Alya sedang menunggu ibunya dengan perasaan yang sangat gelisah. Selain dirinya yang saat ini gelisah menghadapi ibunya yang harus mendapat serangkaian pemeriksaan kembali. Dia pun sedang gelisah, saat harus menghadapi kenyataan esok yang tengah menunggunya. Bisakah Alya meminta waktu untuk mempersiapkan dirinya terlebih dahulu. Tetapi, dia di sini hanya orang asing yang harus menurut dengan takdir yang tengah menunggunya di depan mata. “Safa ke toilet dulu ya, Mbak,” pamit Safa pada Alya yang tengah duduk gelisah menunggu ibunya di luar ruang bedah tersebut. “Iya, Dek,” jawab Alya. Membiarkan adiknya itu berlalu dari hadapannya, dan dia setia menunggumu bahkan melupakan makan malamnya yang sudah terlewat karena padatnya serangkaian Dokter Adam dan seorang dokter yang usianya terlihat lebih muda dari Dokter Adam itu melangkah mendekat ke arah ruang operasi di mana sang ibu sudah di dalam dengan seorang perawat di dalam. Alya yang melihatnya pun berdiri, menyambut dengan cemas ak
Alya yang mendapati pria asing dengan berseragam serba hitam itu puunn menautkan kedua keningnya. Menatap bingung siapa orang yang sedang menghampirinya. “Saya diminta Pak Evan untuk menjemput anda, Nona,” kata pria berpakaian serba hitam itu kembali. Safa yang mendapati pria asing menghampiri kakaknya itu pun menatap penuh tanya ke pada Alya. Siapa lelaki itu, karena baru pertama kalinya pun dia melihatnya.Alya yang mendengar jika pria yang di hadapannya itu adalah orang suruhan Evan pun membeku. Sama sekali dia tak menyangka, Evan benar-benar menagih janji Alya untuknya.“Mbak, siapa?” Tanya Safa setengah berbisik. Dia mendekat ke arah kakaknya atas rasa penasaran yang terjadi. Alya menoleh pada Safa, menatap kaku pada adiknya tersebut.“Bukan siapa-siapa. Mbak minta izin bicara dulu sama dia sebentar ya,” ujar Alya berpamitan pada Safa.Safa yang sedang dilanda oleh rasa penasaran itu pun terpaksa mengangguk. Membiarkan kakaknya pergi untuk bicara pada pria yang menghampiri m
Sejak masuk ke dalam lift, Alya semakin dibuat cemas. Jari jemarinya pun saling meremas satu sama lain. Dia menggigit bibir bawahnya, tetap saja rasa cemas itu tak mampu terelakkan dari dirinya. Alya lebih memilih diam, karena dia pun tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan selain menurut dengan mengikuti orang suruhan Evan. Berulang kali Alya menarik nafas dalam-dalam, kemudian dia kembali menghembuskan secara perlahan. Tetap saja usaha yang dilakukannya itu tidak mampu membuahkan rasa lega dalam dada yang begitu menyiksa. “Apa anda baik-baik saja, Nona?” Tanya pria yang saat ini bersama Alya di dalam lift hanya berdua saja itu. “Eh, i-iya. Saya baik-baik saja, Pak,” jawab Alya sedikit terkejut. Mungkin ketegangan yang terjadi pada diri Alya itu begitu nampak jelas di mata pria yang saat ini sedang bersamanya. Dia pun terpaksa mengulas senyum palsu yang diberikan kepada pria yang Bertanya kepadanya itu. “Ehm. Apa Pak Evan saat ini di apartemennya seorang diri?” Cicit Alya
