Athalia tercenung, tapi ia mengangguk pelan dan mengangkat kedua tangannya untuk membalas pelukan Mahesa.
Sejujurnya, Athalia merasa sangat nyaman dalam pelukan lelaki itu. Namun tingkah Mahesa yang aneh setelah selesai konsul dengan Arini, membuat Athalia merasa kebingungan.
Dengan masih memeluk tubuh Athalia yang mungil, Mahesa kembali berkata. “Kau benar, Athalia. Setelah meluapkan semuanya, sekarang hatiku merasa lega. Setidaknya setengah dari beban di hatiku sudah hilang. Aku makin bersemangat untuk bisa sembuh dari semua trauma ini. Aku ingin bisa menjalani kehidupan yang normal seperti orang lain tanpa gangguan dari masa laluku yang pahit. Aku ingin bahagia. Aku ingin bahagia, Athalia. Kau dengar itu, ‘kan? Aku ingin bahagia.”
Mata Athalia berkaca-kaca. Mahesa sampai mengulangi kalimatnya beberapa kali saking dia ingin mewujudkan impiannya.
Semua belenggu masa lalu yang merantainya harus segera sirna. Mahesa sangat ingin men
“Perutku lapar sekali. Ini aneh. Kenapa aku selalu merasa lapar di tengah malam.” Athalia bangun dari tidurnya. Dia mengubah posisinya menjadi duduk.Matanya melirik ke arah Mahesa yang sedang tidur di samping ranjang. Lelaki itu telungkup, Mahesa langsung pulas setelah percintaan mereka.“Mungkin masih ada makanan di kulkas. Aku akan ke dapur.” Athalia menyibak selimutnya, lalu bergerak pelan saat turun dari ranjang. Dia tak mau mengganggu tidur Mahesa yang lelap.Setelah mengenakan sandal tepleknya, Athalia berjalan keluar kamar. Tujuannya saat ini adalah dapur.Ketika langkahnya tiba di dapur, senyum lebar langsung merekah di bibir manisnya saat ia mendapati sebuah cokelat terlihat begitu menggoda perutnya.“Wah, ada cokelat! Ini milik Mahesa. Tapi dia pasti tidak akan apa-apa jika aku memakannya.” segera Athalia mengambil cokelat itu dan mengunyahnya.“Eumhh … rasanya enak sekali. Cokelat
“Benarkah? Apa semalam aku mendengkur?”Rasanya Athalia tertawa mendengar pertanyaan itu. Sejak kapan Mahesa peduli dengan tidurnya mendengkur atau tidak.Namun Athalia tetap menjawab dengan gelengan kepala.“Tidak. Tidurmu sangat elegan,” jawab Athalia lagi. Mahesa memutar bola matanya, kemudian matanya melirik ke arah kamar, dimana jam dinding terpajang di sana.“Ini sudah jam enam, ‘kan? Sepertinya kita bangun kesiangan. Kita harus pergi ke kantor, Athalia. Aku ada meeting siang ini, bukan?” kata Mahesa lalu bertanya pada Athalia.Athalia kembali mengangguk. “Ya. Kau benar. Kalau begitu aku akan mandi sekarang.”Athalia hendak melangkah menuju kamar, namun Mahesa menangkap tali outer dari gaun malam yang Athalia kenakan, kemudian sengaja menariknya hingga terlepas.Menyadari outer gaun malamnya terlepas, Athalia segera berbalik dan mengerutkan keningnya ke arah Mahesa.
