"Ayo kita balik, Rissa!" ajak Bu Dena kemudian langsung berbalik. "Saya tidak menyangka Bu Maya akan setega itu berbicara pada Evelyn," ucap Bu Dena begitu mertua Evelyn melangkah keluar.Bu Maya berhenti sejenak, dia memejamkan mata menahan sesak yang mendera. Dia memang sudah keterlaluan, tapi dirinya terlalu gengsi untuk mengakui."Memangnya Ibu pikir Evelyn mau tidak hamil? Perempuan mana yang menolak dititipkan zuriat di rahimnya, Bu? Tapi, seharusnya Ibu paham, hanya Allah yang bisa memberikan! Jika Allah belum mempercayakan Evelyn hamil, lantas Ibu bisa seenaknya mencela seperti itu?" sambung Bu Dena. Dia mengucapkan kalimat itu dengan hati yang pedih, dia ikut merasakan apa yang dirasakan Evelyn saat ini. Terlebih lagi yang mencela adalah orang yang selama ini selalu dia hormati.Bu Maya menahan gemuruh di dadanya. Dia ingin sekali berbalik dan mengatakan jika ini bukan maunya dia, tapi lidahnya seakan kelu, suaranya berhenti di tenggorokan."Eh, Buk! Jangan ikut campur, ini
"Apa maksudmu, Rin? Siapa yang menyakiti Evelyn?" tanya Bian penuh kebingungan."Tanya pada Mama dan mantan istrimu! Perkataan apa yang sudah meluncur dari mulut mereka!" sahut Karina sinis. Bian memukul angin demi melampiaskan kekesalannya. Dia masih belum paham dengan ucapan Karina."Apa susahnya kamu jelaskan sekarang? Atau begini saja, katakan pada Evelyn aku sudah datang, semalam kamu sudah janjian." pinta Bian."Evelyn nggak mau ketemu kamu, Bi! Mending kamu balik ...""Karin! Kenapa malah mengusir Bian? Dia tidak tau apa-apa mengenai masalah tadi pagi. Biarkan dia masuk, kamu kasih tau Evelyn saja. Siapa tau dia sudah sedikit tenang," ucapan Karina dipotong Bu Dena begitu saja. Anak gadisnya itu mendelik kemudian menatap sinis Bian yang masih berdiri diambang pintu.Karina berlalu begitu saja, sedang Bian dipinta oleh Bu Dena untuk menunggu didalam saja."Bu? Boleh ceritakan ada masalah apa tadi pagi?" kata Bian saat mereka sudah duduk diruang tamu."Tadi pagi Bu Maya dan mant
"Aku pikirkan dulu. Beri waktu untukku berpikir. Aku tidak ingin salah langkah, karena bagiku pernikahan bukanlah untuk mainan, yang jika bosan bisa bercerai. Apalagi kamu pernah berniat untuk menikahi mantan istrimu kembali, aku tidak siap jika suatu saat kembali jatuh," kata Evelyn memandang lurus kedepan, bukan kearah Bian.Hati Bian teriris mendengar jawaban Evelyn, dia melihat begitu banyak luka yang dirasakan wanitanya itu. Bahkan Evelyn enggan menatapnya seperti dulu-dulu."Baiklah. Mas beri kamu waktu, mas berharap kita bisa kembali bersama. Menjalani pernikahan yang lebih baik. Semoga berpisahnya kita kali ini, membuat kita saling introspeksi diri," Bian mengangguk mantap."Kalau begitu aku ke kamar dulu," ucap Evelyn bergegas bangkit.Bian hendak menahan, dia ingin lebih lama dengan Evelyn. Tapi, sepertinya perempuan itu butuh waktu untuk menenangkan diri. Bian hanya bisa pasrah, dan membiarkan wanita tercintanya itu pergi.[Mas balik dulu, Lyn. Kamu jaga kesehatan dan janga
