Athalia terdiam, matanya menatap teduh. Kadang Athalia bertanya dalam hatinya, mengapa Mahesa memiliki ayah seperti Leuwis?
Sebelum melanjutkan kata-katanya, Mahesa meremas rambutnya kasar, mengacak-acaknya, lalu kembali menatap Athalia dengan mata yang sendu.
“Athalia. Apa menurutmu aku bisa sembuh dari traumaku?” tanyanya. Yang langsung dijawab dengan senyum dan anggukan oleh Athalia.
“Tentu. Kau pasti bisa sembuh. Asal kau memiliki niat yang besar dalam hati dan pikiranmu. Kalau kau benar-benar ingin terlepas dari semua masa lalumu yang tidak ingin kau ingat lagi,” balas Athalia, menyentuh punggung tangan Mahesa yang berada di atas paha lelaki itu, lalu mengusapnya dengan lembut.
Mahesa menurunkan pandangan, menatap pada gerakan tangan Athalia. Sentuhan itu langsung mengalirkan ketenangan dalam dirinya.
***
Pagi ini Athalia sudah sibuk di dalam kamar mandi. Setelah beberapa hari tubuhnya sudah terasa me
Bagaimana tidak? Athalia membuatkannya jus buah naga. Padahal ia sangat tidak menyukainya."Tapi jus ini lebih sehat untukmu daripada kopi yang sering kau minum. Cobalah dulu! Aku mohon," pinta Athalia sambil menaruh gelas jus itu di atas meja. Tampaknya ia bersikukuh memaksa Mahesa meminumnya."Aku tidak suka!""Tapi rasanya enak," sela Athalia."Itu dilidahmu. Tapi dilidahku, jus buah itu lebih mirip seperti kotoran bayi," kata Mahesa sambil meringis.Athalia ingin menyemburkan tawa mendengarnya. Tetapi segera ia tahan."Jika kau tidak mau meminum jus ini, maka aku juga tidak mah berangkat ke kantor." Athalia menghempaskan pantatnya di sofa yang berada bersebrangan dengan sofa yang Mahesa duduki.Mahesa mendengus. "Sekarang kau mulai berani mengancamku?""Aku mengancammu demi kebaikanmu," Kata Athalia meluruskan ucapan Mahesa.Biasanya, ketika Athalia membuatkan jus di pagi har
"Aku pikir dia sudah mati. Ternyata dia sedang tenggelam dalam kebahagiaannya bersama dengan keluarganya," sinis Mahesa sembari menyentak bolpoint yang dipegangnya ke atas meja.Saat ini Mahesa sudah berada di kantor. Ia pikir, dengan bekerja bisa menghilangkan perasaan resah dan amarah di hatinya. Tetapi sekalipun Mahesa berusaha menyibukkan dirinya dengan pekerjaan lain pun, hatinya tetap bergemuruh mengingat tentang sosok wanita yang sudah membuat hidupnya hancur.Siapa lagi kalau bukan Sandra Lee?Ya! Sekarang nama wanita itu bukan lagi Sandra Anderson. Melainkan sudah berganti menjadi Sandra Lee karena ia sudah menikah dengan seorang pengusaha kaya asal jepang yang bernama Lee Jae Ho."Dulu aku pernah berpikir kalau Sandra pasti akan merasakan sedih karena tidak pernah bertemu lagi denganku selama belasan tahun. Tapi ternyata aku salah, Sandra sedang terkenal di televisi dan aku tidak melihat sedikit pun raut sedih di wajahnya. Dia
"Athalia! Malam ini kita akan lembur. Masih banyak pekerjaan yang harus kita selesaikan." begitulah ucapan Mahesa saat Athalia masuk ke dalam ruangannya untuk mengantarkan laporan.Athalia tidak merasa keberatan, ia tahu jika pekerjaan memang menumpuk akhir-akhir ini. Maka dari itu ia pun mengangguk."Baik, Tuan Mahesa.""Kalau begitu sekarang kau boleh pergi," kata Mahesa pada Athalia.Athalia mengangguk, membalikan tubuhnya hendak keluar dari ruang kerja Mahesa.Akan tetapi langkahnya terhenti saat lelaki itu kembali memanggilnya."Athalia! Tunggu!"Athalia pun menoleh memutar kepalanya kepada Mahesa. Keningnya bertaut, entah apa maksud lelaki itu menghentikan langkahnya."Iya?"Mahesa diam sejenak, menarik napasnya beberapa saat seakan ia merasa ragu untuk mengatakannya.Sementara itu mata Athalia memicing, menunggu apa yang akan Mahesa katakan kepadanya.&nb
