Bekas memerah di pipi Dejan akibat tamparan Dinda masih sedikit terlihat. Sakitnya tidak seberapa, tetapi malunya sampai ke ubun-ubun. Kalau keributan itu sampai terunggah di internet, entah seperti apa reaksi orang tua dan keluarganya. Selama ini, Dejan dikenal sebagai sosok berwibawa dan tidak neko-neko."Itu Lula, Din. Cewek yang pernah gue ceritain ke lo karena dijodohin sama nyokap."Dejan memelankan suaranya dan memberi penekanan. Dia berusaha sabar meski rahangnya mengeras dan tangannya mengepal karena menahan amarah."Dan lo suka?" Dinda melotot."Enggak. Sumpah! Gue terpaksa—""Kintan lagi sedih karena lo ngilang gitu aja, tapi lo sendiri malah asyik jalan sama cewek lain. Enggak habis pikir gue, Jan.""Gue sama sekali enggak ada pikiran untuk mempermainkan Kintan. Tadi pun kami masih WhatsApp-an kayak biasa.""Beberapa hari ini Kintan sering curhat ke gue. Dia tertekan karena terus didesak sama orang tuanya. Dan apa yang gue lihat hari ini? Lo ternyata enggak jauh beda sama
Kintan duduk di balkon sambil memandangi bulan yang mengintip malu-malu di balik awan. Embusan angin malam menembus jaket tebal, tetapi tidak sampai membuatnya meringkuk kedinginan. Gadis itu hanya termangu, sesekali menyeruput seduhan coklat yang uapnya masih mengepul.Acara peresmian cabang toko pertama akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Semua persiapan telah selesai dilakukan. Kintan juga sudah mengundang beberapa tamu penting, termasuk Pak Doni dan Dejan sebagai rekan bisnis.Namun, satu-satunya orang yang sangat dia harapkan kedatangannya justru tidak memberi kabar apa pun sejak sebulan terakhir. Yang Kintan tidak tahu, nomornya memang sudah diblokir oleh Dejan. Dejan pun kini leluasa berkomunikasi dengan Kintan sebagai dirinya sendiri.Kintan tidak tahu apa yang salah dengan dirinya. Dia hanya bisa menghubung-hubungkan kepergian Devan dengan keberadaan Talita serta menyimpulkan beberapa hal yang sepertinya cocok. Yang masih tidak dia mengerti, sudah berapa lama Devan di Jambi?
Kintan tak henti-henti menebar senyum pada tamu undangan yang hadir. Kilat cahaya kamera berulang kali menerpa wajahnya yang putih bersih. Mata jernih itu menyapu satu per satu tamunya dan memperhatikan detail khusus untuk mengenali mereka."Halo, Tante Lina. Terima kasih sudah hadir," sapa Kintan pada wanita paruh baya yang mengenakan setelan putih. Penampilannya terlihat nyentrik karena menenteng tas merek ternama dengan motif kulit ular."Selamat, ya, Kintan. Tante enggak nyangka kamu bisa sesukses ini."Meski tersenyum, komentar wanita bernama Lina itu lebih terdengar sinis. Tangannya sibuk mengayunkan kipas lebar seolah-olah ruangan dengan AC itu masih terasa gerah.Kintan mengabaikan sikap dingin tantenya itu. Harinya terlalu baik untuk dirusak oleh hal sepele. Acara pembukaan cabang pertama Key and Cake itu bersamaan dengan restoran Rasa Nusantara milik Pak Wishnu, rekan sekaligus investor Kintan. Banyak tamu penting hadir dan itu bagus itu memperluas koneksi.Rest area tempat
