Akram beranjak dari tempat duduknya lalu memeluk erat tubuh anak gadisnya. "Sayang, jangan bicara seperti itu. Ayah sangat menyayangi kamu," ucap Akram dengan senyum tulus dan raut penyesalan. Syifa mendorong tubuh ayahnya tidak nyaman dengan tatapan Indah."Papa, Lulu juga mau di peluk ini, mau nangis anaknya," kata Indah, membuat suasana semakin tidak nyaman."Ayah, sudahlah. Tidak usah menjelaskan, sikap Ayah akhir-akhir ini sudah cukup menjelaskan siapa Syifa di hati Ayah. Syifa tau saat ini ayah bukan lagi milik Syifa. Ada Lulu tuh, yang mau di peluk kasihan dia nggak punya siapa-siapa. Tidak perlu khawatir, banyak yang menyayangi kami. Di sini juga ada dua Uncle tampan," ucap Syifa gugup, melihat Indah terus menatap. Fitri mengamati perubahan Syifa, ia ikuti arah pandang Syifa. Ya Tuhan benarkah dia seorang wanita? Seorang ibu? Dimana hati nuraninya, mengalah sedikit dengan anak kecil bisa kan? "Hilda, sudah bangun, Sayang. Mau minum?" tanya Syafik."Num ... mi-num," celoteh H
"Mas, jawab! Mas, mau kemana?" Indah sangat khawatir melihat suaminya tampak begitu tegang. "Mas, jangan bilang kalau lagi mengkhawatirkan keluarga mu yang lain. Mas!"Akram memasang helmnya dan berniat mengancingkan tidak bisa-bisa akibat tangannya gemetar. "Mas, ada apa? Mas!" Indah terus bertanya. "Syifa, di rumah sakit. Aku harus kesana," jawab Akram masih dengan raut sangat panik. "Nggak bisa begitu, Mas. Kemarin sewaktu kamu di rumah Fitri, Lulu juga demam. Kamu tidak panik seperti ini? Kamu pilih kasih, Mas!" "Indah, Lulu itu demam bukan aku penyebabnya. Sementara Syifa demam kali ini akulah penyebabnya, aku yang egois tadi sore sewaktu di sana aku mengabaikannya! Aku muak berdebat terus. Terima tidak terima maka, kamu harus menerima! Aku tidak mungkin terus menurutimu untuk mengabaikan anak-anakku. Siapa yang tidak membolehkan aku menyapa mereka? Siapa yang terus memberikan tatapan tajam pada Syifa sehingga dia mau mengalah? Dia anak kecil Indah. Kamu ancam dengan tatapan
Perlakuan Akram saat ini bukan hanya karena permintaan Syifa. Tapi memang bener-bener hati nuraninya begitu mencintai dan menyayangi anaknya. Akram sangat merasa sangat bersalah."Sayang, bukalah matanya. Ayah tidak akan pergi, ayah akan tetap disini untuk gadis kecil ayah," ucap Akram sambil terisak. Merasa menjadi ayah yang tidak punya hati. "Sayang, bukalah sekarang kamu bukan lagi bermimpi. Ini kenyataan, ayah minta cepatlah sembuh. Biar bisa bermain bersama kembali," ucap Akram. "Ayah, jika kondisi Kakak saat ini membuat Ayah selalu berada di sampingku maka aku rela, seperti ini terus. Ini hanya demam, kepalanya hanya sakit. Minum parasetamol sudah sembuh, tapi kalau ini yang sakit, rasanya ...," ucap Syifa sambil memegang dadanya disertai derai air mata. Baru kali ini anak gadisnya mengungkapkan apa yang dia rasakan. "Ayah, andaikan membenci Ayah dibolehkan sama Allah maka aku sudah membencimu, tapi Allah memerintahkan agar seorang anak itu taat," celoteh Syifa yang di paksa