“Papa hanya ingin memintamu untuk datang ke perusahaan Papa sekarang juga, Mahesa!” perintah Leuwis dengan suaranya yang tegas.Alis Mahesa terangkat sebelah.“Untuk apa?” tanya Mahesa.“Jangan banyak bertanya, pokoknya datang saja dan lakukan apa yang Papa minta!” tekannya yang seolah memperlakukan Mahesa selayaknya robot yang bisa ia kendalikan.Mahesa mendengus. “Kalau aku tidak mau, bagaimana?” tantang Mahesa, dagunya terangkat, ia sengaja mempermainkan Leuwis.Terdengar suara menggeram di seberang telpon, mungkin Leuwis merasa kesal dan marah begitu mendengar Mahesa yang malah menantangnya.“Jangan mencoba menguji kesabaranku! Aku hanya memintamu datang, itu saja!”“Tapi masalahnya aku tidak mau. Maaf, Pa. Banyak sekali pekerjaan yang harus kuselesaikan. Jadi aku tidak akan menuruti perintah Papa. Aku tidak akan datang ke sana. Sampai jumpa!”TUT
“Kau sama sepertinya. Selalu membangkang ucapanku. Sepertinya darah Sandra lebih mendominasi di dalam tubuhmu hingga kau sangat mirip dengannya,” lanjut Leuwis kemudian tersenyum sinis.Mahesa yang tidak suka mendengar dirinya disamakan dengan Sandra—ibu yang sudah tega meninggalkannya demi lelaki lain, langsung berang hingga bangkit dari kursinya.“Diam! Sekarang juga aku minta keluar dari ruanganku!” sentak Mahesa, mengarahkan telunjuknya ke arah daun pintu.Senyum di wajah Leuwis semakin lebar, ia senang karena Mahesa mulai terpancing emosi oleh ucapannya.“Dasimu hari ini berwarna merah, aku jadi ingat kalau Sandra sangat menyukai warna itu. Oh, aku tahu. Kau sengaja memakainya karena sedang teringat dengan ibumu, bukan? Kau merindukannya, Mahesa?” ejek Leuwis.Mahesa melihat ke arah dasi panjangnya yang sialnya ternyata memang berwarna merah. Seketika ingatan tentang Sandra, saling berkelebat dalam ben
“Bisakah kau menjalankan mobilnya dengan benar?!” sentak Leuwis memarahi sopirnya yang tiba-tiba saja menghentikan mobilnya secara mendadak.“Maaf, Tuan. Ada seorang wanita yang menghadang di depan mobil ini,” kata sopir itu.Ucapannya berhasil membuat kening Leuwis berkerut heran. “Wanita?”Leuwis yang duduk di kursi belakang, menggeser kepalanya untuk melihat siapa sosok wanita yang dimaksud oleh sopirnya. Dan matanya melebar begitu melihat Athalia berdiri di depan mobilnya. Athalia menurunkan kedua lengannya yang tadi ia bentangkan untuk menghadang mobil ini.Leuwis berdecak kesal, padahal ia sudah sangat lelah dan ingin istirahat. Tapi Athalia malah berdiri dan menghalangi laju mobilnya yang baru saja akan memasuki gerbang rumah.“Ck! Apa yang dilakukan wanita itu? Apa dia ingin mati?” Leuwis turun dari mobil. Membenarkan kelepak jasnya, Leuwis melangkah tegas menuju tempat dimana Athalia be
Athalia mengernyitkan alisnya, ia merasa tak perlu menggubris ejekan Bianca. Sekali lagi, Athalia tak ingin berkelahi apalagi dengan Bianca.Maka daripada menanggapi Bianca, Athalia memilih membalikan badannya, hendak pergi, tapi tangan Bianca menahan pundaknya.“Kau mau ke mana? Aku belum selesai bicara. Di mana kau taruh telingamu? Hah?”Kesal, Athalia menepis tangan Bianca dari pundaknya dengan sedikit kasar, kemudian menatap wanita itu dengan mendelik.“Yang jelas aku datang bukan untuk bertemu denganmu. Karena kita tidak memiliki urusan apapun,” jawab Athalia yang membuat Bianca cukup terperangah. Bianca tidak percaya jika ternyata Athalia berani menantangnya.Athalia sama sekali tidak terlihat takut padanya.“Siapa bilang kita tidak memiliki urusan apapun. Bagaimana dengan Mahesa? Jauh sebelum kau menjadi sekretarisnya, aku lah wanita yang lebih dulu mendekatinya. Aku ingin dia menjadi milikku. Tapi
