri sendiri?" bentak Karina gemas. "Aku--" Belum selesai Evelyn menyelesaikan ucapannya, Karina sudah lebih dulu menarik tangannya."Dah, ah! Ayok!" sambar Karina
Sorak-sorai dari para warga menghiasi langkah Marissa, wanita itu hanya bisa menunduk dengan dendam yang makin besar."Mamiiiii ...." teriakan Chika terdengar saat langkah Marissa sudah makin jauh, Marissa menoleh dan hanya bisa menatap pedih, putrinya ingin mengejar, tapi segera ditangkap oleh Bian dan dipeluk untuk ditenangkan oleh lelaki itu.Saat akan melanjutkan perjalanan, sosok wanita yang paling ia benci muncul disana. Evelyn menatap iba kearah Marissa, tapi tatapan itu malah disalah artikan oleh Marissa, yang ia tangkap, Evelyn sedang menertawakan dirinya saat ini. Marissa menatap penuh kebencian pada Evelyn, dendam dalam dirinya semakin besar.Marissa melanjutkan langkahnya yang kembali didorong oleh polisi dibelakangnya. Sedang Evelyn kembali ditarik oleh Karina, agar lebih dekat.Bian yang menyadari kedatangan Evelyn langsung tersenyum senang, lelaki itu berlari menyongsong wanita tercintanya. "Terimakasih sudah datang, Lyn! Terimakasih sudah menyelamatkan Mas dari pernik
Melani tersenyum puas setelah berhasil membungkam mulut Marissa, wanita itu mengatur duduknya dengan anggun."Kedatanganku kemari, hanya untuk mengatakan. Nikmati kebodohanmu, dan semoga dengan cara ini, kamu bisa berpikir dimana letak kesalahanmu!" tegas Melani. Marissa tak menjawab, dia hanya menatap Melani penuh kebencian."Dan ingat! Jangan berpikir Bian itu pantas untukmu, wanita licik dan jahat sepertimu itu tak pantas untuk lelaki mana pun! Bian akan sangat bodoh jika malah melepas Evelyn yang nyaris sempurna, untuk wanita penuh kurang sepertimu!" ucap Melani menohok. "Jangan berani menghinaku! Jika memang aku penuh dengan kekurangan, kenapa suamimu malah tergoda padaku? Bahkan dia rela menghabiskan hartanya, untuk menafkahi wanita penuh kurang ini, bukan?" balas Marissa mengejek.Dada Melani bergemuruh hebat, dadanya naik turun menahan amarah yang membuncah. Mata wanita itu menatap Marissa nyalang, sedang Marissa malah melempar tatapan remeh pada Melani. Marissa tau, jika wan
Brata menaruh bucket bunga tadi di meja ruang tamunya, dia lantas berjalan menghampiri wanita yang sudah setia menemaninya, dan bersedia berjuang dengannya dari nol. Brata menatap Melani tulus, penyesalan tampak begitu besar di mata pria itu.Brata memeluk Melani, wanita itu tetap bergeming meski rasa hangat menyelusup ke rongga dadanya. Dia merasa suaminya sudah kembali."Maaf, Mi ... Maafkan Papi ... Papi akui sudah berkhianat, Papi salah! Papi menyesal, Mi ..." Brata terisak, Melani merasa suaminya itu benar-benar menyesal, pria itu jarang-jarang menangis, dan ini mungkin terhitung kali keduanya ia menangis selama pernikahan mereka.Tapi, Melani tetap bergeming. Tak sedikit pun ia menjawab atau merespon suaminya. Pelukan Brata semakin erat, tubuh tambun pria itu berguncang hebat, pertanda tangisnya kian menjadi."Harus dengan cara apa Papi meminta maaf, Mi? Dengan cara apa agar Papi bisa mendapatkan maaf dari Mami? Tolong, Mi ... Maafkan, Papi. Beri Papi kesempatan sekali lagi. Pap