"Astagfirullah, Akram. Sebenarnya aku paling tidak tega dengan tangisan anak kecil. Apalagi dia adalah keponakanku sendiri. Tapi, aku membenci diriku sendiri yang tidak bisa membuatmu babak belur mengingat, Syifa sangat menyayangimu. Tidak mungkin aku menambah kesedihan dia," ucap Farid lirih menahan kesal sekaligus takut terdengar mereka yang sedang terlelap. "Maaf, ... ," "Andai kata maaf bisa mengobati hati mereka, tentu aku dengan senang hati. Aku tidak mungkin diam melihat penderitaan mereka. Akram, ceraikan Fitri!" ucap Farid tegas. Mendengar kata kakak dari istrinya seakan hancur dunia Akram. Dia tertunduk dengan nafas berat dan mata memerah, bukan marah dia memang pantas mendapat ancaman dari Farid. "Kak, aku mohon jangan menyuruh kami berpisah. Aku akan perbaiki semua, aku akan membuat Indah tidak berbuat macam-macam dengan Fitri dan anak-anak. Dia memang keterlaluan, aku melihat sendiri bagaimana Indah mengintimidasi Syifa sore tadi," suara Akram bergetar. "Haha ... kasi
"Ayah mau kemana buka pintu?" ucap Syifa lemah khas seorang anak baru bangun tidur. "Kakak, sudah bangun, Sayang?" jawab Akram gugup dengan pertanyaan balik, dia takut pertengkaran keduanya terdengar anaknya. "Tapi bukan mau meninggalkan kakak lagi kan?" tanya Syifa dengan merengek ketakutan. Seketika tercipta keheningan, Fitri tidak mau mengecewakan anaknya. "Kakak, setelah tiga hari di rumah sakit apa kamu tidak jenuh? Bagaimana kalau kita ke taman bermain sebentar?" ucap Fitri. "Benarkah, Bunda? Sama ayah kan?" tanya Syifa dengan berbinar. Dia mendambakan bermain bersama ayah bundanya. Selama beberapa bulan ini kegiatan yang seharusnya menyenangkan selalu mendapat gangguan. "Tentu, Sayang. Ayah siap menemani Kakak hari ini, kemanapun kamu mau," jawab Akram tanpa memperdulikan lirikan istrinya yang terlihat sangat kesal. "Hore ... alhamdulillah," ucap Syifa sembari bertepuk tangan."Tapi kakak janji ya, kita di sana hanya melihat teman-teman bermain," ujar Akram."Siap, Ayah
"Sayang, pulang yuk!" "Bunda, sebentar lagi ya. Masih pengin main bersama Ayah Bunda. Kakak di foto coba, Bun. Ayah, ayah di belakang Syifa," ucap Syifa senang. "Siap, Tuan Putri. Bentar, jilbabnya bunda benerin dulu," tanganku merapikan jilbab instan anakku."Nah, sudah cantik. Bersiap ya?" Aku mundur beberapa langkah untuk membidik gambar terbaik mereka. Aku tersenyum puas melihat pemandangan di depanku. Bunda janji akan mengembalikan senyum terbaik kalian seperti ini kedepannya. "Bunda, lagi Bun!" teriakan Syifa membuyarkan lamunanku. "Iya, Sayang. Abang sekarang peluk kakak!" Bang Akram mengikuti arahan ku. "Nah benar begitu, bagus!" aku mengacungkan jempol."Kakak mau lihat, Bun. Bagaimana hasilnya?"""Eits ... tunggu dulu. Bunda masih mau foto kakak, sekarang posisi Ayah yang di ayunan, lalu kakak yang mengayun,""Siap, Bunda. Ayah duduk," aku melihat Bang Akram begitu penurut. Jarang-jarang dia mau foto. "Kalian pasangan ayah dan anak yang sangat serasi," Bang Akram dan S
Setelah berhenti sejenak di Toko Kue langganan istriku, kami bergegas pulang. Netraku mencari keberadaan seorang wanita yang belum lama masuk kehidupan kami, lebih tepatnya aku yang membawanya masuk di kehidupan kami. Tidak ingin merusak mood istri pertamaku maka, aku memilih diam tidak menanyakannya kepada siapapun. Aku fokus kebahagiaan anak-anak saat ini. "Bang, kenapa bengong. Ada yang kamu pikirkan? Atau penasaran dengan sesuatu?" tanya Fitri."Tidak, Sayang. Aku hanya terharu dengan kebersamaan keluarga ini. Papa mama, ayah ibu begitu peduli dengan anak-anak kita. Lihat mereka, betapa bahagianya menyambut cucu pertamanya," ucapku menutupi apa yang aku pikirkan. "Yakin, Bang? Aku rasa bukan itu, wanita itu suka benar ketika menebak suatu perasaan," ucap istriku dalam hatiku membenarkan. "Sayang, kamu mau minum apa? Biar kali ini Abang yang buatkan,""Kalau itu gampang, tinggal minta tolong Bibi untuk membuat. Tugas Abang buat mereka bahagia," ucap Fitri sambil menunjuk buah ha