“Maaf, Tuan Leuwis. Saya tidak mau melakukannya. Saya tidak sampai hati.” Bik Atin menggelengkan kepala ketika mendapat perintah dari Leuwis untuk menghubungi Mahesa.Pagi tadi Leuwis memanggil Bik Atin untuk datang ke kamarnya. Tadinya Bik Atin pikir, Leuwis hanya akan menyuruhnya untuk mengambil cucian. Namun ternyata majikannya itu menyuruhnya untuk menghubungi Mahesa agar datang ke rumah ini dengan menggunakan ponsel butut yang dimiliki oleh Bik Atin.Bik Atin yang sudah puluhan tahun bekerja bersama Leuwis, tahu betul bagaimana tabiat majikannya itu. Ia merasa kalau Leuwis akan melakukan hal yang buruk. Perasaannya pun tidak enak. Maka Bik Atin memilih menolak perintah dari Leuwis.“Kau berani membangkangku, Bik? Majikanmu itu adalah aku! Bukan Mahesa! Sekarang juga aku minta telpon Mahesa untuk datang ke sini. Dia sangat percaya padamu, bukan? Dia pasti akan datang jika kau yang memintanya.” Leuwis kembali memerintah, kali ini denga
"Sepertinya aku harus memberitahumu sesuatu. Kemarin kekasihmu datang dan mengemis padaku agar tidak lagi mengusik traumamu. Sungguh manis apa yang dia lakukan. Tapi sayangnya hal itu tidak akan membuatku tersentuh sama sekali."Mendengar penuturan Leuwis, seketika Mahesa mengerutkan keningnya, berpikir keras siapa kekasihnya yang dimaksud oleh Leuwis?Sampai kemudian nama Athalia terlintas dalam benaknya."Athalia? Jadi dia sengaja datang ke rumah Papa tanpa sepengetahuanku? Dan dia meminta Papa untuk berhenti mengusikku," ucap Mahesa dalam hati. Mahesa tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.Leuwis mengedikan kedua bahunya sambil berpangku tangan, senyum lebar nan jumawa masih tercetak di bibirnya."Sepertinya hubungan kalian sudah sangat dekat. Dia bahkan berani mendatangi rumahku hanya untukmu. Oh iya, dan sejak kapan Athalia memanggilmu tanpa embel-embel tuan?" lanjut Leuwis bertanya, sambil melemparkan senyum mengej
Mahesa menatap pada dokter dengan sorot penuh harap. Dan dokter itu menarik napas sebelum akhirnya berkata.“Keadaan Nyonya Athalia tetap sama. Tapi kita masih bersyukur operasi ini tak memperparah kondisinya. Setelah pulih dari melahirkan, Nyonya Athalia sudah bisa melakukan terapi kankernya di Indonesia. Dia wanita yang kuat, tak banyak yang berhasil bertahan sampai di titik ini,” ungkap dokter itu yang akhirnya membuat Mahesa mendesah lega.Mahesa sangat kagum pada Athalia. Kini ia menatap wajah bayi mungilnya yang tampak memerah. Bayi itu menangis, lalu perawat mengambil alihnya dari tangan Mahesa.“Maaf, Tuan. Kami harus segera memindahkan bayi perempuan Anda ke ruang inkubator.”Mahesa mengangguk mendengar ucapan perawat itu. “Boleh aku ikut mengantar bayiku?” tanya Mahesa, seakan tak rela jika harus berpisah barang hanya sejenak dengan malaikat kecilnya.Perawat dan dokter itu saling pandang,
Meski usia kandungan Athalia baru menginjak delapan bulan, namun dokter menyarankan agar bayi Athalia segera dikeluarkan dari kandungannya. Karena akan makin membahayakan kondisi Athalia.Awalnya Athalia sempat menolak dan berdebat kecil dengan Mahesa. Athalia takut terjadi hal buruk pada bayi mungilnya andai dilahirkan premature. Namun Mahesa bersikukuh meyakinkan bahwa dokter tahu yang terbaik. Mahesa juga takut terjadi hal buruk pada bayinya. Tapi ia lebih takut kehilangan Athalia.Akhirnya Athalia luluh setelah Mahesa meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.Dean dan Narsih sudah ada di rumah sakit. Mereka berdua datang ke Jerman. Sedangkan Yasna, Dirly dan keluarga Dean masih di Indonesia. Sengaja sekali Dean tak mau memberitahukan kabar Athalia yang akan dioperasi ini pada mereka agar tak merasa khawatir.“Mahesa, jangan pergi!” Athalia menggenggam erat tangan Mahesa saat perawat mendorong ranjangnya menuju ke ruang operasi.