Pria yang diminta untuk menunjukkan sesuatu oleh Evan itu terlihat mengambil sebuah map yang tertutup di atas meja depan semua orang. Dia membukanya, kemudian beralih menatap ke arah Alya, kemudian membuka suara. “Nona. Ini ada poin-poin yang harus anda penuhi atas kebaikan yang sudah dilakukan oleh Pak Evan,” tutur Pria yang tidak Alya ketahui namanya itu. Alya yang mendengar pun mengerutkan keningnya. Bukankah dia dan Evan sama sekali tidak sedang bekerja sama. Lalu untuk apa haruss ada perihall yang harus dipenuhii olehnya. Segera Alya mengalihkan tatapannya kepada Evan yang Bahkan pria itu sejak tadi menatap dirinya dengan Tatapan yang begitu datar. Jika saja, Alya boleh percaya diri. Maka, dia ingin sekali menyombongkan dirinya kepada Evan dan berkata, “ ngapain lihatin gue terus. Jatuh cinta baru tahu rasa.” Tetapi, kalimat itu hanya mampu menyombongkan dalam diri. Karena Alya cukup sadar diri, siapa dirinya saat ini. “Apa ini, Pak?” Tanya Alya yang semakin dibuat ce
Ruang tamu pria yang terkesan dingin dan sangat arogan itu kembali hening setelah Alya berakhir menandatangani berkas yang diajukan oleh Evan untuknya. Alia melakukan dengan sangat terpaksa, karena dia tidak memiliki pilihan lain selain menandatangani. Maju salah, mundur pun tidak mampu dia lakukan. Karena dalam hal ini, Alya tidak ingin menjadi pembunuh ibunya sendiri jika Alya harus menolak apa yang Evan atur untuk hidupnya. Pelayan. Itu inti yang ada dalam surat tersebut. Dan Alya harus melakukan itu semua. Pria yang sebelumnya menjemput Alya di rumah sakit itu pun kembali masuk dan menghampiri Evan yang masih duduk dengan gaya angkuhnya. “Semua sudah siap, Pak. Orang yang bapak minta juga sedang menuju ke sini sebentar lagi,” beritahunya dengan pelan. Meski pelan, karena memang ruang tamu ini begitu hening. Membuat Alya dengan mudah mendengar percakapan yang terjadi antara Alya dan Evan itu. “Bagus. Makin cepat makin baik,” jawab Evan dengan nada datarnya. Entah orang m
Seperti apa yang Evan minta sebelumnya. Akhirnya, Alya menyiapkan apa yang Evan minta padanya. Dia membuka lemari pakaian pria yang baru saja menikahinya. Meski ragu, tangannya itu tetap terulur mengambil pakaian yang akan Evan gunakan sesuai yang ia lihat sebelumnya saat di kantor. Tidak sama, tapi Alya yang memang tahu model pakaian profesi itu cukup ciamik dalam menyiapkan kebutuhan yang diminta oleh pria tersebut. Baru juga Alya hendak menaruh pakaian ke atas ranjang yang sebelumnya diambil dari dalam lemari Evan. Pria yang belum lama masuk itu keluar dari dalam kamar mandi dalam keadaan tak tahu diri. Dia hanya menggunakan handuk yang membalut tubuhnya. Dengan tak tahu malunya Evan mengabaikan keberadaan Alya di sana. Alya mematung, sejujurnya dia sedang gugup mendekati pria yang masih asing untuknya itu berada dalam satu kamar dan dalam keadaan setengah telanjang. Namun, dengan cepat Alya mampu mengontrol diri. Tidak ingin terbuai dengan keadaan yang tengah terjadi saat
Setelah menaruh kartu yang dia berikan untuk Alya di atas meja. Pria arogan itu pun berlalu begitu saja dari hadapan Alya. Alya hanya menghembuskan nafas kasarnya, ketika punggung tegap pria angkuh itu mulai menjauh darinya. Meski kesal dengan semua ucapan Evan yang terkesan selalu menyudutkan diri Alya sebagai gadis bodoh. Alya tetap melangkah, mendekat ke arah di mana meja makan berada. Tangannya pun terulur, mengambil kartu yang Evan taruh di atas meja makan. Alya tak banyak kata, sadar jika memang dia yang memang benar-benar menjadi seorang pelayan sungguhan mulai saat ini dan seterusnya. “Kamu tidak boleh menyerah, Al. Kamu harus menerima nasibmu saat ini,” gumam Alya pelan, dan tak akan ada seorangpun yang mendengar karena hanya dirinya saja di dalam apartemen milik Evan ini. Alya segera melangkah, hall yang ia tuju untukk pertama kalinya adalah kamar yang di aman Evan bilang jika itu adalah kamar yang diperuntukkan untuk dirinya. Kamar yang cukup mewah, karena kamar yang