"Maaf tidak bisa mengantar Mas Dejan. Hati-hati di jalan."Dejan tersenyum membaca pesan yang dikirim oleh Kintan. Dia bisa memahami, Kintan tidak mungkin mengantarnya ke bandara tanpa ada yang menemani. Dinda juga masih enggan menemuinya semenjak keributan di mall."Tidak apa-apa, Tan. Minta doanya saja semoga perjalanan saya lancar."Sebenarnya Dejan ingin menambahkan kalimat: supaya bisa segera pulang ke Indonesia. Akan tetapi, Dejan menghapus sebelum mengirim pesan balasan. Kintan cukup sensitif untuk hal semacam itu. Hatinya masih rapuh karena ulah Devan. Jika Dejan terlihat terang-terangan mendekatinya, gadis itu justru akan menghindar.Dejan terbang ke Belanda dengan membawa setumpuk permasalahan. Semenjak dirinya terlalu nyaman tinggal di Indonesia dan banyak membagi waktu untuk membersamai Kintan, urusan pekerjaan menjadi berantakan.Satu per satu masalah yang datang tidak segera dia selesaikan. Akibatnya, berbagai permasalahan itu menimbun serupa gunung es. Terlihat sepele d
Devan mendapat jatah libur dari kantor selama lima hari. Tadinya dia ingin bersantai saja dan tinggal di Jambi, tetapi Talita merengek ingin ditemani ke Jakarta. Dia sudah kangen dengan hiruk pikuk suasana metropolitan dan menyambangi pusat perbelanjaan.Setelah dipikir-pikir lagi, sepertinya ajakan Talita itu menarik juga. Devan bisa pulang mengunjungi orang tuanya dan berkoordinasi langsung dengan rekan kerja dari kantor pusat. Selain itu, dia juga penasaran dengan alasan orang tua Kintan marah-marah lewat telepon beberapa waktu sebelumnya.Kalau dipikir-pikir, Kintan sendiri juga tidak pernah menghubungi Devan semenjak dia pindah tugas. Jika akhirnya hubungan mereka kandas, kesalahan itu bukan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Devan.Maka hari itu, di suatu akhir pekan yang cerah, Devan dan Talita berangkat dengan penerbangan paling pagi pukul 06.45. Proyek mereka sementara ditangani oleh Penanggung Jawab Lapang yang sudah lebih dahulu ditugaskan di sana.Kintan. Nama itu seakan-ak
Sepeninggal Devan, Kintan hanya bisa terduduk lemas di lantai ruang kerja. Semuanya terlalu sulit untuk dicerna akal sehat. Tatapannya kosong. Air matanya sampai tidak bisa lagi menetes. Satu-satunya penanda bahwa dia masih sadar adalah kelopak matanya yang masih berkedip perlahan. Detak jam dinding seolah-olah mengantarkan ingatan Kintan akan kebersamaannya dengan Devan palsu. Ya, bagi Kintan semuanya palsu.Sikap Dejan pasti palsu. Perhatian Dejan juga palsu. Pun dengan rasa cinta yang sempat membuat jantung Kintan berdebar kencang. Itu juga palsu.Dalam bayangannya, dua lelaki kembar tersebut tengah mentertawakan kebodohannya. Mau marah, tapi tidak tahu harus marah kepada siapa. Toh, muara semua kesalahpahaman itu sebenarnya dari kekurangannya yang tidak bisa membedakan wajah.Suara ketukan di pintu membuat Kintan akhirnya tersadar bahwa dirinya masih berada di ruang kerja. Ratri memanggilnya dari luar berulang kali. Kintan pun akhirnya menguatkan kedua lutut untuk berdiri dan mem
"Kasih jalan! Kasih jalan!" seru seorang lelaki yang membopong tubuh mungil Kintan. Kerumunan yang semula mengitari mereka lantas menepi untuk membiarkan orang itu lewat.Kintan dibawa ke bawah pohon yang teduh. Kakinya diluruskan dan badannya dikipasi. Seorang wanita berseragam minimarket menepuk pipinya berulang kali untuk memeriksa kesadaran Kintan."Permisi, Mas, Mbak ...." Dinda sampai di tempat itu dengan terengah-engah. Dia langsung berlutut di samping tubuh Kintan yang tergolek tak berdaya."Kintan! Sadar, Tan ... Ya Allah, kenapa jadi kayak gini, sih?" Embun menggelayut di ujung mata Dinda."Mas, ini teman saya. Kalau nggak keberatan, saya mau minta tolong bawa dia ke salon saya yang di ujung itu. Nanti biar saya panggilkan dokter untuk diperiksa," pinta Dinda dengan wajah cemas."Oh, boleh, Mbak. Syukurlah kalau Mbak ini temannya."Dinda dan wanita berseragam minimarket membopong tubuh Kintan bagian atas sedangkan kakinya dibopong lagi oleh lelaki itu. Sinar matahari yang te