Di dalam apartmen, Athalia sedang gelisah menunggu kedatangan Mahesa yang sampai saat ini belum juga pulang ke apartmennya, padahal sekarang sudah pukul dua belas malam. Seharusnya Mahesa sudah pulang.Athalia duduk gelisah di atas sofa yang dekat dengan pintu masuk, sedari tadi matanya tak bisa lepas menatap daun pintu yang menutup di hadapannya.Kedua jemarinya saling bertaut resah di atas pangkuan, Athalia menanti Mahesa yang saat di kantor berpesan bahwa ia ingin melihat Athalia dalam balutan lingeri berwarna merah yang dulu pernah dibelikannya."Apa yang sedang Mahesa lakukan bersama dengan Kiran? Apa mereka akan menghabiskan malam berdua?" mengingat Mahesa yang belum juga pulang, membuat pikiran Athalia menjadi kacau. Benaknya berpikir yang tidak-tidak tentang Mahesa dan Kiran.Sebab yang terakhir Athalia ingat, Mahesa pergi berdua dengan Kiran untuk dinner entah di restoran mana.Tapi kemudian Athalia menggeleng
Mendengar ucapan Kiran yang menggodanya, Mahesa hanya mendengus kesal, sebelum kemudian ia melepaskan cengkeraman tangannya dari rahang wanita itu.Meskipun miliknya sudah berdiri sempurna, tetapi batinnya menolak untuk menyentuh Kiran. Justru bayangan tubuh Athalia menguasai pikirannya dalam sekejap mata."Kenapa kau melepaskan cengkeramanmu dari rahangku? Apa kau sudah luluh dengan tubuhku yang begitu menggoda? Jika kau ingin menjamahnya, mengapa harus ragu, Mahesa?" Kiran kembali mengeluskan jari-jemarinya di sekitar dada Mahesa yang bidang.Tubuh jangkung Mahesa semakin gerah, bahkan miliknya pun semakin berdenyut. Tetapi Mahesa malah menangkap kedua tangan Kiran dan menepiskannya dengan sedikit kasar."Sebegitu murahnya kah tubuhmu? Hingga kau menggodaku sampai seperti ini?" tanya Mahesa sambil melemparkan senyum mengejeknya ke arah Kiran.Namun Kiran yang sudah terlanjur mencintai Mahesa, sama sekali tidak peduli
Athalia menunduk dengan pipi yang merona, ia berada di sofa itu memang untuk menunggu Mahesa.Tanpa Athalia menjawab pun, Mahesa sudah bisa menebaknya hanya dengan melihat rona merah di kedua belah pipi wanita itu.Merasakan gairah yang semakin berkobar di dalam dadanya, Mahesa menggeram, menjepit dagu Athalia dengan menggunakan jempol dan telunjuknya. Kemudian mendongkakannya hingga membuat bola mata mereka saling bersinggungan dengan tatapan yang dalam.Athalia menelan ludahnya berat tatkala mata hazel indah milik lelaki itu terasa seperti menghipnotisnya, membekukan seluruh aliran darahnya. Tatapan Mahesa seperti memiliki kekuatan magis yang mampu meluluh lantakkan perasaannya.Untuk sesaat mereka terdiam dan hanya saling pandang satu sama lain. Sampai kemudian bisikan halus terdengar dari mulut Mahesa."I want you, Athalia. I want you and your body," bisiknya tepat di depan wajah Athalia, jarak hidung mereka telah terpan