Akram setengah telanjang beranjak dari ranjang meraih ponsel keduanya yang berbunyi bergantian. Dia tersenyum kecut melihat siapa yang menghubungi mereka, tanpa berfikir panjang lekas di matikannya. Sebenarnya mood Fitri rusak dengan adanya dering tersebut, namun dia harus bertahan demi mempertahankan kebahagiaan anak-anaknya. Tidak akan di tunjukan rasa kecewanya ketika sedang bercinta. Tekadnya membuat suaminya semakin kecanduan dan tidak akan ada wanita lain yang bisa memenuhi hasrat dan cintanya. Dengan senyum terbaik Akram menoleh kearah istrinya, tidak bisa di bayangkan jika istri yang menerima bakalan gagal kegiatan panas mereka, keputusannya sudah sangat tepat. Dengan tatapan mesum Akram kembali, pikirnya dering telpon jelas sudah merusak mood istrinya. Dengan sigap kini Akram yang mengendalikan permainannya. Aku tatap matanya yang kecoklatan, pandanganku terpaku pada bibir ranum yang tadi sudah bekerja melumat asetku. Aku raih dagunya sehingga bibir ini menempel dan dengan
Fitri terus mondar-mandir menanti kabar suaminya. Sementara suaminya justru lupa karena langsung ada menghadiri meeting. Sampai malam pukul 20.00 Akram baru memberi kabar kepada istrinya."Sayang, maaf baru mengabari," kalimat pertama yang terlontar dari bibir Akram saat Vidio Call."Hem ...," sahut istrinya sambil manyun."Jangan begitu, Sayang. Abang langsung meeting begitu sampai, hanya ada waktu buat ganti baju saja," ujar Akram memberi pengertian."Iya, Bang. Tidak apa, aku tidak apa-apa kok," sahut Fitri."Wanita itu, ketika sedang bicara tidak apa-apa, justru sedang ada yang di rasa," ucap Akram menyahut."Masa, sejak kapan tahu tentang itu?" tanya Fitri masih dengan nada kesal."Sayang, yang penting kamu bisa lihat Abang baik-baik saja. Maaf kalau tidak sempat mengabarimu siang tadi," ungkap Akram dengan tulus dan penuh sesal."Abang sekamar sama siapa?" tanya Istrinya."He ... sendiri. Memang sama siapa? Maunya sama kamu, Sayang," tanya Akram."Gombal, kesempatan tidur bebas
Akram mendekati istrinya, ia peluk dari belakang, "Sayang, Abang akan menjaga hati ini untuk istri dan anak-anak."Akram memutar tubuh istrinya sehingga keduanya saling berhadapan, "Abang tahu, kamu masih ragu dengan kesetiaan Abang. Mungkin saat inilah abang harus membuktikan," ucap Akram sambil memegang kedua pipi istrinya."Abang, maaf," cicit Fitri merasa bersalah, meragukan kesetiaan suaminya. "Tidak masalah, justru Abang senang. Tandanya istriku ini mencintai Abang," ucap Akram mencubit hidung istrinya dengan gemas."Ayo, Bang. Kasihan yang menunggu. Mobilnya di bawa saja, Bang!" ucap Fitri melanjutkan memasukan baju di koper buat suaminya. "Tidak perlu, Sayang. Buat kamu dan anak-anak saja, Abang naik pesawat," sahut Akmar. Menggeret kopernya di ikuti Fitri. "Astaghfirullah, kok aku lupa," Fitri menepuk keningnya dengan tangan kanannya."Saking galaunya di tinggal suami tercinta," sahut Akram. Membuka bagasi memasukan koper, ia menutup kembali.Setelah sabuk pengaman terpasa