Dejan mencengkeram ponselnya kuat-kuat setelah sambungan telepon terputus. Berita dari Dinda bagaikan petir di siang bolong.Entah apa yang harus dia perbuat untuk menebus kesalahan kepada Kintan. Ya, kesalahan. Meski awalnya Devan yang menyakiti hati Kintan dengan diam-diam menduakannya, Dejan juga punya andil karena menutupi kebohongan itu dengan kebohongan lain.Sebagai manusia yang punya hati, Dejan bisa merasakan sakitnya menjadi Kintan. Ibarat kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah calon suami selingkuh, kembaran suaminya malah mengaku-aku demi bisa mendekatinya.Pasca dihubungi Dinda, tak lama kemudian Devan juga menghubunginya. Dia dihadapkan pada dua pilihan: tidak mengangkat telepon itu, tetapi akan dicap sebagai pecundang atau mengangkat telepon dan menerima konsekuensi akan ditertawakan habis-habisan.Semuanya sudah kepalang tanggung. Nasi sudah menjadi bubur. Mengelak bukanlah sifat seorang ksatria. Dia harus berani menghadapi risiko dari semua perbuatannya
Pernikahan Devan dan Talita awalnya terasa begitu indah. Mereka menggelar resepsi mewah dan mampu mengundang penyanyi favorit Talita sebagai bintang tamu. Bulan madunya pun tidak main-main, paket perjalanan ke lima negara Eropa selama 10 hari. Semua tampak baik-baik saja hingga kemudian badai menerpa di usia pernikahan yang masih seumur jagung.Pernikahan yang semula terasa manis dan indah, berubah menjadi hari-hari penuh pertengkaran. Curiga, cemburu, dan miskomunikasi adalah makanan sehari-hari. Rumah yang masih dalam cicilan itu menjadi saksi bisu terbongkarnya kebusukan Talita satu demi satu.Di usia kehamilan Talita yang menginjak 7 bulan, Devan harus menjalani serangkaian proses pemeriksaan di kantor. Divisi keuangan melaporkan adanya tindak penggelapan uang proyek pada audit tahunan. Tersangkanya adalah Talita selama mereka bertugas di Jambi.Perusahaan ditaksir mengalami kerugian hingga 200 juta rupiah. Tim Legal awalnya ingin melaporkan kasus tersebut ke polisi, tetapi Devan
"Besok aku akan bicara dengan Om dan Tante, Bu. Nggak usah takut, kita nggak salah. Dzolim sekali kalau mereka menuntut warisan sementara Ayah memiliki istri dan anak yang masih hidup!" ucap Kintan tegas.Kintan geram sebab kerabatnya sudah kelewat batas. Warisan yang ditinggalkan Pak Surya memang cukup banyak, meliputi tabungan, rumah, tanah, dan toko kue. Namun, bukan berarti mereka bisa meminta seenaknya. Itu tidak sesuai dengan hukum perdata maupun hukum Islam."Tadi Ibu sudah berusaha menyampaikan pendapat, tapi mereka masih kekeh. Om Yudi merasa berhak mendapatkan bagi hasil toko kue karena dulu ikut menyumbang material. Tante Ira juga merasa berhak dapat warisan tanah karena pembagian dari kakek kamu dulu tidak sama banyak. Ibu sudah capek, Tan.""Mana bisa begitu? Kalau niat awalnya bantu ya bantu. Urusan pembagian warisan dari Kakek juga bukan tanggung jawab kita. Udah, pokoknya Ibu istirahat ya, jangan mikirin hal-hal nggak penting kayak gitu. Sekarang aku yang akan pasang b
