“Pa …,” sekali lagi Shena memangil ayahnya satu kali lagim tetapi Iwan Duarte hanya diam tanpa suara walau suara di belakangnya ribut sekali.Tanpa sadar Shena meneteskan air mata, walau dia sama sekali tidak ingin menangis di depan ayahnya, tetapi air mata itu mengalir tanpa bisa dicegah.“Papa,” panggil Shena untuk yang ketiga kalinya.“Shenaa …, kau menangis lagi!” seru Kastara di belakangnya membuat Shena tersentak hingga ponselnya terjatuh.“Ma … maaf, a—aku tidak berniat menangis, Tara. Jangan marah,” jawab Shena terbata.Sementara Iwan Duarte baru saja akan mengucap niatnya menelepon Shena langsung mengurungkan niatnya. Dia ikut mendengarkan percakapan Shena dan Kastara yang terdengar seolah-olah Shena takut pada Kastara. Dahi lelaki paruh baya itu langsung berkerut. Lalu telepon terputus.“Papa meneleponku, Tara ….”Kastara mengernyit, “Apa katany? Apa dia memarahimu lagi?”“Ti-tidak, Tara. Papa sama sekali tidak mengucapkan apa-apa. Mungkin ponselnya terpencet tanpa sadar. Ak
“Kejutan darimu membuatku semakin terpuruk, Ta—ra,” ucap Shena lirih.“Mengapa? Apa kau tidak ingin menikah denganku? Apa karena aku tidak cukup keren? Kampungan? Bodoh?”jawab Kastara dengan nada meninggi.Shena menggeleng cepat, “Jangan seperti itu. Aku tidak menganggapmu kampungan dan bodoh, Tara. Aku—aku tidak pernah menganggapmu seperti itu … semua—semua karena – aku – aku tidak pantas untukmu, Tara. Aku bahkan sudah seperti yatim piatu …!” balas Shena seiring air mata mengalir kembali.“Shena … berhentilah menangis. Ini bukan hal yang perlu kau tangisi, Shena …. Katakan padaku apa yang kau inginkan aku lakukan, Aku akan melakukannya untukmu. Tidak peduli berapa banyak kesulitan, hatiku sudah terpatri padamu, Shena. Tidak akan pernah berubah lagi. Ini sumpahku padamu,” ucap Kastara dengan sungguh-sungguh membuat air mata gadis itu kembali mengalir deras.“Kau … sungguh, Tara, kau membuatku menjadi semakin cengeng,”balas Shena malu, wajahnya memerah.Kastara tertawa kecil, “Tapi ka
Pagi itu Kastara bersama Shena mengemudikan mobil menuju ke kantor catatan sipil yang ada di kabupaten dengan membawa surat-surat yang dibutuhkan, tidak menunggu lama, satu jam kemudian mobil kembali melaju Ke kabupaten kota yang jaraknya hampir memerlukan jarak tempuh hampir dua jam. Shena tidak banyak kata selama di perjalanan. Dia masih ragu, akankah dia dan Kastara benar-benar menikah dan menjadi keluarga?“Kenapa diam saja? Apa perutmu terasa mual? Kembung? Atau sakit?” tanya Kastara memulai percakapan pagi itu.“Tidak, hanya tidak tahu harus berkata apa, Tara,” jawab Shena sambil mengalihkan pandangan melihat pemandangan dari jendela mobil.“Apa kau masih ragu menikah denganku? Surat itu akan jadi dalam dua hari, Shena. Setelah itu kau akan menjadi tanggung jawabku sepenuhnya,” tukas Kastara dengan sungguh-sungguh.Shena terdiam, walau bagaimana pun dia masih khawatir karena tidak ada seorang pun keluarga Kastara yang mengucapkan selamat padanya atau pun seandainya mereka tidak
