“Celaka!” keluh Maithatarun. Dia coba mencekal leher ulat raksasa namun gigi-gigi Jin Kepompong sudah menempel di lehernya. Dalam usahanya menyelamatkan diri Maithatarun jatuh punggung dan terbanting di tanah. Dua kakinya ditendangkan berusaha menghantam tubuh ulat raksasa sementara dua tangan mencekal leher dan kepala Ulat, menahan gerakan gigitan yang siap memutus lehernya!
Pada saat Maithatarun terjatuh ke tanah penutup kocek jerami terpental. Bintang, Bayu dan Arya terlempar ke luar. Arya menggigil ketakutan karena dia hampir tertindih sosok Jin Kepompong yang meliuk-liuk. Walau juga merasa ngeri setengah mati namun Bintang masih bisa berlaku tenang. Tubuh Maithatarun yang terlentang di tanah di bawah tindihan sosok ulat raksasa laksana bentangan bukit besar di mata Bintang. Sesaat dia bingung tidak tahu mau melakukan apa. Kemudian pandangannya membentur sosok sarang kepompong di ujung tanah lapang. Saat itu keadaan Maithatarun benar-benar dalam bahaya besar.
SANG surya masih belum memperlihatkan diri. Udara di penghujung malam itu masih diremangi kegelapan. Angin dingin masih mencucuk menembus kulit sampai ke tulang. Hampir tak dapat dipercaya, dalam kegelapan seperti itu, di kawah Gunung Patimerapi berkelebat satu bayangan. Gerakannya cepat, sulit ditangkap mata biasa.Bayangan ini melompat dari satu gundukan batu ke gundukan batu lainnya. Lalu sesekali kakinya menendang dan ; "Byaaarr!" Gundukan batu hancur berarrtakan!Batu-batu yang ada dalam kawah Gunung Patimerapi itu bukan batu biasa. Tapi adalah batu-batu yang sejak ratusan tahun telah berubah menjadi bara merah menyala dan tentunya panasnya bukan alang kepalang. Jangankan untuk dipijak, berada cukup dekat saja panasnya seolah mampu membakar seseorang. Apalagi di dalam kawah terdapat cairan lahar merah mengepulkan asap panas dan sesekali mencuatkan lidah api sampai setinggi satu tombak! Namun sosok yang ber- kelebat dari satu batu ke batu lainnya itu sama sekali ti
"Nek...""Sekali lagi kau dirasuk ragu dan bimbangi Sekali lagi kau berucap dan menolak berbuat! Maka Cukup sampai di sini aku melihatmu! Kalau aku masih sempat melihatmu maka aku hanya akan melihat rohmu gentayangan antara langit dan bumi!"Dinginlah tengkuk Patandai. Dia tahu si nenek tidak bicara kosong. Dia sadar perempuan tua bermuka burung gagak itu memiliki kemampuan untuk menghabisinya semudah dia membalikkan telapak tangan! Maka tanpa menunggu lebih lama Patandai melompat, ceburkan diri ke dalam cairan lahar yang mendidih panas di puncak Gunung Patimerapi itu!Sosok Patandai lenyap tenggelam di bawah permukaan lahar. Di sebelah atas lahar mencuat memercikkan lidah api. Sepasang mata Jin Santet Laknat memperhatikan dengan tajam. Mulutnya komat-kamit seperti merapal sesuatu. Lalu dia berteriak. "Kau boleh keluar sekarang Patandai!"Aneh! Walau berada di bawah permukaan lahar panas dan tebal namun si nenek mampu mengiangkan perintahnya ke telinga Pa
"Sudah aku katakan tak ada pertanyaan" Bentakan si nenek menggetarkan Seantero kawah Gunung Patimerapi. "Maafkan aku Nek." ujar Patandai yang jadi kecut melihat tampang si nenek dan mendengar bentakannya yang dahsyat. "Aku mempunyai alasan mengapa menyuruhmu membunuh Ruhsantini. Karena dia seorang istri tidak berbudi dan tidak setia! Ruhsantini pernah berhubungan badan dengan seorang pemuda bernama Pasingar, kerabatmu di Kota Jin. Selain itu dia juga bermain cinta dengan Jin Muka Seribu! Apa perlunya kau mempunyai seorang istri seperti itu!" Patandai merasakan tubuhnya bergetar dan mukanya mendadak jadi panas sampai ke telinga. Dia hendak bertanya dari mana atau bagaimana Nenek Jin Santet Laknat mengetahui hal itu tapi tidak berani membuka mulut. Apa yang ada dalam pikiran Patandai sudah terbaca oleh si nenek. Maka dia pun berkata. "Waktu kau meninggalkan istrimu di kala dia hamil muda kau sebenarnya telah mengambil satu keputusan tepat! Berbulan-bula
Belalang raksasa hijau itu terbang menembus kabut pagi disaat udara masih dingin menusuk sampai ke tulang sumsum. Di satu tempat ketinggian binatang ini melayang turun lalu hinggap di atas sebuah batu besar. Dua matanya memandang liar kian kemari seolah meneliti keadaan. Sepasang misainya bergerak-gerak tiada henti."Hai! Paehijau, apakah sanggup kau membawa kami ke puncak Patimerapi? Seharian sudah kau melompat dan melayang menerbangkan kami. Aku khawatir kau keletihan di tengah jalan dan jatuh!" Satu suara memecah kesunyian di tempat itu. Yang bicara adalah seorang perempuan muda mengenakan pakaian kulit kayu halus. Kepala dan wajahnya tertutup selendang terbuat dari rumput hijau dikeringkan. Perempuan ini duduk di punggung belalang hijau, menjadikan binatang raksasa itu sebagai tunggangannya.Belalang raksasa tundukkan kepala ke bawah lalu menggeleng pertanda dia mengerti dan menjawab ucapan tuan penunggangnya."Kau sahabatku yang setia Paehijau. Mudah-mudaha
