Selina membelalak kaget saat tiba-tiba Dhexel menyatukan bibir mereka. Debar jantung Selina yang sudah memacu kencang pun makin menghentak tidak karuan dan untuk sesaat, Selina tidak tahu apa yang harus ia lakukan, tetap diam atau mendorong Dhexel. Namun, Selina pun berakhir dengan tetap diam di tempatnya. Hal yang sama Dhexel lakukan karena Dhexel hanya diam di sana, seolah menunggu ijin dari Selina. Dan saat Selina tidak menolaknya, Dhexel pun mulai berani memagut bibir wanita itu. Bibir Selina terasa manis, lembut, dan rasa yang masih sama yang membuat Dhexel ketagihan seperti malam itu. Bahkan saat Dhexel tidak berada di bawah pengaruh obat saat ini, rasa bibir Selina tetap membuatnya kecanduan. Bibir Dhexel sendiri terasa dingin di bibir Selina, asin, dan anyir, ada rasa darah di sana karena memang bibir Dhexel sedang terluka. Namun alih-alih jijik, Selina malah merasakan getaran aneh dalam dadanya Perlahan Selina memejamkan matanya dan Dhexel pun memagut lembut bibir itu.
Dengan cinta, dunia akan menjadi lebih indah. Begitulah yang Dhexel dan Selina rasakan sejak mereka resmi menjadi kekasih sungguhan. Dhexel dan Selina bekerja dengan lebih bersemangat keesokan harinya dan mood mereka pun menjadi sangat baik. Walaupun Dhexel harus bekerja di perusahaan yang berbeda dengan Selina, tapi Dhexel tidak berhenti berkirim pesan dengan Selina dan Dhexel pun menjadi suka tersenyum sendiri seperti orang yang sedang kasmaran. "Hmm, kau baik-baik saja, Bos?" tanya Marlo yang sudah seharian menatap senyum Dhexel. "Ah, aku baik-baik saja, Marlo, tapi ada berita apa?" "Tidak ada berita baru, Bos! Hanya saja apa kau yakin masalah Selina tidak perlu dilaporkan pada polisi?" Dhexel terdiam sejenak mendengarnya. Dhexel sendiri sudah sempat bertanya pada Selina tentang ini. Dhexel ingin sekali melaporkan para rentenir itu pada polisi agar hidup Selina tenang, tapi Selina mencegahnya. Menurut Selina, para rentenir itu adalah penjahat yang pasti akan mengamuk kalau a
Aula masih mematung di tempatnya dengan dada yang mendadak sesak. Juna yang melihatnya pun memeluk Aula begitu erat, tapi Juna sendiri ikut mematung mendengar apa ni yang diucapkan oleh para rentenir. Untuk sesaat, Selina sendiri juga mematung di sana, tapi ia luar biasa kesal dengan para rentenir itu sampai Selina pun menyambar lampu mejanya dan mulai menyerang para rentenir itu. "Berani sekali kalian mengatakan hal itu pada ibuku! Padahal aku sudah bilang akan ikut dengan kalian kan? Sekarang aku sudah tidak mau ikut lagi! Pergi kalian! PERGI!" Buk!Selina memukul dengan sekuat tenaga sampai salah satu pria mengangkat tangannya untuk melindungi diri. Namun, pukulan Selina terlalu tepat dan melukai tangan pria itu. "Auw, Wanita Sialan!" "Sudah kubilang pergi dari sini! Pergi dan jangan mengganggu kehidupanku!" teriak Selina sambil memukulkan lagi lampu mejanya berkali-kali ke arah para pria itu. Para pria itu ada yang mundur, tapi ada yang melawan dan Selina pun terus memukul
"Apa, Dhexel? Ibu Selina masuk rumah sakit?" Rebecca memekik kaget pagi itu. Dhexel memang tidak pulang rumah semalam karena menemani Selina di rumah sakit. Karena itu, Rebecca bertanya apa yang Dhexel lakukan dan Dhexel memberitahu tentang kondisi ibu Selina. Rebecca sendiri sudah tahu dari Heidy bahwa keluarga Selina punya banyak hutang ke rentenir dan Rebecca sudah menanyakannya pada Dhexel. Dhexel pun membenarkan semuanya, hanya saja Dhexel tidak memberitahu tentang pekerjaan penipu yang selama ini Selina lakukan. "Bu Aula terkena serangan jantung, Ma." "Ya ampun, bagaimana kondisinya, Dhexel?" "Katanya subuh tadi Bu Aula sudah sadar, tapi belum bisa dijenguk. Selina dan adiknya pun masih berjaga di rumah sakit.""Mama juga harus ke sana, Dhexel. Bahkan Mama belum sempat berkenalan dengan ibunya Selina. Mama harus menjenguknya." Darrel tidak ikut kali ini karena Darrel sedang pergi dengan Dexter ke luar kota. Karena itu, Darrel tidak bisa terus mengawasi apa yang Heidy laku
