"Ya Allah ... Kenapa rasanya sesakit ini? Jika memang hubungan ini harus berakhir, tolong kuatkan hamba." Tangis Evelyn pecah, dia meremas kuat mukena yang sedang dia kenakan, dia tak menyangka rasanya sesakit ini. Jika saja Bian tak mengejar-ngejarnya kembali, dan bersikeras untuk rujuk, mungkin sakitnya tak akan separah ini. Ini memang salahnya, salah dia yang meminta Bian menikahi Marissa. Padahal sudah jelas lelaki itu menolak, dan ingin kembali padanya.Setelah mengatakan kalimat terakhirnya yang membuat Evelyn membeku tadi, Bian memang langsung pergi menuju rumah sakit. Sedang Evelyn tertegun sendiri di teras rumah, menatap punggung lelaki itu hingga hilang dibalik mobil.Tak ingin berlarut dalam kesedihan yang ia ciptakan sendiri, Evelyn memilih bangkit menuju kamar mandi. Dia membasuh muka agar tak terlalu sembab, kemudian memilih keluar bergabung bersama Bu Dena dan Karina, mungkin saja bisa menghilangkan kesedihannya.Disisi lain, Bian sedang duduk termenung di kursi tunggu
Marissa kesal, karena lagi dan lagi Bian mematikan ponselnya sepihak. Dia menatap sang anak yang sedang makan malam, mereka berdua duduk lesehan di ruang tamu. Chika tampak lahap, meski hanya berlaukkan telor dadar dan mie instan goreng."Sayang ... Chika mau, ya, nginep sama Mami disini? Maafin tadi Mami sudah marahi kamu, ya?" kata Marissa lembut. Dia benar-benar menyesal karena tadi sudah berlaku kasar.Chika tak menjawab, dia hanya mengangguk dan tetap fokus pada nasi didepannya. Marissa tersenyum lega, setidaknya Bian tak akan bersikeras membawa Chika jika anak itu bersedia menginap. Marissa merasa risih tinggal sendiri di kontrakan ini, apalagi jika sendirian.Chika sudah menghabiskan nasinya, dia meneguk air putih yang disediakan Marissa hingga habis. "Mami ... Kalo kita pindah gini, sekolah Chika gimana? Bakal tetap libur? Nanti Chika dimarahi ibuk guru, dong! Karena kelamaan liburnya," celetuk Chika."Aduh, Sayang! Jangan bahas itu dulu, ya? Nanti kita bahas sama Papi kamu.
Setelah Marissa masuk ke kamar untuk memanggil Chika, seseorang datang dan mengucap salam. Bian menjawab dan melihat, ternyata yang datang adalah pemilik kontrakan dan beberapa tetangga kontrakan Marissa.Bian menghembuskan napas kasar, dia sudah menduga apa maksud kedatangan orang-orang itu. Mereka pasti sudah salah paham, dan bermaksud menegur Bian."Maaf, mengganggu waktunya, Pak," kata si pemilik kontrakan sopan. Bian mengangguk dan mempersilahkan semua orang masuk, semuanya duduk berdesakan di ruang tamu sempit kontrakan itu, bahkan beberapa lainnya memilih tetap di teras.Marissa mengerutkan kening saat mendengar suara orang ramai diluar, dia segera mengajak Chika keluar karena penasaran.Dia bergeming didepan pintu kamar ketika melihat ruang tamu sempitnya sudah dipenuhi oleh warga. Wanita itu menatap Bian, ingin jawaban dari lelaki itu, tapi Bian tak kunjung membalas tatapannya."A-ada apa ini? Kenapa ramai-ramai?" tanyanya kaget."Duduk dulu, Mbak. Saya mau bicara," sahut seo