Bu Maya yang hendak ke kamar terpaku begitu mendengar suara tegas sang suami. Diliriknya suami yang memasang wajah datar, begitu pun dengan Bian, anak satu-satunya itu."A-ada apa ini? Mama mau ke kamar, Pa. Mau istirahat," elak Bu Maya. Pak Hendra kembali menatapnya dengan tajam. Bu Maya tertunduk tak berani mengangkat wajahnya sedikit pun."Duduk!" titah pak Hendra datar. Mau tak mau Bu Maya menuruti perkataan sang suami. Dia duduk disamping pak Hendra dan berhadapan dengan Bian.Dia tak berani bertanya ada apa, lebih memilih menunggu suami atau anaknya yang memulai bicara."Mama tau apa alasan papa meminta Mama duduk disini?" tanya pak Hendra. Bu Maya hanya menggeleng pelan."Apa Mama benar-benar tidak mau mengakui kesalahan yang sudah Mama perbuat?" tanya pak Hendra lagi, Bu Maya diam saja, enggan menjawab. Sedang Bian hanya diam memperhatikan komunikasi kedua orang tuannya."Sejak kapan Mama suka mencampuri urusan orang lain?" tanya pak Hendra tak sabar. Sebab sejak tadi hanya me
Pagi ini udara terasa begitu sejuk, sudah dua hari setelah kedatangan Bian kemari, lelaki itu tak pernah mampir lagi, beralasan jika dia sedang sibuk mengurus kafe barunya dengan Fattan. Tapi selama dua hari itu juga, Bian tak henti menghubungi Evelyn melalui pesan WhatsApp. Hati Evelyn sudah sedikit membaik, meski hingga hari ini dia belum juga memberi jawaban tentang ajakan rujuk dari Bian.Pagi ini, Evelyn keluar dengan mengenakan sweater, karena memang udara begitu sejuk hingga menusuk ke tulang, semalam hujan turun begitu derasnya membasahi perkampungan yang masih begitu asri ini. Baru saja perempuan itu membuka pintu kamar, aroma kopi menyeruak menyambut paginya.Ternyata Karina baru saja dari dapur, gadis itu membawa dua gelas kopi hitam yang masih mengepulkan asap."Ngopi, yuk!" ajak Karina begitu melihat Evelyn keluar. Perempuan itu mengangguk, dan mengikuti langkah Karina yang membawanya ke teras."Tumben-tumbenan kamu ngopi?" tanya Evelyn saat mereka sudah duduk di kursi.
Bu Maya menghela nafas saat mobil yang dia tumpangi berhenti dihalaman rumah Evelyn-menantunya. Setelah mewanti-wanti agar sang supir menunggu sebentar, dia segera turun untuk menemui Evelyn.Pintu rumah Evelyn tampak terbuka, langkah Bu Maya terhenti di teras rumah, kemudian dia mengucap salam cukup keras dan menunggu begitu mendengar ada yang menyahut dari dalam."Bu Maya?" sapa Bu Dena terkejut.Wanita itu cukup kaget dengan kedatangan Bu Maya hari ini, pasalnya dua hari yang lalu dia juga datang dan berhasil menekan Evelyn. Bu Dena melongok keluar, dan menyipit kala melihat sebuah mobil terparkir disana, dia penasaran siapa yang menemani Bu Maya, apa mungkin ... Marissa?"Saya datang sendiri," kata Bu Maya yang paham dengan kebingungan Bu Dena."Oh, iya. Silahkan masuk, Bu," ajak Bu Dena yang menggeser posisi agar Bu Maya bisa masuk.Wanita itu hanya mengangguk, dia mengedarkan pandangan ke seluruh rumah yang tampak sepi."Mau ketemu Evelyn, ya, Bu?" tanya Bu Dena, kemudian wanit
FLASHBACK"Ma, anakmu itu nggak punya duit! Jangan sok-sokan ngatur aku segala! Seharusnya kalian semua sadar diri. Meski pun disini statusnya aku numpang, tapi uang belanja lebih besar dari aku! Bisa dibilang yang ngasih makan kalian itu aku! Paham?!" hardik Marissa.Saat itu dia baru saja sampai di rumah jam 10 malam. Dan itu sudah jadi kebiasaan Marissa, dia selalu pulang malam meski jam kerjanya sudah berakhir di jam 4 sore. Saat ditanya, dia selalu beralasan ingin menghibur diri setelah seharian penat membantu mencari uang.Seperti saat ini, dia justru marah saat Bu Maya mencoba menasehatinya. Hinaan demi hinaan terlontar begitu saja—seperti biasanya."Bukannya ingin mengatur, Ris. Ibu hanya bilang, kurangi waktu mainmu. Lebih baik setelah pulang kerja langsung ke rumah. Kasihan Chika, dia juga butuh kamu untuk menemaninya main," sahut Bu Maya tetap lembut. Dia tak ingin membangunkan semua orang karena perdebatannya dengan Marissa."Halah! Bilang aja mama udah nggak mau bantu ngu
