"Sayang, kamu yakin mau periksa ke dokter?" Mas Hakim tiba-tiba memelukku dari belakang. Aku yang sedang merias diri di depan cermin sampai terkejut karena tak menyadari kehadirannya. "Mas ...." Kutoleh ke arah pria itu. Ia terlihat begitu antusias."Bagaimana? Kamu yakin mau periksa sekarang?" "Iya, Mas." Meskipun ada sedikit keraguan, tetapi aku ingin membuktikan pada diriku sendiri bahwa kesuburanku baik-baik saja. Mengingat hasil kemandulan yang kupalsukan dulu, membuatku ingin membuktikannya. "Baiklah," sahut Mas Hakim lagi dengan senyum mengembang di wajahnya. Setelah Selesai bersiap, kami langsung berangkat menuju salah satu klinik dokter kandungan. Masuk di ruangan depan, kami disambut hangat oleh dua perawat berjilbab dan mengarahkan kami untuk mendaftar, kemudian mempersilakan kami duduk di kursi antrian. Cukup lama kami menunggu karena wanita hamil yang mendaftar lumayan banyak. Dengan antusias, Mas Hakim terus saja menggenggam tanganku dan berkali-kali menenangkan.
"Memangnya kenapa Mas? Semua dokter sama aja kan? Apalagi kalau kita kenal, kan malah enak?" "Pokoknya Mas pengen ganti klinik yang dokter kandungannya perempuan. Titik!" Mas Hakim tampak sangat marah. "Kenapa pakai titik, Mas? Pakai koma aja kenapa???" Aku sengaja menggoda pria yang tengah fokus menatap jalan. Pria itu menoleh dengan kedua alis bertaut. "Maksudmu apa, Dek?" "Itu, tadi Mas bilang " Titik!" Kenapa nggak pakai koma aja?" Mas Hakim yang paham dengan gurauanku seketika tersenyum. "Apaan sih? Mas tadi cuma pengen negasin aja. Nggak marah, kok.""Tapi negasinnya kayak orang marah." "Masa sih?" Pria itu kembali tersenyum kecil. "Mas kalau cemburu lucu." Aku merebahkan kepalaku pada bahu Mas Hakim. Padahal ia fokus menyetir, tetapi sama sekali tidak menolak perlakuanku. Kenapa di saat-saat seperti ini aku malah teringat dengan Mas Ilham? Bukannya ingin kembali dengan pria itu, tetapi aku jadi kepikiran hasil tes kesuburan yang dulu kupalsukan. Apa mungkin sekarang Mas
"Bu Tuti!" Aku benar-benar terkejut melihat tetangga sebelah rumahku dulu sedang sibuk di dapur. Wanita itu tersenyum kecil. "Kamu pasti kaget lihat Ibu di sini, kan?""Iya, Bu. Bener banget. Kenapa Bu Tuti bisa di sini? Dan ini, lagi masak??" Aku bergerak mendekati Bu Tuti yang sedang sibuk membalik ikan di penggorengan. "Ibu seneng banget tadi malam dapet kabar dari suamimu kalau kamu sedang hamil. Tanpa pikir panjang, Ibu langsung ke sini habis subuh tadi. Kebetulan Ibu libur ngajar, jadi bisa berkunjung. Ibu udah kangen banget sama kamu," terang Bu Tuti lagi dengan langkah mendekat dan memelukku. "Ibu turut bahagia untukmu, Naima. Setelah beberapa kejadian buruk yang kamu alami, kini kamu bisa hidup lebih tenang bersama Nak Hakim."Mendengar penuturan Bu Tuti membuatku terharu. Wanita ini merupakan salah satu saksi hidup yang tahu keadaan terburukku setelah diceraikan dari Mas Ilham. "Terima kasih, Bu." Aku membalas pelukan Bu Tuti dengan sangat hangat. "Udah kangen-kangenanny