"Terus ancam dia! Kami butuh bukti kuat untuk menangkapnya nanti," titah orang suruhan Evelyn pada dua preman yang bekerja sama dengan Marissa."Ba-baik, Pak." Preman itu tertunduk sambil terus mencari kontak Marissa untuk dihubungi. "Jangan lupa direkam!" Lagi-lagi preman itu hanya bisa mengangguk patuh. Saat ini, mereka berdua berada dibawah pengawasan orang-orang Evelyn. Mereka tak bisa bergerak, bahkan memberitahu Marissa sedang diancam pun tak bisa. Kedua ponsel mereka sudah disadap, membuat ruang gerak keduanya terbatas dan tak bebas."Ada apa menghubungiku?" ketus Marissa. Padahal dalam hati dia sudah merasa was-was."Kapan kamu mentransfernya?""Hey! Bukankah sudah kubilang? Aku akan mentransfer nanti setelah aku menikah." kata Marissa."Tidak bisa! Kami butuh sekarang. Tau gitu kami nggak akan mau disuruh buat jadi pembunuh bayaran!" "Kalian ini kenapa nggak sabaran banget, sih? Sekarang ini aku belum megang uang! Lagian kalian juga melakukan pekerjaan ini setengah-setengah
"Terserah kamu lah, Lyn! Nanti jangan malah menyesal," sahut Karina yang sudah putus asa."Nggak ada yang perlu disesali. Sejak awal memang seharusnya sudah begini jalannya. Nggak ada gunanya juga, kan, kalau aku ngasih tau Mas bian tentang rencana kita?" Evelyn berbicara serius."Ada dong, Lyn! Setidaknya dia akan tau kalau kamu masih mencintainya! Dan kita akan berjuang bersama untuk melancarkan rencana ini, kamu ini gimana, sih?" Karina merasa gemas dengan jalan pikiran Evelyn."Sudahlah. Kita jalani saja, yang penting kita bisa membongkar rahasia busuk Marissa didepan Mas Bian. Apa yang akan terjadi selanjutnya, terserah dengan keputusannya nanti," tandas Evelyn. Dia segera bangkit dan menuju kamar...Bian mengantar Chika ke kamar, dia meminta gadis kecil itu untuk segera tidur. Setelah mematikan lampu, Bian mengecup kening Chika dan membelai lembut rambutnya."Sayang ... Langsung tidur, ya? Besok Papi antar sekolah. Oke?" kata Bian. Chika mengangguk antusias dan langsung memeja
"Papi kenapa senyum-senyum?" celetuk Chika. Bian terkesiap, kemudian tersadar jika ada Chika didepannya. Lelaki itu menggaruk tengkuk yang tidak gatal, kemudian menyimpan ponsel dan tersenyum pada Chika."Nggak, kok, Sayang. Papi lagi baca pesan dari temen. Ada yang lucu, makanya Papi senyum-senyum sendiri," kilah Bian, Chika hanya mengangguk saja dengan wajah polosnya."Chika sudah selesai?" tanya Bian saat melihat piring sang putri sudah kosong. Chika mengangguk sebagai jawaban. "Nggak mau nambah lagi?" lanjutnya. Chika menggeleng dan mengatakan sudah kenyang.Bian bangkit setelah menyudahi sarapannya, dia mengambil kotak makan dan botol minum berwarna pink yang sudah ia siapkan sebelumnya, kemudian memasukkan kedalam tas bekal dan membawanya pada Chika."Ayok! Ini bekal Chika, ya?" katanya mengajak Chika.Keduanya berjalan keluar, Bian meminta Chika menunggu didalam mobil, setelah mengunci pintu, barulah dia menyusul."Nanti tungguin Papi yang jemput, ya? Pulang sekolah kita ke ru
Evelyn meraih tangan Bu Maya, mengecupnya berulang kali. Dia ingin menunjukkan pada Bu Maya, betapa dia sangat menghormati serta menyayangi wanita yang sudah melahirkan lelaki yang sangat ia cintai itu.Bu Maya merasakan ketenangan di jiwanya, meski masih sangat lemah karena keadaan ini, namun dia merasa kuat sebab kehadiran Evelyn—menantu kesayangannya.Pak Hendra dan Karina yang menyaksikan hangatnya hubungan mertua dan menantu itu hanya bisa tersenyum senang, keduanya merasa bersyukur karena kesalahpahaman yang terjadi seakan melebur begitu saja, dan semua itu terjadi sebab hati Evelyn yang begitu luas dan mudah memaafkan."Pa, sudah sarapan? Kalau belum Papa sarapan aja dulu. Mumpung Evelyn dan Karina lagi disini," kata Evelyn beralih pada Pak Hendra. Pria itu mengangguk, kemudian meraih bekal yang tadi dibawa Evelyn dan membawanya keluar setelah berpamitan.Evelyn meminta Bu Maya untuk istirahat, sedang dia duduk ditepi ranjang sambil memijiti tangan serta kaki mertuanya itu deng