Evelyn tak tau harus menjawab seperti apa, dia takut salah-salah bicara dan malah membuat Chika semakin terpuruk. Akhirnya dia hanya bisa menenangkan Chika lewat pelukan dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja."Sekarang Chika jangan nangis lagi, ya, Sayang? Chika, kan, sudah besar. Nanti kalau ada waktu, kita ajak Papi ketemu Mami, ya?" bujuk Evelyn. "Bunda serius?" Chika berseru riang, dia begitu antusias mendengar janji Evelyn. Evelyn mengangguk dan menyunggingkan senyum untuk meyakinkan Chika."Tapi ... Apa Papi mau, Bun?" Wajah yang tadi ceria kembali murung."Ya pasti mau lah! Nanti Bunda yang bilangin. Oke?" Janji Evelyn. Chika langsung mengangguk senang.Evelyn mengajak Chika untuk keluar. Saat mereka tiba diluar, rumah sudah sedikit sepi, para tamu sudah pulang setelah menyicipi hidangan tadi, hanya beberapa keluarga dan tetangga dekat yang masih tinggal, membantu membereskan rumah. Sebagian membantu di dapur, dan sebagian lagi membantu di rumah, membuka tenda dan decor
Selagi menunggu Bian bersiap, Evelyn membantu mengemas baju Chika untuk ikut menginap disana. Karena hanya semalam, jadi tak banyak yang dibawa, hanya beberapa helai baju ganti.Selesai mengemas pakaian Chika, Evelyn keluar dan kembali bergabung dengan kedua mertuanya. Evelyn duduk disamping Bu Maya, dan membawa Chika turut duduk disampingnya."Makasih banyak, ya, Nak? Kamu sudah bersedia kembali dalam keluarga ini. Mama bersyukur banget, Bian tak jadi bercerai denganmu. Alhamdulillah juga, Mama nggak jadi tukar menantu," seloroh Bu Maya. Evelyn langsung mengode mertuanya itu, agar tak melanjutkan ucapannya, takut didengar oleh Chika."Ahm ... Mama nggak apa-apa, kan, kita tinggal?" Evelyn mengalihkan pembahasan."Nggak apa-apa, kok! Kan, ada Papa. Yang penting, besok kemari lagi, ya?" sahut Bu Maya. Evelyn mengangguk dan tersenyum. Tak lama, Bian keluar dari kamar dan sudah berganti pakaian, ternyata lelaki itu masih sempat-sempatnya mandi, pantesan lama! Pikir Evelyn."Udah? Kita lan
Evelyn memeluk Bu Dena begitu erat, keduanya sama-sama menitikkan air mata kebahagiaan. Bu Dena mengurai pelukannya, wanita paruh baya itu mengecup kening Evelyn bertubi-tubi."Allah masih sangat menyayangi rumah tangga kalian, Nak! Dan, masalah yang kemarin menerpa adalah sebagai pengingat untuk kalian. Agar kedepannya, jangan bermain-main dengan pernikahan," ucap Bu Dena tersenyum."Insyaallah, Bu. Doakan kami agar senantiasa menjaga keutuhan rumah tangga, semoga juga kami dijauhkan dari masalah yang sama besarnya," balas Evelyn."Aamin. Yaudah, sekarang kamu masuk, gih! Bersih-bersih, terus istirahat," titah Bu Dena. Evelyn mengangguk, kemudian mengajak Bu Dena masuk.Keduanya masuk beriringan, Bu Dena langsung menuju kamarnya, begitu pun dengan Evelyn. Saat Evelyn membuka pintu, ternyata Bian sedang duduk di ranjang, seperti menunggu kedatangan istrinya.Begitu Evelyn masuk, Bian berdiri dan merentangkan tangannya dengan senyum menawan. Dengan dada berdebar, Evelyn meringsek masuk
