Dengan cinta, dunia akan menjadi lebih indah. Begitulah yang Dhexel dan Selina rasakan sejak mereka resmi menjadi kekasih sungguhan. Dhexel dan Selina bekerja dengan lebih bersemangat keesokan harinya dan mood mereka pun menjadi sangat baik. Walaupun Dhexel harus bekerja di perusahaan yang berbeda dengan Selina, tapi Dhexel tidak berhenti berkirim pesan dengan Selina dan Dhexel pun menjadi suka tersenyum sendiri seperti orang yang sedang kasmaran. "Hmm, kau baik-baik saja, Bos?" tanya Marlo yang sudah seharian menatap senyum Dhexel. "Ah, aku baik-baik saja, Marlo, tapi ada berita apa?" "Tidak ada berita baru, Bos! Hanya saja apa kau yakin masalah Selina tidak perlu dilaporkan pada polisi?" Dhexel terdiam sejenak mendengarnya. Dhexel sendiri sudah sempat bertanya pada Selina tentang ini. Dhexel ingin sekali melaporkan para rentenir itu pada polisi agar hidup Selina tenang, tapi Selina mencegahnya. Menurut Selina, para rentenir itu adalah penjahat yang pasti akan mengamuk kalau a
Aula masih mematung di tempatnya dengan dada yang mendadak sesak. Juna yang melihatnya pun memeluk Aula begitu erat, tapi Juna sendiri ikut mematung mendengar apa ni yang diucapkan oleh para rentenir. Untuk sesaat, Selina sendiri juga mematung di sana, tapi ia luar biasa kesal dengan para rentenir itu sampai Selina pun menyambar lampu mejanya dan mulai menyerang para rentenir itu. "Berani sekali kalian mengatakan hal itu pada ibuku! Padahal aku sudah bilang akan ikut dengan kalian kan? Sekarang aku sudah tidak mau ikut lagi! Pergi kalian! PERGI!" Buk!Selina memukul dengan sekuat tenaga sampai salah satu pria mengangkat tangannya untuk melindungi diri. Namun, pukulan Selina terlalu tepat dan melukai tangan pria itu. "Auw, Wanita Sialan!" "Sudah kubilang pergi dari sini! Pergi dan jangan mengganggu kehidupanku!" teriak Selina sambil memukulkan lagi lampu mejanya berkali-kali ke arah para pria itu. Para pria itu ada yang mundur, tapi ada yang melawan dan Selina pun terus memukul
"Apa, Dhexel? Ibu Selina masuk rumah sakit?" Rebecca memekik kaget pagi itu. Dhexel memang tidak pulang rumah semalam karena menemani Selina di rumah sakit. Karena itu, Rebecca bertanya apa yang Dhexel lakukan dan Dhexel memberitahu tentang kondisi ibu Selina. Rebecca sendiri sudah tahu dari Heidy bahwa keluarga Selina punya banyak hutang ke rentenir dan Rebecca sudah menanyakannya pada Dhexel. Dhexel pun membenarkan semuanya, hanya saja Dhexel tidak memberitahu tentang pekerjaan penipu yang selama ini Selina lakukan. "Bu Aula terkena serangan jantung, Ma." "Ya ampun, bagaimana kondisinya, Dhexel?" "Katanya subuh tadi Bu Aula sudah sadar, tapi belum bisa dijenguk. Selina dan adiknya pun masih berjaga di rumah sakit.""Mama juga harus ke sana, Dhexel. Bahkan Mama belum sempat berkenalan dengan ibunya Selina. Mama harus menjenguknya." Darrel tidak ikut kali ini karena Darrel sedang pergi dengan Dexter ke luar kota. Karena itu, Darrel tidak bisa terus mengawasi apa yang Heidy laku