Alya yang mendapati perintah tegas yang tidak ingin terbantah dari Evan itu pun membeku. Panggilan yang Evan lakukan atas dirinya itu pun terputus begitu saja. Bahkan Alya sama sekali belum menjawab ancaman yang dilakukan oleh Evan atas dirinya. Alya yang mematung itu pun mengalihkan tatapan matanya pada Safa yang duduk di tempat tunggu ibunya. Mengontrol diri, agar Safa tidak curiga akan sesuatu yang baru saja Alya alami. Ah, lebih tepatnya Alya sedang memutar otak untuk mencari alasan yang akan dia berikan pada sang adik untuk bisa kembali ke tempat Evan. Alya menghela nafas beratnya, kakinya pun melangkah meski berat bagi diri Alya untuk melakukan. “Dek,” panggil Alya pada Safa yang sedang duduk dengan ponsel yang sedang dimainkan olehnya. “Hmm. Iya, Mbak,” jawab Safa, mengalihkan pandangan matanya ke arah Alya yang tengah memanggil dirinya. “Mbak sepertinya nggak bisa menginap di rumah sakit untuk temani ibu.”Alya sejujurnya sangat ragu untuk mengatakan itu kepada Safa, a
“Al, saudara suamiku mau bantu untuk semua proses izin kamu pergi. Apa kau yakin memutuskan untuk pergi dari Indonesia? Lalu, bagaimana dengan ibu dan adik kamu?” tanya Vira beruntun setelah dua hari Alya berusaha keras memikirkan rencana untuk dirinya dan terutama untuk anak yang ada dalam kandungan Alya. Alya yang baru duduk di kursi kerjanya itu mendongak, menatap sungguh pada Vira yang tiba-tiba meragukannya. “Aku yakin, Mbak. Ini adalah keputusan yang terbaik untukku. Aku tak mungkin untuk berada di Indonesia. Jika ada jalan ke luar negeri dan kerja yang sudah pasti. Lalu, untuk apa aku harus bingung untuk menunda? Bukankah ini kesempatan yang bagus buatku. Lagi pula, kesempatan di sana juga sesuai dengan passion Alya kan?” Alya bersungguh dengan rencana yang sudah disiapkan olehnya itu. Tak ingin memanfaatkan kesempatan, maka dia akan menggunakan kesempatan emas itu sebaik-baiknya.“Kamu benar. Memang itu kesempatan yang sangat baik untuk kamu. Tapi, bagaimana dengan ibu dan
Alya membuka matanya perlahan. Kegelapan subuh menyelimuti kamar yang lebih besar dari kamar miliknya. Ditemani sinar lampu kamar yang meremang membuat Alya bangun dari tidurnya dengan perlahan. Alya bangun dengan perlahan, tak ingin mengganggu Evan yang masih tertidur pulas di sampingnya. Nafas Evan yang teratur terdengar di sebelahnya. Dengan hati-hati, Alya bergeser dari tempat tidur, tak ingin membangunkan pria yang tidur nyenyak di sisinya. Dia merapikan selimut Evan sebelum melangkah ke luar kamar dengan sangat berhati-hati. Alya menunaikan dulu kewajibannya untuk beribadah kepada Tuhannya. Sebelum menunaikan kewajiban sebagai istri siri Evan yang masih terlelap di dalam kamarnya. Dapur minimalis modern, kini sudah menjadi teman akrab Alya yang menemani hari-harinya untuk memasakkan Evan, suami sekaligus anak dari bosnya. Kakinya terasa dingin, sebab ia tak menggunakan alas kaki saat menuju ke dapur itu. Rutinitasnya dimulai—Pagi ini dia memilih untuk membuatkan sarapan na