"Apa?!" pekik Haikal tanpa sadar. Brata mengerutkan kening melihat reaksi Haikal yang menurutnya berlebihan."Kamu ini kenapa, sih?" omel Brata yang kesal. "T-ti-tidak, Om! Eum ... A-ku hanya kaget saja," dusta Haikal."Kamu saja kaget, kan? Apalagi Om! Huhh!" Brata menghembuskan napas kasar.Haikal menggaruk tengkuknya. Dia ingin bertanya tentang nasib pernikahan Marissa, tapi bagaimana? Yang ada Brata akan mencurigainya."Om benar-benar pusing! Menurutmu bagaimana? Apa Om harus membantu wanita itu diam-diam?" tanya Brata meminta pendapat keponakannya itu."Kenapa Om kepikiran kesana? Memangnya Om masih mencintai wanita itu?" tanya Haikal, dadanya berdebar menunggu jawaban Brata."Cinta? Entahlah! Yang Om tau, selama ini Om hanya menjadikannya sebagai pelampiasan hasrat. Tak lebih dari itu. Karena Om hanya mencintai Tantemu. Tapi, tak bisa dipungkiri, kadang terbesit rasa kasihan dengan keadaannya sekarang. Om hanya merasa bersalah, karena semua yang terjadi padanya sekarang, sebab
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa 8 bulan sudah Marissa dan Chika hidup berdua saja. Saat memilih pergi, dia sengaja memilih tinggal di pinggiran kota. Dengan berbekal uang pemberian Bu Ratih, dia mencari kontrakan dan mulai buka usaha kecil-kecilan. Dia juga melanjutkan bakat merajutnya, ilmu yang dia dapat saat menjadi tahanan dulu. Biasanya dia merajut gantungan kunci, dan akan dijual oleh Chika pada teman-teman sekolahnya. Dia juga menerima orderan untuk orang dewasa, entah itu tas, dompet atau banyak barang lain lagi.Marissa merasa hidupnya jauh lebih tenang sekarang. Dia dan Chika hidup bahagia meski jauh dari kata mewah. Sekarang ia tau, betapa sikap dan perlakuannya dulu amatlah buruk. Selama memilih menjauh, tentu saja kehidupannya tak langsung berjalan mulus. Ada tanjakan, serta jalan yang berliku yang harus ia hadapi. Tapi, berkat kesabaran dan keikhlasannya, semua pun bisa ia hadapi.Kadang dia masih sering teringat tentang Haikal. Bagaimana kabar lelaki itu sekara
Marissa masih saja bergeming ditempatnya. Tak menyangka akan kembali berjumpa dengan wanita itu lagi. Ya, yang dia temui itu adalah Bu Ratih –Mama Haikal."A-anda?" seru Marissa tergagap."Ya! Bagaimana rasanya bisa kembali menghirup udara bebas?" balas Bu Ratih tersenyum."Kenapa anda lakukan ini? Bukankah anda menginginkan saya menjauh dari Haikal, putra anda?" Marissa tak menjawab pertanyaan tadi, melainkan kembali melempar tanya pada wanita itu. Dia hanya merasa heran dengan keputusan Bu Ratih, kenapa dia harus repot-repot membebaskan Marissa?"Justru itu. Saya membebaskan mu, agar kamu bisa pergi menjauh dari kota ini." Jawaban Bu Ratih membuat Marissa tercengang. Apa maksudnya?"Apa maksud anda? Kenapa saya harus pergi dari kota ini?" Marissa tak terima. Dia merasa Bu Ratih sedang berusaha mengatur hidupnya."Haikal tak lama lagi akan menikah. Saya tak ingin dia tiba-tiba bertemu denganmu, kemudian malah menimbulkan lagi benih yang sempat tumbuh. Jadi, tolong menjauh dari kehidu
Dua minggu lebih sudah berlalu sejak hari terakhir Haikal mengunjungi Marissa. Dua hari setelah kunjungan Haikal, Evelyn dan Bian juga sempat datang. Tak ada pembahasan penting selain Chika. Marissa lebih banyak bicara dengan Evelyn, sedang Bian hanya diam menyimak. Marissa meminta maaf sambil menangis. Dia menyesali semuanya. Kebohongan dan pengkhianatan ia saat bersama Bian dulu kembali membayang, mengejarnya hingga menimbulkan sesal yang teramat dalam.Dia juga mengatakan pada Evelyn dan Bian, jika mereka merasa repot harus mengurus Chika, lebih baik tinggalkan di panti asuhan saja, dan akan dia jemput setelah bebas nanti. Namun, Evelyn tentu saja menolak. Dia mengatakan akan mengurus Chika sampai saat itu tiba.Marissa merasa bersyukur karena sang putri berada di lingkungan yang orang-orangnya sangat baik. Padahal jika ingin balas dendam, bisa saja Evelyn membalas lewat Chika, entah itu menyiksanya atau membuangnya.Selama itu tak bertemu Haikal, tentu sangat menyiksa perasaan Ma