“Siapa yang mengirimimu uang?” tanya Kastara ketika Shena masuk ke mobil dengan muka semringah.“Papa. Aku minta dia mengirimiku uang warisan Mama yang sempat dipegangnya karena aku tidak mau bekerja di perusahaan Papa setelah aku tamat. Akhirnya … yah seperti yang kau pikirkan aku mengalah dan bekerja di perusahaan. Lalu karena Papa mengusirku dan membekukan uang-uangku, aku minta dia mencairkan uang Mama dan mengirimkannya padaku. Itu hakku Kastara, tidak ada sangkut pautnya dengan perusahaan maupun Papa. Mama lebih menyayangiku dibanding adik-adikku yang lain …. Tapi … mengapa Mama pergi bersama mereka?” Air mata Shena kembali menetes perlahan teringat ibunya yang meninggal tiba-tiba tanpa mengucapkan pesan terakhir untuknya.Kastara menghela napas, “Itu sudah takdirnya, Shena. Jangan sedih, ya, kita doakan agar Mama dan adik-adikku berbahagia di surga. Tugas mereka di dunia sudah selesai. Jangan ditangisi lagi.” Kastara mengambil dua helai tisu dari dashboard dan memberikannya pad
“Ini, Ibu sedang membaca berita kecelakaan yang terjadi beberapa tahun silam yang sepertinya kasusnya dibuka kembali. Mana Shena? Apa dia belum bangun?” tanya Widya dengan dahi berkerut.“Bu, ada yang ingin aku bicarakan pada Ayah dan Ibu, tetapi karena ayah pergi, sebaiknya aku ceritan saja pada Ibu. Mungkin nanti setelah Ayah pulang, Ibu bisa ceritakan pada Ayah,” tukas Kastara pelan.“Ada apa, Tara? Sesuatu yang buruk terjadi?” tanya Widya memburu khawatir.“Tidak—tidak, bukan hal yang buruk, tetapi justru hal yang menggembirakan, Bu. Masalahnya Ayah pasti akan naik darah begitu aku menceritakannya,” jawab Kastara tertawa keci. Tiba-tiba Bi Asih muncul sambil membawa semangkuk bubur ayam yang masih mengepulkan uap panas. aromanya sungguh harum sekali, membuat perut Kastara langsung bergolak karena lapar.“Terima kasih, Bi, tahu aja aku lagi lapar,” ucap Kastara dengan cengiran.“Bi Asih masih ingat kelakuanmu, kalau lapar, Tara, yang suka mengobrak-abrik dapur mencari makanan,” ja
“Kau tidak demam, kan?” tanya Kastara heran dengan punggung tangannya di dahi Shena.Shena menggeleng sambil tertawa, “Tidak, aku baik-baik saja, Tara. Hanya ingin tidur sambil memelukmu. Boleh tidak?”“Kau—kau ingin memelukku? Tentu saja boleh, Shena. Aku senang sekali kalau itu kemauanmu sendiri — atau jangan-jangan kau sedang ngidam? Kudengar di televisi mengatakan bahwa istri yang sedang hamil suka berbuat yang aneh-aneh! Kebanyakan mungkin berasal dari perasaan mereka yang tidak tercapai …,” Kastara tergelak setelah mengucapkan kata-katanya sendiri.“Tapi … itu bukan kemauanku sendiri, Tara. Ini pasti kemauan si jabang bayi yang ingin kau peluk,” sanggah Shena dengan roman cemberut.Kastara tergelak lagi melihat wajah Shena, “Sudah-sudah, tak masalah bagiku mau kau yang ingin atau bayimu yang ingin memelukku. Aku senang sekali mendengarnya. Baiklah, malam ni kita akan tidur satu ranjang. Tapi ranjang ini tidak terlalu besar ….” Kastara mengernyit lagi sambil memikirkan ide apa ya
‘Ini gila!’ bisik Kastara dalam hati memikirkan perkataan Bram barusan. Rasanya tidak mungkin Iwan Duarte menghabisi istri dan anak-anaknya sendiri dan meninggalkan seorang anak kesayangannya. Kastara menyugar rambut dengan gelisah.Tetapi tiba-tiba daun yang bergoyang di halaman depan rumahnya membuatnya heran. Itu pohon kelapa dan tingginya hanya setinggi satu meter lebih sedikit, tidak ada angin yang membuat pohon atau rumput di sekelilingnya bergoyang. Jadi apakah ada seseorang di bawah sana? Dahinya langsung berkerut sempurna. Dia mendekati jendela dan menajamkan pandangannya pada pohon kelapa itu.Tiba-tiba seberkas sinar senter menyorot ke lantai dua, kamarnya. Dia terkejut dan mundur ke tembok. Benar dugaannya ada orang yang sedang mengamati kamarnya! Siapa dia?!? Mau apa orang itu !?Kastara langsun melihat ke ranjang dan Shena masih terlelap dan tidak terganggu sama sekali. Dia harus turun dan menangkap basah maling yang mengintip kamarnya itu!Perlahan, Kastara membuka pint