"Halo! Halo! Jangan main-main denganku, Brengsek!" Selina berteriak dengan gemetar mendengar suara Bos Besar di teleponnya. Namun, setelah mengatakan pesan singkat itu, Bos Besar langsung menutup teleponnya. Selina pun berusaha menelepon balik, tapi ponsel Juna sudah tidak aktif. Selina langsung mencari nomor Bos Besar dan meneleponnya, tapi Bos Besar juga tidak mengangkat teleponnya. "Ah, sialan! Sialan!" pekik Selina dengan tangisan yang sudah terburai. "Apa, Selina? Apa yang dia katakan? Apa Juna bersamanya?" Suara Bora ikut gemetar. "Mereka menculik Juna. Bos Besar memintaku datang sendirian untuk menjemput Juna." Bora yang mendengarnya pun menahan napasnya sejenak. "Kita harus melaporkan semuanya pada polisi, Selina. Sudah cukup kau menahannya. Mengapa kau tidak mengijinkan Pak Dhexel melaporkannya ke polisi?" "Jumlah mereka sangat banyak, Bora, sangat banyak dan ada di mana-mana. Aku hanya tidak mau mencari masalah yang lebih parah atau bahkan sampai Dhexel ikut terliba
Dhexel menghentikan mobilnya begitu saja begitu ia tiba di markas rentenir. Bora memberitahu alamat dengan detail sampai Dhexel bisa dengan mudah menemukannya. Selain itu, gerbang tinggi dengan banyak penjaga di sana membuat Dhexel langsung mengenali tempat itu sebagai markas rentenir. Dhexel pun mengirimkan posisinya pada Marlo yang menyetir mobil lain, sebelum Dhexel turun dari mobil dan berlari masuk ke gerbang yang memang tidak tertutup rapat itu. Dengan cepat, Dhexel pun langsung disambut beberapa anak buah. "Siapa kau? Mau apa?" "Di mana Selina dan Juna?" seru Dhexel yang masih berusaha bersikap tenang. "Apa maumu mencari mereka?" "Aku harus membawa mereka keluar dari sini, jadi biarkan aku masuk!" Para anak buah hanya saling melirik dan tertawa sebelum salah satu anak buah mengenali Dhexel. "Hei, bukankah pria ini adalah pria yang membuat kita gagal menculik Selina waktu itu?" "Kau benar! Haha, kebetulan sekali kau datang kemari. Ayo kita bermain sedikit, Pria Sialan!
Bora tidak bisa mengungkapkan rasa leganya saat akhirnya Selina dan Juna kembali ke rumah sakit. Bora pun memeluk keduanya yang memang sudah dianggap seperti saudaranya sendiri itu. "Selina! Juna! Aku takut sekali tadi. Maafkan, aku tidak tahu harus melakukan apa lagi selain menelepon Pak Dhexel, Selina! Aku cemas sekali!"Suara Bora begitu sesenggukan sampai Selina ikut menangis melihatnya. Mereka berpelukan begitu lama dengan rasa lega yang sama-sama mereka rasakan. Bora pun begitu kaget saat mendengar cerita dari Selina tentang hutangnya yang akhirnya dilunasi oleh Dhexel. "Aku berhutang banyak sekali padanya, Bora!" "Dia mencintaimu, Selina! Sekalipun dia orang kaya, tapi tidak ada orang kaya yang sebodoh itu rela melunasi hutang orang lain, apalagi yang sebanyak itu. Dia mencintaimu, Selina! Dan itu adalah rejekimu, jodohmu, nasib baikmu! Ayahmu boleh meninggalkan kesulitan yang begitu besar, kau juga boleh menjalani hari-hari yang begitu sulit kemarin, tapi Tuhan akhirnya m
"Ada apa, Selina? Siapa?" tanya Dhexel yang melihat ekspresi ketegangan semua orang. "Itu Ayah, Kak! Itu Ayah, Ayah mau dibawa ke mana?" Tanpa bisa dicegah, Juna pun langsung berlari menyusul brankar milik Janu, sang ayah yang sudah lama menghilang. Aula sendiri tidak mencegahnya, tapi Selina langsung berteriak memanggil adiknya itu. "Juna! Juna! Untuk apa mengejarnya?" seru Selina dengan jantung yang masih berdebar tidak karuan. Selina pun berlari menyusul Juna dan Dhexel sendiri juga mengejar Selina, sedangkan Aula tetap tenang di kursinya dengan tatapan yang menerawang. Rebecca yang melihatnya pun ikut tegang karena ia tahu ayah Selina sudah lama menghilang. "Bu Aula!" panggil Rebecca penuh tanya. "Maaf, Bu Rebecca, maaf!" "Ah, iya, tidak apa!" Untuk sesaat, keduanya tetap diam di tempatnya sekalipun mobil Marlo dan satu mobil lain yang disetir oleh sopir Rebecca sudah tiba di depan mereka. Di sisi lain, Juna sudah tiba di samping brankar Janu dan menahannya di sana. "A