"Lyn, kamu beneran nggak apa-apa, kan? Apa nggak sebaiknya kamu kasih tau Bian masalah ini? Biar dia tau, Mamanya itu udah jahat banget ke kamu," kata Karina yang langsung dapat cubitan dari Bu Dena."Hushh ... Kamu ini, kebiasaan! Jangan jadi kompor!" Bu Dena memarahi Karina."Ya, maaf, Bu. Karina cuma gemes aja sama mertuanya Evelyn. Ada, ya, sesama wanita kok sukanya menghina gitu!" gerutu Karina."Sudah, nggak boleh ngomong gitu!" kata Bu Dena melirik tajam Karina. Gadis itu hanya bisa menggaruk tengkuk dan pura-pura tak melihat."Lyn, jangan terlalu didengarkan ucapan Karina. Dia emang gitu, kebiasaan. Anak gadis, kok, suka nyinyir," ucap Bu Dena menyindir Karina.Gadis itu malah terkekeh mendengar sindiran sang ibu. Begitu pun dengan Evelyn, dia tersenyum meski terlihat terpaksa."Nggak apa-apa, Bu. Lagian yang dibilang Karina itu memang benar. Jadi Ibu nggak usah ngerasa sungkan sama Evelyn, nggak lama lagi juga Mama bukan mertua Evelyn lagi, kok," sahut Evelyn dengan senyuman
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa 8 bulan sudah Marissa dan Chika hidup berdua saja. Saat memilih pergi, dia sengaja memilih tinggal di pinggiran kota. Dengan berbekal uang pemberian Bu Ratih, dia mencari kontrakan dan mulai buka usaha kecil-kecilan. Dia juga melanjutkan bakat merajutnya, ilmu yang dia dapat saat menjadi tahanan dulu. Biasanya dia merajut gantungan kunci, dan akan dijual oleh Chika pada teman-teman sekolahnya. Dia juga menerima orderan untuk orang dewasa, entah itu tas, dompet atau banyak barang lain lagi.Marissa merasa hidupnya jauh lebih tenang sekarang. Dia dan Chika hidup bahagia meski jauh dari kata mewah. Sekarang ia tau, betapa sikap dan perlakuannya dulu amatlah buruk. Selama memilih menjauh, tentu saja kehidupannya tak langsung berjalan mulus. Ada tanjakan, serta jalan yang berliku yang harus ia hadapi. Tapi, berkat kesabaran dan keikhlasannya, semua pun bisa ia hadapi.Kadang dia masih sering teringat tentang Haikal. Bagaimana kabar lelaki itu sekara
Marissa masih saja bergeming ditempatnya. Tak menyangka akan kembali berjumpa dengan wanita itu lagi. Ya, yang dia temui itu adalah Bu Ratih –Mama Haikal."A-anda?" seru Marissa tergagap."Ya! Bagaimana rasanya bisa kembali menghirup udara bebas?" balas Bu Ratih tersenyum."Kenapa anda lakukan ini? Bukankah anda menginginkan saya menjauh dari Haikal, putra anda?" Marissa tak menjawab pertanyaan tadi, melainkan kembali melempar tanya pada wanita itu. Dia hanya merasa heran dengan keputusan Bu Ratih, kenapa dia harus repot-repot membebaskan Marissa?"Justru itu. Saya membebaskan mu, agar kamu bisa pergi menjauh dari kota ini." Jawaban Bu Ratih membuat Marissa tercengang. Apa maksudnya?"Apa maksud anda? Kenapa saya harus pergi dari kota ini?" Marissa tak terima. Dia merasa Bu Ratih sedang berusaha mengatur hidupnya."Haikal tak lama lagi akan menikah. Saya tak ingin dia tiba-tiba bertemu denganmu, kemudian malah menimbulkan lagi benih yang sempat tumbuh. Jadi, tolong menjauh dari kehidu
