“Dirly itu masih kecil, tapi kadang dia suka berpikir kritis. Dia mengerti kalau ibunya sudah tiada, tapi saat melihatmu, dia merasa melihat ibunya secara nyata. Aku tidak tahu, apakah aku harus merasa sedih atau bahagia.” terdengar hembusan napas berat dari mulut Dean.
Athalia tahu ini sangat berat. Tumbuh besar tanpa sentuhan tangan seorang ibu memang akan sangat terasa menyedihkan. Di saat orang lain akan terlelap setiap malam dalam dekapan ibu mereka, mungkin Dirly adalah salah satu anak tidak beruntung yang tak memilikinya.Seketika perasaan bersalah menyergap hati Athalia. Mengapa wajahnya bisa mirip dengan Alma, hingga menjadi menyakiti hati bocah mungil yang tak berdosa itu. Andai Athalia boleh memilih, ia tak ingin wajahnya mirip dengan ibu Dirly.“Maaf, Pak Dean. Aku tidak tahu kalau ternyata wajahku sangat mirip dengan ibunya Dirly. Aku tidak bermaksud untuk—““Tidak apa, ini bukan salahmu. Hanya saja &helPagi ini, Mahesa masih sangat mengantuk. Ia tak bisa tidur semalaman.Tepatnya, Mahesa memang tak pernah bisa tidur nyenyak jika malam hari. Sebab otak dan hatinya selalu saja meresahkan hal yang sama.Yaitu, tentang gadis yang selalu berkelebat dalam benaknya. Entah siapa dia, sampai detik ini tanya itu masih menggantung di atas kepala.Mahesa belum juga menemukan jawabnya."Eenghhh ... "Mahesa bergumam pelan dengan mata yang masih terpejam, saat ia merasa ada yang menyentuh perutnya dan mengusapnya dengan gerakan seringan bulu.Ah, pasti ini hanya mimpi.Tapi, semakin lama, tangan itu bergerak naik dan berhenti di dadanya yang bidang.Merasa ada yang janggal, Mahesa pun tak tahan untuk membuka mata. Lantas ia terkejut melihat pemandangan di depannya."Kiran?! Apa yang kau lakukan? Bagaimana kau bisa masuk ke dalam kamarku?!" Mahesa beringsut duduk, menatap Kiran yang duduk di sampin
Malam ini, Dirly sedang cemberut di atas ranjang kecil yang dibalut oleh sprai tayo, kartun kesukaannya.Sambil menunduk, Dirly menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang.Kedua tangannya saling bertaut di atas paha. Ia sedang marah pada seseorang. Siapa lagi kalau bukan Dean, ayahnya."Lihat saja nanti, kalau Papa datang ke kamarku, aku tidak akan mau bicara dengan Papa," cetus Dirly dengan raut sebal. Lalu melipat kedua tangannya di depan dada.Kemarahan yang dirasakan oleh bocah berusia enam tahun itu awalnya bermula saat Dean mencoba memberinya pengertian sekali lagi saat di mobil, kalau Athalia bukan lah ibu kandungnya.Dan ucapan itu membuat hati Dirly merasa sakit, tentu saja."Mana Papa? Seharusnya Papa sudah datang ke kamarku sekarang."Dirly menggaruk kepalanya yang tak gatal. Matanya melirik ke arah daun pintu kamar yang tertutup.Dirly berusaha menajamkan pandangan denga
Tak banyak bertanya lagi, sopir itu pun mengangguk dan menghentikan laju mobilnya.Dirly melirik ke arah Athalia yang membuka pintu mobil dan turun, lalu wanita itu berjalan pergi entah ke mana.Kening Dirly sempat berkerut dengan benak yang bertanya-tanya."Tante Athalia mau beli apa?" gumamnya dalam hati.Pertanyaan itu langsung terjawab ketika tak berselang lama, Athalia kembali masuk ke dalam mobil."Sudah selesai, Nona?""Sudah, Pak. Ayo jalan lagi!"Dirly kembali menunduk dan mengalihkan pandangannya dari Athalia. Tapi, meski begitu, tadi ia sempat melihat benda apa yang Athalia bawa masuk ke dalam mobil."Ice cream?" Athalia membeli dua cup ice cream dan sekarang ia sedang menyodorkan salah satunya pada Dirly.Dirly menoleh, sejenak menatap pada ice cream di tangan Athalia.Tapi kemudian matanya terangkat hingga bertemu dengan kedua bola mata Athalia yang cokelat muda