Haikal berdiri, dia menatap Marissa serius. Wanita itu malah memalingkan wajah, demi menutupi perasaannya sendiri."Apa aku punya salah?" Suara Haikal terdengar lirih, dan itu makin menambah sakit di hati Marissa. Wanita itu menggeleng cepat, tapi tak juga menatap Haikal."Tatap aku, Ris! Kenapa kamu berubah tiba-tiba begini? Aku salah apa?" Haikal mendekat dan mencengkram kuat kedua bahu Marissa, hingga wanita itu meringis pelan."Jawab, Ris! Jangan hanya diam. Aku butuh kepastian darimu. Aku butuh alasan yang menurutku masuk akal. Coba katakan, apa alasanmu?" Lagi, Haikal kembali menekankan suaranya. Dada lelaki itu terasa berdenyut."Aku harus jelaskan apa lagi? Sudah kukatakan, aku tak bisa membalas rasamu. Apalagi yang ingin kamu dengar?" balas Marissa memberanikan diri menatap Haikal."Aku tau kamu sedang bercanda, kan? Kamu nggak ingat dengan janjiku? Kita akan bersama, Ris. Jangan begini," kata Haikal. Nada bicaranya kembali melembut. Dia menatap Marissa dengan wajah memelas,
Wanita paruh baya yang terlihat cantik dengan penampilan yang elegan itu menatap Marissa dari ujung kaki hingga ujung rambut. Mendapat tatapan seperti itu tentu saja membuat Marissa risih, dia segera menunduk demi menghindari tatapan tajam dari wanita didepannya."Kamu yang bernama Marissa?" tanya wanita itu datar. Marissa hanya menoleh sekilas kemudian kembali menunduk setelah menganggukkan kepalanya."Duduklah. Saya ingin bicara," perintah wanita itu. Tanpa menunggu dua kali, Marissa langsung mengambil posisi dengan duduk didepan wanita itu."Sebelumnya perkenalkan dulu, saya Ratih Mamanya ... Haikal." Wanita bernama Ratih itu memperkenalkan dirinya. Marissa tercengang, kepala yang tadi menunduk langsung terangkat begitu mengetahui siapa wanita didepannya.Tak tau harus bereaksi seperti apa. Marissa tak menyangka saja jika ia akan kedatangan tamu tak diduga seperti ini. Apa tujuan Bu Ratih kesana? Apa ... Haikal sudah memberitahu Mamanya tentang Marissa?"Kau mengenalnya, Bukan? Mak
"Jangan ngomong gitu, Mas! Kamu ini ingin menerka-nerka takdir?" kesal Evelyn."Bukan begitu, Lyn. Tapi--coba kamu pikir, kita sudah setahun lebih menikah, tapi sampai sekarang kamu belum hamil juga. Mas rasa--memang Mas yang bermasalah," kata lelaki itu."Gimana kalau kebalikannya? Gimana kalau aku yang ternyata nggak bisa mengandung anakmu?" Bian langsung menatap istrinya, kepalanya menggeleng tak setuju."Tidak. Mas yakin bukan kamu yang bermasalah, Yank. Dari masalah ini saja sudah terbukti," sangkal Bian."Terus, kalau memang kamu yang bermasalah, kamu mau apa, Mas? Mau drama dan meminta aku meninggalkanmu dan mencari laki-laki yang bisa memberiku keturunan, begitu?" ketus Evelyn. Dia merasa kesal dengan suaminya."Eh-- tentu aja enggak, Yank! Kamu pikir Mas mau berpisah denganmu lagi, gitu? Nggak, nggak! Mas nggak mau!" "Anak itu titipan, rezeki yang Allah beri. Sewaktu-waktu kita bisa saja diberi kepercayaan oleh Allah, yang penting kita harus selalu berdo'a. Jika Allah belum