Di atas batu Patandai merasakan tubuhnya bergetar. Lehernya menjadi kaku dan telinganya mengiang. Bagaimanapun dia mencoba, getaran pada matanya tak dapat dikuasainya. Dia sadar bahwa samadinya tak mungkin diteruskan. Didahului teriakan menggeledek sosok Patandai melesat ke atas. Di lain kejap dia telah berdiri dua tombak di hadapan Paehijau si belalang raksasa di atas mana duduk perempuan yang membawa bayi.Belalang raksasa tersurut mundur. Misainya bergerak-gerak sementara perempuan yang mendukung bayi berubah pucat wajahnya dan ketakutan setengah mati. Tadi sewaktu Patandai masih berada di dalam kawah dia memang sudah melihat ada kelainan atas diri suaminya itu. Namun setelah dekat dia tidak mengira kelainan itu adalah satu kengerian yang dahsyat! Sepasang mata yang memiliki empat bola mata laksana kobaran api memandang padanya."Ruhsantini! Perempuan celaka! Beraninya kau datang kemari! Berani kau mengganggu samadiku!"Perempuan yang disebut dengan nama Ruhs
"Tidak perduli siapapun kau punya nama! Tidak kusangka sejahat ini hati dan pekertimu! Dengar manusia keji! Pembalasan dan karma akan jatuh atas dirimu!" Ruhsantini angkat bayi dalam bedungan tinggi-tinggi. Lalu berserulah perempuan malang ini."Hai! para Dewa dan para Dewi! Hai! semua roh yang ada di antara langit dan bumi! Bayi ini bayi suci! Tiada dosa atas dirinya! Bayi ini keluar dari rahimku! Hasil hubunganku dengan seorang suami bernama Patandai! Namun hari ini Patandai tidak mengakui kalau Ramatahati adalah anak darah dagingnya! Para Dewa dan para Dewi serta semua roh! Jatuhkan hukuman atas diri Patandai! Sengsarakan dia sebelum bayi ini sendiri menderita karena perbuatannya! Biarkan tubuhnya seperti itu sepanjang usia! Biarkan dia menderita seumur-umur dalam keangkuhan dan kesesatannya! Hai! anakku Ramatahati. Malang nasibmu! Kau tak akan berayah seumur hidupmu! Aku tak akan diakui adat sebagai ibumu! Aku memohon kepala ke atas kaki ke bawah. Kaki ke atas kepala ke b
JIN Bara Patimerapi ingat. Tadi ada selarik sinar Jingga berkelebat menamengi dan menyelamatkan Ruhsantini dari pukulan Bianglala Hitam yang dilepaskannya. Serta meria dia memutar tubuh ke arah selatan. Empat buah bola mata merah menyala lelaki itu membesar berkilat-kilat ketika dia melihat satu pemandangan yang membuat darahnya menjadi panas dan tubuh menggeletar oleh rangsangan.Sejarak lima tombak di hadapannya, di tepi kawah Gunung Patimerapi tegak seorang gadis berwajah cantik. Tubuhnya yang berkulit putih mulus terbungkus oleh pakaian terbuat dari kulit kayu yang diberi jelaga berwarna ungu. Belum pernah Patandai melihat gadis mengenakan pakaian sebagus dan sangat mempesona seperti yang satu ini. Bagian punggung, ketiak, dada dan pinggul tersibak lebar hingga empat bola mata Patandai menjadi silau.Di tempat itu tidak ada orang lain. Jangan-jangan gadis berpakaian Jingga inilah yang telah melepaskan pukulan sakti menangkis pukulan ‘Bianglala Hitam&rsquo
"Aku berjanji!" jawab Jin Bara Neraka dengan suara keras. Hasratnya tambah menggila dan dia benar- benar senang luar biasa karena tidak menduga akan bertemu dengan seorang gadis jelita yang saat itu mau saja diajaknya masuk ke dalam goa. Sambil memegang lengan si gadis Patandai mengajaknya berlari sepanjang tepi kawah. Lelaki ini berlari kencang sekali dan bukan merupakan lari biasa. Dia sama sekali tidak menyadari walau dia lari secepat itu tetapi si gadis di sebelahnya mampu mengikuti! "Hai!! Goa ini benar sejuk dan indah bersih seperti yang kau katakan!" ujar si gadis begitu mereka masuk ke dalam goa. Langsung saja dia dudukkan diri di lantai goa dekat sebuah telaga kecil berair jernih kebiruan. "Kalau kita bisa sering-sering berada di tempat ini, hemmm... Senang sekali hatiku” Patandai tertawa lebar lalu ikutan duduk di lantai. Dia sengaja merapatkan tubuhnya ke pinggul si gadis. "Sekarang apa yang akan kita lakukan?!" bertanya gadis itu seolah-ol