Dinda menemui Kintan dan Bu Ranti. Dia harus menjelaskan perihal chef kiriman Dejan sebelum mereka salah paham. Lagi pula, tambahan bantuan itu juga sangat berarti di tengah sibuknya persiapan acara doa bersama. "Jadi, maksud kamu, Mas Dejan sengaja mengirim chef pribadi ke sini untuk menyiapkan konsumsi selama tiga hari ke depan?" Kintan mengulang informasi yang didengarnya. Dinda mengangguk mengiakan. "Kintan, Tante, sebelumnya aku minta maaf kalau terkesan lancang. Tolong jangan menolak dan menyalahartikan niat baiknya. Dejan benar-benar tulus ingin membantu." Dinda menunduk dalam. Dia siap dengan segala konsekuensi yang mungkin akan diterima. "Tapi buat apa, Din?" Intonasi Kintan meninggi. "Aku nggak pernah minta! Bayar chef pribadi itu mahal, apalagi sampai tiga hari. Terus aku harus diam menikmati semua bantuannya dan berpikir dia nggak punya niat tersembunyi? Mana bisa begitu!" "Kintan, pelankan suaramu, Nak. Ada banyak kerabat di luar," tegur Bu Ranti. Dia pun sebenarn
Jalanan macet, pikiran kusut, dan Talita yang seenaknya pergi setelah marah-marah adalah kombinasi memuakkan hingga membuat Devan memukul setirnya berulang kali. Tanpa memedulikan tatapan sinis pengendara lain, dia menekan klakson tidak sabaran. Kepalanya berdenyut nyeri. Semua hal seolah terjadi begitu cepat hingga Devan tak sanggup membendung akibatnya."Haruskah aku datang ke pemakaman?" tanyanya dalam hati, berulang kali.Namun, ada keraguan besar yang menahan langkahnya. Apakah kedatangan Devan bisa diterima oleh keluarga Kintan? Dia khawatir, keributan besar akan terjadi dan mengganggu suasana mereka yang tengah berduka.Selain itu, diam-diam Devan juga takut dilaporkan ke polisi. Bagaimana jika keluarga Kintan menuntutnya dengan pasal pembunuhan yang tidak disengaja? Devan pernah menonton berita televisi, pelaku kejahatan tersebut juga bisa masuk penjara. Jika itu terjadi, tamatlah riwayatnya.Devan mengepalkan tangannya yang gemetaran. Dia berusaha mengatur napas. Tidak. Kinta
Mobil jenazah melaju pelan memasuki gang. Sirinenya tidak dinyalakan, sesuai permintaan keluarga. Sudah ada seorang lelaki di ujung gang yang memandu mobil tersebut. Tetangga lainnya juga sudah ramai berkerumun di depan rumah yang sedang berduka.Ketika pintu mobil dibuka, Kintan turun terlebih dahulu. Matanya sembab dan pandangannya kosong. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, dia memegang tangan Bu Ranti untuk membantunya turun. Peti jenazah diturunkan oleh beberapa orang lelaki untuk disalatkan terlebih dahulu.Dinda menghambur dan memeluk Kintan. Berulang kali dia mengucap maaf karena tidak bisa membersamai sang sahabat di titik terendah. Pada saat Pak Surya dirawat di rumah sakit, Dinda tengah berada di Bandung untuk mengurus kasus sengketa tanah keluarga."Aku bersaksi ayahmu orang baik, Tan. Semoga Allah ampuni dosanya, terima seluruh amal baiknya, dan tempatkan di surga," bisik Dinda.Kintan mengangguk dan mengamini doa sahabatnya. Sejujurnya, dia sedih sekaligus bahagia. Bagai
Pak Surya keluar dari ruang ICU sehari pasca operasi. Dokter menyatakan kondisinya sudah cukup stabil. Untuk mempercepat proses pemulihan, lelaki berusia setengah abad tersebut diharuskan menjalani rawat inap selama beberapa waktu. Ada pemantauan rutin untuk memeriksa bekas luka jahit, ritme detak jantung, serta tanda vital lainnya.Pagi itu, Pak Surya minta disuapi oleh Kintan. Gadis itu pun dengan senang hati memenuhi permintaan ayahnya. Rasanya sudah lama sekali mereka tidak quality time. Momen itu pun dimanfaatkan Kintan untuk membahas hal-hal yang menyenangkan demi kesembuhan Pak Surya."Nanti kalau Ayah sudah boleh pulang, kita jalan-jalan ke Lembang, yuk!" katanya seraya meyuapkan sesendok bubur hambar.Pak Surya terkekeh dan mengangguk. Meski bibirnya masih pucat, wajahnya terlihat lebih bersih dan berseri."Nanti aku tanya dokter deh, Ayah boleh makan cake atau nggak. Aku punya resep baru lho yang belum Ayah coba." Kintan terlihat bersemangat. Dia memang sudah cukup lama ingi