Dua minggu lebih sudah berlalu sejak hari terakhir Haikal mengunjungi Marissa. Dua hari setelah kunjungan Haikal, Evelyn dan Bian juga sempat datang. Tak ada pembahasan penting selain Chika. Marissa lebih banyak bicara dengan Evelyn, sedang Bian hanya diam menyimak. Marissa meminta maaf sambil menangis. Dia menyesali semuanya. Kebohongan dan pengkhianatan ia saat bersama Bian dulu kembali membayang, mengejarnya hingga menimbulkan sesal yang teramat dalam.Dia juga mengatakan pada Evelyn dan Bian, jika mereka merasa repot harus mengurus Chika, lebih baik tinggalkan di panti asuhan saja, dan akan dia jemput setelah bebas nanti. Namun, Evelyn tentu saja menolak. Dia mengatakan akan mengurus Chika sampai saat itu tiba.Marissa merasa bersyukur karena sang putri berada di lingkungan yang orang-orangnya sangat baik. Padahal jika ingin balas dendam, bisa saja Evelyn membalas lewat Chika, entah itu menyiksanya atau membuangnya.Selama itu tak bertemu Haikal, tentu sangat menyiksa perasaan Ma
Haikal berdiri, dia menatap Marissa serius. Wanita itu malah memalingkan wajah, demi menutupi perasaannya sendiri."Apa aku punya salah?" Suara Haikal terdengar lirih, dan itu makin menambah sakit di hati Marissa. Wanita itu menggeleng cepat, tapi tak juga menatap Haikal."Tatap aku, Ris! Kenapa kamu berubah tiba-tiba begini? Aku salah apa?" Haikal mendekat dan mencengkram kuat kedua bahu Marissa, hingga wanita itu meringis pelan."Jawab, Ris! Jangan hanya diam. Aku butuh kepastian darimu. Aku butuh alasan yang menurutku masuk akal. Coba katakan, apa alasanmu?" Lagi, Haikal kembali menekankan suaranya. Dada lelaki itu terasa berdenyut."Aku harus jelaskan apa lagi? Sudah kukatakan, aku tak bisa membalas rasamu. Apalagi yang ingin kamu dengar?" balas Marissa memberanikan diri menatap Haikal."Aku tau kamu sedang bercanda, kan? Kamu nggak ingat dengan janjiku? Kita akan bersama, Ris. Jangan begini," kata Haikal. Nada bicaranya kembali melembut. Dia menatap Marissa dengan wajah memelas,
Wanita paruh baya yang terlihat cantik dengan penampilan yang elegan itu menatap Marissa dari ujung kaki hingga ujung rambut. Mendapat tatapan seperti itu tentu saja membuat Marissa risih, dia segera menunduk demi menghindari tatapan tajam dari wanita didepannya."Kamu yang bernama Marissa?" tanya wanita itu datar. Marissa hanya menoleh sekilas kemudian kembali menunduk setelah menganggukkan kepalanya."Duduklah. Saya ingin bicara," perintah wanita itu. Tanpa menunggu dua kali, Marissa langsung mengambil posisi dengan duduk didepan wanita itu."Sebelumnya perkenalkan dulu, saya Ratih Mamanya ... Haikal." Wanita bernama Ratih itu memperkenalkan dirinya. Marissa tercengang, kepala yang tadi menunduk langsung terangkat begitu mengetahui siapa wanita didepannya.Tak tau harus bereaksi seperti apa. Marissa tak menyangka saja jika ia akan kedatangan tamu tak diduga seperti ini. Apa tujuan Bu Ratih kesana? Apa ... Haikal sudah memberitahu Mamanya tentang Marissa?"Kau mengenalnya, Bukan? Mak
"Jangan ngomong gitu, Mas! Kamu ini ingin menerka-nerka takdir?" kesal Evelyn."Bukan begitu, Lyn. Tapi--coba kamu pikir, kita sudah setahun lebih menikah, tapi sampai sekarang kamu belum hamil juga. Mas rasa--memang Mas yang bermasalah," kata lelaki itu."Gimana kalau kebalikannya? Gimana kalau aku yang ternyata nggak bisa mengandung anakmu?" Bian langsung menatap istrinya, kepalanya menggeleng tak setuju."Tidak. Mas yakin bukan kamu yang bermasalah, Yank. Dari masalah ini saja sudah terbukti," sangkal Bian."Terus, kalau memang kamu yang bermasalah, kamu mau apa, Mas? Mau drama dan meminta aku meninggalkanmu dan mencari laki-laki yang bisa memberiku keturunan, begitu?" ketus Evelyn. Dia merasa kesal dengan suaminya."Eh-- tentu aja enggak, Yank! Kamu pikir Mas mau berpisah denganmu lagi, gitu? Nggak, nggak! Mas nggak mau!" "Anak itu titipan, rezeki yang Allah beri. Sewaktu-waktu kita bisa saja diberi kepercayaan oleh Allah, yang penting kita harus selalu berdo'a. Jika Allah belum
