Bu Maya menghela nafas saat mobil yang dia tumpangi berhenti dihalaman rumah Evelyn-menantunya. Setelah mewanti-wanti agar sang supir menunggu sebentar, dia segera turun untuk menemui Evelyn.Pintu rumah Evelyn tampak terbuka, langkah Bu Maya terhenti di teras rumah, kemudian dia mengucap salam cukup keras dan menunggu begitu mendengar ada yang menyahut dari dalam."Bu Maya?" sapa Bu Dena terkejut.Wanita itu cukup kaget dengan kedatangan Bu Maya hari ini, pasalnya dua hari yang lalu dia juga datang dan berhasil menekan Evelyn. Bu Dena melongok keluar, dan menyipit kala melihat sebuah mobil terparkir disana, dia penasaran siapa yang menemani Bu Maya, apa mungkin ... Marissa?"Saya datang sendiri," kata Bu Maya yang paham dengan kebingungan Bu Dena."Oh, iya. Silahkan masuk, Bu," ajak Bu Dena yang menggeser posisi agar Bu Maya bisa masuk.Wanita itu hanya mengangguk, dia mengedarkan pandangan ke seluruh rumah yang tampak sepi."Mau ketemu Evelyn, ya, Bu?" tanya Bu Dena, kemudian wanit
FLASHBACK"Ma, anakmu itu nggak punya duit! Jangan sok-sokan ngatur aku segala! Seharusnya kalian semua sadar diri. Meski pun disini statusnya aku numpang, tapi uang belanja lebih besar dari aku! Bisa dibilang yang ngasih makan kalian itu aku! Paham?!" hardik Marissa.Saat itu dia baru saja sampai di rumah jam 10 malam. Dan itu sudah jadi kebiasaan Marissa, dia selalu pulang malam meski jam kerjanya sudah berakhir di jam 4 sore. Saat ditanya, dia selalu beralasan ingin menghibur diri setelah seharian penat membantu mencari uang.Seperti saat ini, dia justru marah saat Bu Maya mencoba menasehatinya. Hinaan demi hinaan terlontar begitu saja—seperti biasanya."Bukannya ingin mengatur, Ris. Ibu hanya bilang, kurangi waktu mainmu. Lebih baik setelah pulang kerja langsung ke rumah. Kasihan Chika, dia juga butuh kamu untuk menemaninya main," sahut Bu Maya tetap lembut. Dia tak ingin membangunkan semua orang karena perdebatannya dengan Marissa."Halah! Bilang aja mama udah nggak mau bantu ngu
"Lyn, kamu beneran nggak apa-apa, kan? Apa nggak sebaiknya kamu kasih tau Bian masalah ini? Biar dia tau, Mamanya itu udah jahat banget ke kamu," kata Karina yang langsung dapat cubitan dari Bu Dena."Hushh ... Kamu ini, kebiasaan! Jangan jadi kompor!" Bu Dena memarahi Karina."Ya, maaf, Bu. Karina cuma gemes aja sama mertuanya Evelyn. Ada, ya, sesama wanita kok sukanya menghina gitu!" gerutu Karina."Sudah, nggak boleh ngomong gitu!" kata Bu Dena melirik tajam Karina. Gadis itu hanya bisa menggaruk tengkuk dan pura-pura tak melihat."Lyn, jangan terlalu didengarkan ucapan Karina. Dia emang gitu, kebiasaan. Anak gadis, kok, suka nyinyir," ucap Bu Dena menyindir Karina.Gadis itu malah terkekeh mendengar sindiran sang ibu. Begitu pun dengan Evelyn, dia tersenyum meski terlihat terpaksa."Nggak apa-apa, Bu. Lagian yang dibilang Karina itu memang benar. Jadi Ibu nggak usah ngerasa sungkan sama Evelyn, nggak lama lagi juga Mama bukan mertua Evelyn lagi, kok," sahut Evelyn dengan senyuman