Arini bisa melihat Mahesa yang mengusap sudut matanya dengan menggunakan ibu jari, lelaki itu menahan tangis ketika menceritakan tentang sosok Bik Atin.Wanita paruh baya itu selalu menjadi sosok pelindungnya sejak kecil. Bik Atin lah yang memeluk Mahesa setiap kali Mahesa mendapatkan ketidakadilan di dalam hidupnya.“Bik Atin itu siapa?” tanya Arini.“Malaikatku,” jawab Mahesa, dia tidak ingin mengatakan kalau Bik Atin adalah pembantunya. Mahesa terlanjur menganggap wanita paruh baya itu sebagai sosok malaikat pelindung.Arini mengulum senyum mendengar jawaban Mahesa. Baiklah, dia tidak akan mengorek tentang Bik Atin. Meskipun Arini merasa sedikit penasaran dengan sosoknya.Tapi dia harus berfokus pada Mahesa. Di sini, Mahesa lah yang menjadi peran utama di dalam kelamnya hidup yang menimpanya.“Maaf jika pertanyaanku kali ini akan menyinggungmu, tapi, apa kau tidak pernah sekali pun merasakan pelukan dari oran
Athalia tercenung, tapi ia mengangguk pelan dan mengangkat kedua tangannya untuk membalas pelukan Mahesa.Sejujurnya, Athalia merasa sangat nyaman dalam pelukan lelaki itu. Namun tingkah Mahesa yang aneh setelah selesai konsul dengan Arini, membuat Athalia merasa kebingungan.Dengan masih memeluk tubuh Athalia yang mungil, Mahesa kembali berkata. “Kau benar, Athalia. Setelah meluapkan semuanya, sekarang hatiku merasa lega. Setidaknya setengah dari beban di hatiku sudah hilang. Aku makin bersemangat untuk bisa sembuh dari semua trauma ini. Aku ingin bisa menjalani kehidupan yang normal seperti orang lain tanpa gangguan dari masa laluku yang pahit. Aku ingin bahagia. Aku ingin bahagia, Athalia. Kau dengar itu, ‘kan? Aku ingin bahagia.”Mata Athalia berkaca-kaca. Mahesa sampai mengulangi kalimatnya beberapa kali saking dia ingin mewujudkan impiannya.Semua belenggu masa lalu yang merantainya harus segera sirna. Mahesa sangat ingin men
Mahesa menatap pada dokter dengan sorot penuh harap. Dan dokter itu menarik napas sebelum akhirnya berkata.“Keadaan Nyonya Athalia tetap sama. Tapi kita masih bersyukur operasi ini tak memperparah kondisinya. Setelah pulih dari melahirkan, Nyonya Athalia sudah bisa melakukan terapi kankernya di Indonesia. Dia wanita yang kuat, tak banyak yang berhasil bertahan sampai di titik ini,” ungkap dokter itu yang akhirnya membuat Mahesa mendesah lega.Mahesa sangat kagum pada Athalia. Kini ia menatap wajah bayi mungilnya yang tampak memerah. Bayi itu menangis, lalu perawat mengambil alihnya dari tangan Mahesa.“Maaf, Tuan. Kami harus segera memindahkan bayi perempuan Anda ke ruang inkubator.”Mahesa mengangguk mendengar ucapan perawat itu. “Boleh aku ikut mengantar bayiku?” tanya Mahesa, seakan tak rela jika harus berpisah barang hanya sejenak dengan malaikat kecilnya.Perawat dan dokter itu saling pandang,
Meski usia kandungan Athalia baru menginjak delapan bulan, namun dokter menyarankan agar bayi Athalia segera dikeluarkan dari kandungannya. Karena akan makin membahayakan kondisi Athalia.Awalnya Athalia sempat menolak dan berdebat kecil dengan Mahesa. Athalia takut terjadi hal buruk pada bayi mungilnya andai dilahirkan premature. Namun Mahesa bersikukuh meyakinkan bahwa dokter tahu yang terbaik. Mahesa juga takut terjadi hal buruk pada bayinya. Tapi ia lebih takut kehilangan Athalia.Akhirnya Athalia luluh setelah Mahesa meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.Dean dan Narsih sudah ada di rumah sakit. Mereka berdua datang ke Jerman. Sedangkan Yasna, Dirly dan keluarga Dean masih di Indonesia. Sengaja sekali Dean tak mau memberitahukan kabar Athalia yang akan dioperasi ini pada mereka agar tak merasa khawatir.“Mahesa, jangan pergi!” Athalia menggenggam erat tangan Mahesa saat perawat mendorong ranjangnya menuju ke ruang operasi.