"Anak-anak sudah ngantuk, aku ke dalam dulu ajak mereka, Ma," pamit Fitri, mama mengangguk dan dia mulai mendekati anak-anak. Terlihat anak-anak membereskan mainan sebelum meninggalkan ruang bermain. Sepeninggal Fitri, Lak Farid berkata, "Kasihan Fitri penasaran tingkat tinggi, Pa.""Biarkan saja, siapa suruh kalau menyangkut suaminya penasaran sampai tidak ketulungan," sahut Papa santai."Memang apa yang Papa bicarakan dengan Akram?" tanya Mama."Apalagi, jika bukan soal pekerjaan. Masalah pribadi keluarga kita kondisi bahagia begini," sahut Papa seperti tanpa beban. "Akram, saja selama kamu bertugas anak-anak mau dimana?" tanya Papa. "Di sini saja mungkin, di rumah sendiri Bapak Ibu sedang berkunjung ke rumah adik," jawab Akram. "Mama senang banget itu, sudah senyum-senyum sendiri," sahut Farid."Berapa hari ke luar kotanya?" tanya Farid."4 hari, Kak," jawab Akram."Pa, Ma, ke dalam dulu. Fitri sendirian kasihan," pamit Akram. Akram berjalan menuju kamar anak-anak. Hilda satu
"Bang Akram ke dalam tadi, Pa," sahut Fitri menatap Papa dengan penuh tanya."Papa tidak melihatnya, Sayang. Barusan Papa juga dari dalam," sahut Papa.Fitri bangkit dari tempatnya duduk, mencari keberadaan suaminya. Tujuan utamanya adalah kamar, dugaan Fitri tepat. Suaminya sedang tidur pulas."Di cari ternyata tidur, Bang," gumam Fitri lirih sambil mengatur suhu kamar agar suaminya nyaman.Fitri berjalan kembali ke ruang tamu, duduk di samping Papa. Fitri menggeryit, Papa terlihat berbicara sangat serius dengan Aldo."Dimana suamimu, Sayang? Sudah ketemu," tanya Papa lagi, menyadari kehadiran putrinya."Tidur, Pa," sahut Fitri."Ya sudah, nanti kalau sudah bangun suruh menemui Papa," titah Papa melengkungkan bibirnya membetuk senyuman."Baik, Papa.""Mba Fitri jika lelah, tidak apa kami di tinggal. Lulu belum juga mau pulang," ucap Indak merasa tidak enak.Anak-anak bermain di ruang keluarga di temani Grandma dan pelayan. "Aku masih kuat, Indah. Masih semangat begini," sahut Fitri
Setelah mobil menepi dan berhenti, Akram memeluk erat tubuh istrinya yang masih bergetar. Memori Fitri kembali ke dua puluh tahun silam. Saat dia dan keluarganya berlibur ke Puncak dan Kakek dari Mama membicarakan kematian, seolah berpamitan dan itu merupakan pesan terakhir. Saat itu sedang dalam perjalanan akan berlibur, beberapa saat setelah kakeknya berbicara, mobilnya oleng menghindari tabrakan justru mobil menabrak pembatas jalan. Mobil tidak rusak berat, semua tidak ada yang terluka namun, Kakeknya Fitri yang mengidap jantung tidak selamat, bukan karena kecelakaan namun, jantung kambuh saat ada benturan. Sejak saat itu Fitri paling takut membicarakan kematian saat dalam perjalanan."Sayang, maafkan Abang," ucap Akram sambil menenangkan istrinya dengan lembut, di usap punggungnya dengan halus, perlahan tangisan Fitri melemah."Abang masih di sini bersama kamu, Abang akan menemanimu sampai tua nanti. Sampai kita punya cucu-cucu yang imut insyaAllah," imbuhnya sambil terkekeh."B
Fitri menaik turunkan alisnya, jilbab besar tak mampu menutupi dia yang bar-bar. Dia sangat pandai menempatkan diri. Sinta tampak berfikir sejenak, "Apa yang aku takutkan, Mba Fitri bukan siapa-siapanya Indah bukan?" Fitri tertawa mengejek, "Apa kamu tidak melihat kedekatan keluarga kami, bersama Indah dan Aldo? Kamu belum tau tentang kami jadi, jangan sok tau. Jangan rebut kebahagiaan adikku!" ucapan Fitri penuh penekanan. "Adik?" kening Sinta mengkerut. "Ya, berasal dari adik madu awalnya, kini menjadi adik sungguhan." Sinta tertawa lepas, "Mana ada Mba Fitri? Kisah semacam itu, dengan adik madu itu biasanya membenci kenapa kalian justru?" kalimatnya menggantung. "Pantas saja lama-lama Indah malas meladenimu, ternyata kamu orang yang tidak cepat paham. Sudahlah, aku mau pulang sudah di tunggu suami," Fitri bangkit dan di ikuti oleh Sinta. Fitri berjalan cepat, dan Sinta berlari mengejar Fitr "Kenapa mengejar?" tanya Fitri heran. "Boleh nebeng di mobil Mba Fitri?" "Sebenarny