Tawa Mahesa yang berderai itu, seakan menular pada Dean.Dean terkekeh seraya menggeleng-gelengkan kepalanya."Dia pasti sangat menggemaskan," ucap Mahesa mengenai Dirly.Dean mengangguk setuju."Ya, begitulah. Kata orang, buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya." Dean berseloroh.Mahesa kembali tertawa, kali ini sambil memijiti keningnya.Dean meraih air minum di samping piringnya, kemudian meneguknya."Oh ya, bagaimana kabar istrimu? Aku belum pernah bertemu dengannya karena waktu itu tidak bisa hadir di pernikahan kalian."Pertanyaan Mahesa berhasil membuat gerakan meneguk Dean terhenti.Dean menjauhkan gelas dari bibir, matanya menatap nyalang, lalu senyum tipis penuh kekecewaan tersungging di bibirnya."Alma ... Dia sudah meninggal setelah melahirkan Dirly," jawab Dean.Terlihat raut terkejut di wajah Mahesa."Maaf, aku tidak tahu kalau-""Bu
"Apa, Pa?" Dirly bertanya, menatap pada kedua bola mata Dean dengan lamat.Dean tersenyum, lalu ia mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya dan menunjukkannya pada Dirly."Surprise!" seru Dean sambil mengangkat benda itu dengan kedua tangannya.Dirly tak bisa berkata-kata. Kejutan dari Dean membuatnya takjub.Bagaimana tidak? Dean memberikan sebuah pigura foto yang menampilkan foto Dirly saat masih bayi, lalu diedit dan dibuat seolah Dirly sedang digendong oleh Alma, ibunya."Ini Papa yang membuatnya sendiri?" tanya Dirly, menerima bingkai foto itu dari tangan Dean, lalu mengamatinya dengan menahan tangis.Dean mengangguk. "Ya, Papa yang membuatnya. Apa kau suka?"Dirly mengangguk cepat, mengusap sudut matanya dengan ujung jari. "Sangat. Aku sangat menyukainya. Ini aku waktu masih bayi, dan ini Mama sedang menggendongku. Papa, i'm happy. Thank you so much!" Dirly mendekap foto itu ke dadanya, lalu ia men
Athalia pulang ke rumah. Narsih langsung menyambutnya. Terlihat raut heran di wajahnya. Pasalnya, hari ini Athalia pulang lebih awal."Athalia, apa kau sakit?" Narsih bertanya ketika Athalia baru saja menghempaskan pantatnya di atas sofa ruang tengah.Tangan yang mulai keriput itu menyentuh di kening putrinya, tetapi tidak panas."Aku baik-baik saja, Bu.""Syukurlah, Ibu sudah khawatir karena kau pulang lebih awal. Takutnya kau tidak enak badan dan bossmu menyuruhmu pulang," ucap Narsih, lalu duduk di samping Athalia.Athalia menggeleng pelan, tersenyum kecil. Ibunya memang selalu secemas itu."Aku pulang lebih cepat memang karena bossku yang menyuruh." Athalia melepaskan tas selempangnya dari pundak, lalu menaruhnya di atas meja.Kedua alis Narsih mengernyit mendengar penuturan Athalia."Tapi bukan karena aku sedang tidak enak badan. Melainkan karena ... aku dipecat dari restoran," lanjut