Naima ... Maafkan aku. Aku sungguh menyesal lebih mempercayai ibu daripada istri salehahku. Dia adalah wanita paling penyabar yang kukenal selama hidupku. Dan aku adalah pria terbodoh yang ada di dunia ini. Karena terhasut oleh ibu, aku memilih menceraikan Naima tanpa mendengar penjelasannya dulu. Aku memang naif, yang dengan gampang terprovokasi hanya karena tuduhan tak berdasar. Mungkin, jika waktu bisa kuputar ulang, aku ingin kembali di masa awal pernikahanku dengan Naima dulu. Aku akan membawanya keluar dari rumah ibu dan mengontrak rumah sendiri dari awal. Namun, keinginan hanya keinginan yang tak kan bisa terwujud, karena wanita itu kini sudah memiliki kehidupan sendiri. Yang lebih menyakitkan adalah suaminya saat ini adalah pria terpandang. Entah mengapa aku menjadi sangat berkecil hati karena itu. Aku bisa mengatakan itu karena aku kenal dia. Hakim adalah klien baru di perusahaan tempatku bekerja yang muda juga tampan. Aku baru mengetahui bahwa dia suami Naima saat kuint
"Mas! Dipanggil kok malah kabur!" seru pria yang kukenal betul siapa dia. Ya, dia adalah Hakim, klien baru perusahaan kami yang tak lain adalah suami Naima. Berarti benar, rumah yang kudatangi ini tempat tinggal Naima. Begitu ketahuan sedang mengintip, aku bergegas lari menuju mobil. Tanpa melepas jaket dan topi, aku segera menyalakan mesin dan melajukan dengan sangat cepat. Ah, hampir saja ketahuan! Namun, aku masih penasaran karena belum melihat Naima meskipun hanya sekilas. Jika ada kesempatan lagi, aku masih berniat kembali ke rumah itu untuk melihat cinta pertamaku. "Ham, ada apa denganmu? Kenapa proyek yang kamu pegang bisa gagal total seperti ini?"Haris—pria berperawakan kurus itu menyambut kedatanganku dengan penuh tanya. Dia membawa satu map besar yang kuyakini itu adalah hasil evaluasi dari proyek yang kupegang."Nggak gagal, Bro. Masih proses. Sabar, ya...." Meskipun dia anak dari bos perusahaan ini, tetapi dia adalah teman kuliahku dulu. Dan hubunganku dengannya masih
Melissa berdiri di depan pintu kamar dengan tatapan nanar padaku dan ibu. "Mas, sampai kapan pun aku tidak akan rela kalau kamu biayain kuliah Nindi!" Melihat sikap istriku yang sepertinya marah besar membuatku beranjak mendekatinya. "Kamu kenapa, Mel? Kasian ayah kalau harus tetap mengajar ketika sering sakit-sakitan seperti ini."Aku sangat berharap Melissa sadar dan mau mengerti, tetapi nihil. Melissa malah semakin marah, hingga berbuat hal di luar dugaan. Wanita itu menuju dapur melewatiku dan ibu dengan langkah cepat. Prang!Prang! Suara keras khas piring dilempar terdengar begitu saja, membuatku dan ibu bergegas berlari mengikuti Melissa. "Ya Allah, Melissa! Ibu nggak pernah nyangka sikapmu sekasar ini hanya karena ibu meminta bantuan pada anak ibu sendiri!" tangis ibu semakin pilu. Ibu pasti tidak percaya jika menantu idamannya bertingkah seperti ini. "Masa bodoh! Tapi Mas Ilham sekarang suamiku, Bu! Jadi dia harus menuruti kemauan Melissa, bukan Ibu!" "Ya Allah, Melissa
"Bu, Ibu tahu kabar Naima enggak?" tanyaku iseng pada ibu yang sedang membuatkanku kopi. Sehari berlalu tanpa Melissa membuat hatiku terus memikirkan Naima. Tampaknya aku gagal move on dari mantan istri salehahku itu. "Kamu ini bicara apa to, Ham? Istrimu balik ke rumah orang tuanya nggak disusul, ini malah bahas Naima!" sentak ibu sambil menyodorkan secangkir kopi panas ke hadapanku."Aku cuma kepikiran sama perbedaan sifat Naima dan Melissa, Bu. Kalau Naima jadi Melissa, dia tidak akan protes tentang apa pun, meskipun dia sangat ingin." Aku membuang napas berat. "Sangat kontras dengan sikap Melissa," imbuhku lagi. Kulirik ibu yang duduk tampak melamun, kemudian aku menyesap kopi yang ada di hadapan. Sepertinya ibu ikut larut mengingat sikap Naima dulu. "Iya, Ham. Kalau Naima dulu nggak pernah berani membentak ibu seperti Melissa." Ibu menoleh ke arahku dengan wajah sendu. "Kalau Naima, pasti sudah menerima keputusan yang kamu pilih. Ih, kenapa jadi bahas Naima sih kamu?" Aku te