Bian tertegun menatap layar ponselnya, dia kaget setelah membaca isi pesan yang dikirim oleh Evelyn. Lelaki itu terduduk lemah diatas ranjang, awalnya dia begitu sumringah begitu tau ada pesan dari wanita yang begitu dicintainya. Namun, setelah membacanya hati Bian hancur berkeping keping. Tanpa sadar air mata meluncur begitu saja.Dalam heningnya malam, lelaki itu menangis tersedu seorang diri. Dia merasa patah, dia merasa harapan yang selama ini berkembang pupus begitu saja. Apa tak ada kesempatan lagi untuknya? Apa ini hukuman dari sikapnya sendiri? Seenaknya mengucap talak, kemudian mengatakan menyesal dan ingin rujuk. Apa Evelyn tak melihat ketulusan dari dirinya? Apa Evelyn sudah begitu pasti menutup pintu hatinya agar tak bisa Bian kembali?[Maaf, Mas. Dengan berat hati aku katakan, jangan datang lagi kemari. Aku menolak untuk rujuk denganmu, mungkin sudah takdir hubungan kita sampai disini saja. Dan keputusan ini sudah aku pikirkan jauh-jauh hari. Dan yakin dari hati. Terimaka
Bian bergegas turun, setengah berlari dia menuju kediaman Evelyn."Assalamu'alaikum ..." ucapnya tergesa. Dadanya bergemuruh menunggu Evelyn membuka pintu."Assalamu'alaikum ..." Dia kembali mengulang, sebab tak ada sahutan."Wa'alaikum salam, sebentar ..." sahut seseorang dari dalam.Bian menghembuskan nafas lega, dia berjalan mondar mandir menunggu pintu dibuka."Siapa--" Suara Bu Dena terhenti saat melihat sosok yang berdiri didepan pintu.Wajah kuyu Bian membuat Bu Dena langsung paham, masalah apa yang sedang dihadapi anak muda didepannya."Bu, Elyn mana? Tolong kasih tau dia, Bu. Bian mau bicara," pinta Bian memohon."Eh, ahm ... Evelyn ... Dia didalam," sahut Bu Dena."Tolong, Bu. Bian mohon, panggil Evelyn sebentar. Bian hanya ingin mendengar sendiri dari mulut Evelyn. Setelah itu ... Bian janji akan segera pergi," Bu Dena menghembuskan nafas, kemudian mengangguk membuat Bian bisa bernafas lega. Dia duduk di kursi teras dengan gusar, menunggu Bu Dena memanggil Evelyn."Ibu pan
Bian pulang dengan perasaan hampa. Ada yang hilang dari dirinya, meski berusaha ikhlas dengan keputusan Evelyn, nyatanya dia tak begitu kuat.Selama perjalanan, Bian menangisi takdirnya. Lelaki yang jarang sekali menangis itu mendadak cengeng, dia benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa sakit yang menjalari hatinya.Baginya, perpisahan dengan Evelyn lebih menyakitkan dibanding dengan perpisahannya dengan Marissa dulu. Evelyn wanita yang tangguh, dia yang setia menemani saat Bian dalam kondisi terpuruk sekali pun. Bahkan saat dirinya menikahi Evelyn pun, usahanya belum lah sejaya ini. Namun kesetiaan yang ditampakkan Evelyn, mendadak kalah dengan hasutan Marissa. Bian tak langsung pulang, dia berniat mampir terlebih dahulu ke rumah orang tuanya. Ingin bertemu dengan anaknya—Chika.Dia turun dan berjalan tanpa tenaga, energinya terkuras habis. Saat ini dia ingin menenangkan diri meski sekedar bertemu dengan buah hatinya."Assalamu'alaikum ..." ucapnya begitu lemah.Bian masuk begitu s
Pak Hendra sengaja berdehem, membuat Marissa dan Bu Maya terlonjak kaget. Tapi keduanya kembali bisa menguasai diri, Marissa memilih langsung mengajak Chika pulang setelah berpamitan pada kedua mantan mertuanya."Kakek, Nenek. Chika pulang dulu, ya? Minggu depan Chika nginep sini lagi. Boleh, kan, Mi?" katanya. Kemudian beralih menatap Marissa penuh harap.Marissa hanya tersenyum dan mengangguk sekilas."Kalau gitu, kita pamit dulu, Ma, Pa." pamitnya dan langsung menarik tangan Chika menuju mobil.Bu Maya yang masih setia duduk disana menoleh begitu mendengar deheman sang suami."Papa mau bicara, Ma." ucap pak Hendra. Pria itu berlalu masuk kedalam tanpa menghiraukan tatapan tanya dari sang istri.Bu Maya yang penasaran bergegas mengikuti sang suami. Hingga dia berhenti di ruang tengah, dimana saat ini pria yang sudah puluhan tahun menjadi suaminya itu sedang duduk dengan ekspresi yang ... Entah."Ada apa, Pa?" tanya Bu Maya membuka suara lebih dulu.Pak Hendra tampak menghela nafas,