"Halo! Halo! Jangan main-main denganku, Brengsek!" Selina berteriak dengan gemetar mendengar suara Bos Besar di teleponnya. Namun, setelah mengatakan pesan singkat itu, Bos Besar langsung menutup teleponnya. Selina pun berusaha menelepon balik, tapi ponsel Juna sudah tidak aktif. Selina langsung mencari nomor Bos Besar dan meneleponnya, tapi Bos Besar juga tidak mengangkat teleponnya. "Ah, sialan! Sialan!" pekik Selina dengan tangisan yang sudah terburai. "Apa, Selina? Apa yang dia katakan? Apa Juna bersamanya?" Suara Bora ikut gemetar. "Mereka menculik Juna. Bos Besar memintaku datang sendirian untuk menjemput Juna." Bora yang mendengarnya pun menahan napasnya sejenak. "Kita harus melaporkan semuanya pada polisi, Selina. Sudah cukup kau menahannya. Mengapa kau tidak mengijinkan Pak Dhexel melaporkannya ke polisi?" "Jumlah mereka sangat banyak, Bora, sangat banyak dan ada di mana-mana. Aku hanya tidak mau mencari masalah yang lebih parah atau bahkan sampai Dhexel ikut terliba
Dhexel menghentikan mobilnya begitu saja begitu ia tiba di markas rentenir. Bora memberitahu alamat dengan detail sampai Dhexel bisa dengan mudah menemukannya. Selain itu, gerbang tinggi dengan banyak penjaga di sana membuat Dhexel langsung mengenali tempat itu sebagai markas rentenir. Dhexel pun mengirimkan posisinya pada Marlo yang menyetir mobil lain, sebelum Dhexel turun dari mobil dan berlari masuk ke gerbang yang memang tidak tertutup rapat itu. Dengan cepat, Dhexel pun langsung disambut beberapa anak buah. "Siapa kau? Mau apa?" "Di mana Selina dan Juna?" seru Dhexel yang masih berusaha bersikap tenang. "Apa maumu mencari mereka?" "Aku harus membawa mereka keluar dari sini, jadi biarkan aku masuk!" Para anak buah hanya saling melirik dan tertawa sebelum salah satu anak buah mengenali Dhexel. "Hei, bukankah pria ini adalah pria yang membuat kita gagal menculik Selina waktu itu?" "Kau benar! Haha, kebetulan sekali kau datang kemari. Ayo kita bermain sedikit, Pria Sialan!
Bora tidak bisa mengungkapkan rasa leganya saat akhirnya Selina dan Juna kembali ke rumah sakit. Bora pun memeluk keduanya yang memang sudah dianggap seperti saudaranya sendiri itu. "Selina! Juna! Aku takut sekali tadi. Maafkan, aku tidak tahu harus melakukan apa lagi selain menelepon Pak Dhexel, Selina! Aku cemas sekali!"Suara Bora begitu sesenggukan sampai Selina ikut menangis melihatnya. Mereka berpelukan begitu lama dengan rasa lega yang sama-sama mereka rasakan. Bora pun begitu kaget saat mendengar cerita dari Selina tentang hutangnya yang akhirnya dilunasi oleh Dhexel. "Aku berhutang banyak sekali padanya, Bora!" "Dia mencintaimu, Selina! Sekalipun dia orang kaya, tapi tidak ada orang kaya yang sebodoh itu rela melunasi hutang orang lain, apalagi yang sebanyak itu. Dia mencintaimu, Selina! Dan itu adalah rejekimu, jodohmu, nasib baikmu! Ayahmu boleh meninggalkan kesulitan yang begitu besar, kau juga boleh menjalani hari-hari yang begitu sulit kemarin, tapi Tuhan akhirnya m
"Ada apa, Selina? Siapa?" tanya Dhexel yang melihat ekspresi ketegangan semua orang. "Itu Ayah, Kak! Itu Ayah, Ayah mau dibawa ke mana?" Tanpa bisa dicegah, Juna pun langsung berlari menyusul brankar milik Janu, sang ayah yang sudah lama menghilang. Aula sendiri tidak mencegahnya, tapi Selina langsung berteriak memanggil adiknya itu. "Juna! Juna! Untuk apa mengejarnya?" seru Selina dengan jantung yang masih berdebar tidak karuan. Selina pun berlari menyusul Juna dan Dhexel sendiri juga mengejar Selina, sedangkan Aula tetap tenang di kursinya dengan tatapan yang menerawang. Rebecca yang melihatnya pun ikut tegang karena ia tahu ayah Selina sudah lama menghilang. "Bu Aula!" panggil Rebecca penuh tanya. "Maaf, Bu Rebecca, maaf!" "Ah, iya, tidak apa!" Untuk sesaat, keduanya tetap diam di tempatnya sekalipun mobil Marlo dan satu mobil lain yang disetir oleh sopir Rebecca sudah tiba di depan mereka. Di sisi lain, Juna sudah tiba di samping brankar Janu dan menahannya di sana. "A
