Harimau berbulu putih itu gelengkan kepalanya. Seolah mau mengatakan bahwa dia tidak mampu membebaskan sepasang kaki Maithatarun yang dipendam dalam bola batu! Panglima Yudha mendongak ke langit lalu mengaum panjang. Perlahan-lahan tubuhnya mengecil kembali. Bintang segera melompat mendekati Panglima Yudha. Tangan kiri mengusap kuduk binatang itu tangan kanan menyeka lelehan darah.
''Panglima Yudha. Aku tidak berkecil hati dan jangan kau kecewa. Kau telah berusaha keras hingga mengeluarkan darah dari mulutmu. Walau kau tidak dapat menghancurkan batu itu tapi kau telah menolong Maithatarun dari pendaman yang membuatnya menderita selama puluhan hari. Aku berterima kasih. Maithatarun juga pasti sangat berterima kasih”
Panglima Yudha kedip-kedipkan matanya seolah mengerti apa yang diucapkan Bintang. Tiba-tiba satu tangan besar menyambar sosok Panglima Yudha. Maithatarun mengangkat binatang ini ke atas, didekatkan ke mukanya. “Makhluk kecil berbentuk harimau put
Selama 180 hari lebih sepasang kaki Maithatarun telah dipendam dalam batu. Selama itu pula dia tidak pernah berjalan melangkahkan kaki. Kini kakinya bebas, tapi masih terpendam dalam dua bola batu. Sanggupkah dia menggerakkan kakinya dan berjalan. Maithatarun sesaat merasa cemas. Dengan menabahkan hati disertai pengerahan tenaga, dia angkat kaki kanannya keluar dari lubang di tanah. Terasa sangat berat. Dia kerahkan lagi tenaga lebih besar. Keringat memercik di muka dan tengkuknya. Otot-ototnya melembung bergetar. Perlahan-lahan bola-bola batu itu bergerak sedikit. Maithatarun genggamkan lima jari tangan kanannya lalu berteriak keras. “Dukkk!” Batu besar yang membungkus kaki kanan Maithatarun keluar dari lubang dan menghunjam di tanah. Tanah bergetar hebat. Pohon-pohon bergoyangan. Untuk kedua kalinya Maithatarun berteriak sambil mengerahkan tenaga. “Dukkkk!” Seperti kaki kanan tadi kaki kiri juga mampu dikeluarkannya dari dalam lubang.
LELAKI di sebelah depan yang mengenakan destar tinggi warna hitam terbuat dari sejenis kulit kayu meludah ke tanah. “Dasar manusia bodoh! Setelah membunuh keponakanku kau masih bisa berkata tidak mencari lantai terjungkat! Menuduh kami memfitnah!”“Hai! Pasalut, Pamanda, Ruhrinjani istri yang kucintai! Perihnya hati dan jiwa akibat kematian istri masih belum terobati! Bagaimana tega-teganya kau menuduhku membunuh Ruhrinjani?!” ujar Maithatarun dengan sikap tetap tenang walau telinganya panas mendengar ucapan orang.“Jin jahanam! Jangan kau berani bermanis mulut! Aku punya, saksi yang melihat kau membunuh Ruhrinjani keponakanku! Mayatnya kau lemparkan ke dalam jurang di sisi Bukit Batu Tunggal!”“Kau boleh punya seribu saksi Pasalut Pamanda, tapi aku punya saksi para Dewa dan Dewi!”“Kurang ajar! Berani-beraninya kau membawa-bawa nama Dewa dan Dewi!” bentak orang bernama Pasalut.“Aku
Tubuhnya mencelat sampai tiga tombak. Untuk beberapa lama dia menggeliat-geliat di tanah lalu merangkak mendekati Maithatarun. Mukanya seperti setan. Dari mulutnya keluar buih berwarna kehijauan, Mukanya tiba-tiba berubah menjadi muka seekor ular kepala hijau. Perlahan-lahan tubuhnya ikut berubah menjadi tubuh ular.“Jin Ular Siluman!” teriak Maithatarun tegang. Dia memang pernah mendengar kalau paman Ruhrinjani ini memiliki semacam ilmu yang bisa merubah dirinya menjadi ular besar berwarna hijau. Namun baru sekali ini dia menyaksikan sendiri.Di hadapan Maithatarun ular hijau bergerak secara aneh. Binatang ini tidak melata di tanah melainkan, tegak lurus di atas ekornya yang laksana besi dipancang. Didahului desisan keras dan semburan racun berwarna hijau, sosok Pasalut yang telah jadi ular itu melesat ke depan. Kepala mematuk ke arah leher sedang bagian tubuh berusaha menggelung sementara ujung ekor tetap tegak di tanah dan mampu bergerak cepat kian kemar
Raberang dan Sakasat ketakutan setengah mati melihat apa yang terjadi. Tidak menunggu lebih lama keduanya segera menghambur kabur. Namun Maithatarun lebih dulu melesat memotong jalan sambil kaki kirinya menendang.“Praaakkk!”Korban kedua jatuh. Raberang terlempar dan melingkar di tanah dengan kepala pecah! Hancuran kepala dan darahnya muncrat ke arah Sakasat. Pemuda ini menjerit ngeri setengah mati. Suara jeritannya lenyap begitu sepuluh jari tangan Maithatarun tahu-tahu telah mencekiknya. Dengan lidah terjulur dan mata mendelik Sakasat meratap.“Maithatarun... Jangan.. jangan bunuh diriku. Aku... aku tidak ada perselisihan denganmu. Ampuni diriku”Maithatarun meludah ke tanah. Mukanya mengerenyit karena tiba-tiba ada rasa sakit mencucuk di punggungnya yang terkena patukan Jin Ular Siluman.“Sekarang meratap kau Sakasat! Tadi bicaramu segarang anjing! Tapi aku Maithatarun mau saja mengampuni dirimu! Pergi ke Kota Jin.