"Begitulah awal kejadiannya, Pa. Mama benar-benar nggak tau harus apa saat itu. Dan nggak tau juga kenapa Mama bisa setuju dengan rencana Marissa, padahal tanpa Mama sadari dia hanya sedang menjebak Mama, dan menjadikan Mama sebagai alat untuk dia bisa memperalat Bian." isak Bu Maya. Wanita itu sungguh menyesali kebodohannya."Hhh ... Kenapa Mama harus mengorbankan anak dan menantu sendiri? Kalau memang dia ingin menuntut kita, biarkan saja! Bahkan Papa rela jika harus menyerahkan rumah ini dari pada harus menukar Evelyn dengannya!" tekan pak Hendra begitu marah."I-iya, Pa. Mama yang bodoh, rela menyakiti menantu yang begitu menyayangi kita karena takut dengan ancaman Marissa." sahut Bu Maya semakin tergugu. Penyesalan tampak begitu nyata di wajahnya. "Sudahlah, Ma. Menyesal pun tak ada gunanya. Sekarang, tinggal kita pikirkan, bagaimana caranya agar Evelyn dan Bian bisa kembali bersatu. Papa nggak tega melihat keadaan Bian saat ini, meski pun ini semua juga sebab kebodohannya. Yang
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa 8 bulan sudah Marissa dan Chika hidup berdua saja. Saat memilih pergi, dia sengaja memilih tinggal di pinggiran kota. Dengan berbekal uang pemberian Bu Ratih, dia mencari kontrakan dan mulai buka usaha kecil-kecilan. Dia juga melanjutkan bakat merajutnya, ilmu yang dia dapat saat menjadi tahanan dulu. Biasanya dia merajut gantungan kunci, dan akan dijual oleh Chika pada teman-teman sekolahnya. Dia juga menerima orderan untuk orang dewasa, entah itu tas, dompet atau banyak barang lain lagi.Marissa merasa hidupnya jauh lebih tenang sekarang. Dia dan Chika hidup bahagia meski jauh dari kata mewah. Sekarang ia tau, betapa sikap dan perlakuannya dulu amatlah buruk. Selama memilih menjauh, tentu saja kehidupannya tak langsung berjalan mulus. Ada tanjakan, serta jalan yang berliku yang harus ia hadapi. Tapi, berkat kesabaran dan keikhlasannya, semua pun bisa ia hadapi.Kadang dia masih sering teringat tentang Haikal. Bagaimana kabar lelaki itu sekara
Marissa masih saja bergeming ditempatnya. Tak menyangka akan kembali berjumpa dengan wanita itu lagi. Ya, yang dia temui itu adalah Bu Ratih –Mama Haikal."A-anda?" seru Marissa tergagap."Ya! Bagaimana rasanya bisa kembali menghirup udara bebas?" balas Bu Ratih tersenyum."Kenapa anda lakukan ini? Bukankah anda menginginkan saya menjauh dari Haikal, putra anda?" Marissa tak menjawab pertanyaan tadi, melainkan kembali melempar tanya pada wanita itu. Dia hanya merasa heran dengan keputusan Bu Ratih, kenapa dia harus repot-repot membebaskan Marissa?"Justru itu. Saya membebaskan mu, agar kamu bisa pergi menjauh dari kota ini." Jawaban Bu Ratih membuat Marissa tercengang. Apa maksudnya?"Apa maksud anda? Kenapa saya harus pergi dari kota ini?" Marissa tak terima. Dia merasa Bu Ratih sedang berusaha mengatur hidupnya."Haikal tak lama lagi akan menikah. Saya tak ingin dia tiba-tiba bertemu denganmu, kemudian malah menimbulkan lagi benih yang sempat tumbuh. Jadi, tolong menjauh dari kehidu