Beberapa hari berlalu dan Selina pun akhirnya kembali bekerja di Putra Perkasa. Bora dan Elvan menyambut Selina dengan semangat yang baru. Mereka sudah mengetahui tentang ayah Selina, mereka pun ikut prihatin, dan mendoakan yang terbaik untuk ayah Selina. Aula sendiri akhirnya bisa beraktivitas normal lagi dan Selina pun akhirnya memberitahu tentang hutang mereka yang sudah dilunasi oleh Dhexel. Aula tidak berhenti menangis mendengarnya dan ia minta diantarkan ke rumah Dhexel hari itu juga untuk bertemu dengan Dhexel serta orang tuanya. "Kami tidak tahu harus membalasnya dengan apa, karena itu, aku hanya bisa membawa buah-buahan dan masakanku, semoga kalian menyukainya," seru Aula yang membawa aneka macam masakan untuk keluarga Dhexel. "Kau repot sekali, Bu Aula. Terima kasih banyak," seru Rebecca. "Aku yang seharunya berterima kasih padamu dan keluargamu, Bu Rebecca. Ucapan terima kasih dan masakan apa pun tidak akan bisa membalasnya. Kalau kau mau, aku juga bisa bekerja untukm
"Aku ingin menjadi badut lagi di depan The Market Suka-Suka!" Dhexel langsung membelalak mendengar permintaan Selina yang begitu mustahil. Tiga bulan awal kehamilan, Selina jalani dengan cukup sulit karena Selina terus muntah, tapi memasuki bulan keempat, Selina sudah mulai aktif. Selina pun mulai ngidam, tapi bukan ngidam makanan, melainkan ngidam beraktivitas, seperti bersepeda atau joging. Tentu saja itu masih normal saja walaupun Dhexel tetap tidak menurutinya sampai Selina terus mengomel, tapi sekarang di umur kehamilan Selina yang masuk bulan kelima, permintaan Selina makin aneh."Mana bisa kau menjadi badut lagi, Sayang? Pertama karena promosinya memang sudah tidak memakai badut, dan yang kedua kau sedang hamil, Selina," sahut Dhexel sabar. "Memangnya kenapa kalau aku sedang hamil? Aku kan tetap bisa memakai topeng monyetnya. Lagipula kau kan CEO-nya, adakan lagi promosi dengan badutnya." "Tidak bisa, Sayang! Sudah berbeda sekarang." "Apanya yang berbeda, Dhexel? Aku mau
Hampir dua bulan berlalu sejak pesta pernikahan dan pasangan pengantin baru itu pun akhirnya pulang dari bulan madunya keliling Eropa. Semua anggota keluarga pun menyambutnya dengan sumringah, terutama Aula dan Juna yang sudah sangat merindukan Selina. "Akhirnya kalian pulang juga, Ibu sangat merindukanmu, Selina!" "Aku juga, Ibu!" Selina dan Aula berpelukan begitu erat dan mereka pun menghabiskan waktu bersama beberapa hari setelahnya. Dhexel dan Selina sendiri juga sudah pindah ke rumah baru mereka di mana Dhexel dan Selina hanya tinggal berdua saja bersama dengan pelayan. Dhexel sendiri sebenarnya sudah mengajak Aula dan Juna untuk tinggal bersama tapi mereka menolaknya. Bagi Aula, kehidupan rumah tangga akan lebih sehat kalau hanya ada satu kepala keluarga di dalamnya yaitu Dhexel. Biarkan mereka mengatur rumah tangga mereka dengan cara mereka sendiri. Dan pikiran itu sama seperti yang Rebecca pikirkan. Walaupun begitu, Dhexel dan Selina sangat sering mengunjungi rumah Aula