"Pa, Elyn pamit dulu, ya? Mama lagi istirahat. Baru aja tidur lagi, jadi nggak enak bangunin cuma buat pamitan. Elyn pamit sama Papa aja, ya?" kata Evelyn pada Pak Hendra yang sedang duduk di kursi tunggu."Eh, iya. Makasih banyak, ya, Nak? Sudah mau meluangkan waktu untuk jengukin Mama. Nak Karin juga, terimakasih banyak," sahut Pak Hendra.Evelyn dan Karina mengangguk serentak, kemudian bergantian menyalami tangan Pak Hendra dan berlalu dari sana.Dari arah lain, Bian dan Chika baru saja tiba. Tadi mereka menyempatkan diri untuk membeli makan siang dan juga buah-buahan. Karena Evelyn dan Karina memilih jalan lain untuk keluar, jadi mereka tak bertemu disana."Kakek ..." seru Chika begitu membuka pintu ruang rawat sang Nenek."Wah, cucu Kakek sudah datang! Sini, Sayang," kata Pak Hendra merentangkan tangan.Chika langsung berlari menghambur ke pelukan sang Kakek. Bian yang melihat itu hanya bisa tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. Lelaki itu menaruh buah-buahan dan juga nasi k
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa 8 bulan sudah Marissa dan Chika hidup berdua saja. Saat memilih pergi, dia sengaja memilih tinggal di pinggiran kota. Dengan berbekal uang pemberian Bu Ratih, dia mencari kontrakan dan mulai buka usaha kecil-kecilan. Dia juga melanjutkan bakat merajutnya, ilmu yang dia dapat saat menjadi tahanan dulu. Biasanya dia merajut gantungan kunci, dan akan dijual oleh Chika pada teman-teman sekolahnya. Dia juga menerima orderan untuk orang dewasa, entah itu tas, dompet atau banyak barang lain lagi.Marissa merasa hidupnya jauh lebih tenang sekarang. Dia dan Chika hidup bahagia meski jauh dari kata mewah. Sekarang ia tau, betapa sikap dan perlakuannya dulu amatlah buruk. Selama memilih menjauh, tentu saja kehidupannya tak langsung berjalan mulus. Ada tanjakan, serta jalan yang berliku yang harus ia hadapi. Tapi, berkat kesabaran dan keikhlasannya, semua pun bisa ia hadapi.Kadang dia masih sering teringat tentang Haikal. Bagaimana kabar lelaki itu sekara
Marissa masih saja bergeming ditempatnya. Tak menyangka akan kembali berjumpa dengan wanita itu lagi. Ya, yang dia temui itu adalah Bu Ratih –Mama Haikal."A-anda?" seru Marissa tergagap."Ya! Bagaimana rasanya bisa kembali menghirup udara bebas?" balas Bu Ratih tersenyum."Kenapa anda lakukan ini? Bukankah anda menginginkan saya menjauh dari Haikal, putra anda?" Marissa tak menjawab pertanyaan tadi, melainkan kembali melempar tanya pada wanita itu. Dia hanya merasa heran dengan keputusan Bu Ratih, kenapa dia harus repot-repot membebaskan Marissa?"Justru itu. Saya membebaskan mu, agar kamu bisa pergi menjauh dari kota ini." Jawaban Bu Ratih membuat Marissa tercengang. Apa maksudnya?"Apa maksud anda? Kenapa saya harus pergi dari kota ini?" Marissa tak terima. Dia merasa Bu Ratih sedang berusaha mengatur hidupnya."Haikal tak lama lagi akan menikah. Saya tak ingin dia tiba-tiba bertemu denganmu, kemudian malah menimbulkan lagi benih yang sempat tumbuh. Jadi, tolong menjauh dari kehidu