Dua minggu lebih sudah berlalu sejak hari terakhir Haikal mengunjungi Marissa. Dua hari setelah kunjungan Haikal, Evelyn dan Bian juga sempat datang. Tak ada pembahasan penting selain Chika. Marissa lebih banyak bicara dengan Evelyn, sedang Bian hanya diam menyimak. Marissa meminta maaf sambil menangis. Dia menyesali semuanya. Kebohongan dan pengkhianatan ia saat bersama Bian dulu kembali membayang, mengejarnya hingga menimbulkan sesal yang teramat dalam.Dia juga mengatakan pada Evelyn dan Bian, jika mereka merasa repot harus mengurus Chika, lebih baik tinggalkan di panti asuhan saja, dan akan dia jemput setelah bebas nanti. Namun, Evelyn tentu saja menolak. Dia mengatakan akan mengurus Chika sampai saat itu tiba.Marissa merasa bersyukur karena sang putri berada di lingkungan yang orang-orangnya sangat baik. Padahal jika ingin balas dendam, bisa saja Evelyn membalas lewat Chika, entah itu menyiksanya atau membuangnya.Selama itu tak bertemu Haikal, tentu sangat menyiksa perasaan Ma
Haikal berdiri, dia menatap Marissa serius. Wanita itu malah memalingkan wajah, demi menutupi perasaannya sendiri."Apa aku punya salah?" Suara Haikal terdengar lirih, dan itu makin menambah sakit di hati Marissa. Wanita itu menggeleng cepat, tapi tak juga menatap Haikal."Tatap aku, Ris! Kenapa kamu berubah tiba-tiba begini? Aku salah apa?" Haikal mendekat dan mencengkram kuat kedua bahu Marissa, hingga wanita itu meringis pelan."Jawab, Ris! Jangan hanya diam. Aku butuh kepastian darimu. Aku butuh alasan yang menurutku masuk akal. Coba katakan, apa alasanmu?" Lagi, Haikal kembali menekankan suaranya. Dada lelaki itu terasa berdenyut."Aku harus jelaskan apa lagi? Sudah kukatakan, aku tak bisa membalas rasamu. Apalagi yang ingin kamu dengar?" balas Marissa memberanikan diri menatap Haikal."Aku tau kamu sedang bercanda, kan? Kamu nggak ingat dengan janjiku? Kita akan bersama, Ris. Jangan begini," kata Haikal. Nada bicaranya kembali melembut. Dia menatap Marissa dengan wajah memelas,
Wanita paruh baya yang terlihat cantik dengan penampilan yang elegan itu menatap Marissa dari ujung kaki hingga ujung rambut. Mendapat tatapan seperti itu tentu saja membuat Marissa risih, dia segera menunduk demi menghindari tatapan tajam dari wanita didepannya."Kamu yang bernama Marissa?" tanya wanita itu datar. Marissa hanya menoleh sekilas kemudian kembali menunduk setelah menganggukkan kepalanya."Duduklah. Saya ingin bicara," perintah wanita itu. Tanpa menunggu dua kali, Marissa langsung mengambil posisi dengan duduk didepan wanita itu."Sebelumnya perkenalkan dulu, saya Ratih Mamanya ... Haikal." Wanita bernama Ratih itu memperkenalkan dirinya. Marissa tercengang, kepala yang tadi menunduk langsung terangkat begitu mengetahui siapa wanita didepannya.Tak tau harus bereaksi seperti apa. Marissa tak menyangka saja jika ia akan kedatangan tamu tak diduga seperti ini. Apa tujuan Bu Ratih kesana? Apa ... Haikal sudah memberitahu Mamanya tentang Marissa?"Kau mengenalnya, Bukan? Mak
"Jangan ngomong gitu, Mas! Kamu ini ingin menerka-nerka takdir?" kesal Evelyn."Bukan begitu, Lyn. Tapi--coba kamu pikir, kita sudah setahun lebih menikah, tapi sampai sekarang kamu belum hamil juga. Mas rasa--memang Mas yang bermasalah," kata lelaki itu."Gimana kalau kebalikannya? Gimana kalau aku yang ternyata nggak bisa mengandung anakmu?" Bian langsung menatap istrinya, kepalanya menggeleng tak setuju."Tidak. Mas yakin bukan kamu yang bermasalah, Yank. Dari masalah ini saja sudah terbukti," sangkal Bian."Terus, kalau memang kamu yang bermasalah, kamu mau apa, Mas? Mau drama dan meminta aku meninggalkanmu dan mencari laki-laki yang bisa memberiku keturunan, begitu?" ketus Evelyn. Dia merasa kesal dengan suaminya."Eh-- tentu aja enggak, Yank! Kamu pikir Mas mau berpisah denganmu lagi, gitu? Nggak, nggak! Mas nggak mau!" "Anak itu titipan, rezeki yang Allah beri. Sewaktu-waktu kita bisa saja diberi kepercayaan oleh Allah, yang penting kita harus selalu berdo'a. Jika Allah belum