Kuda berkaki enam itu lari menggemuruh cepat sekali. Menjelang pagi Maithatarun berharap dia sudah sampai di Kota Jin. Di dalam kocek jerami Bintang, Bayu dan Arya bergelung tergoncang-goncang. Karena keletihan ketiga orang itu akhirnya tertidur pulas. Pagi hari begitu sinar sang surya menembus dinding kocek yang terbuat dari jerami ketiganya terbangun.Maithatarun masih terus memacu kudanya. Bintang dan Bayu mendorong penutup kocek ke atas lalu menjengukkan kepala. Begitu memandang ke luar keduanya langsung jatuh terduduk. Bukan saja karena gamang tapi juga ngeri. Mereka melihat pohon-pohon raksasa seperti terbang bergerak cepat ke arah berlawanan dari lari kuda kaki enam yang ditunggangi Maithatarun.Di satu lereng bukit Maithatarun perlambat lari kudanya. Bintang dan Bayu kembali beranikan diri mengintai. Jauh di bawah sana mereka melihat, sebuah lembah lalu satu kawasan pemukiman yang cukup luas.“Mungkin itu Kota Jin, tujuan Maithatarun...” kata
Maithatarun tersenyum walau telinganya mendadak menjadi panas. “Sejak kapan, pemuda itu menjadi Kepala Negeri. Siapa yang mengangkatnya...?”“Sejak beberapa bulan lalu. Penduduk yang mengangkatnya. Selain masih muda dan cakap Zalanbur memiliki ilmu silat dan kepandaian tinggi!”“Kalian semua kerabat tahu kalau aku adalah Kepala Kota Jin. Kalian melihat aku segar bugar dan masih hidup! Selama Kepala Negeri masih hidup apakah ada adat dan aturan di Kota Jin seseorang lain dijadikan Kepala Negeri?”“Menurut Zalanbur kau sudah tewas sekitar enam kali bulan purnama lalu.”“Patole.... Patole,” kata Maithatarun sambil geleng-geleng kepala. “Apa kau dan lima kerabat sudah pada buta? Dengan siapa saat ini kalian berhadapan?!”Patole menjawab. “Yang kami lihat memang sosok kasar Maithatarun, bekas Kepala Kota Jin. Tapi kami tidak tahu apakah ini benar jazad hidupnya atau rohnya yan
Gebrakan Maithatarun tidak sampai di situ saja. Sambil melayang turun kaki kirinya ditendangkan ke arah kepala salah seekor kadal raksasa yang tengah menyerang kudanya.“Praaaakkk!”Kepala kadal raksasa hancur. Darah dan isi kepalanya bermuncratan. Tapi sosok tubuhnya masih tegak berdiri. Malah buntutnya tiba-tiba menggelepar ke atas. Maithatarun berseru kaget tak menyangka. Ujung ekor kadal yang tertutup sirip-sirip tebal setajam pisau menyambar lambungnya, “Craaasss!”Darah mengucur dari perut sebelah kanan Maithatarun. Masih untung dia berlaku cepat, melompat ketika ekor kadal raksasa menghantam hingga lukanya tak cukup dalam dan tidak berbahaya, Di dalam kocek jerami, Bintang dan dua kawannya terhenyak dengan muka putih. Kalau sambaran ekor tadi sempat menghantam kocek di mana mereka berada, tak bisa dibayangkan apa yang terjadi.“Kerabat Patole, aku masih menganggapmu sebagai sahabat. Bawa tiga temanmu. Tinggalkan segera
KETIKA suara menggemuruh memasuki kota Jin, penduduk di kawasan itu segera tahu siapa yang muncul. Mereka berhamburan keluar dari rumah masing-masing dan lari menuju sebuah tanah lapang yang terletak di tengah-tengah kawasan pemukiman. Banyak di antara mereka termasuk anak-anak lari sambil berteriak-teriak.“Maithatarun datang! Maithatarun datang!”Di ujung timur tanah lapang besar, debu mengepul ke udara menutupi pemandangan. Begitu debu lenyap tertiup angin tampaklah Maithatarun di atas punggung kuda raksasanya. Sesaat lelaki ini pegangi perutnya yang terluka akibat hantaman ekor kadal. Darah pada luka itu sudah berhenti mengucur namun masih tertinggal rasa perih. Maithatarun melompat turun dari tunggangannya. Sepasang matanya memandang tak berkesip ke-ujung lapangan di .sebelah sana. Di sekeliling lapangan ratusan penduduk tegak berkerumun, menyaksikan apa yang sebentar lagi akan terjadi.Penutup kocek terangkat ke atas. Tiga kepala muncul keluar.