“Dia baik-baik saja.” dokter berkata pada suster setelah ia memeriksa keadaan Athalia.“Tapi dia mengigau terus, dok.”“Tidak apa. Selama kondisinya stabil. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” pungkas dokter yang menangani Athalia. Dokter itu bernama Dokter Greg.Suster itu mengangguk. “Baik, dokter. “ sebenarnya suster itu khawatir terjadi apa-apa pada Athalia, juga karena ia dibayar oleh Dean untuk terus memantau kondisi Athalia dan menginformasikan setiap perkembangannya.Tepat di saat dokter baru saja akan berbalik keluar dari ruangan itu, tiba-tiba mereka mengerutkan kening saat melihat sosok lelaki yang tak dikenal, melangkah memasuki ruang ICU dan menghampiri ranjang Athalia.“Siapa dia?” dokter berbisik pada suster.“Saya tidak tahu, dok,” balas suster itu menggelengkan kepala.Lelaki asing itu adalah Mahesa. Yang ketika melihat pintu ruang ICU tak di
Tak ingin membuang waktu, Mahesa langsung mengurus keberangkatannya ke Jerman. Dan sebagai seorang ayah yang telah mendukung Mahesa, Leuwis turut membantu segala persiapan putranya.Kini mereka pun telah tiba di bandara. Sebelum masuk ke gate penerbangan, Leuwis menggenggam tangan kanan Mahesa dengan erat.“Apa kau yakin Papa tidak perlu menyusulmu ke sana?” tanya Leuwis, yang sebenarnya ingin ikut.“Tidak perlu, Pa. Papa tunggu saja di sini dan berikan doa yang terbaik untukku.” “Itu pasti. Kau tak perlu memintanya. Papa akan selalu mendoakanmu.”Mahesa tersenyum, sesaat memeluk ayahnya, sebelum kemudian mengurai pelukan dan pamit untuk pergi.Leuwis menghela napas pelan sambil melambaikan tangan, melepaskan kepergian Mahesa yang kini telah menghilang dari pandangan mata.“Semoga keberuntungan dan kebahagiaan selalu menyertaimu, Mahesa,” gumam Leuwis.***Tiba
Meski sudah larut malam, Dean tak bisa tidur. Ia masih duduk di ruang tengah sambil menonton TV.Namun, tiba-tiba terdengar suara bell rumahnya yang berdenting.“Ck! Siapa yang bertamu di malam-malam buta begini.” Dean bergumam lalu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke pintu utama.Saat pintu itu dibuka, Dean langsung menghembuskan npaas kasar ketika melihat sosok Mahesa yang berdiri di hadapannya dengan penampilan yang cukup berantakan.Sepertinya Mahesa habis berkelahi. Terlihat dari rahang dan sudut bibirnya yang lebam dan berdarah.“Apa kau sudah gila? Bisakah kau bertamu di waktu yang tepat?” Dean menyindir, baru saja ia akan kembali menutup pintu rumahnya namun tangan Mahesa lebih dulu menahannya dengan kuat, hingga Dean menyerah dan pintu itu pun kembali terbuka lebar.“Sebenarnya apa maumu?” sentak Dean, kesal.“Aku mau kau beritahu aku di mana Athalia berada?” tegas
Leuwis tak sanggup saat melihat Mahesa yang sedang kacau seperti ini.“Mahesa,” desah Leuwis bersimpuh duduk di samping Mahesa dan membuat Mahesa membuka kedua matanya hingga bertemu pandang dengan bola mata ayahnya.“Pa … “ Mahesa berbisik pelan. Namun kedua matanya menyiratkan kesedihan. Terihat dari matanya yang memerah dan berkaca-kaca.“Kemarilah, Nak! Kemarilah!” Leuwis membuka tangannya lebar-lebar.Mahesa tahu isyarat itu. Ia pun beringsut duduk dan segera masuk ke dalam pelukan Leuwis. Menghambur memeluk tubuh Leuwis dan menumpahkan tangisnya di dada ayahnya.Mahesa menangis tanpa suara. Hanya saja Leuwis merasa bagian depan bajunya yang basah.“Pa, aku telah kehilangan dia! Aku telah kehilangan Athalia dan anakku! Athalia sedang hamil, Pa. Dia hamil darah dagingku. Berkali-kali aku membujuknya tapi dia tak mau kembali. Aku terlalu banyak menyakitinya. Aku ini lelaki bejat yang sangat menji