Haikal melangkah dengan gontai, lelaki itu baru saja sampai di rumah setelah sebelumnya mengantar Melani ke rumahnya. Entah kenapa, setelah mengetahui sebuah kenyataan jika Chika bukanlah anak kandung Bian, Haikal mendadak dilema.Jika memang Chika bukan anak kandung Bian, itu artinya Marissa pernah berselingkuh dengan laki-laki lain selain Brata, kan? Ah, bukan! Maksudnya, itu artinya Marissa pernah berhubungan badan dengan laki-laki yang bukan pasangannya, selain Brata tentunya. Siapa yang tau dengan pasti sudah berapa laki-laki yang ia tiduri, kan?"Kalau memang Chika bukan anak Bian, apa dia adalah anak ... Om Brata?" Dengan hati-hati Haikal melempar pertanyaan itu pada Marissa.Marissa terdiam, Haikal menunggu jawabannya dengan harap-harap cemas. Bagaimana jika itu anak Om Brata? "Tidak. Ng ... maksudku ... bukan Brata Ayah biologis Chika." Jawaban Marissa melegakan sekaligus mengejutkan Haikal. Lantas, siapa Ayah biologis Chika?"J-jadi?" Haikal ternyata masih sangat penasaran.
Bian bangkit dari duduknya dengan wajah yang sudah memerah. Dia tak terima dengan berita yang dibawa Haikal dan Melani yang ia anggap hanya sebuah tipuan itu."Berita bohong apa ini, hah? Kalian ingin mempermainkanku? Kalian pikir aku akan percaya begitu saja, hah?!" teriak Bian kalap. Evelyn ikut bangkit dan berusaha menenangkan suaminya.Sedang Melani dan Haikal sudah merasa tak enak hati. Apa yang ditakutkan terjadi juga. Keduanya paham, dan tak bisa menyalahkan Bian. Hal ini pasti sangat mengejutkan untuk lelaki itu. Anak yang selama ini sangat ia sayangi, justru bukan darah dagingnya."Mas, tenang dulu. Kita tidak boleh pakai emosi begini. Nanti Chika bisa mendengarnya," kata Evelyn berusaha menenangkan sang suami.Evelyn tak terlalu terkejut dengan berita ini. Namun, dia tetap merasa kecewa, sebab dugaannya selama ini benar. Tak menyangka jika Marissa mampu membohongi semua orang."Bagaimana mas bisa tenang, Lyn? Setelah mendengar berita jika Chika ... Arrrghhh! Ini tidak mungki
Bian dan Evelyn sedang menonton saat terdengar ketukan pintu diluar. Keduanya sama-sama menoleh, merasa heran, siapa yang bertamu malam-malam. Evelyn memutuskan bangkit, ingin melihat siapa tamunya."Tante Mel? Haikal?" Evelyn terkejut saat mendapati Haikal dan juga Melani disana."Iya. Maaf, ya, Lyn, kita sudah mengganggu waktu istirahatmu," kata Melani tak enak hati."Ah, tidak, tidak. Kita masih santai, kok! Kalau begitu, ayok, Tante masuk dulu." Evelyn mempersilahkan tamunya masuk, dengan membuka pintu lebar-lebar.Melani pun mengangguk, kemudian menoleh pada Haikal yang memasang wajah gusar. Melani mengangguk pada Haikal, kemudian mengajak keponakannya itu masuk. Evelyn mempersilahkan mereka duduk di ruang tamu, sedang dia sendiri menuju ruang tengah untuk memanggil suaminya."Siapa, Yank?" tanya Bian saat menyadari sang istri sudah kembali."Diluar ada Tante Melani sama Haikal, Mas. Kayaknya ada hal penting, deh. Soalnya nggak biasanya mereka kemari, malam-malam lagi," kata Evel