Haikal melangkah dengan gontai, lelaki itu baru saja sampai di rumah setelah sebelumnya mengantar Melani ke rumahnya. Entah kenapa, setelah mengetahui sebuah kenyataan jika Chika bukanlah anak kandung Bian, Haikal mendadak dilema.Jika memang Chika bukan anak kandung Bian, itu artinya Marissa pernah berselingkuh dengan laki-laki lain selain Brata, kan? Ah, bukan! Maksudnya, itu artinya Marissa pernah berhubungan badan dengan laki-laki yang bukan pasangannya, selain Brata tentunya. Siapa yang tau dengan pasti sudah berapa laki-laki yang ia tiduri, kan?"Kalau memang Chika bukan anak Bian, apa dia adalah anak ... Om Brata?" Dengan hati-hati Haikal melempar pertanyaan itu pada Marissa.Marissa terdiam, Haikal menunggu jawabannya dengan harap-harap cemas. Bagaimana jika itu anak Om Brata? "Tidak. Ng ... maksudku ... bukan Brata Ayah biologis Chika." Jawaban Marissa melegakan sekaligus mengejutkan Haikal. Lantas, siapa Ayah biologis Chika?"J-jadi?" Haikal ternyata masih sangat penasaran.
Bian bangkit dari duduknya dengan wajah yang sudah memerah. Dia tak terima dengan berita yang dibawa Haikal dan Melani yang ia anggap hanya sebuah tipuan itu."Berita bohong apa ini, hah? Kalian ingin mempermainkanku? Kalian pikir aku akan percaya begitu saja, hah?!" teriak Bian kalap. Evelyn ikut bangkit dan berusaha menenangkan suaminya.Sedang Melani dan Haikal sudah merasa tak enak hati. Apa yang ditakutkan terjadi juga. Keduanya paham, dan tak bisa menyalahkan Bian. Hal ini pasti sangat mengejutkan untuk lelaki itu. Anak yang selama ini sangat ia sayangi, justru bukan darah dagingnya."Mas, tenang dulu. Kita tidak boleh pakai emosi begini. Nanti Chika bisa mendengarnya," kata Evelyn berusaha menenangkan sang suami.Evelyn tak terlalu terkejut dengan berita ini. Namun, dia tetap merasa kecewa, sebab dugaannya selama ini benar. Tak menyangka jika Marissa mampu membohongi semua orang."Bagaimana mas bisa tenang, Lyn? Setelah mendengar berita jika Chika ... Arrrghhh! Ini tidak mungki
Bian dan Evelyn sedang menonton saat terdengar ketukan pintu diluar. Keduanya sama-sama menoleh, merasa heran, siapa yang bertamu malam-malam. Evelyn memutuskan bangkit, ingin melihat siapa tamunya."Tante Mel? Haikal?" Evelyn terkejut saat mendapati Haikal dan juga Melani disana."Iya. Maaf, ya, Lyn, kita sudah mengganggu waktu istirahatmu," kata Melani tak enak hati."Ah, tidak, tidak. Kita masih santai, kok! Kalau begitu, ayok, Tante masuk dulu." Evelyn mempersilahkan tamunya masuk, dengan membuka pintu lebar-lebar.Melani pun mengangguk, kemudian menoleh pada Haikal yang memasang wajah gusar. Melani mengangguk pada Haikal, kemudian mengajak keponakannya itu masuk. Evelyn mempersilahkan mereka duduk di ruang tamu, sedang dia sendiri menuju ruang tengah untuk memanggil suaminya."Siapa, Yank?" tanya Bian saat menyadari sang istri sudah kembali."Diluar ada Tante Melani sama Haikal, Mas. Kayaknya ada hal penting, deh. Soalnya nggak biasanya mereka kemari, malam-malam lagi," kata Evel