"Kamu serius Mas, mau belikan aku rumah?" Melissa menatapku dengan wajah berbinar. Waduh! Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Meskipun ragu, tetapi aku harus tetap meyakinkannya. Jika berbohong bisa membuatnya kembali ke rumah, maka akan kulakukan. "Iya, Mas janji." Aku mengangguk penuh keyakinan untuk membuatnya percaya. Padahal itu hanyalah omong kosong belaka. "Baiklah kalau begitu. Aku akan memberimu kesempatan dan tidak akan meminta cerai, tapi kamu harus benar-benar memenuhi janjimu, Mas!"Ternyata, cukup dengan memberi iming-iming rumah Melissa sudah mau kembali lagi padaku. Baiklah, aku akan berpura-pura berjanji, meskipun entah bisa menyanggupinya atau tidak. Tahu sendiri gimana kondisi keuanganku, dan lagi posisi di kantor sedang tidak baik-baik saja. Akan tetapi, demi ibu aku akan melakukan segalanya. "Iya, aku janji." Aku mengangguk penuh keyakinan. "Tapi, beri aku waktu ya, dan sementara kita tinggal di rumah ibu dulu, seperti biasa." "Halah, percuma dong kamu b
POV Author"Jadi, kamu suaminya Naima??" Ratih, mantan mertua Naima itu sangat terkejut. Dia begitu kagum melihat pria yang berdiri di hadapannya. Dalam pikirannya, ia tak pernah mebayangkan bahwa menantu yang disia-siakannya sekarang mendapat suami super sempurna.Ratih tahu jika Hakim adalah pria kaya, tetapi ia sama sekalian tidak tahu jika pria itu juga masih sangat muda dan tampan. Bagaimana mungkin, seorang janda rendahan dipersunting pria istimewa ini?Namun, rasa kagum itu tak mungkin ia tampakkan. Tidak mungkin ia memuji Hakim sementara hatinya begitu membenci Naima. "Iya, saya suami dari Naima." Hakim menjawab dengan kalimat penuh penekanan. Sementara tu, hatinya masih menerka-nerka siapa dia orang wanita yang sedang merundung istrinya. Perdebatan pun terjadi, hingga Hakim akhirnya tahu bahwa wanita itu adalah ibu dari Ilham, mantan suami Naima. Dan wanita muda yang berdiri di sampingnya adalah Melissa, istri kedua Ilham saat ini. "Dari mana kamu tahu tentang Ilham? Pasti
"Apa aku nggak salah dengar, Dek?" Aku begitu terkejut mendengar pengakuan dari Naima. Bagaimana mungkin pria yang sudah merugikan perusahaanku adalah mantan dari istriku sendiri.Apa mungkin ... pria itu sengaja melakukan ini padaku? Karena dia tahu aku adalah suami mantan istrinya? Ah, entahlah .... "Mas, kamu jangan marah ya? Aku nggak pernah berniat merahasiakan ini." Naima kembali berucap dengan mata nanar menatapku. Bagaimana mungkin aku akan marah padanya, sementara dia adalah kucing manis yang selalu diam di rumah. Maksudku, dia adalah istri sempurna bagiku terlepas dari sikap buruk mantan suaminya. Dengan penuh cinta aku membelai bahunya. "Siapa yang marah, Dek? Mas nggak marah kok. Cuman agak kaget aja." "Iya, Mas. Aku juga baru tahu kalau perusahaan tempat Mas Ilham bekerja jadi partner kerjamu waktu dia datang ke sini," terang Naima lagu dengan penuh kesungguhan. "Iya, Dek. Mas paham." Aku kembali menyahut. "Tapi, apa kamu tahu bagaimana sifat asli mantan suamimu itu?