"Akhirnya acaranya selesai juga, Sayang!" "Ya, aku mulai mengantuk, Dhexel. Aku bangun subuh tadi untuk make up."Dhexel dan Selina sudah berada di kamar hotel mereka malam itu setelah akhirnya serangkaian acara pesta pun selesai. "Aku juga bangun subuh, Sayang, bukan untuk make up tapi aku terlalu bersemangat menyambut hari ini," sahut Dhexel. Selina tersenyum mendengarnya dan Dhexel pun langsung memeluk mesra istrinya itu. "Aku mencintaimu, Selina! Dan akhirnya kita tidak perlu berjauhan lagi sekarang." "Haha, kapan kita pernah berjauhan, Dhexel? Kau selalu menarikku mendekat." Dhexel tergelak dan ya, itu memang benar. Dhexel selalu mempunyai seribu satu cara dan alasan untuk menarik Selina mendekat. Dhexel pun mendekap istrinya ikut makin erat, begitupun Selina yang balas memeluk suaminya dan mereka pun begitu menikmati hangatnya pelukan setelah sah menjadi suami istri itu. Cukup lama mereka berpelukan di sana sebelum tiba-tiba Dhexel bergerak dan secara mengejutkan membopo
Persiapan pernikahan selalu menjadi hari yang sibuk untuk pasangan manapun, termasuk pasangan Dhexel dan Selina. Dhexel menginginkan pernikahan yang sempurna untuk mereka, tapi Selina menginginkan yang sederhana saja. Hidup sederhana sejak kecil membuat Selina tidak punya banyak impian untuk pesta pernikahannya, Selina lebih fokus pada kehidupan setelah menikah nanti. Selina pun selalu menolak semua dekorasi mewah yang Dhexel sodorkan sampai Dhexel gemas sendiri pada calon istrinya itu. "Aku akan ikut apa pun yang kau persiapkan, Dhexel. Bagiku yang penting adalah kehidupan kita nanti setelah menikah." "Aku tahu, Sayang! Aku bangga padamu tentang itu juga, padahal calon pengantin wanita lain sangat banyak menuntut ini dan itu. Tapi kali ini aku yang ingin memberikan yang istimewa padamu, Selina! Ini bukti cintaku untukmu!" Selina mengangguk dan akhirnya ia ikut memilih bersama Dhexel walaupun Selina tidak berhenti mengomel saat tahu berapa banyak uang yang harus dikeluarkan untu
Beberapa waktu berlalu dan kondisi pun kembali tenang. Heidy sudah kembali ke Paris dan kali ini Darrel tidak menyusulnya. Darrel tetap berada di Indonesia untuk membantu Dexter memegang perusahaan ayahnya itu yang lain. Tentu saja menghilangkan perasaan pada Heidy tidak semudah itu, tapi Darrel sudah bertekad menghilangkannya karena Heidy pun tidak akan pernah membalas perasaannya. Butuh waktu, tapi Darrel yakin pada akhirnya perasaan itu akan hilang juga. Darrel pun tidak ingin mencari penggantinya secepat itu karena Darrel akan fokus pada bisnisnya saja. Di sisi lain, Dhexel dan Selina pun makin mesra. Dhexel yang tidak mau berjauhan dengan Selina pun akhirnya meminta Selina bekerja di kantor pusat HWG bersamanya menjadi sekretaris barunya karena kebetulan sekretaris lama Dhexel yang sudah tua juga ingin pensiun. Elvan sendiri sebenarnya tidak rela kehilangan Selina, bukan karena Elvan masih menyukai Selina, tapi karena Selina ternyata sangat kompeten dalam bekerja. Namun, El
Dhexel tidak bisa menahan amarahnya begitu mendengar nama Heidy disebut. Dhexel pun langsung memeriksa CCTV dan persis seperti kesaksian Madam Poni, Heidy memang bertemu dengan beberapa karyawan kantor. Malahan Dhexel menemukan pertemuan lain yang tidak dilihat oleh Madam Poni. Brak!Dhexel menggebrak meja kerjanya dengan penuh emosi. "Sial, Darrel! Sial! Aku tidak mengerti apa yang ada di otak Heidy. Aku tidak mencintainya, bagaimana dia bisa memaksaku untuk mencintainya? Dan saat aku mencintai orang lain, dia melakukan semua ini untuk menjelekkan nama Selina. Aku tidak bisa menahannya lagi, Darrel! Sial!" Darrel tidak bisa berkata apa-apa untuk membela Heidy kali ini karena memang Heidy tidak pantas dibela. Darrel sendiri juga menahan amarah di dadanya, tapi cintanya tetap masih ada. Karena itu, hatinya bergejolak dan rasanya menyakitkan sekali mengetahui wanita yang ia cintai ternyata adalah wanita yang berhati busuk. Namun, setelah mendapatkan bukti ini, Dhexel pun makin mu