Haikal melangkah dengan gontai, lelaki itu baru saja sampai di rumah setelah sebelumnya mengantar Melani ke rumahnya. Entah kenapa, setelah mengetahui sebuah kenyataan jika Chika bukanlah anak kandung Bian, Haikal mendadak dilema.Jika memang Chika bukan anak kandung Bian, itu artinya Marissa pernah berselingkuh dengan laki-laki lain selain Brata, kan? Ah, bukan! Maksudnya, itu artinya Marissa pernah berhubungan badan dengan laki-laki yang bukan pasangannya, selain Brata tentunya. Siapa yang tau dengan pasti sudah berapa laki-laki yang ia tiduri, kan?"Kalau memang Chika bukan anak Bian, apa dia adalah anak ... Om Brata?" Dengan hati-hati Haikal melempar pertanyaan itu pada Marissa.Marissa terdiam, Haikal menunggu jawabannya dengan harap-harap cemas. Bagaimana jika itu anak Om Brata? "Tidak. Ng ... maksudku ... bukan Brata Ayah biologis Chika." Jawaban Marissa melegakan sekaligus mengejutkan Haikal. Lantas, siapa Ayah biologis Chika?"J-jadi?" Haikal ternyata masih sangat penasaran.
Bian bangkit dari duduknya dengan wajah yang sudah memerah. Dia tak terima dengan berita yang dibawa Haikal dan Melani yang ia anggap hanya sebuah tipuan itu."Berita bohong apa ini, hah? Kalian ingin mempermainkanku? Kalian pikir aku akan percaya begitu saja, hah?!" teriak Bian kalap. Evelyn ikut bangkit dan berusaha menenangkan suaminya.Sedang Melani dan Haikal sudah merasa tak enak hati. Apa yang ditakutkan terjadi juga. Keduanya paham, dan tak bisa menyalahkan Bian. Hal ini pasti sangat mengejutkan untuk lelaki itu. Anak yang selama ini sangat ia sayangi, justru bukan darah dagingnya."Mas, tenang dulu. Kita tidak boleh pakai emosi begini. Nanti Chika bisa mendengarnya," kata Evelyn berusaha menenangkan sang suami.Evelyn tak terlalu terkejut dengan berita ini. Namun, dia tetap merasa kecewa, sebab dugaannya selama ini benar. Tak menyangka jika Marissa mampu membohongi semua orang."Bagaimana mas bisa tenang, Lyn? Setelah mendengar berita jika Chika ... Arrrghhh! Ini tidak mungki
Bian dan Evelyn sedang menonton saat terdengar ketukan pintu diluar. Keduanya sama-sama menoleh, merasa heran, siapa yang bertamu malam-malam. Evelyn memutuskan bangkit, ingin melihat siapa tamunya."Tante Mel? Haikal?" Evelyn terkejut saat mendapati Haikal dan juga Melani disana."Iya. Maaf, ya, Lyn, kita sudah mengganggu waktu istirahatmu," kata Melani tak enak hati."Ah, tidak, tidak. Kita masih santai, kok! Kalau begitu, ayok, Tante masuk dulu." Evelyn mempersilahkan tamunya masuk, dengan membuka pintu lebar-lebar.Melani pun mengangguk, kemudian menoleh pada Haikal yang memasang wajah gusar. Melani mengangguk pada Haikal, kemudian mengajak keponakannya itu masuk. Evelyn mempersilahkan mereka duduk di ruang tamu, sedang dia sendiri menuju ruang tengah untuk memanggil suaminya."Siapa, Yank?" tanya Bian saat menyadari sang istri sudah kembali."Diluar ada Tante Melani sama Haikal, Mas. Kayaknya ada hal penting, deh. Soalnya nggak biasanya mereka kemari, malam-malam lagi," kata Evel