Pintu utama dari sebuah rumah yang megah itu terbuka lebar di kedua sisinya oleh security. Lantas dua orang yang tadi berdiri di depan pintu, kini melangkah masuk ke dalam.Dialah Athalia dan Dean.Sambil berjalan, Athalia mengedarkan pandangannya ke sekeliling bagian dalam rumah itu. Semua furniturenya terlihat mewah. Bisa dikatakan, rumah Dean tak kalah mewahnya dari rumah Tuan Leuwis yang pernah dilihatnya."Athalia, di sebelah sana kamarmu," tunjuk Dean pada pintu kamar yang letaknya tak jauh dari anak tangga. "Meskipun kau tidak menginap di sini, tapi kau bisa tidur siang atau beristirahat di sana saat Dirly sekolah," kata Dean.Athalia mengangguk pelan.Tidur siang?"Ikut aku, biar kutunjukan kamarnya." Dean melangkah lebih dulu, Athalia mengekor dari belakang.Kemudian tangan Dean membuka pintu kamar itu, Athalia sempat tertegun melihat kamar itu yang akan menjadi kamarnya.Pasalnya, menur
Mobil mewah keluaran eropa milik Dean berhenti tepat di depan pelataran restoran 'AlmaDirly' miliknya.Setelah memarkirkan mobilnya dengan rapi, Dean turun dan melangkah memasuki restoran itu.Tangannya masuk ke dalam saku celana kanannya, merogoh sesuatu dari sana."Aku belum memberitahu dia kalau sebentar lagi Dirly ulang tahun," gumam Dean sambil mengulum senyum tipis.Masuk ke dalam lift, Dean menekan tombol lift dan segera menempelkan ponselnya ke telinga kanan.Menunggu seseorang di ujung sana mengangkat panggilannya."Hallo, Mahesa! Maaf mengganggumu, apa kau sedang sibuk?" ternyata Dean menghubungi Mahesa."Tidak, kau sama sekali tidak menggangguku. Aku baru saja selesai menandatangi laporan. Ada apa, Dean? Aku tahu, jika kau menghubungiku, itu tandanya ada sesuatu yang penting." suara Mahesa terdengar dari seberang telpon."Kau benar, memang ada hal penting yang ingin kuberitahukan padamu. Karena kau tidak akan mungkin datang ke sini,
Mahesa menatap pada dokter dengan sorot penuh harap. Dan dokter itu menarik napas sebelum akhirnya berkata.“Keadaan Nyonya Athalia tetap sama. Tapi kita masih bersyukur operasi ini tak memperparah kondisinya. Setelah pulih dari melahirkan, Nyonya Athalia sudah bisa melakukan terapi kankernya di Indonesia. Dia wanita yang kuat, tak banyak yang berhasil bertahan sampai di titik ini,” ungkap dokter itu yang akhirnya membuat Mahesa mendesah lega.Mahesa sangat kagum pada Athalia. Kini ia menatap wajah bayi mungilnya yang tampak memerah. Bayi itu menangis, lalu perawat mengambil alihnya dari tangan Mahesa.“Maaf, Tuan. Kami harus segera memindahkan bayi perempuan Anda ke ruang inkubator.”Mahesa mengangguk mendengar ucapan perawat itu. “Boleh aku ikut mengantar bayiku?” tanya Mahesa, seakan tak rela jika harus berpisah barang hanya sejenak dengan malaikat kecilnya.Perawat dan dokter itu saling pandang,
Meski usia kandungan Athalia baru menginjak delapan bulan, namun dokter menyarankan agar bayi Athalia segera dikeluarkan dari kandungannya. Karena akan makin membahayakan kondisi Athalia.Awalnya Athalia sempat menolak dan berdebat kecil dengan Mahesa. Athalia takut terjadi hal buruk pada bayi mungilnya andai dilahirkan premature. Namun Mahesa bersikukuh meyakinkan bahwa dokter tahu yang terbaik. Mahesa juga takut terjadi hal buruk pada bayinya. Tapi ia lebih takut kehilangan Athalia.Akhirnya Athalia luluh setelah Mahesa meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.Dean dan Narsih sudah ada di rumah sakit. Mereka berdua datang ke Jerman. Sedangkan Yasna, Dirly dan keluarga Dean masih di Indonesia. Sengaja sekali Dean tak mau memberitahukan kabar Athalia yang akan dioperasi ini pada mereka agar tak merasa khawatir.“Mahesa, jangan pergi!” Athalia menggenggam erat tangan Mahesa saat perawat mendorong ranjangnya menuju ke ruang operasi.