Dua minggu lebih sudah berlalu sejak hari terakhir Haikal mengunjungi Marissa. Dua hari setelah kunjungan Haikal, Evelyn dan Bian juga sempat datang. Tak ada pembahasan penting selain Chika. Marissa lebih banyak bicara dengan Evelyn, sedang Bian hanya diam menyimak. Marissa meminta maaf sambil menangis. Dia menyesali semuanya. Kebohongan dan pengkhianatan ia saat bersama Bian dulu kembali membayang, mengejarnya hingga menimbulkan sesal yang teramat dalam.Dia juga mengatakan pada Evelyn dan Bian, jika mereka merasa repot harus mengurus Chika, lebih baik tinggalkan di panti asuhan saja, dan akan dia jemput setelah bebas nanti. Namun, Evelyn tentu saja menolak. Dia mengatakan akan mengurus Chika sampai saat itu tiba.Marissa merasa bersyukur karena sang putri berada di lingkungan yang orang-orangnya sangat baik. Padahal jika ingin balas dendam, bisa saja Evelyn membalas lewat Chika, entah itu menyiksanya atau membuangnya.Selama itu tak bertemu Haikal, tentu sangat menyiksa perasaan Ma
Haikal berdiri, dia menatap Marissa serius. Wanita itu malah memalingkan wajah, demi menutupi perasaannya sendiri."Apa aku punya salah?" Suara Haikal terdengar lirih, dan itu makin menambah sakit di hati Marissa. Wanita itu menggeleng cepat, tapi tak juga menatap Haikal."Tatap aku, Ris! Kenapa kamu berubah tiba-tiba begini? Aku salah apa?" Haikal mendekat dan mencengkram kuat kedua bahu Marissa, hingga wanita itu meringis pelan."Jawab, Ris! Jangan hanya diam. Aku butuh kepastian darimu. Aku butuh alasan yang menurutku masuk akal. Coba katakan, apa alasanmu?" Lagi, Haikal kembali menekankan suaranya. Dada lelaki itu terasa berdenyut."Aku harus jelaskan apa lagi? Sudah kukatakan, aku tak bisa membalas rasamu. Apalagi yang ingin kamu dengar?" balas Marissa memberanikan diri menatap Haikal."Aku tau kamu sedang bercanda, kan? Kamu nggak ingat dengan janjiku? Kita akan bersama, Ris. Jangan begini," kata Haikal. Nada bicaranya kembali melembut. Dia menatap Marissa dengan wajah memelas,
Wanita paruh baya yang terlihat cantik dengan penampilan yang elegan itu menatap Marissa dari ujung kaki hingga ujung rambut. Mendapat tatapan seperti itu tentu saja membuat Marissa risih, dia segera menunduk demi menghindari tatapan tajam dari wanita didepannya."Kamu yang bernama Marissa?" tanya wanita itu datar. Marissa hanya menoleh sekilas kemudian kembali menunduk setelah menganggukkan kepalanya."Duduklah. Saya ingin bicara," perintah wanita itu. Tanpa menunggu dua kali, Marissa langsung mengambil posisi dengan duduk didepan wanita itu."Sebelumnya perkenalkan dulu, saya Ratih Mamanya ... Haikal." Wanita bernama Ratih itu memperkenalkan dirinya. Marissa tercengang, kepala yang tadi menunduk langsung terangkat begitu mengetahui siapa wanita didepannya.Tak tau harus bereaksi seperti apa. Marissa tak menyangka saja jika ia akan kedatangan tamu tak diduga seperti ini. Apa tujuan Bu Ratih kesana? Apa ... Haikal sudah memberitahu Mamanya tentang Marissa?"Kau mengenalnya, Bukan? Mak
"Jangan ngomong gitu, Mas! Kamu ini ingin menerka-nerka takdir?" kesal Evelyn."Bukan begitu, Lyn. Tapi--coba kamu pikir, kita sudah setahun lebih menikah, tapi sampai sekarang kamu belum hamil juga. Mas rasa--memang Mas yang bermasalah," kata lelaki itu."Gimana kalau kebalikannya? Gimana kalau aku yang ternyata nggak bisa mengandung anakmu?" Bian langsung menatap istrinya, kepalanya menggeleng tak setuju."Tidak. Mas yakin bukan kamu yang bermasalah, Yank. Dari masalah ini saja sudah terbukti," sangkal Bian."Terus, kalau memang kamu yang bermasalah, kamu mau apa, Mas? Mau drama dan meminta aku meninggalkanmu dan mencari laki-laki yang bisa memberiku keturunan, begitu?" ketus Evelyn. Dia merasa kesal dengan suaminya."Eh-- tentu aja enggak, Yank! Kamu pikir Mas mau berpisah denganmu lagi, gitu? Nggak, nggak! Mas nggak mau!" "Anak itu titipan, rezeki yang Allah beri. Sewaktu-waktu kita bisa saja diberi kepercayaan oleh Allah, yang penting kita harus selalu berdo'a. Jika Allah belum