Kastara segera berlari menuruni anak tangga dengan cepat dan segera membuka pintu depan yang kuncinya selalu tergantung di pintu setiap malam setelah mengunci pintu. Dia keluar setelah pintu terbuka dan langsung memanggil anjing penjaganya yang ada enam ekor itu. Semuanya berkumpul di depan Kastara setelah mendengar panggilan lelaki tampan itu.Dia mengelus kepala keenam anjing petarung itu dengan lembut.“Apa yang kalian lihat, teman,” bisik Kastara pelan karena dia hanya ingin membuat anjing-anjing itu berhenti mengonggong. Suara yang berisik akan membangunkan seisi rumah. Dan dia tidak ingin Shena terbangun.Dia mencoba melihat ke sekeliling rumah mencari apa ada sesuatu yang mencurigakan, tetapi tidak ada apa-apa. Mungkin juga orang yang mencoba masuk tadi sudah lari tungang langgang begitu ke enam anjingnya mengonggong ke arah mereka. itu sudah pasti karena Kastara menemukan sebelah sandal yang terputus talinya di depan pagar. Dia tertawa tanpa suara. Tiba-tiba, “Tara!”Suara pan
Hampir saja tangan Dellia melayang ke pipi anaknya. Matanya membulat menatap gadis itu dengan penuh amarah. Bagaimana mungkin gadis ini jatuh cinta pada kekasih kakaknya sendiri! Dia tidak percaya!Tangis Chelsea langsung pecah saat tangan ibunya menyentuh pipinya yang halus. Sepanjang hidupnya, dia belum pernah diperlakukan kasar seperti saat ini. Bukan salahnya dia jatuh cinta pada Steven, bukankah rasa cinta tidak bisa dikontrol. Saat mata bertemu mata, lalu rasa itu turun ke hati … bukankah seperti itu?“Ada apa, kenapa kau memukuli Chelsea, Delia?” tegur Iwan Duarte yang baru saja kembali dan mendengar keributan.“Anakmu yang satu ini sudah gila, Iwan! Dia jatuh cinta pada Stevan! Apa kau percaya?!?” seru Delia melengking.Wajah Iwan Duarte berubah mendengar perkataan Delia.“Kau bayangkan bagaimana bisa dia jatuh cinta pada kekasih kakaknya sendiri. Aku haru memukulnya agar dia sadar!” seru Delia lagi.Iwan Duarte terdiam beberapa saaat, lalu teringat ucapan orang kepercayaan yan
Kastara berjalan keluar kamar lewat pintu beranda yang baru dibukanya sambil memegang ponsel itu dengan erat hingga membuat Shena terheran-heran.‘Ada apa? Siapa yang menelepon Kastara? Mengapa tubuh Kastara mendadak menjadi tegang, seolah-olah ada yang terjadi?’ tukas Shena dalam hati dengan bingung dengan dahi berkerut dan mata yang mengikuti Kastara hingga berdiri tegak di balkon.Perlahan dia bangkit dari kursinya dan berjinjit ke pintu beranda untuk mendengar apa yang dibicarakan Kastara. Dia penasaran.“Bagaimana? Apa sudah ada hasilnya?” tanya Kastara yang terdengar samar di balik pintu kaca itu.Dahi Shena semakin berkerut, rasa penasarannya semakin meningkat hingga lupa pada tugas yang diberikan Kastara padanya. Dia menempelkan telinganya pada pintu supaya suara Kastara semakin jelas.“…. Jadi begitu info yang kau dapatkan? Baiklah, Bram, kau bisa kembali besok. Aku perlu bukti pembicaraanmu dengan informan itu. semoga kasus ini cepat terselesaikan ….” Lalu suara tawa Kastara