Pak Surya masih belum sadarkan diri selepas menjalani operasi pemasangan ring jantung. Lelaki paruh baya itu terkulai lemah di ruang pemulihan. Bibirnya pucat dan tubuhnya sama sekali tidak bergerak. Satu-satunya penanda bahwa dia masih hidup adalah bunyi 'bip' berulang dari alat monitor jantung.Berbagai macam selang terpasang di tubuhnya. Satu selang terhubung ke tabung oksigen. Selang lain untuk mendeteksi detak jantung. Ada pula selang infus dan selang pembuangan. Selang-selang itulah yang menopang tanda vital kehidupannya."Ngapain, sih, dia masih di sini?" tanya Bu Ranti, lebih seperti menggerutu. Matanya melirik Bu Dian yang sepertinya sedang berzikir dengan suara lirih.Pak Doni sedang mengantar Dejan ke bandara. Lelaki itu hanya bisa menunggui operasi Pak Surya sampai separuh jalan. Meskipun ingin berada di sana lebih lama, kewajibannya untuk mengurus bisnis harus menjadi prioritas untuk saat ini."Jangan begitu, Bu. Tante Dian sudah banyak membantu dari tadi." Kintan menging
Devan menarik paksa lengan Talita. Matanya nyalang penuh amarah. Sebenarnya Talita kesakitan karena cengkeraman lelaki itu sangat kuat, tetapi dia tidak berani protes atau meronta. Jantungnya bertalu-talu, menanti kiranya hukuman apa yang akan diberikan Devan atas keributan tersebut. Di satu sisi, dia menyesal karena telah melanggar larangan Devan. Jelas, setelah ini, mereka berdua akan mendapat hukuman dari kantor. Namun, di sisi lain, Talita juga tidak terima dibicarakan di belakang seperti itu. Devan melepas cengkeraman dan bersegera menutup pintu begitu tiba di ruangannya. Dengan kasar, dia setengah mendorong Talita agar duduk di salah satu kursi. "Kamu sudah gila? Hah?!" bentak Devan. Dia mati-matian mengecilkan volume suara agar tidak terdengar dari luar. Devan tahu, pegawai lain pasti sedang berkumpul di depan ruangannya untuk menguping. "Baru kemarin aku tekankan supaya kamu sembunyikan kehamilan dulu. Baru kemarin, Tal. Kamu segitunya butuh pengakuan? Kamu takut aku lari
"Nasi sudah menjadi bubur. Meminta maaf sekarang tidak akan mengubah apa pun. Silakan pulang saja!" hardik Bu Ranti. Suaranya bergetar karena menahan tangis. Kintan memegangi bahu ibunya. Di satu sisi, dia tidak sampai hati mengusir keluarga Devan. Namun, di sisi lain, dia juga sangat memahami dan menghormati pilihan sang ibu. Memang tidak mudah membukakan pintu maaf kepada seseorang yang pernah merugikan kita. Apalagi dalam hal ini, nyawa taruhannya. Bu Dian masih belum beranjak. Dia tetap bersimpuh di hadapan Bu Ranti meski wanita itu berkali-kali menyingkirkan tangannya.Dejan memandang Kintan dengan wajah memelas. Melalui isyarat, dia meminta Kintan menjauh untuk membicarakan sesuatu. Dejan berjalan dahulu menuju koridor di sisi kanan ruang operasi. Kintan menyusul setelah terlebih dahulu mohon permisi kepada Bu Dian."Ada apa, Mas?" tanyanya setelah berhadapan dengan Dejan. Mereka leluasa bercakap-cakap karena di lorong itu minim lalu lalang orang lewat."Seperti janjiku kemar