Haikal melangkah dengan gontai, lelaki itu baru saja sampai di rumah setelah sebelumnya mengantar Melani ke rumahnya. Entah kenapa, setelah mengetahui sebuah kenyataan jika Chika bukanlah anak kandung Bian, Haikal mendadak dilema.Jika memang Chika bukan anak kandung Bian, itu artinya Marissa pernah berselingkuh dengan laki-laki lain selain Brata, kan? Ah, bukan! Maksudnya, itu artinya Marissa pernah berhubungan badan dengan laki-laki yang bukan pasangannya, selain Brata tentunya. Siapa yang tau dengan pasti sudah berapa laki-laki yang ia tiduri, kan?"Kalau memang Chika bukan anak Bian, apa dia adalah anak ... Om Brata?" Dengan hati-hati Haikal melempar pertanyaan itu pada Marissa.Marissa terdiam, Haikal menunggu jawabannya dengan harap-harap cemas. Bagaimana jika itu anak Om Brata? "Tidak. Ng ... maksudku ... bukan Brata Ayah biologis Chika." Jawaban Marissa melegakan sekaligus mengejutkan Haikal. Lantas, siapa Ayah biologis Chika?"J-jadi?" Haikal ternyata masih sangat penasaran.
Bian bangkit dari duduknya dengan wajah yang sudah memerah. Dia tak terima dengan berita yang dibawa Haikal dan Melani yang ia anggap hanya sebuah tipuan itu."Berita bohong apa ini, hah? Kalian ingin mempermainkanku? Kalian pikir aku akan percaya begitu saja, hah?!" teriak Bian kalap. Evelyn ikut bangkit dan berusaha menenangkan suaminya.Sedang Melani dan Haikal sudah merasa tak enak hati. Apa yang ditakutkan terjadi juga. Keduanya paham, dan tak bisa menyalahkan Bian. Hal ini pasti sangat mengejutkan untuk lelaki itu. Anak yang selama ini sangat ia sayangi, justru bukan darah dagingnya."Mas, tenang dulu. Kita tidak boleh pakai emosi begini. Nanti Chika bisa mendengarnya," kata Evelyn berusaha menenangkan sang suami.Evelyn tak terlalu terkejut dengan berita ini. Namun, dia tetap merasa kecewa, sebab dugaannya selama ini benar. Tak menyangka jika Marissa mampu membohongi semua orang."Bagaimana mas bisa tenang, Lyn? Setelah mendengar berita jika Chika ... Arrrghhh! Ini tidak mungki
Bian dan Evelyn sedang menonton saat terdengar ketukan pintu diluar. Keduanya sama-sama menoleh, merasa heran, siapa yang bertamu malam-malam. Evelyn memutuskan bangkit, ingin melihat siapa tamunya."Tante Mel? Haikal?" Evelyn terkejut saat mendapati Haikal dan juga Melani disana."Iya. Maaf, ya, Lyn, kita sudah mengganggu waktu istirahatmu," kata Melani tak enak hati."Ah, tidak, tidak. Kita masih santai, kok! Kalau begitu, ayok, Tante masuk dulu." Evelyn mempersilahkan tamunya masuk, dengan membuka pintu lebar-lebar.Melani pun mengangguk, kemudian menoleh pada Haikal yang memasang wajah gusar. Melani mengangguk pada Haikal, kemudian mengajak keponakannya itu masuk. Evelyn mempersilahkan mereka duduk di ruang tamu, sedang dia sendiri menuju ruang tengah untuk memanggil suaminya."Siapa, Yank?" tanya Bian saat menyadari sang istri sudah kembali."Diluar ada Tante Melani sama Haikal, Mas. Kayaknya ada hal penting, deh. Soalnya nggak biasanya mereka kemari, malam-malam lagi," kata Evel