"Apa, Marlo? Selina dituduh menggelapkan dana perusahaan?" Dhexel memekik kaget begitu ia mendengar kabar dari Marlo tentang keadaan di Putra Perkasa. "Benar, Bos. Menurut info, karyawan finance sudah curiga sejak beberapa hari, tapi mereka masih menutupinya karena mereka sedang mencari bukti dan baru hari ini mereka menemukan buktinya." "Sial, itu tidak mungkin, Marlo. Aku bisa memastikan bahwa itu tidak mungkin, Marlo! Apa pun yang mereka tuduhkan pada Selina, itu tidak benar!" seru Dhexel dengan penuh keyakinan. "Aku juga percaya pada Selina, Bos! Tapi sepertinya masalah di kantor cukup panas saat ini." "Sial, siapkan tiket pulang, aku akan pulang malam ini juga!"Marlo mengangguk. "Baik, Bos!" Dhexel sendiri langsung menelepon Selina, tapi Selina tidak mengangkat teleponnya. Baru setelah beberapa kali menelepon, Selina pun akhirnya mengangkat teleponnya. "Selina, kau baik-baik saja?" Suara Selina teedengar gemetar saat menjawab Dhexel. "Kau ... kau sudah tahu masalah di k
Beberapa hari berlalu dan Selina pun akhirnya kembali bekerja di Putra Perkasa. Bora dan Elvan menyambut Selina dengan semangat yang baru. Mereka sudah mengetahui tentang ayah Selina, mereka pun ikut prihatin, dan mendoakan yang terbaik untuk ayah Selina. Aula sendiri akhirnya bisa beraktivitas normal lagi dan Selina pun akhirnya memberitahu tentang hutang mereka yang sudah dilunasi oleh Dhexel. Aula tidak berhenti menangis mendengarnya dan ia minta diantarkan ke rumah Dhexel hari itu juga untuk bertemu dengan Dhexel serta orang tuanya. "Kami tidak tahu harus membalasnya dengan apa, karena itu, aku hanya bisa membawa buah-buahan dan masakanku, semoga kalian menyukainya," seru Aula yang membawa aneka macam masakan untuk keluarga Dhexel. "Kau repot sekali, Bu Aula. Terima kasih banyak," seru Rebecca. "Aku yang seharunya berterima kasih padamu dan keluargamu, Bu Rebecca. Ucapan terima kasih dan masakan apa pun tidak akan bisa membalasnya. Kalau kau mau, aku juga bisa bekerja untukm
"Ada apa, Selina? Siapa?" tanya Dhexel yang melihat ekspresi ketegangan semua orang. "Itu Ayah, Kak! Itu Ayah, Ayah mau dibawa ke mana?" Tanpa bisa dicegah, Juna pun langsung berlari menyusul brankar milik Janu, sang ayah yang sudah lama menghilang. Aula sendiri tidak mencegahnya, tapi Selina langsung berteriak memanggil adiknya itu. "Juna! Juna! Untuk apa mengejarnya?" seru Selina dengan jantung yang masih berdebar tidak karuan. Selina pun berlari menyusul Juna dan Dhexel sendiri juga mengejar Selina, sedangkan Aula tetap tenang di kursinya dengan tatapan yang menerawang. Rebecca yang melihatnya pun ikut tegang karena ia tahu ayah Selina sudah lama menghilang. "Bu Aula!" panggil Rebecca penuh tanya. "Maaf, Bu Rebecca, maaf!" "Ah, iya, tidak apa!" Untuk sesaat, keduanya tetap diam di tempatnya sekalipun mobil Marlo dan satu mobil lain yang disetir oleh sopir Rebecca sudah tiba di depan mereka. Di sisi lain, Juna sudah tiba di samping brankar Janu dan menahannya di sana. "A