Apa yang terjadi?"Maaf, Pak Haris. Apa maksud Bapak?" Aku sangat terkejut dengan file yang sedang kupegang.Pemuda yang usianya kurasa masih di bawahku itu tersenyum simpul. "Itu adalah rekapan dari semua biaya proyek yang sedang kita garap. Lihatlah lagi dengan teliti. Di sini tidak terlihat adanya kecurangan atau penggelapan dana yang dilakukan Saudara Ilham yang notabene adalah karyawan saya. Jadi, saya harap Anda menarik kembali ucapan dan tuduhan Bapak pada Saudara Ilham!""Apa??" Aku sangat terkejut. Bisa-bisanya Ilham memanipulasi lagi data yang sudah kami dapat sehingga membuatnya terbebas dari kesalahan. Aku sangat marah hingga tak sengaja aku berdiri seketika dan menarik kerah karyawan licik itu. "Jangan kamu pikir setelah membuat file baru kamu akan aman, hah! Aku punya bukti bahwa semua ini sudah kamu rencanakan dari awal. Dasar manusia licik!" "Tenang, Pak. Tenang ...." Romi berusaha menarik lenganku, tetapi tanganku sangat kuat mencengkeram kerah Ilham, membuat pria
Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap. Sesuai rencana, aku dan Romi akan ke perusahaan tempat Ilham bekerja. Di mana perusahaan itu saat ini sedang bekerja sama dengan kami.Aku sangat berharap proyek yang kami garap ini berakhir dengan hasil yang memuaskan. Sayang seribu kali sayang, bukannya untung aku malah buntung. Karena keserakahan satu orang membuat hasil yang akan kami dapat sangat tidak sesuai. Bidang perusahaan yang sedang kurintis adalah tentang properti. Di mana aku bekerja sama dengan berbagai perusahaan kontraktor untuk membangun perumahan yang siap huni. Dengan penuh harap aku memulai kerja sama dengan perusahaan besar yang cukup terkenal milik seorang pemuda bernama Haris. Awalnya, proyek terlihat berjalan dengan baik. Aku juga sering memantau langsung ke lapangan. Akan tetapi, karena kesibukan dan aku selalu ingin menemani Naima di rumah, itu menjadikanku tidak bisa mengontrol langsung proyek yang sedang berjalan. Hanya Romi yang kutugaskan sesekali untuk mengontrol
Aku begitu terkejut mendapati kabar dari sekretarisku. Pikiranku yang panas karena Intan seketika terasa semakin mau pecah. Bagaimana mungkin, file penting tentang proyek baru kami dicuri oleh seseorang. Untung saja kami memasang beberapa CCTV di berbagai titik di perusahaan, sehingga membuat Romi, sekretaris sekaligus orang kepercayaanku bisa dengan cepat melacak dan menemukan pencurinya. "Bapak harus segera ke kantor. Ini saya sudah mengkonfirmasi pencurinya. Jika Bapak mau, kita bisa melaporkan hal ini langsung ke kantor polisi," ucap Romi memberikan saran. Ia juga begitu geram dengan ulah Ilham.Sudahlah menggunakan uang proyek yang sedang berjalan, kini malah mencuri data penting yang kami simpan. Aku sudah bisa memastikan motif pria itu melakukan hal ini, tetapi aku juga ingin mendengar pengakuannya sendiri nanti. "Baiklah, nanti kita bicarakan di kantor. Ini saya masih di rumah ibu. Saya mau antar istri pulang dulu, baru setelah itu langsung ke kantor. Kamu tunggu saja di san