“Dia baik-baik saja.” dokter berkata pada suster setelah ia memeriksa keadaan Athalia.“Tapi dia mengigau terus, dok.”“Tidak apa. Selama kondisinya stabil. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” pungkas dokter yang menangani Athalia. Dokter itu bernama Dokter Greg.Suster itu mengangguk. “Baik, dokter. “ sebenarnya suster itu khawatir terjadi apa-apa pada Athalia, juga karena ia dibayar oleh Dean untuk terus memantau kondisi Athalia dan menginformasikan setiap perkembangannya.Tepat di saat dokter baru saja akan berbalik keluar dari ruangan itu, tiba-tiba mereka mengerutkan kening saat melihat sosok lelaki yang tak dikenal, melangkah memasuki ruang ICU dan menghampiri ranjang Athalia.“Siapa dia?” dokter berbisik pada suster.“Saya tidak tahu, dok,” balas suster itu menggelengkan kepala.Lelaki asing itu adalah Mahesa. Yang ketika melihat pintu ruang ICU tak di
Tak ingin membuang waktu, Mahesa langsung mengurus keberangkatannya ke Jerman. Dan sebagai seorang ayah yang telah mendukung Mahesa, Leuwis turut membantu segala persiapan putranya.Kini mereka pun telah tiba di bandara. Sebelum masuk ke gate penerbangan, Leuwis menggenggam tangan kanan Mahesa dengan erat.“Apa kau yakin Papa tidak perlu menyusulmu ke sana?” tanya Leuwis, yang sebenarnya ingin ikut.“Tidak perlu, Pa. Papa tunggu saja di sini dan berikan doa yang terbaik untukku.” “Itu pasti. Kau tak perlu memintanya. Papa akan selalu mendoakanmu.”Mahesa tersenyum, sesaat memeluk ayahnya, sebelum kemudian mengurai pelukan dan pamit untuk pergi.Leuwis menghela napas pelan sambil melambaikan tangan, melepaskan kepergian Mahesa yang kini telah menghilang dari pandangan mata.“Semoga keberuntungan dan kebahagiaan selalu menyertaimu, Mahesa,” gumam Leuwis.***Tiba
Meski sudah larut malam, Dean tak bisa tidur. Ia masih duduk di ruang tengah sambil menonton TV.Namun, tiba-tiba terdengar suara bell rumahnya yang berdenting.“Ck! Siapa yang bertamu di malam-malam buta begini.” Dean bergumam lalu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke pintu utama.Saat pintu itu dibuka, Dean langsung menghembuskan npaas kasar ketika melihat sosok Mahesa yang berdiri di hadapannya dengan penampilan yang cukup berantakan.Sepertinya Mahesa habis berkelahi. Terlihat dari rahang dan sudut bibirnya yang lebam dan berdarah.“Apa kau sudah gila? Bisakah kau bertamu di waktu yang tepat?” Dean menyindir, baru saja ia akan kembali menutup pintu rumahnya namun tangan Mahesa lebih dulu menahannya dengan kuat, hingga Dean menyerah dan pintu itu pun kembali terbuka lebar.“Sebenarnya apa maumu?” sentak Dean, kesal.“Aku mau kau beritahu aku di mana Athalia berada?” tegas
Leuwis tak sanggup saat melihat Mahesa yang sedang kacau seperti ini.“Mahesa,” desah Leuwis bersimpuh duduk di samping Mahesa dan membuat Mahesa membuka kedua matanya hingga bertemu pandang dengan bola mata ayahnya.“Pa … “ Mahesa berbisik pelan. Namun kedua matanya menyiratkan kesedihan. Terihat dari matanya yang memerah dan berkaca-kaca.“Kemarilah, Nak! Kemarilah!” Leuwis membuka tangannya lebar-lebar.Mahesa tahu isyarat itu. Ia pun beringsut duduk dan segera masuk ke dalam pelukan Leuwis. Menghambur memeluk tubuh Leuwis dan menumpahkan tangisnya di dada ayahnya.Mahesa menangis tanpa suara. Hanya saja Leuwis merasa bagian depan bajunya yang basah.“Pa, aku telah kehilangan dia! Aku telah kehilangan Athalia dan anakku! Athalia sedang hamil, Pa. Dia hamil darah dagingku. Berkali-kali aku membujuknya tapi dia tak mau kembali. Aku terlalu banyak menyakitinya. Aku ini lelaki bejat yang sangat menji
