Kepedihan mendalam membuat kita tertunduk. Apalagi kepedihan datang ketika cinta hadir. Namun, kita tidak punya harapan pada cinta itu.(Filzah Nawwal Haziq Priambudi – Arash Habibi Elmani)Arash mencoba meyakinkan sang sahabat untuk mempercayai keputusannya. Tidak ada nada gugup dalam setiap kata yang keluar dari lisannya. Semua kalimatnya mengalir dengan penuh percaya diri. Keseriusan pun tergambar di wajah tampannya dengan sedikit senyuman yang sejak tadi dipaksakan.“Kalau kamu izinkan, aku akan membawa Filzah menemui Mama dan Papaku di rumah sakit besok. Setidaknya mereka bisa saling mengenal terlebih dahulu, sebelum aku membawa lamaran kepada keluargamu,” ucapnya meminta persetujuan.“Aku akan sampaikan hal ini pada adikku dulu. O iya, apa kamu punya nomor ponsel Filzah? Kalau kamu punya, bisa langsung hubungi dia,” ujarnya sambil menepuk bahu sang sahabat yang duduk di sampingnya.“Aku tidak punya nomor Filzah. Tolong kamu kirim nomornya!” pintanya dengan tersenyum tipis.“Baik
Jangan bersedih jika ketulusan dibalas dengan dusta. Bersyukurlah kamu punya hati yang tulus karena ketulusan hanya dimiliki orang yang berhati mulia.(Filzah Nawwal Haziq Priambudi – Arash Habibi Elmani)Zayyan memberikan nomor ponsel Filzah pada Arash setelah mendapatkan persetujuan dari sang adik. Zayyan langsung menghubungi Arash setelah mengirim nomor sang adik pada pria tampan yang sudah membuat Filzah jatuh cinta itu.“Udah aku kirim nomor Filzah, kamu bisa menghubunginya sendiri, supaya tidak ada kecanggungan diantara kalian," ucap Zayyan setelah panggilan terhubung dan salamnya di jawab seseorang dari seberang sana..“Baik, Zay. Terima kasih. Nanti aku hubungi Filzah, tapi sebelumnya dia sudah kamu beritahu tentang keputusanku, ‘kan?” tanyanya memastikan dari seberang sana dengan hati bergejolak.“Iya, sudah. Aku juga sudah bilang kalau kamu akan menghubunginya,” ujar Zayyan.“Ya sudah, sekali lagi terima kasih. Aku akan menghubungi Filzah secepatnya,” ucapnya sebelum menutu
Senyum yang lahir dari ketulusan dan keikhlasan akan menghindarkan diri kita dari sifat kebencian dan kedengkian.(Filzah Nawwal Haziq Priambudi)Usai membayar dan menerima parsel buah, Filzah kembali ke mobil. Arash yang sejak tadi menunggu di balik kemudi, membiarkan Filzah duduk nyaman di kursinya.“Apa sudah selesai?” tanya Arash sambil melihat sekilas ke arah Filzah yang tersenyum lembut padanya.Filzah menunjukkan parsel berisi beberapa jenis buah yang ditata apik dalam keranjang buah sambil tersenyum pada Arash. “Sudah, Kak. Bisa kita berangkat sekarang!?” ajaknya, masih mengukir senyum di wajah cantiknya. Arash berusaha mengalihkan pandangan, melihat senyum manis Filzah membuatnya sedikit salah tingkah. Ya, hanya sedikit “Baiklah.” Setelah melihat Filzah memasang sabuk pengaman, pemuda tampan itu melajukan mobilnya menuju rumah sakit.Di sepanjang perjalanan hanya ada keheningan. Arash fokus menyetir, meskipun pemuda tampan itu berulang kali mencuri pandang ke arah Filzah yan
Tidak ada yang lebih indah dari seseorang yang patah hati, tetapi masih percaya pada cinta.(Sekeping Hati – Kebahagiaan Samar(Filzah dan Arash))Mobil Arash melaju meninggalkan gedung rumah sakit tempat sang papa dirawat. Di dalam mobil suasana kembali hening. Ingin rasanya Filzah bertanya untuk memecahkan keheningan, tetapi lidahnya kelu tak mampu berucap. Ada rasa canggung dan malu.Mobil mewah Arash berhenti tepat di depan kafe bernuansa alam yang Instagramable. Ya, kafe miliknya yang sekarang sudah berganti kepemilikan menjadi milik Zayyan, meskipun sang sahabat tidak mau menerima dokumen penting bukti kepemilikan. “Sudah sampai, kita turun,” ucapnya sambil melepas sabuk pengaman. Arash bergegas keluar dan membukakan pintu untuk Filzah.“Wah, kafenya bagus, Kak. Aku suka!” seru Filzah takjub saat sudah keluar dari mobil. Gadis cantik itu tersenyum senang dengan wajah berbinar.“Kafe ini milik Kakakmu,” ujar Arash sedikit acuh.Filzah mengernyit. Dia tahu semua kafe yang dimilik