“Bagaimana keadaan putriku?” tanya Iwan Duarte pada lelaki yang ada di hadapannya. Saat ini mereka sedang duduk di kedai kopi tak jauh dari kediaman Bastian Kusuma.“Kelihatan baik dan wajahnya juga ceria. Tidak nampak kesedihan di wajah cantiknya itu, Bos. Aku yakin penjaga itu berhasil meraih hatinya. Lagi pula dia juga orang miskin seperti dugaanmu, Bos. Info yang kudapat dari orang sekitar, Tuan Bastian Kusuma memiliki dua putra dan dua putri. Dua putrinya sudah menikah dan keluar dari rumah besar itu. Sementara putra tertuanya sekarang sedang di ibukota. Aku tidak tahu ada urusan apa dia di ibukota. Putra bungsunya itu yang memang bertugas mengurusi ekspedisinya,” jawab lelaki berbadan tegap dan berkumis tebal itu.“Hem … jadi anakku berhasil menggaet pengusaha kampung,” balas Iwan Duarte menghela napas panjang.“Bisa dibilang begitu, Bos,” jawab lelaki itu lagi.“Baiklah, terima kasih infomu, Darwis,” tukas Iwan Duarte lega.“Jangan lupa ….” Ucap Darwis dengan jari jempol dan te
Kastara segera berlari menuruni anak tangga dengan cepat dan segera membuka pintu depan yang kuncinya selalu tergantung di pintu setiap malam setelah mengunci pintu. Dia keluar setelah pintu terbuka dan langsung memanggil anjing penjaganya yang ada enam ekor itu. Semuanya berkumpul di depan Kastara setelah mendengar panggilan lelaki tampan itu.Dia mengelus kepala keenam anjing petarung itu dengan lembut.“Apa yang kalian lihat, teman,” bisik Kastara pelan karena dia hanya ingin membuat anjing-anjing itu berhenti mengonggong. Suara yang berisik akan membangunkan seisi rumah. Dan dia tidak ingin Shena terbangun.Dia mencoba melihat ke sekeliling rumah mencari apa ada sesuatu yang mencurigakan, tetapi tidak ada apa-apa. Mungkin juga orang yang mencoba masuk tadi sudah lari tungang langgang begitu ke enam anjingnya mengonggong ke arah mereka. itu sudah pasti karena Kastara menemukan sebelah sandal yang terputus talinya di depan pagar. Dia tertawa tanpa suara. Tiba-tiba, “Tara!”Suara pan
‘Ini gila!’ bisik Kastara dalam hati memikirkan perkataan Bram barusan. Rasanya tidak mungkin Iwan Duarte menghabisi istri dan anak-anaknya sendiri dan meninggalkan seorang anak kesayangannya. Kastara menyugar rambut dengan gelisah.Tetapi tiba-tiba daun yang bergoyang di halaman depan rumahnya membuatnya heran. Itu pohon kelapa dan tingginya hanya setinggi satu meter lebih sedikit, tidak ada angin yang membuat pohon atau rumput di sekelilingnya bergoyang. Jadi apakah ada seseorang di bawah sana? Dahinya langsung berkerut sempurna. Dia mendekati jendela dan menajamkan pandangannya pada pohon kelapa itu.Tiba-tiba seberkas sinar senter menyorot ke lantai dua, kamarnya. Dia terkejut dan mundur ke tembok. Benar dugaannya ada orang yang sedang mengamati kamarnya! Siapa dia?!? Mau apa orang itu !?Kastara langsun melihat ke ranjang dan Shena masih terlelap dan tidak terganggu sama sekali. Dia harus turun dan menangkap basah maling yang mengintip kamarnya itu!Perlahan, Kastara membuka pint
“Kau tidak demam, kan?” tanya Kastara heran dengan punggung tangannya di dahi Shena.Shena menggeleng sambil tertawa, “Tidak, aku baik-baik saja, Tara. Hanya ingin tidur sambil memelukmu. Boleh tidak?”“Kau—kau ingin memelukku? Tentu saja boleh, Shena. Aku senang sekali kalau itu kemauanmu sendiri — atau jangan-jangan kau sedang ngidam? Kudengar di televisi mengatakan bahwa istri yang sedang hamil suka berbuat yang aneh-aneh! Kebanyakan mungkin berasal dari perasaan mereka yang tidak tercapai …,” Kastara tergelak setelah mengucapkan kata-katanya sendiri.“Tapi … itu bukan kemauanku sendiri, Tara. Ini pasti kemauan si jabang bayi yang ingin kau peluk,” sanggah Shena dengan roman cemberut.Kastara tergelak lagi melihat wajah Shena, “Sudah-sudah, tak masalah bagiku mau kau yang ingin atau bayimu yang ingin memelukku. Aku senang sekali mendengarnya. Baiklah, malam ni kita akan tidur satu ranjang. Tapi ranjang ini tidak terlalu besar ….” Kastara mengernyit lagi sambil memikirkan ide apa ya