“Dia baik-baik saja.” dokter berkata pada suster setelah ia memeriksa keadaan Athalia.“Tapi dia mengigau terus, dok.”“Tidak apa. Selama kondisinya stabil. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” pungkas dokter yang menangani Athalia. Dokter itu bernama Dokter Greg.Suster itu mengangguk. “Baik, dokter. “ sebenarnya suster itu khawatir terjadi apa-apa pada Athalia, juga karena ia dibayar oleh Dean untuk terus memantau kondisi Athalia dan menginformasikan setiap perkembangannya.Tepat di saat dokter baru saja akan berbalik keluar dari ruangan itu, tiba-tiba mereka mengerutkan kening saat melihat sosok lelaki yang tak dikenal, melangkah memasuki ruang ICU dan menghampiri ranjang Athalia.“Siapa dia?” dokter berbisik pada suster.“Saya tidak tahu, dok,” balas suster itu menggelengkan kepala.Lelaki asing itu adalah Mahesa. Yang ketika melihat pintu ruang ICU tak di
Tak ingin membuang waktu, Mahesa langsung mengurus keberangkatannya ke Jerman. Dan sebagai seorang ayah yang telah mendukung Mahesa, Leuwis turut membantu segala persiapan putranya.Kini mereka pun telah tiba di bandara. Sebelum masuk ke gate penerbangan, Leuwis menggenggam tangan kanan Mahesa dengan erat.“Apa kau yakin Papa tidak perlu menyusulmu ke sana?” tanya Leuwis, yang sebenarnya ingin ikut.“Tidak perlu, Pa. Papa tunggu saja di sini dan berikan doa yang terbaik untukku.” “Itu pasti. Kau tak perlu memintanya. Papa akan selalu mendoakanmu.”Mahesa tersenyum, sesaat memeluk ayahnya, sebelum kemudian mengurai pelukan dan pamit untuk pergi.Leuwis menghela napas pelan sambil melambaikan tangan, melepaskan kepergian Mahesa yang kini telah menghilang dari pandangan mata.“Semoga keberuntungan dan kebahagiaan selalu menyertaimu, Mahesa,” gumam Leuwis.***Tiba
Meski sudah larut malam, Dean tak bisa tidur. Ia masih duduk di ruang tengah sambil menonton TV.Namun, tiba-tiba terdengar suara bell rumahnya yang berdenting.“Ck! Siapa yang bertamu di malam-malam buta begini.” Dean bergumam lalu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke pintu utama.Saat pintu itu dibuka, Dean langsung menghembuskan npaas kasar ketika melihat sosok Mahesa yang berdiri di hadapannya dengan penampilan yang cukup berantakan.Sepertinya Mahesa habis berkelahi. Terlihat dari rahang dan sudut bibirnya yang lebam dan berdarah.“Apa kau sudah gila? Bisakah kau bertamu di waktu yang tepat?” Dean menyindir, baru saja ia akan kembali menutup pintu rumahnya namun tangan Mahesa lebih dulu menahannya dengan kuat, hingga Dean menyerah dan pintu itu pun kembali terbuka lebar.“Sebenarnya apa maumu?” sentak Dean, kesal.“Aku mau kau beritahu aku di mana Athalia berada?” tegas
Leuwis tak sanggup saat melihat Mahesa yang sedang kacau seperti ini.“Mahesa,” desah Leuwis bersimpuh duduk di samping Mahesa dan membuat Mahesa membuka kedua matanya hingga bertemu pandang dengan bola mata ayahnya.“Pa … “ Mahesa berbisik pelan. Namun kedua matanya menyiratkan kesedihan. Terihat dari matanya yang memerah dan berkaca-kaca.“Kemarilah, Nak! Kemarilah!” Leuwis membuka tangannya lebar-lebar.Mahesa tahu isyarat itu. Ia pun beringsut duduk dan segera masuk ke dalam pelukan Leuwis. Menghambur memeluk tubuh Leuwis dan menumpahkan tangisnya di dada ayahnya.Mahesa menangis tanpa suara. Hanya saja Leuwis merasa bagian depan bajunya yang basah.“Pa, aku telah kehilangan dia! Aku telah kehilangan Athalia dan anakku! Athalia sedang hamil, Pa. Dia hamil darah dagingku. Berkali-kali aku membujuknya tapi dia tak mau kembali. Aku terlalu banyak menyakitinya. Aku ini lelaki bejat yang sangat menji