Hanya sebentar Leuwis dirawat di rumah sakit. Ia pun sudah boleh pulang ke rumahnya.Selama ada di rumah sakit, tak ada satu pun anggota keluarganya yang menjenguknya selain Mahesa.Entah karena memang mereka tidak tahu Leuwis dirawat, atau mungkin karena mereka tidak peduli sama sekali terhadapnya.Yang jelas, Leuwis merasa kecewa. Ayaz melihat dirinya yang hampir mati, namun sama sekali tak berniat menolongnya.Justru Mahesa lah yang melarikannya ke rumah sakit dan menemaninya meski mereka hanya saling diam dan tak ada satu pun yang berani bicara.“Kau gila, Ayaz! Kau berani melakukan itu pada Papamu? Bagaimana kalau dia masih hidup lalu mengusir kita semua dari rumah ini?”Baru saja Leuwis akan membuka pintu kamar Ayaz untuk menegur anak tirinya itu, namun gerakan Leuwis terhenti saat ia mendengar suara Jessica yang sepertinya sedang berbicara dengan Ayaz.“Masa bodo tentang Leuwis. Dia bukan Papaku. Aku bosan hidup di ba
“Selama ini aku bekerja untuk memenuhi hidupmu dan keluarga kita. Tapi mengapa kau tak menghargaiku? Setidaknya bantu aku untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Bukannya malah menambah masalah di kepalaku!” sentak Leuwis dengan keras.Leuwis marah, tentu saja.Bisa dibilang, Ayaz adalah anak tertua setelah Mahesa. Meskipun Ayaz hanya anak tirinya. Namun Leuwis pikir, sudah sepantasnya Ayaz ikut mengemban tanggung jawab untuk mengurus perusahaan dan membantunya.Bukannya malah hanya berfoya-foya.“Apa masalahnya, Pa? Aku memanggil dua wanita penghibur itu untuk sedikit menyenangkanku. Bagaimana aku bisa bekerja jika hatiku tidak senang?” Ayaz berkata dengan wajah santainya.Membuat bola mata Leuwis melebar.“Tapi kau bisa bersenang-senang di waktu dan tempat yang tepat! Tidak dalam situasi seperti ini!” Leuwis masih tak habis pikir. Ayaz sempat memikirkan kesenangannya di saat mereka terancam hid
Langit terlihat begitu mendung. Tak secerah tadi pagi, dimana saat mereka asyik bermain sepak bola di halaman belakang rumah Dean.Kini Dean melamun, menatap nanar pada wajah Athalia yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Dean menungguinya. Ia mengusir halus semua orang yang hendak ikut menemani Athalia di rumah sakit, termasuk Narsih dan Yasna.“Athalia, kau harus berjanji padaku! Kau akan tetap hidup sampai nanti, sampai Dirly dan anakmu dewasa. Sampai kau berhasil mendapatkan kebahagiaan sesungguhnya. Jangan pernah pergi sebelum semua itu terjadi. Berjanjilah padaku, Athalia!” Dean meraih tangan kanan Athalia, lalu menciumi jemarinya.Lelaki bertubuh kekar itu tak bisa menahan saat air mata meluruh jatuh melewati pipinya.Hari ini, saat Athalia dibawa ke rumah sakit, dokter memberitahu sebuah kabar yang membuat semua orang terkejut. Tak menyangka. Bahkan terluka.Bagaimana tidak, dokter mengatakan Athalia menderita kanker darah. Dan tak s