"Kamu memanggilku, Sin?" tanya Aldo heran setelah menoleh. "Sudah balik lagi ke mereka," mama menyahut. Dan Aldo balik kanan lagi untuk menuju kursi bersama keluarga Bosnya. Mama dan Fitri menahan senyum, geli dengan perempuan yang baru di jumpai begitu lucu kelakuannya."Mba Sinta mau minum apa? Biar aku panggilkan pelayan," tanya Fitri tak tahan jika hanya berdiam diri. Di belakang tempat duduk mereka terdapat banyak stand makanan dan minuman. "Aku tidak haus, Mba," jawab Sinta."Yakin? Padahal rasa penasaran yang tinggi membuat kita cepat haus dan lapar loh, apalagi sejak tadi terus bicara," ejek Fitri dengan halus. "Emm ... boleh lah. Tenggorokan sudah kering," jawab Sinta tak tau malu. Fitri memanggil pelayan yang berjaga kebetulan melihat ke arah Fitri. Sinta memilih minuman yang ia kehendaki, 1 gelas lemon tea di bawa oleh pelayan dan di letakan di depan Sinta. "Mari, Tante. Saya minum," Sinta basa basi dengan Mama Fitri. "Mama, sudah habis Lulu mau ikut Bunda," rengek L
Fitri bermain ponsel, membiarkan Indah berbicara dengan Sinta. Seolah Fitri dan Indah tidak saling mengenal."Sayang, kenalkan sama Mama. Siapa temanmu ini?" ucap Mama memecah keheningan.Indah gugup, sebelumnya dia masih memanggil Mama Fitri dengan sebutan tante, justru beliau mengarahkan Indah untuk menyebutnya Mama."Iya, Ma. Ini teman Indah sewaktu SMA namanya Sinta, bisa di bilang teman yang selalu menemani Indah bahkan mengatur segala keputusan Indah. Dia sopir, aku penumpangnya," cerocos Indah tak bisa di hentikan, dadanya sudah bergemuruh ingin sekali mengungkap siapa wanita di hadapannya."Indah, aku tidak begitu?" protes Sinta."Kenapa, Sin? Bukankah benar, kamu sangat berarti dalam hidupku. Berkat kamu aku bisa menjalani lika liku kehidupan yang begitu istimewa. Beruntung Allah memberi bahu yang kuat, sehingga aku bisa bertahan," sahut Indah sambil tersenyum, senyum yang menggambarkan kekecewaan begitu dalam. "Kamu menyalahkanku, Indah. Aku hanya ingin kamu bahagia, terbeb
Arin hanya mampu mengangguk sebagai bentuk jawaban, ia tersipu malu. Hilda yang duduk di pangkuannya mendongak, menatapnya bingung. Tangan Arin mengelus kepala balita yang ia pangku. "Alhamdulillah," sahut semuanya serentak. Andai bukan suasana seperti ini Fitri sudah meledek Arin. Fitri sudah mengeratkan giginya agar tidak terbahak. Kedua keluarga sudah mencapai kesepakatan, perikahan akan di langsungkan sebulan lagi. Acara dilanjutkan dengan obrolan ringan untuk mempererat hubungan kedua keluarga. "Kak, jaga tatapannya!" tegur Mama saat hendak berpamitan, wanita paruh baya itu menjewer telinga anaknya. "Pa, pernikahannya dimajukan saja jangan terlalu lama," pinta Farid masih dalam posisi duduk. Semua mata tertuju pada laki-laki yang sejak tadi menahan gejolak ingin protes atas kesepakatan kedua orang tua itu. "Hem ... dari tadi diam, Papa kira kamu tidak punya pendapat," kata Papa, awalnya hendak berdiri kini kembali duduk. "Sebulan lagi Farid ada kunjungan ke Kalimantan surve