“Saya sudah jauh lebih baik,” sahut Alya cepat. “Besok saya sudah siap untuk bekerja,” sahut Alya yang mendapat anggukan dari Evan. Alya tahu maksudnya sakit—kehamilannya. Tapi perhatian itu justru membuat jantung terasa aneh. Ia bingung dengan perubahan sikap Evan, yang belakangan ini terasa lebih lembut, lebih peduli.Mereka makan dalam keheningan, hanya terdengar suara garpu dan pisau yang beradu dengan piring. Alya mencuri pandang ke arah Evan, berusaha membaca apa yang sedang dipikirkannya. Namun, seperti biasa, wajah lelaki itu sulit ditebak.Setelah makan malam selesai, Alya membersihkan meja, sementara Evan menuju kamar. Alya ingin kembali ke kamarnya, tetapi dia mendengar suara Evan yang meminta. Sebab sebelumnya pria itu menolak tawaran Alya yang ingin menyiapkan air mandi. “Alya, siapkan handukku,” katanya dari balik pintu kamar mandi.Alya menurut, mengambil handuk bersih dari lemari dan meletakkannya di dekat pintu kamar mandi. Ketika dia hendak pergi, suara Evan berhen
Lampu kota yang suram menyusup melalui celah tirai kamar Alya. Ia duduk di tepi tempat tidurnya, memeluk kedua lututnya, menatap kosong pada kaca jendela di sudut ruangan.Tirai jendela kamar itu bergerak lembut oleh sepoi angin yang menyapa. Wajahnya menatap pada cermin meja hias di seberang ranjang dengan tatapan kosongnya. Wajah yang menghadap ke balik cermin adalah wajah yang ia kenali, tetapi terasa asing baginya—pucat, dengan lingkaran gelap di bawah mata yang menjadi saksi dirinya tak mampu nyenyak dalam mimpi indah yang biasa menemani bersama sang keluarga tercinta. Alya terpaku dalam lamunan, segala rencana yang dirinya bingung harus bersikap bagaimana nantinya. Ia tak mungkin untuk terus berada di sini bersama Evan. Ada janin yang akan terus berkembang, dan dia pun tak mungkin untuk memendam dan terus menyembunyikannya. Pikirannya terus berputar, mencoba merangkai rencana untuk masa depan. Masa depan bagi dirinya, dan yang lebih penting, bagi anak yang kini tumbuh di dalam
“Aku harus kembali, Mbak Vira. Setidaknya aku harus memikirkan dengan matang apa yang akan harus aku lakukan untukku dan….” Alya memegang perut ratanya, di mana kini ada kehidupan baru di dalamnya. “Untuk dia,” lanjut Alya, menatap perutnya. “Tapi kau tidak terlihat baik-baik saja,” desak Vira, suaranya melembut. “Kalau kau butuh waktu, kau bisa tinggal di tempat kos dulu. Aku khawatir, Alya. Kau terlalu memaksakan diri, aku tak ingin kau tertekan dengan sikap Pak Evan.”Alya menoleh, memberikan senyuman yang nyaris tak terlihat. “Aku akan baik-baik saja. Aku hanya perlu... memutuskan sesuatu. Lagi pula, Pak Evan beberapa hari ini tidak segalak waktu kita baru kenal kok Mbak.”Alya berusaha memberikan ketenangan pada Vira. Berharap temannya itu tidak terlalu mengkhawatirkan dirinya. Vira menghela napas panjang, tangannya menggenggam erat setir mobil. Hari ini dia memutuskan untuk membawa mobil, sebab subuh tadi Alya mengirim pesan yang ingin segera kembali. “Pak Evan mungkin akan
Malam ini begitu dingin, hujan yang mengguyur kota industri yang banyak beberapa karyawan berteduh sebab menunggu angkutan yang akan membawa mereka untuk kembali pulang ke rumah. Evan memperhatikan sepanjang jalan, mencari keberadaan seseorang yang mungkin ia kenal dan sudah beberapa minggu menjadi teman hidupnya. Tapi, pencarian yang dia lakukan tidaklah membuahkan hasil apa pun. Rintikan hujan yang turun, meninggalkan aroma tanah basah dan aspal yang dingin. Lampu-lampu kota memantulkan cahaya ke genangan air yang memberikan pancaran sinar yang saling bertaburan dengan sinar mobil yang sedang menyorotnya. Malam yang dingin itu menciptakan suasana melankolis yang seakan meresapi setiap sudut jalanan. Tak terasa, kuda besi yang Evan kendarai itu berhasil memecah hujan dan membuatnya tiba di basement apartemen mewahnya. Di tengah malam yang senyap itu, Evan erhasil menyita perhatiannya. “Mau apa lagi dia,” kesal Evan sata tahu siapa yang sedang berusaha menghubunginya itu. Evan me
