Terimakasih untuk pembaca, semoga suka. Semoga kakak pembaca selalu di beri kesehatan, kebahagiaan dan keberkahan dalam hidupnya.
"Ayah mau kemana buka pintu?" ucap Syifa lemah khas seorang anak baru bangun tidur. "Kakak, sudah bangun, Sayang?" jawab Akram gugup dengan pertanyaan balik, dia takut pertengkaran keduanya terdengar anaknya. "Tapi bukan mau meninggalkan kakak lagi kan?" tanya Syifa dengan merengek ketakutan. Seketika tercipta keheningan, Fitri tidak mau mengecewakan anaknya. "Kakak, setelah tiga hari di rumah sakit apa kamu tidak jenuh? Bagaimana kalau kita ke taman bermain sebentar?" ucap Fitri. "Benarkah, Bunda? Sama ayah kan?" tanya Syifa dengan berbinar. Dia mendambakan bermain bersama ayah bundanya. Selama beberapa bulan ini kegiatan yang seharusnya menyenangkan selalu mendapat gangguan. "Tentu, Sayang. Ayah siap menemani Kakak hari ini, kemanapun kamu mau," jawab Akram tanpa memperdulikan lirikan istrinya yang terlihat sangat kesal. "Hore ... alhamdulillah," ucap Syifa sembari bertepuk tangan."Tapi kakak janji ya, kita di sana hanya melihat teman-teman bermain," ujar Akram."Siap, Ayah
"Sayang, pulang yuk!" "Bunda, sebentar lagi ya. Masih pengin main bersama Ayah Bunda. Kakak di foto coba, Bun. Ayah, ayah di belakang Syifa," ucap Syifa senang. "Siap, Tuan Putri. Bentar, jilbabnya bunda benerin dulu," tanganku merapikan jilbab instan anakku."Nah, sudah cantik. Bersiap ya?" Aku mundur beberapa langkah untuk membidik gambar terbaik mereka. Aku tersenyum puas melihat pemandangan di depanku. Bunda janji akan mengembalikan senyum terbaik kalian seperti ini kedepannya. "Bunda, lagi Bun!" teriakan Syifa membuyarkan lamunanku. "Iya, Sayang. Abang sekarang peluk kakak!" Bang Akram mengikuti arahan ku. "Nah benar begitu, bagus!" aku mengacungkan jempol."Kakak mau lihat, Bun. Bagaimana hasilnya?"""Eits ... tunggu dulu. Bunda masih mau foto kakak, sekarang posisi Ayah yang di ayunan, lalu kakak yang mengayun,""Siap, Bunda. Ayah duduk," aku melihat Bang Akram begitu penurut. Jarang-jarang dia mau foto. "Kalian pasangan ayah dan anak yang sangat serasi," Bang Akram dan S
Setelah berhenti sejenak di Toko Kue langganan istriku, kami bergegas pulang. Netraku mencari keberadaan seorang wanita yang belum lama masuk kehidupan kami, lebih tepatnya aku yang membawanya masuk di kehidupan kami. Tidak ingin merusak mood istri pertamaku maka, aku memilih diam tidak menanyakannya kepada siapapun. Aku fokus kebahagiaan anak-anak saat ini. "Bang, kenapa bengong. Ada yang kamu pikirkan? Atau penasaran dengan sesuatu?" tanya Fitri."Tidak, Sayang. Aku hanya terharu dengan kebersamaan keluarga ini. Papa mama, ayah ibu begitu peduli dengan anak-anak kita. Lihat mereka, betapa bahagianya menyambut cucu pertamanya," ucapku menutupi apa yang aku pikirkan. "Yakin, Bang? Aku rasa bukan itu, wanita itu suka benar ketika menebak suatu perasaan," ucap istriku dalam hatiku membenarkan. "Sayang, kamu mau minum apa? Biar kali ini Abang yang buatkan,""Kalau itu gampang, tinggal minta tolong Bibi untuk membuat. Tugas Abang buat mereka bahagia," ucap Fitri sambil menunjuk buah ha
Akram setengah telanjang beranjak dari ranjang meraih ponsel keduanya yang berbunyi bergantian. Dia tersenyum kecut melihat siapa yang menghubungi mereka, tanpa berfikir panjang lekas di matikannya. Sebenarnya mood Fitri rusak dengan adanya dering tersebut, namun dia harus bertahan demi mempertahankan kebahagiaan anak-anaknya. Tidak akan di tunjukan rasa kecewanya ketika sedang bercinta. Tekadnya membuat suaminya semakin kecanduan dan tidak akan ada wanita lain yang bisa memenuhi hasrat dan cintanya. Dengan senyum terbaik Akram menoleh kearah istrinya, tidak bisa di bayangkan jika istri yang menerima bakalan gagal kegiatan panas mereka, keputusannya sudah sangat tepat. Dengan tatapan mesum Akram kembali, pikirnya dering telpon jelas sudah merusak mood istrinya. Dengan sigap kini Akram yang mengendalikan permainannya. Aku tatap matanya yang kecoklatan, pandanganku terpaku pada bibir ranum yang tadi sudah bekerja melumat asetku. Aku raih dagunya sehingga bibir ini menempel dan dengan