Hanya sebentar Leuwis dirawat di rumah sakit. Ia pun sudah boleh pulang ke rumahnya.Selama ada di rumah sakit, tak ada satu pun anggota keluarganya yang menjenguknya selain Mahesa.Entah karena memang mereka tidak tahu Leuwis dirawat, atau mungkin karena mereka tidak peduli sama sekali terhadapnya.Yang jelas, Leuwis merasa kecewa. Ayaz melihat dirinya yang hampir mati, namun sama sekali tak berniat menolongnya.Justru Mahesa lah yang melarikannya ke rumah sakit dan menemaninya meski mereka hanya saling diam dan tak ada satu pun yang berani bicara.“Kau gila, Ayaz! Kau berani melakukan itu pada Papamu? Bagaimana kalau dia masih hidup lalu mengusir kita semua dari rumah ini?”Baru saja Leuwis akan membuka pintu kamar Ayaz untuk menegur anak tirinya itu, namun gerakan Leuwis terhenti saat ia mendengar suara Jessica yang sepertinya sedang berbicara dengan Ayaz.“Masa bodo tentang Leuwis. Dia bukan Papaku. Aku bosan hidup di ba
“Selama ini aku bekerja untuk memenuhi hidupmu dan keluarga kita. Tapi mengapa kau tak menghargaiku? Setidaknya bantu aku untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Bukannya malah menambah masalah di kepalaku!” sentak Leuwis dengan keras.Leuwis marah, tentu saja.Bisa dibilang, Ayaz adalah anak tertua setelah Mahesa. Meskipun Ayaz hanya anak tirinya. Namun Leuwis pikir, sudah sepantasnya Ayaz ikut mengemban tanggung jawab untuk mengurus perusahaan dan membantunya.Bukannya malah hanya berfoya-foya.“Apa masalahnya, Pa? Aku memanggil dua wanita penghibur itu untuk sedikit menyenangkanku. Bagaimana aku bisa bekerja jika hatiku tidak senang?” Ayaz berkata dengan wajah santainya.Membuat bola mata Leuwis melebar.“Tapi kau bisa bersenang-senang di waktu dan tempat yang tepat! Tidak dalam situasi seperti ini!” Leuwis masih tak habis pikir. Ayaz sempat memikirkan kesenangannya di saat mereka terancam hid
Langit terlihat begitu mendung. Tak secerah tadi pagi, dimana saat mereka asyik bermain sepak bola di halaman belakang rumah Dean.Kini Dean melamun, menatap nanar pada wajah Athalia yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Dean menungguinya. Ia mengusir halus semua orang yang hendak ikut menemani Athalia di rumah sakit, termasuk Narsih dan Yasna.“Athalia, kau harus berjanji padaku! Kau akan tetap hidup sampai nanti, sampai Dirly dan anakmu dewasa. Sampai kau berhasil mendapatkan kebahagiaan sesungguhnya. Jangan pernah pergi sebelum semua itu terjadi. Berjanjilah padaku, Athalia!” Dean meraih tangan kanan Athalia, lalu menciumi jemarinya.Lelaki bertubuh kekar itu tak bisa menahan saat air mata meluruh jatuh melewati pipinya.Hari ini, saat Athalia dibawa ke rumah sakit, dokter memberitahu sebuah kabar yang membuat semua orang terkejut. Tak menyangka. Bahkan terluka.Bagaimana tidak, dokter mengatakan Athalia menderita kanker darah. Dan tak s