Hanya sebentar Leuwis dirawat di rumah sakit. Ia pun sudah boleh pulang ke rumahnya.Selama ada di rumah sakit, tak ada satu pun anggota keluarganya yang menjenguknya selain Mahesa.Entah karena memang mereka tidak tahu Leuwis dirawat, atau mungkin karena mereka tidak peduli sama sekali terhadapnya.Yang jelas, Leuwis merasa kecewa. Ayaz melihat dirinya yang hampir mati, namun sama sekali tak berniat menolongnya.Justru Mahesa lah yang melarikannya ke rumah sakit dan menemaninya meski mereka hanya saling diam dan tak ada satu pun yang berani bicara.“Kau gila, Ayaz! Kau berani melakukan itu pada Papamu? Bagaimana kalau dia masih hidup lalu mengusir kita semua dari rumah ini?”Baru saja Leuwis akan membuka pintu kamar Ayaz untuk menegur anak tirinya itu, namun gerakan Leuwis terhenti saat ia mendengar suara Jessica yang sepertinya sedang berbicara dengan Ayaz.“Masa bodo tentang Leuwis. Dia bukan Papaku. Aku bosan hidup di ba
“Selama ini aku bekerja untuk memenuhi hidupmu dan keluarga kita. Tapi mengapa kau tak menghargaiku? Setidaknya bantu aku untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Bukannya malah menambah masalah di kepalaku!” sentak Leuwis dengan keras.Leuwis marah, tentu saja.Bisa dibilang, Ayaz adalah anak tertua setelah Mahesa. Meskipun Ayaz hanya anak tirinya. Namun Leuwis pikir, sudah sepantasnya Ayaz ikut mengemban tanggung jawab untuk mengurus perusahaan dan membantunya.Bukannya malah hanya berfoya-foya.“Apa masalahnya, Pa? Aku memanggil dua wanita penghibur itu untuk sedikit menyenangkanku. Bagaimana aku bisa bekerja jika hatiku tidak senang?” Ayaz berkata dengan wajah santainya.Membuat bola mata Leuwis melebar.“Tapi kau bisa bersenang-senang di waktu dan tempat yang tepat! Tidak dalam situasi seperti ini!” Leuwis masih tak habis pikir. Ayaz sempat memikirkan kesenangannya di saat mereka terancam hid
Langit terlihat begitu mendung. Tak secerah tadi pagi, dimana saat mereka asyik bermain sepak bola di halaman belakang rumah Dean.Kini Dean melamun, menatap nanar pada wajah Athalia yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Dean menungguinya. Ia mengusir halus semua orang yang hendak ikut menemani Athalia di rumah sakit, termasuk Narsih dan Yasna.“Athalia, kau harus berjanji padaku! Kau akan tetap hidup sampai nanti, sampai Dirly dan anakmu dewasa. Sampai kau berhasil mendapatkan kebahagiaan sesungguhnya. Jangan pernah pergi sebelum semua itu terjadi. Berjanjilah padaku, Athalia!” Dean meraih tangan kanan Athalia, lalu menciumi jemarinya.Lelaki bertubuh kekar itu tak bisa menahan saat air mata meluruh jatuh melewati pipinya.Hari ini, saat Athalia dibawa ke rumah sakit, dokter memberitahu sebuah kabar yang membuat semua orang terkejut. Tak menyangka. Bahkan terluka.Bagaimana tidak, dokter mengatakan Athalia menderita kanker darah. Dan tak s