Kita tidak dapat mengubah masa lalu dan janganlah terlalu khawatir akan hari esok. Hari ini adalah kesempatan baru yang mungkin akan mengubah masa depanmu menjadi lebih baik. Lakukan yang terbaik dan syukuri apa yang dimiliki saat ini.(Filzah - Arash)Arash dan Filzah makan dalam keheningan. Hanya ada denting sendok dan garpu juga suara pengunjung kafe lainnya yang berada cukup jauh dengan meja mereka. Kebetulan Arash mengajak Filzah duduk di pojok kafe, sehingga tidak banyak pengunjung yang lalu lalang. Jujur, Filzah sangat tidak menyukai situasi seperti ini, mereka terkurung dalam kebisuan. Setelah pembicaraan tadi, Arash hanya diam, sibuk dengan pemikirannya sendiri. Namun, berulang kali mencuri pandang ke arah Filzah yang sejak tadi makan dengan menunduk.“Kamu belum menjawab pertanyaanku, sedangkan aku sudah menjawab semuanya,” ucap Arash memecah kebisuan. Dia melihat Filzah sudah selesai makan. Dengan ragu gadis cantik itu mengangkat sedikit wajahnya, melihat ke arah Arash. “
Kebahagiaan bukanlah di saat kita memiliki kesempurnaan. Namun, ketika kita mampu menerima ketidaksempurnaan dengan lapang dada.(Filzah 💔 Arash – Sekeping Hati)Tiga hari berlalu dari saat Habibi keluar dari rumah sakit. Kondisi Habibi pun sudah lebih baik. Sesuai janjinya pada Zayyan dan Filzah, hari ini Arash akan membawa kedua orang tuanya menemui keluarga Filzah.“Kalau kalian mau datang ke rumah gadis itu dan meminta dia pada kedua orang tuanya, silakan! Tapi Mama tidak akan pernah ikut kalian ke sana,” ucap Nirmala dengan angkuhnya.“Mama, aku sudah menyiapkan beberapa hantaran untuk buah tangan kita pergi ke sana. Tolong, setidaknya lakukan demi aku. Tidak mungkin kami hanya datang berdua,” pinta Arash memohon.“Apa Mama lupa, siapa yang membantu keuangan kita? Mama jangan egois, seandainya waktu itu Nak Zayyan tidak memberi bantuan pada Arash, mungkin saat ini kita sudah terusir dari rumah kita ini. Rumah ini akan dilelang pihak Bank,” ucap Habibi ikut menimpali.“Lagi-lagi
Cinta itu penuh pemberian, bukan meminta untuk diberikan. Cinta itu penuh ketulusan, bukan penuh keterpaksaan.(Filzah 💔 Arash – Sekeping Hati)Dengan didampingi Azzura dan Zayyan, Filzah menuruni anak tangga menuju lantai satu. Tepatnya ke ruang tamu, tempat keluarganya dan keluarga Arash berkumpul.Dengan hati berdebar, Filzah yang tangannya di genggam Azzura mengikuti langkah sang kakak ipar. Mereka berdua nampak anggun dan cantik. “Bismillah, semoga mamanya Kak Arash tidak menunjukkan ketidaksukaannya padaku di depan Bunda, Ayah, Kakek, dan Nenek,” gumam Filzah.“Nak, kemarilah! Ini Nak Arash dan keluarganya silaturahmi ke sini, sekalian ingin menemuimu,” ucap Haziq pada Filzah saat melihat sang putri memasuki ruang tamu. Filzah tersenyum sambil mengangguk. Meski sedikit khawatir, dengan sopan Filzah menyalami Nirmala. Tidak ada penolakan, bahkan wanita paruh baya itu tersenyum lembut padanya. Entah, senyum itu tulus atau tidak. Mengingat sikapnya yang berbanding terbalik dengan
Aku laksana seribu kepingan yang indah, dikumpulkan dan disatukan. Dirangkai lebih kuat dan lebih tangguh menjadi suatu mozaik yang indah. Itulah hatiku.(Filzah Nawwal Haziq Priambudi – Arash Habibi Elmani)Dua keluarga itu masih membicarakan persiapan dan rangkaian acara pernikahan Arash dan Filzah. Habibi terlihat begitu antusias. Namun, tidak dengan sang istri, sejak tadi Nirmala lebih memilih diam dan hanya sesekali Nirmala berusaha tersenyum tipis pada Nirina.“Baiklah, bila semua sudah sepakat, acara kita lanjutkan dengan makan bersama. Mari Mas Habibi, Mbak Nirmala, Nak Arash!” ajak Haziq tulus sambil mempersilakan tamunya.“Tunggu, Om!” cegah Arash ikut berdiri.“Ada apa Nak Arash?” tanya Haziq seraya mengerutkan dahi. "Apa masih ada yang ingin ditambahkan dari hasil pembicaraan tadi?" lanjut Haziq dengan mimik penasaran.“Karena waktu pernikahan sebentar lagi. Saya ingin, malam ini juga menjadi malam pertunangan saya dengan Filzah. Jika diizinkan, saya akan menyematkan ci