"Intan, ada apa? Kenapa kamu menangis?" Aku memeluk tubuh adik ipar dengan penuh kekhawatiran. Padahal di ruang tamu saat ini, kekasihnya sedang melamar, tetapi kenapa dia malah menangis di sini? "Ada apa, Intan? Kenapa kamu menangis?" Sekali lagi aku bertanya. Hubunganku dengan Intan terbilang cukup dekat. Selain karena umur kami yang tidak terlalu jauh, Intan adalah wanita supel yang selalu bisa membuatku tersenyum.Gadis itu masih belum mau menjawab. Dia malah kembali membenamkan wajah ke bantal, hingga suara tangis histeris terdengar."Ada apa ini?" Tiba-tiba pintu terbuka. Mas Hakim sudah Berdiri tegap di ambang pintu. Mungkin suamiku mendengar tangisan adiknya, sehingga membuatnya bergegas untuk memastikan. "Dek, ada apa ini? Kenapa Intan menangis?" tanyanya padaku yang langsung kutanggapi dengan gelengan kepala. "Aku juga nggak tahu, Mas. Tadi pas aku masuk, Intan sudah nangis begini."Mas Hakim bergerak mendekati adiknya. "Kamu kenapa, Intan? Di luar sana, kekasihmu seda
Mas Hakim terbelalak. "Cowok!?""Lho, kenapa, Pak? Biasanya bapaknya pengen anak cowok. Ini kok malah kaget?" tanya Dokter Rossa diselingi tawa renyah. Aku hanya tersenyum melihat sikap Mas Hakim yang kebingungan, karena mimpinya semalam dan hasil pemeriksaan hari ini berbeda.Pria itu mendekat padaku seraya tersenyum. "Benar katamu, Dek. Mungkin mimpi Mas cuma bunga tidur karena terlalu semangat pengen ketemu anak kita.""Tapi Mas nggak kecewa, kan?" Kuamati wajah Mas Hakim yang kini sudah berdiri di sampingku."Enggaklah, Dek ... mau cowok atau cewek, yang penting sehat. Lahir dengan selamat. Itu sudah lebih dari cukup untuk Mas. Alhamdulillah, banyak di luaran sana pasangan yang mendambakan keturunan, tetapi tak kunjung dikabulkan," jelas Mas Hakim lagi yang kutanggapi dengan senyuman manis. "Jadi, karena mimpi punya anak perempuan?" Dokter Rossa yang sedari tadi diam ikut menyahut. "Hehe, iya, Dok. Cuma ingin memastikan saja," jawab Mas Hakim dengan sopan. Tidak sampai satu ja
Mas Ilham?!Aku benar-benar terperangah melihat mantan suamiku berdiri di halaman rumah. Dia sedang berbincang dengan Mas Hakim di sana. Tampak sangat serius yang membuatku semakin penasaran. Langkahku terhenti di depan jendela, tetapi aku masih tetap mengintai mereka. Mas Ilham tiba-tiba berlutut di hadapan Mas Hakim yang sedang berdiri di samping mobil. Seakan begitu merasa bersalah, hingga membuat Mas Ilham tidak memperdulikan celananya kotor terkena tanah. "Tolong beri kesempatan untuk saya, Pak! Saya akan memperbaiki semua kesalahan yang sudah kuperbuat!"Mas Hakim berkacak pinggang. "Bagaimana caranya? Hah!?" Terlihat sombong sekali suamiku. Namun, aku tahu pasti ada hal yang membuatnya sangat marah begitu. "Saya akan mengganti semua uang yang sudah saya gunakan, Pak," balas Mas Ilham dengan tertunduk menyesal. Mas Ilham akan mengganti uang yang dipakainya? Apakah ini tentang apa yang dikeluhkan Mas Hakim kemarin? Tentang karyawan yang menggelapkan dana proyek?Mas Hakim be
"Sayang, hari ini jadi ke klinik, kan?" Mas Hakim yang habis salat subuh menghampiriku di dapur. Saat ini aku sedang menyeduh kopi untuknya. "Jadi, Mas." Aku menjawab dengan santai. Setelah kopi buatanku siap, aku meletakkannya di atas meja makan. "Ini kopinya, Mas.""Terima kasih, Sayang ...." Pria yang hampir setahun menikahiku ini tersenyum manis sambil mengelus-elus perut besarku. "Nanti kita ketemu lagi, Sayang. Papa nggak sabar deh, pingin lihat kamu," ucapnya dengan logat dibuat-buat seperti anak kecil. "Iya, Papa ... aku juga pengen banget ketemu sama Papa." Aku menyahut dengan ekspresi yang sama. Mas Hakim sama sekali tidak merasa lucu. Dia malah semakin bersemangat mengajak perutku berbicara. "Baik-baik di sana ya, Sayang. Jangan nakal! Nendangnya jangan kenceng-kenceng, nanti Mama bisa kesakitan.""Udah ah, Mas. Aku capek, mau duduk juga." Aku mengeluh seraya menarik kursi untukku duduk. "Oh, iya ... Tuan Putri, duduklah," balas Mas Hakim yang terus saja menyunggingk