“Ini, Ibu sedang membaca berita kecelakaan yang terjadi beberapa tahun silam yang sepertinya kasusnya dibuka kembali. Mana Shena? Apa dia belum bangun?” tanya Widya dengan dahi berkerut.“Bu, ada yang ingin aku bicarakan pada Ayah dan Ibu, tetapi karena ayah pergi, sebaiknya aku ceritan saja pada Ibu. Mungkin nanti setelah Ayah pulang, Ibu bisa ceritakan pada Ayah,” tukas Kastara pelan.“Ada apa, Tara? Sesuatu yang buruk terjadi?” tanya Widya memburu khawatir.“Tidak—tidak, bukan hal yang buruk, tetapi justru hal yang menggembirakan, Bu. Masalahnya Ayah pasti akan naik darah begitu aku menceritakannya,” jawab Kastara tertawa keci. Tiba-tiba Bi Asih muncul sambil membawa semangkuk bubur ayam yang masih mengepulkan uap panas. aromanya sungguh harum sekali, membuat perut Kastara langsung bergolak karena lapar.“Terima kasih, Bi, tahu aja aku lagi lapar,” ucap Kastara dengan cengiran.“Bi Asih masih ingat kelakuanmu, kalau lapar, Tara, yang suka mengobrak-abrik dapur mencari makanan,” ja
“Siapa yang mengirimimu uang?” tanya Kastara ketika Shena masuk ke mobil dengan muka semringah.“Papa. Aku minta dia mengirimiku uang warisan Mama yang sempat dipegangnya karena aku tidak mau bekerja di perusahaan Papa setelah aku tamat. Akhirnya … yah seperti yang kau pikirkan aku mengalah dan bekerja di perusahaan. Lalu karena Papa mengusirku dan membekukan uang-uangku, aku minta dia mencairkan uang Mama dan mengirimkannya padaku. Itu hakku Kastara, tidak ada sangkut pautnya dengan perusahaan maupun Papa. Mama lebih menyayangiku dibanding adik-adikku yang lain …. Tapi … mengapa Mama pergi bersama mereka?” Air mata Shena kembali menetes perlahan teringat ibunya yang meninggal tiba-tiba tanpa mengucapkan pesan terakhir untuknya.Kastara menghela napas, “Itu sudah takdirnya, Shena. Jangan sedih, ya, kita doakan agar Mama dan adik-adikku berbahagia di surga. Tugas mereka di dunia sudah selesai. Jangan ditangisi lagi.” Kastara mengambil dua helai tisu dari dashboard dan memberikannya pad
Pagi itu Kastara bersama Shena mengemudikan mobil menuju ke kantor catatan sipil yang ada di kabupaten dengan membawa surat-surat yang dibutuhkan, tidak menunggu lama, satu jam kemudian mobil kembali melaju Ke kabupaten kota yang jaraknya hampir memerlukan jarak tempuh hampir dua jam. Shena tidak banyak kata selama di perjalanan. Dia masih ragu, akankah dia dan Kastara benar-benar menikah dan menjadi keluarga?“Kenapa diam saja? Apa perutmu terasa mual? Kembung? Atau sakit?” tanya Kastara memulai percakapan pagi itu.“Tidak, hanya tidak tahu harus berkata apa, Tara,” jawab Shena sambil mengalihkan pandangan melihat pemandangan dari jendela mobil.“Apa kau masih ragu menikah denganku? Surat itu akan jadi dalam dua hari, Shena. Setelah itu kau akan menjadi tanggung jawabku sepenuhnya,” tukas Kastara dengan sungguh-sungguh.Shena terdiam, walau bagaimana pun dia masih khawatir karena tidak ada seorang pun keluarga Kastara yang mengucapkan selamat padanya atau pun seandainya mereka tidak