Evan. Nama itu menggema di kepala Vira seperti sebuah mantra yang penuh tanda tanya. Evan adalah sosok yang pernah ia kagumi, bahkan ia sama sekali tidak menyangka jika Alya bias hamil bersama anak pemilik tempat mereka bekerja. Tetapi, Evan dan Alya? Hubungan mereka? Semua itu tampak mustahil, seperti potongan puzzle yang tidak cocok. Apa yang sebenarnya terjadi di antara keduanya sebab Vira tahu jika Alya bukanlah wanita murahan yang akan rela merendahkan harga dirinya begitu saja. Vira mengambil kursi di hadapan Alya, menatapnya dengan campuran rasa penasaran dan gugup. "Alya," katanya pelan, "aku ingin kamu jelaskan padaku dengan semua ini. Jujur, mbak bingung."“Ya, aku tahu jika Mbak pasti bingung dengan semua ini.”"Aku... aku tahu ini mungkin terlalu jauh," Vira memulai dengan hati-hati, "tapi aku harus tahu. Bagaimana bisa kau hamil anak Pak Evan? Aku tahu itu mungkin rahasiamu, tapi aku tak bisa berhenti memikirkannya."Senyum Alya memudar. Ia menunduk sejenak, lalu menghe
Alya merasakan tenggorokannya kering, matanya mulai memanas. Ia tahu, apa yang akan dia katakan bukan hal yang mudah, dan mungkin akan mengubah segalanya. Namun, ia tidak punya pilihan selain mengungkapkan kenyataan pahit ini. "Janin ini... anak Pak Evan," katanya dengan suara yang nyaris berbisik, seolah takut jika suaranya terlalu keras, kata-kata itu akan menghancurkannya.Vira terdiam sesaat, ekspresinya berubah drastis. Mulanya tampak kebingungan, lalu mata Vira membelalak, wajahnya penuh ketidakpercayaan. "Evan? Maksudmu, Evan anak bos pabrik itu? Evan yang... yang itu?" Vira hampir tidak percaya apa yang baru saja didengarnya, seolah kata-kata itu tidak dapat diterima oleh akal sehatnya.Alya hanya bisa mengangguk pelan, menundukkan wajah, tak berani menatap mata Vira lebih lama. Ia merasa seluruh tubuhnya lemas, seakan kata-kata itu menjadi beban yang tak bisa lagi ia tanggung seorang diri.Vira yang tadinya duduk tenang langsung berdiri dengan cepat. Matanya terbuka lebar,
“Alya... Alya ingin minta tolong,” Alya menelan ludah, tampak ragu-ragu untuk melanjutkan. Ia mengalihkan pandangannya ke arah jendela, menunduk dalam demi menghindari tatapan Vira yang teduh menunggu setiap kata yang ingin Alya katakan untuknya. Sebelum akhirnya, Alya kembali memberanikan diri menatap Alya setelah memantapkan diri dengan keputusannya. “Alya… minta Mbak untuk merahasiakan ini semua. Jangan bilang ke siapa-siapa, terutama… ibu sama adik Alya. Alya nggak ingin mereka tahu… Alya nggak ingin mereka kecewa. Apalagi Ibu, jika Ibu tahu dengan kabar ini, akan berakibat buruk untuk kesehatan Ibu pastinya.”Vira menatap Alya dengan ekspresi yang tak dapat ditebak. Ada kesedihan dalam sorot matanya, tetapi juga ketegasan yang menyelusup di balik kelembutannya.Bagaimana harus disembunyikan? Sedangkan yang namanya kehamilan itu semakin lama akan semakin besar, dan tidak mungkin untuk terus ditutupi. Apa jangan … jangan Alya memiliki rencana untuk menggugurkan, pikir Vira. “Alya