"Maaf ya, belum di persilahkan masuk Mama sudah masuk," ucap Mama. "Akram, kamu sudah siap. Ingat ya, Mama ingin lontong sayur yang itu, kamu paham kan tempatnya? Sama kue di tempat biasa, untuk lontong sayurnya kalau tidak berangkat jam segini nanti nggak dapat. Ingat, jangan sampai kamu nggak dapat!" ucap Mama serius, aku sampai bingung mencerna kalimatnya. Lontong sayur, kue? Dimana belinya? Kapan aku tau tempat itu? "Mah, Abang belum sholat subuh," "Fitri, suami kamu sekalian subuh di Masjid dulu. Benar kan, Akram?" "Iya, Mah. Sayang, Abang berangkat dulu. Mah, Akram pamit," "Hati-hati, Akram," jawab Mama. "Sebentar, Bang. Biar Fitri antar kedepan," "Eits, nggak perlu di antar. Mama tau kamu habis capek, keringkan saja dulu rambutnya biar tidak masuk angin," ucap Mama membuat wajah istriku memerah. Aku bergegas keluar menemui Indah yang duduk di teras. "Mas, kamu tega!" ucap Indah sambil menubruk tubuhku. "Indah, aku ambil motor dulu. Bicaranya di luar," aku urai pelukan
Indah berbalik tidak jadi melangkah. "Mas, aku mau tunai satu juta," "Ini sudah aku siapkan, aku pegang ucapan kamu Indah. Jangan menghubungiku selama dua hari ini! Pastika berhemat, itu harus cukup untuk sebulan!" ucapku sambil memberikan dia amplop coklat berisi nafkah untuk satu bulan. Indah berhambur memeluku, " Terimakasih, Mas," Kemana kemarahan yang tadi? Sudah luluh bersamaan dengan diterimanya amplop coklat? Aku melihat benda yang melingkar dipergelangan tangan kananku, menunjukkan pukul 07.05 masih ada waktu. "Indah, aku mau pulang sekarang Aku antar ke jalan,"Sambil bersungut-sungut dia mengekor di belakangku. Kini aku kepikiran beli lontong sayur dan kue, tak tau harus kemana yang penting dapat. "Mas, aku minta tambah pertengahan bulan ya. Aku sudah pesan gamis sama temanku,"Aku menarik nafas panjang, "Indah sudah empat bulan ini bonus tidak pernah cair, sejak sering kamu paksa pulang gasik, sering kamu tahan saat berangkat sehingga telat, bahkan sering membolos ga
"Baiklah, Papa serahkan semua keputusan sama kamu. Tapi kalau kamu butuh bantuan, Papa siap membantu," ucap Papa sambil mengusap kepala putrinya dengan penuh cinta. "Ijinkan Papa bicara sama Akram, Sayang. Papa tidak akan ikut campur urusan kalian. Tenang saja," ucap Papa. Aku melihat dengan jelas, kekhawatiran tergambar jelas di wajah Papa. Maafkan aku Pah. Sudah menyia-nyiakannya anak perempuanmu. Aku akan berbuat adil, Pah. "Akram, aku titip putri dan cucu-cucuku. Saat dulu kamu mengucap ijab qobul maka saat itu pula tanggungjawab berpindah ke pundakmu, jika kamu sudah tidak mencintainya lagi jangan kamu katakan sama Fitri, katakan langsung sama Papa. Biarkan Papa yang menyampaikan sama dia, Papa tidak sanggup melihat kesedihannya. Sekarang Papa sudah cukup melihat kesedihan dia dan anaknya kemarin," ucap Papa dengan penekanan. Nyaliku menciut, artinya saat ini Papa sudah mengetahui semuanya. "Iya, Pah. Akram janji, dan itu tidak akan terjadi. Doakan Akram agar tidak semakin ba
Bismillah semoga berjalan sesuai rencana. Bisa memenuhi undangan sekolah untuk menghadiri acara anak-anak. Hari ini cuti telah usai, rutinitas kantor kembali menunggu. Paginya sudah disiapkan semua keperluan oleh istri, aku tinggal pakai semua sudah beres. Di meja makan aku bercengkerama sebentar dengan buah hatiku."Kalian sudah siap ke sekolah? Mau ikut ayah, atau mau diantar Bunda?" Sesuai kesepakatan tadi malam yang kami buat jika aku sedang di rumah Indah, anak-anak berangkat dengan sopir yang disiapkan Fitri. Aku malu sebenarnya, Fitri masih punya uang simpanan selama kami menikah. Dia mampu memanage uang baik. Nafkah yang aku kasih selalu lebih, entah bagaimana mengaturnya. Aku pernah melihat catatatnya begitu rapi. Berbeda dengan Indah, seberapapun yang aku kasih akan habis bahkan sering minta lagi. Sehingga aku akan memakai uang jatah makan dan bensinku. Lagi-lagi aku membandingkan, mereka tidak sepadan."Tentu, Ayah. Kami ikut ayah. Sudah lama nggak naik motor. Apalagi kit